Cantika Abigail berjalan melewati lorong panjang yang terlihat seperti tak berujung. Sekarang ia berada di lantai tiga sebuah perusahaan start up yang bergerak di bidang flight and travel. PT. Traveflight Corporindo merupakan salah satu perusahaan start up baru berusia empat tahun, namun akhir-akhir ini popularitasnya naik drastis semenjak diiklankan oleh artis terkenal. Aplikasinya telah diunduh lebih dari seratus juta pengguna hingga sekarang.
Cantika berniat melamar di perusahaan ini karena butuh uang. Ayahnya kena tipu hampir satu milyar di investasi online, satu setengah bulan yang lalu. Padahal, uang investasinya hasil dari pinjam dengan Om Michael, rentenir yang paling terkenal di kompleknya dan waktu itu Ayahnya berjanji akan mengembalikan uang Michael beserta bunganya enam bulan lagi. Parahnya, enam bulan lagi dari waktu itu adalah dua bulan lagi dari hari ini.
Cantika kecewa, sama seperti Mamanya dan adiknya. namun, bagaimana pun Ayah tetaplah Ayah. Mau protes bagaimana pun semuanya sudah terjadi. Mau menyalahkan pun tak ada gunanya lagi.
Sebagai anak tertua, Cantika ikut-ikutan pusing. Karena selain Mamanya yang lebih sensitif jika ditanya, ia juga butuh uang untuk bayar UTS bulan depan. Makanya, ketika melihat lowongan kerja sebagai Manajer Finansial di PT. Traveflight Corporindo dari Internet dua minggu yang lalu, ia langsung mengirim Curriculum Vitae dan mempromosikan diri sebaik mungkin. Beruntungnya, ia lolos seleksi dan seminggu yang lalu sudah melakukan wawancara daring.
Di sinilah Cantika sekarang. Berdiri di depan sebuah pintu yang dicat warna putih bertuliskan 'RUANG OWNER', sambil memeluk amplop cokelat berisi berkas-berkas yang diperlukan. Sambil mengingat-ingat ulasan baik pegawai yang ia baca di internet, Cantika mengatur napas. Jantungnya berdegup tak biasa. Barangkali karena ini adalah pengalaman pertamanya melamar kerja.
Mempersiapkan diri mengetuk pintu, Cantika ragu karena tak ada siapa pun di sini. Hanya ada dirinya dan beberapa orang yang lalu-lalang. Apakah hanya dirinya yang melakukan pemberkasan hari ini? Ah, pesetan dengan yang lainnya. Bukannya lebih bagus jika Cantika hanya sendiri? Harusnya ia senang jika kandidat yang terpilih untuk pemberkasan di kantor pusat hanya dirinya. Artinya, ia berpotensi besar untuk diterima, kan?
Mengatur napas. Tenangkan diri Cantika. Kamu pasti bisa. Kamu butuh uang banyak. Perjalanan pendidikan kamu pasih panjang. Empat semester lagi. Dua tahun lagi. Selama itu kamu perlu uang yang tidak sedikit.
Mengumpulkan keberanian untuk mengetuk pintu, tiba-tiba pintu bercat putih itu terbuka. Menampakkan sosok lelaki muda, sangat tampan, tinggi, bersih, bertubuh atletis, memakai kaus putih dan bomber marun, celana chinos panjang dan sepatu kates putih, berdiri di hadapan Cantika dengan senyum ramah mengembang di bibirnya yang kecil.
Lelaki itu menyipit, memandang Cantika dari ujung kepala, hingga ujung kaki, " Cantika Abigail?" tanyanya.
Cantika terbengong melihat definisi malaikat di dunia nyata dan tersadar ketika lelaki itu menggoyang-goyangkan tangannya di depan mata Cantika. Perempuan sembilan belas tahun itu mengerjap berkali-kali. Berusaha menyadarkan diri dari malaikat sungguhan ini.
" Cantika Abigail?" tanyanya sekali lagi.
Kali ini, Cantika mengangguk, serba salah. Entah apa yang membuatnya serba salah, yang jelas wajah lelaki itu berhasil membuatnya terkesima di pertemuan pertama.
