...🍃...
...🍃...
...🍃...
"Aku mohon menikahlah dengan Mas Azam, Alina. Mbak mohon."
Sebuah permintaan dari seorang istri berdengung dalam pendengaran. Alina Inayah, seorang wanita berusia dua puluh empat tahun mematung dalam diam. Iris nya terus memperhatikan senyum lemah dari wanita yang tengah terbaring di atas brankar rumah sakit. Selang infus, alat pendeteksi jantung, berbagi macam alat medis menjadi peneman.
Bau obat-obatan menguar menembus indera penciuman. Alina mematung tidak bisa berkata apa pun. Lidahnya kelu dengan ucapan tercekat dalam tenggorokan. Apa yang barusan ia dengar bagaikan alat panah melesat tepat sasaran.
Bukan dengan cara seperti itu Alina ingin melepas masa lajangnya. Menikah menjadi salah satu cita-cita utamanya. Pelengkap separuh agama dan berjanji di hadapan Allah untuk hidup bersama menuju jalan kebaikan.
Namun, bukan dengan menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain.
"Tapi Mbak Yasmin. Mas Azam suami, Mbak. Apa yang Mbak pikirkan?" Alina tidak mengeri dengan pemikiran wanita itu.
Yasmin Zakiyyah, orang yang tadi menawarinya untuk menikah tersenyum lemah. Tangan wanita berumur dua puluh sembilan tahun yang dihiasi selang infus terulur menggenggam tangannya hangat. Alina terus memperhatikan wajah pucat nya dengan seksama.
"Mbak tahu. Itu sebabnya mbak minta kamu menikah dengan dia," jelasnya lagi.
Iris kecoklatan Alina bergulir melihat ke sepasang netra jelaga yang tengah memperhatikan mereka sedari tadi.
Rusdyan Azam Zabran, seorang pria berumur tiga puluh tahun itu membalas tatapannya. Secepat kilat Alina langsung melepaskan kontak mata dengannya dan kembali pada Yasmin. Satu gelengan diberikan, ia tidak mengerti kenapa keadaan menjadi runyam seperti ini.
Sudah bertahun-tahun ia mengenal Azam, seorang anak tunggal dari keluarga Zabran pengusaha properti di Ibu Kota Jakarta. Alina pun mengenal dengan cukup baik Yasmin yang kini masih menatapnya dengan sorot mata memohon.
"Kamu tahukan, Mbak mengidap penyakit Leukimia? Entah kapan donor sumsum tulang belakang itu akan ada. Mbak harap sebelum terlambat, sebelum semuanya terjadi. Mbak mohon menikahlah dengan Mas Azam," jelas Yasmin membuat Alina tidak mampu menahan air mata. Cairan bening itu meluncur begitu saja di kedua pipi. Dengan cepat ia pun menghapusnya kasar tidak mau memperlihatkan rasa kasihan.
"Ta-tapi, aku-"
"Kamu akan menikah denganku dua minggu lagi. Persiapkan dirimu untuk itu." Suara baritone menyela pembicaraan mereka.
Alina dan Yasmin menoleh pada Azam yang tengah berjalan mendekat. Tatapannya masih mengarah pada Alina dengan serius. Wanita itu pun buru-buru menundukkan pandangan.
"Aku mohon terimalah lamaran ini. Aku ingin menikahi mu, Alina. Lusa, aku akan langsung melamar mu di hadapan ibu," ujarnya lagi.
Alina tidak bisa mengatakan jawabannya sekarang. Dengan perlahan ia melepaskan tangan Yasmin seraya berkata, "beri aku waktu." Setelahnya ia pun pergi dari ruang rawat tersebut.
"Mas. Apa Mas pikir ini akan berhasil? Aku ingin melihat Mas menikah dengan Alina. Aku tidak bisa pergi dengan tenang jika Mas sendirian," oceh Yasmin yang kini menggenggam tangan suaminya erat.
