'Setelah sekian lama Aku pergi meninggalkan kota ini, akhirnya Aku kembali.' Gumam Al dalam hati.
Kerinduan yang dia pendam hampir terobati. Meskipun mungkin tidak sesempurna dulu lagi.
Hari ini untuk pertama kalinya Al kembali memijakkan kakinya di kota kelahirannya.
Kota kecil yang sudah banyak berubah semenjak kepergiannya.
"Dengan Mas Alfatih ?" Tanya seorang driver Taxi online yang beberapa saat lalu dia pesan.
"Oh, iya Pak."
"Mari, silahkan." Ucapnya sembari membukakan pintu mobil agar si penumpang segera masuk.
"Terimakasih." Jawab Al singkat.
"Kita menuju lokasi sesuai yang ada di aplikasi Mas ?" Tanyanya kembali dengan sopan.
"Iya Pak, sesuai yang saya set pada aplikasi."
"Baik Mas."
Suasana terasa hening. Driver Taxi online sedang berkonsentrasi dengan kemudiannya. Sedangkan Al masih sibuk dengan pandangan matanya ke luar kaca jendela.
"Mas baru datang dari luar kota ?" Tanya driver Taxi online memecah kesunyian.
"Oh .. iya Pak, saya baru datang dari luar negeri." Jawab Al.
"Mas bekerja atau dalam perjalanan wisata ?" Tanyanya kembali.
"Saya sudah lama menetap di luar negeri, sejak mulai melanjutkan sekolah tinggi hingga melanjutkan usaha di sana."
"Wah... hebat sekali, jadi ini kembali ke Indonesia dalam rangka liburan ya Mas ?" Tanya si Bapak semakin penasaran.
"Mengunjungi orang tua Pak, sudah lama saya tidak bertemu Beliau."
"Pasti kedua orang tua Mas Al bangga punya putra seperti Mas Alfatih, sudah ganteng, pinter, sukses lagi." Pujinya membuat suasana semakin ramah.
"Aamien. Tapi sayangnya, saya harus kembali disaat yang kurang tepat Pak."
Ada nada sedih yang terlihat pada raut wajah Al.
"Memangnya kenapa Mas ? Maaf kalau Bapak jadi kurang sopan menanyakan hal ini."
"Gakpapa Pak, saya harus pulang ke Indonesia karena dua hari lalu, Ayah saya meninggal." Kata Al menjelaskan.
"Innalilahi wainnailaihi roji'un...turut berdukacita ya Mas, semoga Beliau Husnul Khatimah."
Percakapan mereka terdengar semakin akrab.
Suasana kembali hening untuk sesaat.
"Ayah Mas meninggal karena sakit ?" Tanyanya, kembali ingin tahu.
"Beliau meninggal karena kecelakaan Pak."
"Astagfirullah...maaf Mas, Bapak tidak tahu."
"Tidak apa-apa Pak."
Tak terasa, obrolan itu membuat Al tidak menyadari, kalau mereka sudah sampai di tempat tujuan.
"Kita sudah sampai sesuai lokasi Mas." Kata driver Taxi online menunjukkan tanda merah di aplikasi handphonenya.
Alfatih masih duduk terdiam di bangku penumpang. Pandangan matanya tertuju pada sebuah rumah yang sudah lama sekali dia tinggalkan.
Sebuah rumah dengan bangunan etnik modern yang pernah dia tempati dulu. Kenangan masa kecil masih terlintas jelas di matanya.
Dimana dia selalu menghabiskan waktu bermain bersama ayahnya dulu.
"Mas Al, apa saya berhenti di tempat yang kurang tepat ?" Tanya Bapak sopir heran.
Al masih diam tak menjawab. Entah karena tidak dengar, atau memang sengaja tidak menjawabnya.
"Mas Al ?" Panggilnya lagi.
"Oh, iya. Maaf, saya kurang memperhatikan tadi." Jawab Al terbata.