" Silahkan masuk. Kamu ngobrol dengan yang lain dulu. Nanti saya nyusul," ucapnya ramah, kemudian berjalan melewati Cantika yang masih bengong. Ia berbalik, memandangi punggung tegap lelaki itu dengan dada berdebar.
" Siapa itu? jangan berdiri di depan pintu gitu dong, Mbak."
Cantika tersadar lagi dan berbalik. Ia membuka pintu semakin lebar, kemudian masuk. Baru selangkah, Cantika terkejut mendapati ruangan luas yang lebih terlihat seperti kamar dibanding ruang kerja. Alih-alih terdapat kursi yang bisa berputar dengan meja persegi di depannya dan lemari-lemari arsip di dekat dinding, Cantika justru melihat kasur berukuran sangat besar dengan dipan yang tak terlalu tinggi di sisi ruangan sebelah kiri dari tempatnya berdiri. Di sebelah kasur, terdapat dua lemari kayu berwarna dan bercorak seragam, namun ukurannya berbeda. Yang satu lebih ramping dan satunya lagi lebih lebar. Menoleh ke kanan, Cantika melihat sofa panjang berhadapan dengan meja kayu persegi panjang di tengahnya. Dispenser air minum dan sebuah toilet.
Di sofa tampak tiga orang lelaki muda memandang ke arahnya. Cantika dapat mendengar suara tawa mereka dari luar. Tapi, ketika ia masuk, semuanya terasa hening dan mencekam. Barangkali inilah sisi mengerikan di hari pemberkasan. Dimana tiba-tiba debaran dada Cantika semakin menggila.
" Yang mau pemberkasan ya?" tanya seorang lelaki yang rambutnya di cat abu-abu dan berkacamata. Kulitnya putih dan matanya cukup sipit.
Cantika mengangguk, membuat si lelaki berkacamata yang tadinya duduk sendiri di salah satu sofa, berpindah ke sofa yang ditempati dua temannya.
" Silahkan duduk," kali ini lelaki berbadan tegap, besar, kekar, berkulit gelap dan berambut keriting yang dicukur nyaris botak. Matanya yang besar dan bibirnya yang tebal mengingatkannya dengan Will Smith, salah satu aktor kesukaan Mamanya yang meskipun berkulit gelap, tetapi tampan mempesona.
Cantika menurut. Ia duduk di hadapan tiga orang lelaki yang memiliki warna kulit berbeda-beda. Lelaki yang duduk di tengah, mengamati Cantika tak berminat. Wajahnya yang paling terlihat garang di antara semuanya. Barangkali karena lelaki itu memiliki jambang yang tak dicukur sampai habis. Kemejanya berwarna hitam dan kancingnya dilepas dua. Apakah begini gaya seorang yang akan melihat-lihat berkas calon karyawan? Atau... apakah Cantika salah masuk ruangan?
Rasanya tidak. Jelas-jelas resepsionis bernama Siska mengatakan jika ia harus masuk ke ruang owner di lantai tiga. Apakah mereka pemilik perusahaan ini?
" Nama lengkap kamu, Cantika Abigail?" tanya si kacamata berambut abu.
" Ya. Nama saya Cantika Abigail."
" Panggilan?" tanya si kulit gelap.
" Cantika."
Si kacamata tersenyum dan meminta berkas yang dibawa Cantika, " nggak usah kaku begitu. Biasa aja."
" Santai aja. Kita nggak akan ngapa-ngapain kamu kok, Cantika," lanjut si kulit gelap.
" Kamu lulusan SMK Akuntansi, dua tahun yang lalu?" si rambut abu bertanya lagi.
Apakah ada sesi wawancara lagi? Mengapa Cantika merasa jika ia sedang diadili? " Iya. Saya lulusan SMK Akuntansi. Dua tahun yang lalu." Jujur, Cantika tak tahu harus menjawab apa. Karena ini adalah pengalaman keduanya melakukan wawancara kerja. Dengan perusahaan yang sama dan orang berbeda. Yang pertama daring dan kali ini langsung bertatap muka.
" Belum pernah kerja di manapun. Selama dua tahun setelah lulus kamu ngapain aja?" Si abu masih belum menyerah untuk mengorek informasi Cantika.
" Saya kuliah, Pak."