Azam pun membalasnya lembut. Senyum hangat hadir di wajah tampan itu. Ia berjongkok di samping tempat tidur sang istri dengan sebelah tangan membelai puncak kepala berhijabnya.
"Kamu jangan khawatir semua akan baik-baik saja. Jangan berkata yang tidak-tidak, Sayang."
Suara dengan nada rendah itu menyapu pendengaran Yasmin. Ia bersyukur bisa memiliki seorang suami penyabar dan pengertian seperti Azam. Kecupan hangat pun mendarat di dahinya. Senyum keduanya menjadi pemandangan menggetarkan hati bagi seorang Alina yang tengah menyaksikan kebersamaan mereka di luar ruangan.
Di balik pintu berkaca itu Alina bisa melihat bagaimana sorot mata penuh cinta saling bergelora. Hati wanita mana yang tidak patah kala menyaksikan keromantisan rumah tangga tepat di depan matanya setelah permintaan pernikahan berlangsung.
Air mata terus saja mengalir tak tertahankan. Ia mendekap mulutnya kuat berharap isakkan tangis tidak keluar.
Merasa dipermainkan atau dibohongi? Alina tidak mengerti dengan keadaan yang terjadi.
Secepatnya ia mengasingkan diri dari rumah sakit. Ini sudah satu minggu berturut-turut ia datang untuk menjenguk atau menemani Yasmin. Setelah ia tahu jika istri dari orang yang begitu dermawan seperti Azam mengidap Leukimia dirinya tidak percaya.
Hari-hari kemarin masih teringat jelas dalam memori. Bagaimana perhatian dan tatapan penuh damba seorang Azam terhadap istrinya. Begitu pula dengan Yasmin, meskipun menahan sakit ia tetap bisa menebar senyum manis.
Alina tidak menyangka jika dihari ketujuh kebersamaannya dengan pasangan tersebut mengantarkan berita tidak terduga.
...***...
Sore ini langit terlihat kelabu. Awan hitam saling berkumpul menghalangi senja yang terkadang memberinya kebahagiaan. Perlahan rintik air hujan mengiringi kepergian Alina. Sepeninggalannya dari rumah sakit ia pergi ke kampung halaman. Dengan jarak tempuh yang lumayan panjang ia menaiki bus untuk pulang pergi.
Tidak banyak orang dalam kendaraan tersebut. Alina bisa dengan bebas menguapkan perasaan tidak menentu dalam dada. Suara gemuruh langit dan ban besar bergesekan pada aspal saling bersahutan. Saling berlomba siapa yang bisa mengenyahkan kegundahan.
"Ya Allah, bantu hamba dalam menangani masalah ini. Apa yang harus hamba lakukan?" gumamnya dalam benak.
Akhirnya setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam lamanya, Alina pun tiba disebuah bangunan sederhana di mana ia dibesarkan. Rintik demi rintik air hujan masih membasahi tanah gersang. Ia pun berlari dari halte menuju rumah.
Tidak lama berselang pintu terbuka menampilkan beberapa anak kecil menyambut kedatangannya.
"Assalamu'alaikum, Teteh pulang," ujarnya kemudian.
"Wa'alaikumsalam, Teteh." Teriak anak kecil tersebut kompak.
Mereka langsung mengurubunginya seperti menyambut kedatangan seorang ibu. Ada sepuluh anak kecil di sana. Enam anak laki-laki dan empat anak perempuan. Ada juga tiga gadis dan dua orang pemuda. Total ada lima belas orang mendekatinya. Alina menampilkan senyum cerah kala celotehan dari mereka terus berdengung.
"Anak-anak, biarkan Teteh nya ganti baju dulu." Suara ringkih wanita paruh baya menginterupsi.
Mereka pun segera menyebar seperti semut kehilangan gula. "Ibu, Alina pulang." Ia berjalan lalu menyalami tangan keriput wanita berhijab lebar itu.