Entah apa yang sedang dia rasakan saat ini. Hatinya sangat gundah, beribu pertanyaan menghantui pikirannya.
'Apa aku sanggup melihat kondisi Bunda saat ini ? Dan apa yang harus aku lakukan selanjutnya ?'
Berbagai pertanyaan mengelilingi hati dan pikiran Al saat ini.
"Mas Al, apa ada yang salah ?" Tanya si Bapak lagi, saat melihat penumpangnya mulai bergerak membuka pintu mobilnya.
"Oh, maaf Pak." Ucapnya sembari memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu kepada Bapak pengemudi taxi online.
"Eh Mas Al, ini kebanyakan. Satu lembar saja masih harus kembali, ini banyak lembar." Ucapnya sambil tertawa kecil.
"Gak papa Pak, itu kembaliannya buat Bapak semua."
"Jangan Mas, ini terlalu banyak."
"Tidak apa-apa Pak, ini bonus untuk Bapak." Ucap Al sembari tersenyum ramah.
"Masya Allah...beneran ini Mas ?"
"Iya Pak, terimakasih sudah mengantarkan."
"Itu sudah kewajiban saya Mas, saya yang seharusnya berterimakasih, semoga Allah senantiasa memberikan kebahagiaan, kesehatan dan rezeki yang berlimpah buat Mas dan keluarga."
"Aamiin, terimakasih Pak."
Kendaraan yang dia tumpangi sudah pergi menjauh. Namun, lagi-lagi Al masih berdiri terpaku di depan pagar halaman rumahnya.
"Alhamdulillah, Mas Al !" Teriak Pak Slamet dari dalam.
Pak Slamet adalah seorang penjaga sekaligus orang kepercayaan Ayahnya untuk mengelola perkebunan milik keluarga besar Arya Kamandanu.
"Assalamu'alaikum Pak."
"Wa'alaikumsalam Mas, Mas Al sehat ? Ibu pasti bahagia melihat Mas Al datang." Ucapnya setelah si Tuan rumah memasuki halaman rumahnya.
Al sengaja tidak kasih kabar sebelumnya, kalau dia akan pulang ke Indonesia waktu itu. Al hanya tidak mau merepotkan semua orang yang harus sibuk menyambut kedatangannya.
Usai bertanya kabar dan sedikit berbincang, Al bergegas menuju rumahnya untuk segera bertemu dengan Bunda tercinta.
'Betapa bahagianya Bu Arum, saat bertemu Mas Al nanti.' Gumam Pak Slamet dalam hati.
Rasa penasaran, menggerakkan kakinya untuk melangkah mengikuti kepergian majikan mudahnya.
Perlahan tapi pasti, Al berjalan memasuki ruang utama. Disana masih terlihat sepi. Ruang kosong yang hanya beralaskan tikar itu seolah merasakan kedatangan seorang putra mahkota yang lama telah hilang.
Semakin masuk ke dalam, semakin dia rasakan aroma kasih sayang seorang ibu yang telah lama dia rindukan.
Dari kejauhan, terlihat betapa kokohnya punggung yang saat ini sedang membelakanginya.
🎶🎶🎶🎶
Tak lelo, lelo, lelo ledung
Cep meneng ojo pijer nangis
Anakku sing ayu rupane
Yen nangis ndak ilang ayune
🎶🎶🎶🎶
Sayup-sayup terdengar alunan tembang jawa yang begitu menenangkan jiwa.
"Kalau tidak ada Genduk Nindya mungkin Bu Arum masih larut dalam kesedihan Mas." Bisik Pak Slamet yang sempat mengagetkanku.
°Anindya Sekar Kinasih
Cucu pertama Bunda, putri dari Sekar Kinanti, adik perempuan kesayangannya.
Masih pada posisi duduknya di kursi malas, dengan tembang penghantar tidur yang semakin lirih terdengar, Bunda Arum membelai lembut anak rambut seorang bocah yang ada di pangkuannya.