" Pak?" Si rambut abu, melirik dua orang temannya. Seperti ada yang salah dengan sebutan Cantika terhadap si rambut abu, sehingga membuat si kulit hitam tertawa terbahak-bahak.
" Pantas kok kamu panggil dia begitu. Dia emang udah tua."
Si rambut abu tampak tak terima dengan ucapan si kulit gelap. Namun ia menahan untuk tak melakukan apa-apa terhadap si kulit gelap.
" Nama saya Brian Saputra, di sebelah saya Rafa Permana dan yang paling ujung Dion Manuputi. Panggil saya Brian, Rafa dan Dion sudah cukup. Nggak perlu embel-embel Pak."
Cantika mengangguk paham, " baik, P... Brian."
" Jadi, langsung saja ya. Apa motivasi kamu mau melamar posisi ini?" kali ini Brian memandang Cantika serius. Berbeda dengan Rafa yang sejak tadi tak banyak bicara dan Dion yang lebih banyak bercanda, bahkan sesekali berbisik kepada Rafa.
" Saya ingin mencari pengalaman di bidang yang saya tekuni semenjak SMA sampai sekarang. Karena menurut saya, belajar akuntansi bertahun-tahun tidak akan ada gunanya kalau saya tidak memberanikan diri untuk terjun langsung ke dunia kerja."
" Jadi, kamu kuliah jurusan akuntansi juga? semester berapa?" Dion bertanya, sepertinya mulai tertarik dengan wawancaranya.
" Ya. Saya melanjutkan untuk kuliah akuntansi juga, karena saya merasa sudah punya pondasi untuk lanjut dengan jurusan yang sama. Sekarang saya semester empat."
" Gimana cara kamu bagi waktu antara kuliah kamu dan pekerjaan, seandainya saya terima?" Rafa bersedekap. Ia menyandarkan punggung di sofa, memandang Cantika penuh intimidasi.
Agak aneh mendengar kata 'saya' dari kata-kata Rafa barusan. Seolah, Cantika bekerja hanya untuknya, bukan perusahaan ini. " Kebetulan saya kuliah di universitas swasta yang sangat welcome dengan karyawan. Jadi, untuk urusan itu saya bisa atur."
" Kalau gitu, saya mau tanya. Kalau kamu punya uang satu milyar, apa yang mau kamu lakukan dengan uang itu?"
Cantika menoleh mendengar pertanyaan itu. Di belakangnya sudah berdiri lelaki tampan yang tadi ia temui. Lelaki itu berjalan mendekat ke arah tiga orang kawannya, kemudian duduk di sebelah Brian. Ketampanan lelaki itu membuat Cantika salah fokus. Lagi-lagi ia harus sadar jika ini bukanlah saat yang tepat untuk berpikiran macam-macam.
Cantika menelan ludah dan menjawab, " kalau seandainya punya uang satu milyar, saya akan membeli kebutuhan pangan secukupnya dan benda lain yang diperlukan. Sisanya, mungkin akan saya tabung."
" Selamat, kamu diterima!" ucap si tampan dengan senyum ramah khasnya sambil mengulurkan tangan yang langsung Cantika jabat dengan senang hati.
Cantika tidak salah dengar, kan? Ia benar-benar diterima kerja di sini? Astaga ini seperti mimpi!
***
" Karyawan barunya Rafa, ya? Boleh langsung naik ke lantai tiga," ucap resepsionis yang akhirnya Cantika tahu bernama Siska.
Cantika mengangguk dan menurut apa yang dikatakan resepsionis. Bagi Cantika, perusahaan ini tak terlalu memiliki banyak aturan yang ribet. Bahkan, beberapa karyawan hanya perlu datang ke kantor di hari-hari tertentu saja. Karena memang pekerjaan mereka lebih banyak dilakukan lewat jaringan. Jadi, dimana pun pekerjaan tetap bisa dilakukan.
Mengetuk pintu dua kali, Cantika mendengar suara berat yang mengizinkannya masuk. Cantika membuka pintu dan mendapati Rafa sudah duduk di sofa dengan kemeja biru muda yang kancingnya dibuka satu dan lengannya dilipat sebatas siku.