"Eum, ada apa?" Hati seorang ibu memang tidak bisa dibohongi meskipun keduanya tidak memiliki hubungan darah. "Ah anak-anak ini hampir maghrib siap-siap untuk mengaji," lanjutnya membuat mereka mengangguk kompak dan menuruti perintah sang ibu.
Sepeninggalan mereka, kedua wanita yang terpaut perbedaan usia cukup besar tersebut duduk berdampingan di kursi kayu. Tangan yang selalu hangat merengkuhnya terus menggenggam tanpa melepaskan.
"Mbak Yasmin meminta Alina menikah dengan Mas Azam. Tadi, Mas Azam bilang lusa akan datang ke sini bertemu dengan ibu," jelasnya kemudian.
"Ya Allah. Nak, meskipun ibu bukanlah orang tua kandung, tapi yakinlah sebagai seseorang yang sudah membesarkan mu, ibu memahami keadaan ini. Nak, Yasmin memintamu menikahi suaminya bukan karena maksud tertentu. Tetapi, beliau menginginkan yang terbaik. Mungkin ini rencana Allah yang terbaik untukmu, Nak. Untuk keluar dari panti ini dan menemukan kehidupan yang lebih baik lagi."
Alina tidak kuasa membendung air matanya lagi. Ia langsung menghamburkan dirinya memeluk tubuh tidak muda lagi itu. "Ibu Aminah akan selalu menjadi orang tuaku. Meskipun ayah dan ibu kandungku sudah tiada, tetapi aku bersyukur bisa mendapatkan Ibu Aminah sebagai pengganti mereka."
"Ibu senang mendengarnya. Lupakan masa lalu, Sayang. Dan untuk pernikahan nanti anggap saja kamu membalas budi kepada Mas Azam karena sudah menjadi donatur tetap seperti orang tuanya." Mendengar penuturan tersebut Alina terkejut.
"Benar kata ibu. Dari aku kecil orang tua Mas Azam selalu menjadi donatur untuk panti ini. Bahkan sekarang sudah dilanjutkan oleh beliau. Ya Allah," monolognya dalam diam.
...Alina Inayah...
...Rusdyan Azam Zabran...
...Yasmin Zakiyyah...
...Sumber gambar : Pinterest...
Seperti yang sudah dibicarakan dua hari lalu, kini kedatangan Azam ke panti membawa sebuah lamaran. Tidak ada dekorasi indah ataupun makna manis di dalamnya, yang ada hanyalah niat dan juga tanggungjawab.
Di ruangan itu hanya ada mereka bertiga. Bu Aminah, Alina dan Azam. Sedari tadi wanita itu terus menunduk menghindari yang tidak diinginkan. Jantungnya terus berdegup kencang kala menunggu apa yang hendak di sampaikan pria beristri tersebut.
"Mungkin ibu sudah tahu niat ke datangan saya ke sini. Alina sudah mengatakannya?" Bu Aminah pun mengangguk singkat. "Saya ingin menjadikan Alina sebagai istri kedua. Saya sudah mendapatkan izin juga dari Yasmin. Bahkan beliau yang menginginkan saya menikahi Alina," jelas suara baritone itu.
Alina diam mematung, tidak tahu harus berbuat apa. Selama dua hari ini ia terus memikirkan jawaban apa yang hendak di katakan.
Sekuat tenaga ia menekan jari telunjuk menggunakan ibu jari guna menghilangkan keresahan.
"Ibu hanya bisa memasrahkan semua pada Alina. Karena yang akan menjalaninya anak ibu, ini. Ibu hanya akan mendukung keputusannya, tanpa memaksa."
Jawaban sang ibu membuatnya mendongak. Alina menoleh ke samping kiri melihat senyum hangat dari wajah tidak muda lagi itu.