"Assalamu'alaikum Bunda." Ucap Al lirih.
"Wa'alaikumsalam warohmah..."
Ucapan Bunda Arum terhenti, seakan menyadari siapa pemilik suara yang ada di belakangnya saat itu.
Perlahan Bunda Arum mulai memutar tubuhnya dengan enggan. Entah karena takut jika seorang anak di pangkuannya akan terbangun atau karena masih belum percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Bunda..."
Rasanya tidak sabar Al menunggu Arum berdiri dan menyambut kedatangannya. Al segera memeluk tubuh Arum dari yang belum sempat dengan jelas melihatnya.
"Alfatih, putraku..." Kata Arum terbata.
Pak Slamet yang ada diantara mereka dengan sigap mengambil alih Nindya dari pangkuan Bunda Arum.
Arum segera berdiri dan memeluk erat putranya. Kerinduan yang dia rasakan bertahun-tahun, seakan terobati sudah.
Isak tangis keduanya terdengar memilukan. Derai air mata mengalir deras membasahi pipi.
"Maafkan Al Bunda, Maafkan Al Bunda..." Kalimat itu tak henti-hentinya keluar dari bibir Alfatih.
Seolah dia yang bersalah atas kepergian orang-orang yang sangat berarti di dalam hatinya.
"Semua sudah menjadi kehendak-Nya Nak, Bunda sudah ikhlas." Jawab Arum meyakinkan dirinya sendiri.
Tidak ada seorangpun di dunia ini yang tidak sedih dengan kepergian orang-orang yang kita sayangi, meskipun hanya sebentar atau bahkan untuk selamanya.
__________________
__________________
__________________
Rumah yang dulunya selalu ramai, kini tampak sepi. Terlebih pagi ini, langit terlihat gelap, mendung pekat menyelimuti.
Di ujung koridor sana, berdiri seorang Alfatih. Matanya tertuju pada gumpalan hitam di atas langit. Entah apa yang sedang dia pikirkan.
Apakah dia menunggu kapan jatuhnya air dari langit ?
Ataukah dia merasakan, gelapnya langit pagi ini segelap suasana hatinya.
Sunyi, sepi bagai tak ada kehidupan. Hanya semilirnya angin pagi yang dia rasakan.
Sesekali rengekan tangis seorang bayi terdengar di telinganya.
Ya...itu suara Nindya, seorang bocah yang harus meniti hari nanti tanpa kedua orangtuanya dan itu akan menjadi tugas utama Alfatih Kedepannya.
Dari balik kaca jendela dia melihat Pak Slamet sedang membersihkan halaman tengah. Sebuah taman kecil yang menjadi favorit keluarga Danu sejak dulu.
Dengan langkah tegap tanpa suara, Alfatih berjalan mendekatinya.
"Mas Al..." Sapa Pak Slamet.
Yang disapa hanya mengangguk hormat.
"Dulu...ditempat ini Bapak sering bersantai menikmati semilirnya angin pagi. Sambil ditemani secangkir kopi tawar dan cemilan ala ndeso Mas." Ceritanya kepada Alfatih.
"Di tempat ini pula, Non Kinan menghabiskan hari-harinya dengan duduk memeluk lutut, menumpahkan air mata setelah Mas Al bilang kalau tidak bisa hadir di hari pernikahannya." Lanjutnya.
"Saya berusaha menenangkan hatinya dengan berbagai cara, namun tidak ada hasilnya." Ucapnya sembari mengingat masa lalu.
"Biarkan saja Pak, biar dia tumpahkan kekesalan hatinya dengan menangis... begitu kata Bapak kala itu."
Bukan sekedar bercerita, namun Pak Slamet mulai larut dan kembali pada keadaan di masa lalu.
Masa dimana keluarga ini masih utuh. Masa dimana ada suka dan duka yang ikut dia rasakan. Pak Slamet bukan lagi orang lain yang ikut bekerja di keluarga Kamandanu, tapi sudah seperti kerabatnya sendiri.