" Duduk," perintahnya datar, sama seperti pandangannya.
Cantika menurut. Entah mengapa, suasana berdua dengan Rafa terasa berbeda ketika ada banyak orang di sini.
" Cantika Abigail... Jadi begini rules-nya," lelaki itu mengambil sebuah buku di atas meja, membukanya dan melanjutkan, " pertama, kamu harus datang setiap hari dan langsung temui saya. Kedua, kamu akan ikut kemana pun saya pergi. Ketiga, ingatkan saya kalau saya membuang uang untuk hal yang tidak perlu. Keempat, jangan ganggu kehidupan pribadi saya selain keuangan. Kelima, kamu tidak bisa libur, kecuali sakit parah. Keenam, kontrak akan berlangsung enam bulan. Ketujuh, rules ini tidak perlu negosiasi. Silahkan tanda tangan di sini."
Rafa mengeluarkan dua lembar kertas bertuliskan surat persetujuan dan surat pernyataan. Cantika tidak bisa mundur. Ia butuh uang. Tak mungkin mengandalkan ayahnya yang nyaris gila karena hutangnya menumpuk dimana-mana dan Mamanya yang mengomel sepanjang hari, menyalahkan Ayahnya.
Cantika tidak bisa seperti itu terus. Ia juga sudah tak betah lama-lama di rumah karena ia harus mendengar pertengkaran kedua orang tuanya sepanjang malam. Cantika menandatangani surat itu dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.
" Ingat, kalau kamu melanggar, saya bisa saja melapor ke polisi."
Cantika tahu risiko apa yang akan ia terima jika suatu saat ia melanggar aturan. Tapi, Cantika yakin seratus persen jika ia tak akan melanggar apapun.
" Sekarang, kamu rekap semua bon yang ada di laci. Itu bon pengeluaran saya dari awal bulan."
Cantika mengernyit, " bon bapak?"
" Jangan panggil saya bapak."
" Maksud saya... bon kamu?"
" Kamu pikir kamu kerja buat perusahaan ini? Kamu salah. Mulai hari ini, kamu adalah manajer keuangan pribadi saya."
Cantika melongo. Tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Manajer keuangan pribadi? Apakah Rafa yakin? Jadi, Cantika bukan diterima sebagai manajer keuangan perusahaan ini? Astaga! kenapa sejak kemarin ia tak sadar. Harusnya ketika tiba-tiba Rafa mengatakan 'saya', cantika sudah sadar jika itu menunjuk personalnya.
Mengatur napas, Cantika sudah terlanjur basah menandatangani kontrak. Dengan lapang dada, ia berusaha melakukan yang terbaik. Lagipula ia butuh uang. Dan gajinya di sini cukup lumayan, sesuai dengan UMK kota yang paling tidak dapat membantunya membayar uang semesteran dan membayar biaya sekolah adiknya yang sudah kelas tiga SMA. Soal hutang ayahnya, biar nanti ia pikirkan pelan-pelan.
Membuka laci di bawah meja, Cantika terkejut mendapati tiga gepok struk belanjaan yang diikat menggunakan karet. Di depannya, Rafa mengamati. Membuat Cantika sedikit tak dapat fokus karena diawasi begitu oleh atasannya langsung.
Merekap satu-per-satu, Cantika lumayan terkejut dengan benda-benda yang dibeli Raffa. Sebagian besar benda-benda yang berhubungan dengan bola, seperti sepatu bola, jersey, celana, poster MU, beberapa struk restoran siap saji, restoran bintang lima, dan banyak sekali struk belanja minimarket dan supermarket.
" Wuih... anteng bener!"
Cantika yang cukup pusing setelah melihat deretan angka yang sangat banyak, langsung semringah ketika mendengar suara si tampan. Lelaki tampan itu mengambil tempat di sebelah Cantika dan membaca beberapa yang telah diketik Cantika di laptop Rafa.
" Sepatu futsal dua juta, jersey MU tujuh ratus, sepatu futsal dua koma lima, bla...bla...bla... kegilaan yang hakiki," ungkap si tampan.
Cantika penasaran dengan namanya, tapi ia malu untuk bertanya.
" Budget pacarannya yang mana?" tanya si tampan, mendekatkan wajah ke layar laptop.