"Ibu yakin dengan keputusanmu, Nak," lanjut Aminah seraya menatap ke dalam bola mata kecokelatan Alina.
"Jadi apa jawabanmu, Alina?" Azam pun menyela membuat ia kembali sadar.
Lama Alina tidak memberi jawaban dan Azam dengan setia menunggu. Sampai, "baiklah bismillah, insyaAllah... Alina menerima lamaran Mas Azam."
"Jawaban yang bagus. Baiklah, dua minggu lagi kita akan menikah. Kamu tidak usah melakukan apa pun biar saya yang mengurus semuanya. Persiapkan dirimu. Kalau begitu, saya permisi. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawab keduanya.
Tatapan Alina pun jatuh ke bawah, tidak menyangka akan menerima lamaran dari seorang pria yang sudah beristri.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Aminah melihat gelagatnya. Gelengan pun diberikan Alina.
"Kamu masih bisa membatalkan lamaran ini jika memang memberatkan mu."
Lagi, Alina hanya menggeleng. "InsyaAllah, aku siap Bu. Aku ingin balas budi atas kebaikan keluarga Mas Azam untuk kita selama ini. Bertahun-tahun mereka membantu panti, dan an hanya ini yang bisa aku berikan," ungkap Alina tulus.
Bu Aminah langsung merengkuhnya hangat. "Maa syaa Allah, semoga ini yang terbaik untukmu."
Alina tidak kuasa membendung kesedihan. Air mata itu tumpah di balik punggung ringkih sang ibu.
...***...
Akhirnya waktu yang tidak diinginkan kehadirannya datang juga. Hari di mana seorang Alina Inayyah melepas masa lajang. Waktu terasa begitu lama berlalu. Setiap detik yang terlewat hanya menyisakan kenangan tak berarti.
Sedari tadi ia terus menatap jam dinding yang berada di kamar. Ia merasa terjebak dalam masa yang sama. Seolah berada dalam sangkar yang tidak pernah melewati kurun. Terjerembab dalam jurang terjal layaknya tidak ada seorang pun yang bisa mengeluarkannya dari sana. Begitulah yang Alina rasakan. Pernikahan terjadi bukan karena adanya cinta, melainkan balas budi semata.
Hijab lebar membentang tertutup veil, mahkota kecil di atas kepala, serta bunga melati pertanda seorang pengantin wanita. Alina nampak cantik dalam balutan kebaya putih yang membalut tubuh mungilnya. Aroma bunga yang begitu menyeruak menyadarkannya, jika beberapa saat lagi ia akan resmi dipersunting oleh suami orang.
Setetes air mata jatuh kala perias pengantin mengakhiri kegiatannya. Wanita berhijab lebar itu mengerutkan dahi, heran.
"Apa ada sesuatu yang terjadi? Ah, pasti Neng bahagia yah bisa menikah hari ini?" pikir sang perias, bertanya senang.
Alina memaksakan senyum lalu menyapu pelan air mata dan sedikit meninggalkan jejak di kedua pipi. Wanita itu pun kembali memperbaiki riasannya.
"Maaf, Mbak."
"Tidak apa-apa atuh Neng, namanya juga hari bahagia." Perias itu masih dengan persepsi yang sama.
Alina mengangguk singkat dan menegakan kepala menyelam ke dalam bola mata kecokelatan terpancar dari cermin di hadapannya. Ia tersenyum miris kala kenyataan tidak seindah bayangan.
"Mbak salah, ini menjadi awal dari segalanya. Pernikahan pertama, tapi tidak untuknya. Kuatkan hamba ya Allah," monolog Alina membatin.
Waktu terus berlalu, acara akad pun tiba. Alina digandeng oleh beberapa orang keluar dari kamar rias. Di dalam masjid sudah banyak orang yang datang. Ternyata, meskipun ini menjadi pernikahan kedua bagi Azam, pria itu mengundang sanak keluarga serta beberapa teman.