Memang benar apa yang Pak Slamet ceritakan. Kinanti benar-benar marah kapada Al karena ketidakhadiran dia di hari pernikahannya.
Masih terngiang jelas di benaknya betapa adiknya itu sangat kecewa.
'Ayah, Kinan, maafkan aku...coba jika aku tidak mementingkan egoku waktu itu, pasti kita masih bisa bertemu dan aku ikut merasakan kebahagiaan yang kamu rasakan.' sesalnya dalam hati.
•Flastback On
"Kinan mohon kak, moments ini hanya sekali seumur hidup Kinan, dan Kinan berharap kehadiran Kakak." Rengeknya memohon.
"Maafkan Kakak Kinan, Kakak tidak bisa hadir di hari bahagiamu." Jawab Al melalui sambungan telepon.
"Jadi Kakak tega melihat Kinan melenggang sendiri tanpa ketidakhadiran Kakak ? Apa Kakak sudah tidak sayang lagi sama Kinan ?" Kata Kinan mulai kesal.
'Maafkan Kakak Kinan, entah apa yang Kakak rasakan ? Tapi Kakak benar-benar tidak sanggup melihatmu bersanding dengan pria lain.' Keluh Al dalam hati.
"Hallo Kak ? Kakak masih disana ? Hallo..."
"I...iya hallo." Jawab Al mulai tersadar setelah volume Kinanti semakin terdengar meninggi.
"Kakak dengar Kinan gak sih !"
"Iya, Kakak dengar. Tapi harus bagaimana lagi, Kakak tidak bisa meninggalkan pekerjaan Kakak."
Klotaakkk...!
"Aauu..." Teriak Al saat telinganya terasa sakit mendengar gemeletak gagang telepon yang ditaruh paksa.
"Hhuufff....Kinan Kinan, sudah mau menikah, tapi sikapnya masih seperti anak kecil." Gumamnya sendiri.
Kesal dengan apa yang dikatakan kakaknya, Kinan meletakkan gagang telepon dengan kasar, dan berlari menuju ruang tengah dimana ada Ayah dan Bunda Arum disana.
"Kenapa Nak ?" Tanya Bunda yang mendapati putrinya duduk menangis dengan wajah suram.
"Kakak Bunda, Kakak tidak bisa pulang di hari pernikahan Kinan. Acara tunangan dan lamaran, Kakak tidak bisa datang. Itu masih Kinana maklumi. Tapi kali ini, Kakak benar-benar kelewatan Bunda." Rengeknya kesal.
"Kinan, Kakak seperti itu pasti bukan tanpa alasan. mungkin memang ada hal yang tidak bisa dia tinggalkan." Kata Bunda mencoba menenangkan.
"Kinan gak peduli, kali ini Kakak harus pulang. Jangan sampai dia menyesal nanti." Ucapnya sambil berlalu menuju taman tengah tempat dimana Kinan melampiaskan kekesalannya.
Melihat sikap putrinya, Ayah Danu segera meraih handphonenya dan menghubungi Al kembali.
Sedangkan di sebrang sana, Al masih mondar mandir memikirkan apa yang barusan terjadi.
Kring....kring...
Tak selang berapa lama, handphone Al berdering kembali.
"Hallo, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam Al." Kali ini Ayah Danu yang menghubunginya.
'Pasti Kinan sudah mengadu banyak tentang hal tadi.' Pikirnya dalam hati.
"Barusan Kinan cerita, katanya kamu tidak bisa pulang ke Indonesia di hari pernikahan Kinanti bulan depan ?" Tanya Ayah Danu tanpa basa-basi.
'Benar dugaan saya, pasti sekarang Ayah Danu yang akan membujukku untuk pulang.' Gumamnya sendiri.
"Hallo Al ?"