Cantika ingin tertawa, tapi ia tahan. Ia sendiri tak tahu struk mana yang Rafa dapat ketika selesai makan dengan pasangan atau membelikan barang-barang untuk pasangan. Sedangan ia sama sekali belum menemukan benda perempuan yang Rafa beli selama dua minggu terakhir.
" Cantika, kamu hati-hati ya, sama Rafa. Dia itu buaya darat!" ucap si tampan sambil tertawa.
Rafa melempar bantal sofa, " Farel, diem bisa? jangan ganggu karyawan saya kerja!"
Cantika senang. Meskipun intonasi Rafa terdengar tak bersahabat, namun ia harus berterimakasih banyak karena sudah memberi tahu nama si tampan. Farel. Nama yang bagus.
" Cantika, kamu jangan sampai ketipu sama sikap dinginnya ya."
Cantika tak bisa menahan diri untuk tersenyum yang rupanya disadari oleh Rafa.
" Fokus!" ucapnya.
Tertawa, Farel merasa menang. Ia kemudian berjalan ke dispenser air minum di sebelah sofa dan membuat kopi hangat untuknya.
" Cantik, kamu suka kopi?" tanyanya.
" Nggak terlalu."
" Berarti kalau dibuatin diminum lah ya," ucapnya lagi. Kemudian kembali dengan membawa dua cangkir kopi kemasan rasa gula aren.
Cantika melirik sekilas ketika menghirup aroma kopi hitam. Ia pikir, Farel akan membuatkannya kopi susu, nyatanya yang tersaji di depannya adalah kopi hitam yang tak ia sukai.
" Terimakasih," ucap Cantika. Meski pun ia tak suka, tetap saja harus menghargai perbuatan baik orang lain. Apa lagi, orang itu tampan macam Farel.
" Dion sama Brian kemana?" tanya Rafa.
" WFH katanya."
Rafa manggut-manggut, kemudian meraih kopi milik Cantika yang dibuatkan Farel. Hal itu membuat Farel mendelik, tak terima jika Rafa mencurinya. Sedangkan Cantika senang, karena dengan begitu, ia jadi punya alasan untuk tak meminum kopi hitam buatan Farel.
" Itu kan buat Cantik."
" Cantik? Ck. Cantika." Rafa meralat panggilan Farel kepada karyawan barunya.
Farel tak menggubris ucapan Rafa. Ia hanya melirik Rafa sekilas, kemudian mengambil ponselnya dari saku jaket bomber, " sebagai gantinya, kamu mau apa? aku pesenin deh."
Cantika meregangkan tubuhnya sejenak, melirik Rafa sekilas, kemudian berkata, " thai tea, nggak masalah." Cantika mengulas senyum.
" Oke. Thai tea tiga."
" Nggak usah sok manis, Farel."
Farel tak mendengarkan. Ia lebih memilih mengamati apa yang sedang Cantika lakukan. Mengetik rumus dan terkejut melihat pengeluaran Rafa selama dua minggu terakhir.
" Lima belas juta. Benar-benar sultan!" Farel geleng-geleng kepala.
Di harapannya, Cantika melihat Rafa menghembuskan napas kasar. Lelaki itu tampak membalik laptopnya dan mengusap seluruh bagian wajahnya.
" Cantika, apa ada solusi?" Farel bertanya, " kasihan mau nikah tapi uangnya habis buat beli barang-barang nggak jelas."
***
Rafa kaget ketika melihat total pengeluarannya dua minggu ini sudah mencapai lima belas juta rupiah. Rafa mengingat-ingat benda apa yang ia beli hingga menghabiskan uang sebanyak itu dalam waktu yang sangat singkat.
Membaringkan tubuhnya di atas sofa, mata Rafa mengawang. Namun yang ia ingat hanya sepatu futsal, jersey dan makan dan itu semua menghabiskan lima belas juta?
Melirik ke arah Cantika, ia tak yakin perempuan sembilan belas tahun di depannya bisa membantunya keluar dari permasalahan ini. Masalah dirinya yang selalu menghamburkan uang hanya untuk sesuatu yang tak berguna dan Cantika tampak seperti perempuan yang suka menghabiskan uang orang tua.