Mungkin ia ingin memberikan pernikahan sebenarnya untukku? Pikir wanita itu. Namun, tetap saja hal tersebut tidak membuat Alina tersenyum senang, bahkan yang ada hanya menancapkan luka.
Ia pun akhirnya duduk tepat di belakang sang calon imam. Sedari tadi ia terus menunduk tidak kuasa mengangkat wajah. Sekilas ia bisa melihat lewat ekor matanya, istri pertama Azam duduk tidak jauh dari keberadaannya. Seraya memangku sang buah hati, Yasmin pun turut hadir dalam balutan gaun yang begitu menawan.
Wajah cantiknya tidak sedikitpun memperlihatkan kesakitan.
Ijab kabul pun tengah berlangsung. Azam begitu lancar mengatakannya tanpa salah sedikit saja, hingga kata "Sah" menjadi penanda jika sekarang Alina sudah benar-benar dipersunting olehnya. Bukan air mata kebahagiaan yang kini mengalir di pipinya melainkan, keresahan.
Setelahnya Alina di giring kembali untuk duduk bersebelahan dengan Azam, sesaat ia menoleh ke samping Yasmin yang tengah menyunggingkan senyum. Ada kepedihan di balik senyuman itu, tetapi istri pertama sang suami mencoba tegar. Ia tahu jika ada air mata yang berusaha di tahan.
"Wanita mana yang rela melihat suaminya menikah lagi? Se-tegar apa pun Mbak Yasmin menahannya, ini pasti terlihat sangat menyakitkan," benak Alina seraya duduk di samping sang suami.
Azam mengulurkan tangan seraya membawa cincin berlian untuk dipakaikan kepada istri baru. Dengan segala perasaan gundah-gulana, Alina memaksakan diri untuk menerimanya.
Pertukaran cincin pun terjadi. Kini ada dua benda tersemat di jari-jemari besar pria itu. Miris memang, tetapi Alina berusaha tegar.
Kecupan hangat pun terasa begitu hambar. Tidak ada cinta dalam pernikahan itu atau mungkin hanya Alina seorang diri yang merasakannya.
Tanpa seorang pun tahu, sudah bertahun-tahun Alina selalu mengagumi sosok Azam. Dari dulu orang tuanya selalu memberikan dana donatur untuk panti, Azam sering kali datang ke sana.
Sejak saat itu pula perasaan aneh yang menggerayangi hatinya berkembang cepat. Namun, saat tahu sosok yang dikaguminya hendak menikah, Alina berusaha mengenyahkannya. Siapa sangka takdir Allah tidak pernah ada yang tahu.
Ia datang dan menawarkan pernikahan, meskipun jauh dari bayangan.
"Aku tidak boleh mengambil keuntungan dari pernikahan ini. Ingat Alina! Dapatkan ridho Allah. Aku percaya Allah tengah menyiapkan sesuatu yang terbaik." Alina hanya bisa menguatkan dirinya sendiri.
Setelah ijab kabul selesai, kedua pengantin bergegas menuju pelaminan. Di sana, beberapa keluarga dan tamu undangan yang datang bergantian mengucapkan selamat. Sesi foto pun berlangsung, Alina sangat canggung jika disuruh menggandeng lengan kekar sang suami.
Bagaimana pun Azam bukan milik ia seutuhnya.
Di tengah hiruk-pikuk tersebut, samar-samar Alina bisa mendengarkan perkataan tidak mengenakan. Ia berusaha acuh tak acuh, tetapi tetap saja itu sangat sulit diabaikan.
"Kamu tahu ternyata dia jadi istri kedua?"
"Benarkah? Apa dia seorang pelakor?"
"Mana mungkin? Jika dia pelakor tidak mungkin diadakan pesta semewah ini, kan? Apalagi istri pertamanya juga datang."
"Ya Tuhan, sampai segitunya? Apa yang sebenarnya wanita itu pikirkan?"