"Eh...iya Ayah, maafkan Al. Masih banyak pekerjaan yang harus Al selesaikan di sini. Jadi kemungkinan besar, Al belum bisa pulang ke Indo." Jawabnya mencari alasan.
"Pernikahan adikmu masih akhir bulan depan, masih ada waktu satu bulan kedepan. Ayah mohon Al bisa usahakan pulang." Pinta Ayah Danu kembali.
"Insha Allah Yah...Al tidak janji, tapi akan Al usahakan."
"Iya Nak, Ayah ingin kita bisa berkumpul bersama di moment bahagia Kinanti nanti."
"Iya Ayah."
Meskipun jawaban 'Iya' belum bisa dia pastikan kebenarannya, tapi minimal sudah bisa membuat hati Ayahnya tenang. Walaupun hatinya sendiri kacau balau.
Hati memang tidak bisa dibohongi. Perasaan yang dulunya sayang telah berubah menjadi cinta.
Namun, rasa itu tak berani dia ungkapkan. Hingga akhirnya yang di sayang akan menjadi milik orang.
Gini kata 'sesal' yang pernah Kinan ucapkan benar-benar terjadi. Sebuah penyesalan harus Al rasakan setelah kepergian orang-orang yang dia sayang.
•Flashback Off
"Mas Al..." Panggil Watik mengagetkan.
Yang dipanggil hanya memutar sedikit lehernya ke arah suara.
"Bunda mencari Mas Al dari tadi."
"Hhmmm." Gumamnya sembari berlalu.
"Eleh - eleh...ada ya makhluk sedingin itu, tapi gak papalah, gantengnya itu lo...langka. upssss, hehehehe..." Gumam Watik tanpa ada seorangpun yang mendengar.
Watik, asisten rumah tangga yang kemana-mana dulu turut serta bersama Kinanti. Dan sekarang masih tetap menetap bersama Bunda Arum.
Dia kembali ke habitatnya di dapur, setelah tuan muda Alfatih, hilang dari pandangan matanya.
"Bunda memanggil saya ?" Tanya Al yang mendapati Bunda Arum di pendopo depan.
"Hari ini, hari ke tiga kepergian Ayah dan Adikmu Al. Apa rencanamu kedepannya ?" Kata Bunda Arum datar.
Sembari menghela nafas panjang, Alfatih duduk bersimpuh di hadapan Bundanya.
"Bunda, jangan terlalu larut dalam duka. Masih ada Al disini."
"Iya Le ... Bunda ikhlas, Bunda bersyukur masih ada kamu di dekat Bunda." Kata Beliau sembari mengusap manja kening dan rambut putranya.
"Hari ini, Al akan pergi ke makam ayah dan Kinanti. Bunda mau ikut serta ?" Tanya Alfatih menawarkan.
Bunda Arum hanya menganggukkan kepalanya. Rasa bahagia dan sedih masih menyelimuti hatinya.
Bahagia karena putranya kini telah kembali, namun kebahagiaan itu harus diiringi dengan kesedihan karena kepergian kedua belahan jiwanya.
_____________________
_____________________
_____________________
Setelah empat puluh hari masa berkabung, hari ini hari pertama Alfatih pergi ke kantor. Tempat dimana Almarhum Ayahnya mengembangkan bisnis.
Sebenarnya, masih banyak hal yang perlu Al pelajari dari sang ayah. Danu begitu gigih mengembangkan bisnisnya. Mulai dari bisnis transportasi sebagaimana profesinya dulu, sampai bisnis properti dia jalani.
Membutuhkan pemikiran yang matang dan waktu yang tidak sebentar untuk bisa mencapai sebuah puncak kesuksesan.
"Pagi Bunda." Sapa Al di meja makan.
"Pagi Nak, kamu siap ke kantor pagi ini ?" Tanya Bunda saat melihat putranya sudah rapi pagi itu.
"Insha Allah Al siap Bunda." Jawabnya penuh keyakinan.
"Baguslah, Bunda yakin, kamu lebih mampu dalam hal ini."