Ia menatap tajam Cantika yang sedang mengobrol dengan Farel. Sembari sesekali mengernyit dan menggeleng. Farel betul-betul dapat memposisikan diri sebagai apa pun. Lelaki itu bisa dengan mudah dekat dan akrab dengan orang lain. Selain tampang dan postur tubuhnya yang oke, cara bicaranya juga sangat menarik. Membuat siapa pun ingin terus mengobrol dengannya, terutama perempuan.
Hal itu sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang cuek dan cenderung tak pernah peduli pada apa pun, termasuk pada Elena, kekasihnya. Untungnya, Elena cukup pengertian meski Rafa sering tak mengabarinya hingga berhari-hari. Tidak seperti mantan-mantannya yang berlebihan jika tak dikabari sehari dan tidak bertemu minimal seminggu tiga kali. Sedangkan Elena, bahkan sudah sebulan Rafa tak bertemu dengan kekasihnya itu.
Menjadi salah satu dari pendiri perusahaan start up dan memiliki kesibukan yang lumayan, rupanya tak membuat Rafa lelah untuk menghabiskan uangnya. Apalagi, penghasilannya sekarang sudah di atas tiga puluh per bulan. Jelas membuatnya semakin gila-gilaan apabila menginginkan barang-barang yang ia inginkan.
Cantika terlihat salah tingkah ketika menyadari Rafa memandangnya dengan pandangan yang sangat tajam. Tawanya meredup menjadi senyum simpul tak enak yang kemudian disadari oleh Farel.
" Biasa aja dong ngeliatinnya. Naksir ya?" Farel meledek yang membuat Rafa sama sekali tak melepaskan pandangan kepada Cantika.
Rafa tak merespon apa-apa. Ia hanya sedang berpikir, apakah ada cara untuk membuat keuangannya lebih terkontrol lagi?
" Cantik, Rafa emang suka kayak gitu. Jadi... nggak usah mikir yang aneh-aneh." Farel berusaha menenangkan Cantika yang sudah mulai salah tingkah karena di pandangi Rafa macam pembunuh.
" Dari pada bercanda nggak jelas, lebih baik kamu pikirin cara buat meminimalisir pengeluaran saya." Ucap Rafa akhirnya, sebelum beranjak bangun dan berjalan gontai menuju kamar mandi.
***
Farel sudah pergi. Cantika merasa kecewa dan sepi. Namun, tak apa. Dengan begini, Cantika lebih bisa memikirkan apa yang harus ia lakukan. Sembari bersandar, memandang langit-langit ruangan dan sesekali meminum thai tea yang dibikan Farel, Cantika ada ide sebenarnya. Tetapi, apa ia boleh melakukannya?
Ah, pesetan dengan boleh atau tidak. Yang jelas, Cantika hanya perlu bekerja dengan baik. Ia kemudian mengetik beberapa aturan yang ia buat semaunya, tentu saja aturannya untuk mencegah Rafa jajan yang tidak perlu.
Menyedot thai tea-nya, Cantika pegal dan berdiri. Melakukan streching sebentar untuk melemaskan otot-ototnya. Ketika tubuhnya menghadap ke toilet yang bertepatan dengan keluarnya Rafa dari sana, sepaket dengan handuknya yang menutupi perut hingga lutut dan bert*elanjang dada, membuat Cantika langsung kembali duduk dan pura-pura tidak lihat apa-apa.
Memangnya apa yang barusan ia lihat? Astaga, lelaki itu benar-benar tak punya adab. Bisa-bisanya keluar dari toilet hanya dengan handuk saja? Apalagi di ruangan ini ada perempuan yang baru dikenal. Dan parahnya, ini adalah kantor. Rafa bertelanjang dada di kantor. Di ruangannya bersama perempuan. Astaga.
" Cantika, kamu kenapa?"
Cantika terkejut ketika ia berusaha menyembunyikan semburat merah di pipinya karena malu sendiri. Ia mengangkat kepala dan mendapati Rafa sudah memakai kaus oblong dan tetap mengenakan handuk, duduk di depannya, menyilangkan kaki. Rambutnya masih basah, dan wajahnya kelihatan segar.