"Jika bukan karena harta? Apa lagi? Mana ada wanita yang mau jadi istri kedua. Poligami memang diperbolehkan dalam agama kita, tapi harus tahu situasinya juga, kan?"
"Ah, kamu benar juga. Mungkin karena harta yang menjadi alasannya."
"Kan?"
Sakit, sangat sakit Alina rasakan. Di hari pertama pernikahan yang seharusnya penuh dengan suka cita, ia hanya merasakan duka. Sedari tadi ia terus berusaha menahan air mata yang berkali-kali mencoba untuk keluar.
"Jangan pedulikan. Anggap saja angin lalu."
Suara berat Azam seketika mengejutkan. Ia berbisik tepat di samping telinga kanannya.
Alina hanya bisa mengangguk pelan seraya menahan perih.
Bagaikan pecahan kaca, luka tak kasat mata menjadi penentu hari pernikahan paling bersejarah sepanjang hidup seorang Alina.
Setelah selesai acara, kedua mempelai mendapatkan waktu untuk bersama. Namun, keadaan itu bagi mereka yang memiliki pernikahan normal, tidak untuk Alina.
Wanita berusia dua puluh empat tahun itu harus mendekam seorang diri di kamar pengantin. Ruangan berbentuk kotak nan luas tersebut terdiri dari tempat tidur besar, lemari pakaian bercat putih bersih, jendela lebar, sofa panjang di sudut ruangan, meja rias dan beberapa perlengkapan lain menemani kesepian.
Sudah hampir tiga puluh menit, Alina duduk termenung ditepi tempat tidur. Berkali-kali ia menghela napas pelan mencoba meredam gemuruh dalam dada. Sesak yang tidak berkesudahan menimbulkan kepedihan.
Bosan, sang suami tak kunjung datang ia memutuskan keluar. Baru saja kakinya melangkah meninggalkan kamar, ia harus berhenti diambang pintu. Iris jelaganya menatap lurus ke depan menangkap dua sosok yang sudah tidak asing lagi.
"Yasmin, hidungmu berdarah lagi Sayang. Ayo kembali ke kamar biar Aqeela bersama Alina dulu."
Azam menuntun istri pertamanya ke kamar utama. Ruangan yang terletak di lantai dua itu membuat tatapan Alina tidak pernah lepas dari mereka. Setelah menghela napas lagi ia memutuskan kembali masuk.
Tidak lama berselang pintu kamar terbuka menampilkan sosok tegap seorang pria yang sudah sah menjadi suaminya. Ia tidak sendirian, ada seorang bayi mungil yang baru genap dua bulan dalam buaiannya. Alina bangkit dari duduk berjalan mendekat.
"Aku tidak bisa menemanimu, Yasmin lebih membutuhkan ku. Malam ini bisa kamu menjaga Aqeela dulu?"
Alina mengangguk samar, Azam pun langsung menyerahkan buah hatinya ke dalam dekapan istri kedua.
Setelah memberikan bayi perempuan itu Azam kembali keluar. Alina terdiam mematung di tempat bertepatan dengan sosoknya memantul dalam kaca rias. Kepala berhijab serta masih lengkap dengan make up pengantin itu menoleh. Maniknya menatap ke dalam bola matanya sendiri di sana.
Betapa menyedihkan seorang Alina dalam balutan kebaya ia tengah memangku seorang bayi kecil. Seharusnya sekarang ia melewati malam pengantin bersama suaminya. Namun, pria itu memilih untuk menemani istri pertama.
"Ya Allah kuatkan lah hamba. Aqeela Sayang, temani Mamah malam ini yah."
Entah kenapa setelah bertemu dengan bayi dalam gendongannya saat seminggu lalu Alina sudah sangat menyayanginya. Ia tidak bisa menolak keberadaan malaikat kecil itu dalam kehidupannya.