"Mohon doanya Bunda, Al akan berusaha lebih baik." Kata Al yang belum sempat menikmati sarapan paginya.
"Tentu Nak, Oh ya... sebentar lagi Reza akan datang kerumah." Kata Bunda sembari meletakkan secangkir teh hangat yang sudah berhasil membasahi tenggorokannya.
"Reza ?" Ucap Al, sembari mengingat-ingat, siapa pemilik nama yang Bunda Arum sebutkan tadi.
'Rasa - rasanya, baru pertama kali nama itu aku dengar.' Pikirnya dalam hati.
"Dia orang kepercayaan ayahmu di kantor. Putra tunggal Almarhum Pak Arman. Usianya masih muda, tapi loyalitasnya terhadap perusahaan sangat besar." Terang Bunda seakan bisa membaca apa yang sedang Al pikirkan.
Al mengangguk mendengar keterangan Bundanya. Hanya dengan sedikit cerita dari sang Bunda, Alfatih sudah paham siapa Reza dan Pak Arman.
Sebelum meninggal karena sakit yang telah lama diderita, Pak Arman adalah orang kepercayaan Ayahnya. Dan saat ini, ada Reza putra dari Pak Arman yang akan menjadi asisten pribadi Alfatih nantinya.
Tidak mudah bagi Al untuk langsung percaya kepada orang lain begitu saja. Apalagi orang itu baru dia kenal. Namun bagi Al, apapun yang keluar dari bibir Bunda Arum adalah sebuah amanah yang harus dia jalani.
"Bu Arum, Mas Reza sudah menunggu di pendopo depan." Kata Pak Slamet.
"Oh...iya, Sebentar lagi saya ke depan."
"Saya permisi dulu Bu, mari Mas Al."
"Iya, terimakasih Pak."
Tidak mau tamunya menunggu terlalu lama, Bunda segera berdiri menuju pendopo. Begitupun Alfatih, yang mengikuti langkah Bunda Arum, usai menyelesaikan sarapannya.
"Pagi Za, sudah sarapan ?" Sapa Bunda Arum.
"Pagi Bu Arum, Alhamdulillah sudah tadi di kantor." Nadanya terdengar seperti curhat. Maklum jomblo, semua serba sendiri.
Reza segera berdiri dari tempat duduknya, setelah melihat kedatangan majikan mudanya.
"Selamat pagi Pak Al." Ucapnya.
"Pagi." Jawab Alfatih setengah mengangguk membalas salam hormat calon asistennya.
Usai basa-basi dan memperkenalkan diri, Alfatih dan Reza segera berangkat menuju kantornya. Sengaja tidak diumumkan kepada seluruh karyawan atas kedatangannya hari ini.
"Tidak usah, saya ingin lihat bagaimana karakter mereka jika ada orang baru di lingkungan kerjanya." Kata Al saat Reza menawarkan diri untuk mengadakan meeting sebagai perkenalan kedatangannya.
Bahkan, sebelum keluar dari dalam mobil, Al melemparkan jas yang dia kenakan ke dalam jok belakang mobilnya . Penampilannya saat ini sama seperti karyawan kantor lainnya.
Meskipun ada rasa heran dengan sikap tuan mudanya, namun Reza sudah sangat paham apa yang harus dia perbuat.
Sedikit banyak Reza sudah memahami bagaimana watak dan karakter majikan mudanya. Sebelum Almarhum Ayah Danu meninggal, Beliau sudah banyak bercerita tentang putra sulungnya itu.
"Selamat pagi Pak Reza." Sapa beberapa karyawan kepada Reza, saat mereka mulai memasuki ruang utama.
"Pagi."
"Pagi Pak."
"Pagi."
Memang, selama kepergian Almarhum Danu, Reza yang ambil kendali semua urusan pekerjaan. Dan belum ada yang tahu siapa orang yang berada di sampingnya saat itu.