" Ah, enggak."
Cantika berusaha untuk terlihat biasa saja. Padahal, dalam hatinya ia mengutuk Rafa berkali-kali atas ketidaksopanannya.
" Jadi... apa rencana kamu?" tanyanya, lebih terdengar ramah dari pada sebelumnya.
Cantika mengatur napas sebelum mengatakan rencana yang telah ia buat. Tapi, tampilan Rafa benar-benar membuat fokusnya buyar.
" Jadi..."
" Jadi, saya sudah buat rules yang nggak bisa diganggu gugat."
Rafa mengangkat sebelah alisnya, " saya kan bos kamu, saya bisa aja nggak setuju kalau saya mau," protesnya.
Cantika menggeleng, " Pak Rafa..."
" Panggil saya Rafa. Umur saya baru dua puluh tiga!"
Cantika menelan ludah. Dua puluh tiga? Benar kan dugaannya jika empat orang pendiri PT. Traveflight Corporation ini masih sangat muda.
" Baik. Rafa. Mulai sekarang saya bosnya."
" Maksudnya apa?"
" Saya yang pegang kendali atas keuangan kamu."
Rafa sudah membuka mulut, ingin protes, namun Cantika segera mengatakan kelanjutannya, " karena kamu udah menghabiskan uang lima belas juta rupiah dalam waktu dua minggu, jadi saya kasih jatah kamu tujuh koma lima juta untuk dua minggu ke depan. Dan saya akan kasih kamu uang lima ratus ribu seminggu."
Rafa terkekeh, " serius kamu? Untuk makan aja bisa seratus ribu sehari."
" Aku serius, Rafa. Mana dompet kamu?" Cantika menyodorkan tangannya, melihat Rafa memandangi telapak tangannya yang putih tanpa melakukan apa-apa, " Rafa... ayolah. Katanya mau berubah."
Rafa mendengus kesal kemudian mengambil dompetnya di dalam laci, di bawah meja. Ia memberikan dompetnya kepada Cantika dengan terpaksa.
Cantika menerima dompet kulit berwarna cokelat tua itu dengan senyum mengembang. Rupanya, lelaki di depannya cukup penurut. Ia mengambil semua kartu yang ada di dalam dompet Rafa, kecuali KTP, Kartu asuransi, NPWP dan SIM. Mengecek isi dompet Rafa yang terdapat uang satu juta, Cantika mengambil setengah uang Rafa.
Dengan senyum lebar, ia mengembalikan dompet Rafa kepada pemiliknya yang melotot tak percaya. Rafa tampak mengecek isi dompetnya yang kering kerontang. Lelaki itu merasa sangat miskin sekarang. Rafa ingin protes, tapi ia ingat jika ia ingin berubah. Akhirnya yang dilakukan Rafa hanya mengelus dada.
" Kamu punya hp berapa?" Tanya Cantika lagi.
" Dua."
" Boleh liat?"
Rafa tak tahu apa rencana Cantika selanjutnya, yang jelas ia harus menuruti kemauan Cantika untuk sementara waktu. Lelaki itu memberikan dua ponselnya.
Cantika mengecek ponsel berwarna hitam dan putih dengan merk sama. Setelah sudah meminta Rafa membukakan kuncinya, Cantika mulai mengecek ponsel mana yang memiliki dompet elektronik dan M-banking. Dengan segala keberanian, akhirnya Cantika menyita ponsel putih Rafa karena di sana terdapat nyaris semua jenis dompet digital yang bisa saja digunakan jika sedang kepepet. Memberikan ponsel hitam milik Rafa, Cantika kembali tersenyum lebar.
" Rafa, ingat ya. Saya ambil semua ATM dan kartu kredit kamu. Saya juga ambil uang kamu lima ratus ribu. Saya juga ambil hp kamu yang punya banyak aplikasi e-wallet. Jadi, kamu cuma bisa pakai uang yang ada di dompet. Lima ratus ribu untuk seminggu. Artinya, kamu cuma punya jatah tujuh puluh satu ribu sehari. Kalau saya, pasti lebih dari cukup dengan uang segitu sehari. Saya harap kamu juga bisa cukup."
Cantika mengukir senyum yang sangat lebar.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!