Di lantai atas, Azam begitu cekatan membantu sang istri dalam perawatan. Penyakit yang kian hari menggerogoti nyawa Yasmin membuat wanita itu tidak berdaya. Malam ini hidungnya kembali mengeluarkan darah kental, hal tersebut menjadi ketakutan bagi Azam. Pria itu tidak ingin kehilangan sosok wanita yang benar-benar ia cintai.
"Kembalilah, Alina pasti menunggumu," titah Yasmin lemah.
"Tidak! Aku tidak mau meninggalkanmu, Sayang." Azam mengelus lembut puncak kepala sang istri.
"Tapi ini malam pengantin kalian. Aku tidak apa-apa, semua baik-baik saja. Kembalilah." Azam lagi-lagi hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.
Yasmin bisa mengangguk maklum jika suaminya begitu keras kepala. Namun, tetap saja ia merasa bersalah kepada Alina sudah menghancurkan malam pengantinnya. Setelah tidak ada perbincangan lagi mereka pun berbaring bersama.
Azam begitu erat memeluk tubuh ringkih sang istri dari belakang. Ia membenamkan wajah tampannya di balik ceruk leher Yasmin. Ia bisa merasakan hangat tubuh sang terkasih semakin lemah.
"Aku tidak ingin kehilanganmu. Bertahanlah, aku mencintaimu," bisik nya pelan.
Yasmin menggenggam erat kedua lengan kekar di perutnya lalu mengangguk samar. Ia tidak bisa menolak takdir kala Allah memanggilnya nanti. Ia sudah pasrah atas apa yang akan terjadi.
...***...
Alina terbangun dari tidur saat bayi mungil di sampingnya menangis kencang. Ia pun langsung menggendongnya dan berusaha menenangkan. Namun, tetap saja Aqeela tidak bisa berhenti menangis.
"Sayang, apa kamu lapar? Mamah buatkan susu, yah," bisik Alina lalu keluar kamar seraya menggendong Aqeela.
Buru-buru ia menuju dapur untuk membuatkannya susu. Namun, langkahnya terhenti saat melihat sosok yang tengah duduk di meja makan.
Tidak lama berselang ia berjalan perlahan mendekat.
"Mbak Yasmin? Kenapa Mbak di sini? Ini masih tengah malam." Alina terkejut kala mendapati istri pertama dari suaminya berada di sana.
Yasmin menoleh, bola matanya mengikuti Alina yang duduk di depan. Ada sang buah hati dalam buaian wanita itu. Senyum lemah pun turut hadir mengiringi kepedihan dalam luka.
Alina tahu sangat sangat mengerti bagaimana hancurnya seorang istri yang mengetahui suaminya menikah lagi. Terlebih ia sendiri yang mengizinkan dan menginginkan hal itu terjadi, serta sekarang ia tengah menggendong buah hati mereka.
Ada perasaan tidak enak menghantui diri Alina, tetapi, kenyataan sudah terjadi.
"Alina, Mbak minta maaf," ujar Yasmin lemah.
Tangan putih pucat itu terulur dan menggeman tangan kanan Alina yang bebas.
Pengantin baru itu pun tersentak dibuatnya. "Ke-kenapa Mbak Yasmin meminta maaf?"
"Karena seharusnya malam ini adalah malam pengantin kalian, tapi Mas Azam malah tidur bersama ku dan digantikan oleh Aqeela." Kembali lengkungan bulan sabit yang redup akan sinarnya hadir mengiringi wajah letih Yasmin.
Alina menggelengkan kepala beberapa kali. "Mbak tidak perlu minta maaf. Lagipula, pernikahan ini terjadi karena ada hitam di atas putih. Bukan tanpa cinta. Aku baik-baik saja. Lebih baik Mbak kembali ke kamar. Udara malam tidak baik untuk kesehatan. Aku juga senang bisa bersama Aqeela, dia putri yang cantik," ujarnya dengan senyum tulus. Yasmin bisa melihat keikhlasan yang terpancar di sana.