°Reza Firmansyah
Putra dari Arman Firmansyah, tangan kanan Almarhum Arya Kamandanu. Hutang budi, yang membuat Reza harus patuh dan ikhlas menerima amanah dari sang ayah untuk selalu siap membantu keluarga Kamandanu.
Dan inilah babak pertama, kesabaran Reza harus diuji dengan sikap keras kepala seorang Alfatih.
"Saya mau ruangan saya di renovasi, jangan ada tempelan - tempelan apa itu, saya tidak suka !" Kata Al sengaja bersikap keras dan sedikit arogan, ketiga mereka hanya berdua di ruang kerja Almarhum Danu.
"Ini juga, buang semua. Bikin kotor saja." Ucapnya lagi.
"Baik Pak." Jawab Reza, singkat dan jelas.
Hari ini tidak banyak yang mereka kerjakan. Setelah melaporkan pekerjaannya, Reza meninggalkan Alfatih di dalam ruang kerjanya sendiri, untuk mempelajari semua berkas - berkas perusahaan.
Banyak sekali rencana - rencana Danu dalam mengembangkan perusahaan yang belum sempat terlaksana. Salah satunya sebuah map yang saat ini sedang dia pegang.
"Konsep rumah singgah ? Apa ini ? Apa yang sedang Ayah rencanakan ?" Gumam Al lirih.
Rasa penasaran membuat Al bergerak untuk menanyakan hal itu kepada Reza.
"Za, ke ruangan saya sebentar." Pinta Al melalui sambungan telfon lokalnya.
"Baik Pak."
Tak selang berapa lama, Reza sudah berada di ambang pintu.
Tok, tok, tok...
"Masuk." Kata Al saat mendengar pintu ruang kerjanya di ketuk.
"Ada yang bisa saya bantu Pak ?"
"Duduk Za, ada yang akan saya tanyakan." Jawab Al sembari mem bolak-balik iso stop map yang ada di tangan nya.
Reza masih diam terpaku melihat apa yang sedang bos mudanya lakukan.
"Apa rencana Ayah tentang ini ?" Tanya Al menunjuk map merah yang dia taroh di atas meja.
Hanya dengan membaca kop yang ada di halaman sampul map saja, Reza sudah paham tentang apa yang Alfatih tanyakan.
"Ini salah satu harapan Bapak untuk bisa menampung dan mendidik anak-anak terlantar Pak, terutama bagi mereka yang kurang mampu dan putus sekolah."
Mendengar sedikit penjelasan dari asistennya, Al mulai paham dan berusaha mempelajari konsepnya demi mewujudkan cita-cita dan amanah sang ayah.
"Ya sudah, kamu boleh kembali. Biar aku pelajari terlebih dahulu."
"Baik Pak."
Al kembali menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kerjanya. Hembusan nafas panjang keluar dari mulutnya. Seakan bicara kalau hidup ini masih panjang dan penuh perjuangan.
Sama seperti Almarhum Danu, Alfatih juga seorang pemikir yang ambisius untuk bisa mencapai apa yang menjadi angan-angannya.
Masa mudanya banyak dia habiskan dengan belajar dan berbisnis. Hingga dia lupa, usianya sudah lebih dari pantas untuk segera menjalani kehidupan berumah tangga.
"Hai Al...kapan lo nikah ? Keburu tua lo ? Udah waktunya nyodot jangan nungguin di codot." Ledek teman-temannya waktu itu.
Namun itu tidak ada pengaruhnya bagi Al. Misinya saat ini hanya membahagiakan Bunda dan menebus kesalahannya terhadap Kinan dengan mendidik dan menyayangi Nindya seperti anaknya sendiri.
Misi yang paling utama, dia harus bisa mewujudkan semua mimpi - mimpi Almarhum Ayahnya. Meskipun berat bagi Al untuk bisa mewujudkannya. Dan salah satu impian Almarhum yaitu melihat dia bahagia di atas pelaminan.
______________________
______________________
______________________
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!