"Kamu ibu yang baik untuk Aqeela."
Alina hanya bisa tersenyum menimpalinya. Ia pun lalu beranjak dari duduk dan membantu Yasmin menuju lantai dua.
Ia memapahnya sangat berhati-hati, bagaikan mutiara yang harus dijaga dengan baik. Cacat sedikit saja maka nilainya akan turun. Itulah yang saat ini Alina pikirkan.
Jika sesuatu terjadi pada Yasmin mungkin Azam akan membencinya. Alina tidak ingin sampai hal itu terjadi. Dengan susah payah seraya menggendong Aqeela, ia berusaha membantu wanita itu.
Baru saja mereka mencapai pertengahan anak tangga, di ujung sana Azam berdiri seraya menatap keduanya. Alina terkejut bukan main kala sorot mata mengintimidasi begitu kental di arahkan padanya. Seketika ia menundukkan kepala menghindari tatapan itu.
"Kenapa kamu keluar, Sayang?" Azam berjalan cepat mendekat lalu mengambil alih Yasmin dari rangkulan Alina.
Hentakan yang lumayan kasar pada dirinya membuat Alina tersentak kaget. Ia tidak mengerti kenapa Azam bisa bersikap seperti itu. Ia pun mendekap erat tubuh bayi mungil tersebut. Alhamdulillah, tangisan Aqeela sudah mereda dan kini kembali tertidur nyenyak.
"Apa aku salah membawa istrinya kembali?" benaknya gamang.
"Aku haus," balas Yasmin dengan suara lirih.
"Kamu bisa membangunkan ku atau meminta Alina untuk mengantarkannya. Tidak usah pergi dari kamar. Ayo kembali tidur."
Entah sengaja atau tidak Azam merangkul mesra pinggang ramping istri pertamanya dan menjauhi Alina.
Bak patung yang baru selesai dipahat, wanita bermanik kecoklatan itu termangu di tangga. Kedua bola matanya terus memantau sepasang suami istri tersebut. Sakit. Perasaan itu tiba-tiba saja mencuat ke permukaan.
"Ya Allah kuatkan lah hamba," lirih Alina seraya semakin mengeratkan dekapan pada sang anak sambung.
Ia kembali teringat pada seminggu sebelum pernikahan. Azam menyodorkan selembar kertas yang berisi beberapa perjanjian di dalamnya. Di sana banyak sekali kata-kata yang membuat Alina hampir menyerah pada pernikahan. Namun, melihat kondisi Yasmin, ia tidak bisa menolak, hanya mampu membubuhkan tanda tangan sebagai pengabdian.
Sebelum kedua kakinya kembali melangkah, Azam lebih dulu keluar dari kamar. Langkah tegap yang terdengar nyaring itu mendatanginya lagi. Alina mendongak kala mendapati suaminya.
"Jangan sampai kamu menyakiti, Yasmin. Aku tidak akan memaafkan mu jika sampai itu terjadi. Ingat posisimu di rumah ini. Hanya sebagai ibu untuk Aqeela dan suster pribadi Yasmin. Mengerti!" Tekan Azam seraya mencengkram erat lengan kanan Alina.
"A-aku mengerti, Mas," cicitnya sendu.
"Baiklah, kembali ke kamarmu. Jangan harap kita bisa tidur bersama."
Setelah mengatakan itu Azam kembali menuju lantai dua. Dengan perasaan terluka Alina pun menuju kamarnya berada.
Di balik pintu ia menumpahkan semua kepedihan dalam dada. Bola matanya bergulir ke bawah melihat bayi mungil itu tengah terlelap. Luka baru tumbuh begitu saja. Alina berusaha meredam isak tangis yang berusaha mencuat.
"Ya Allah, hamba hanya minta kuatkan lah lagi," bisik nya pelan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!