NovelToon NovelToon

Alexander is Cumlaude

Jane POV

Pagi ini aku harus berangkat ke kantor lebih awal. Sebab harus mempersiapkan presentasi perusahaan. Soal peluncuran produk terbaru. Sejak semalam segala persiapan sudah ku tata dengan rapi, berharap tidak mengecewakan atasanku. Tuan, Aldrich Barayeve.

"Pagi Jane," sapa teman sekantorku yang berbeda divisi.

"Pagi juga Mier," jawabku singkat dan terburu masuk ruang meeting.

Semua berkas yang sudah aku copy, ku tata di depan masing-masing meja para dewan direksi beserta investor.

Setelah berhasil mempersiapkan, jam menunjukkan pukul 09.00 pagi. Satu per satu para investor beserta dewan direksi mulai hadir memenuhi meja berbentuk oval.

Semua tampak bersiap, tinggal menunggu Tuan Aldrich saja yang masih dalam perjalanan menuju perusahaan.

"Selamat pagi semua, maaf sedikit terlambat," ucapnya mengulas senyum khas milik pria berwajah blasteran tersebut.

"Selamat pagi, Tuan Aldrich," jawab seisi penghuni ruang meeting bersamaan.

Aku yang tengah duduk tepat di samping Tuan Aldrich beranjak berdiri. Memperkenalkan presentasi ku. Materi yang telah ku persiapkan sejak semalam, tanpa sadar banyak menarik perhatian beberapa investor, dan semua yang ada di ruang meeting tersebut memberikan applause.

"Terima kasih," ucapku melebarkan senyum seraya sedikit membungkukkan badan memberi hormat.

Beberapa saat semua tampak berdiskusi. Tuan Aldrich pun secara langsung memberiku ucapan selamat, atas keberhasilan presentasi barusan.

Diskusi berlangsung sejenak, salah satu investor asal Australia mengacungkan tangan ke atas. Dan tuan Aldrich menanggapinya dengan sopan.

"Ya, silahkan Tuan," serunya.

"Saya tertarik dengan proposal Nona Jane, karenanya Saya bersedia bekerja sama dengan Tuan Aldrich," tandas investor asal Australia tersebut.

Tuan Aldrich terlihat gembira sekali mendengarnya, seketika mengulurkan tangan kepada investor asal Australia sebagai ungkapan menerima kerja sama tersebut.

Melihat wajah bahagia dari tuan Aldrich, aku pun turut gembira. Setidaknya ide dari seorang sekretaris jelek sepertiku bisa diterima.

"Tuan Aldrich, mengenai perjanjian selanjutnya tentang kerja sama ini. Saya menunggu Anda dan Nona Jane di Singapura, lusa nanti," ucap investor asal Australia itu.

"Baik, Tuan. Lusa pasti Saya dan Jane akan berangkat ke Singapura," sahut tuan Aldrich antusias.

Meeting akhirnya berakhir, dan seluruh dewan direksi beserta investor lainnya meninggalkan ruangan meeting. Sementara tuan Aldrich mengantar investor asal Australia itu sampai pintu lobi.

Setelah meeting selesai, jam menunjukkan pukul 01.00 waktu setempat. Seusai membereskan semua pekerjaan ku. Aku pun beranjak ke kantin, karena sejak pagi perutku belum terisi sama sekali.

Sepertinya selepas mengantar investor asal Australia, tuan Aldrich kembali ke ruang meeting mencari ku. Mendapati ruang meeting yang kosong beliau menelpon ku.

Ku raih ponsel yang berdering keras, ternyata benar tuan Aldrich lah yang menelepon.

"Selamat siang, Tuan. Jane di sini," sapaku.

"Jane, kamu di mana?" tanya tuan Aldrich.

"Maaf, Tuan. Saya sedang makan siang sebentar. Sejak pagi perut saya kosong," sahutku sedikit ketakutan.

"Oh, baiklah lanjutkan saja. Selesai makan siang, aku tunggu kamu di ruangan saya," ujarnya.

"Ba-baik, Tuan," sahutku terbata dan ku akhiri panggilan tersebut.

Ku nikmati makan siang dengan lahapnya, dan sedikit terburu-buru, sebab aku tidak berani membuat tuan Aldrich menungguku terlalu lama. Tepat sepuluh menit semenjak beliau menelepon aku telah selesai. Segera bergegas kembali ke ruangan.

"Tok.... Tok.... Tok...."

"Masuk!" jawab tuan Aldrich dari dalam.

Dengan berjalan sedikit mengendap aku berdiri di depan putra tunggal pemilik perusahaan ini.

"Duduklah!" seru tuan Aldrich tanpa menatapku.

Aku pun duduk di depan meja beliau memberanikan diri menatapnya.

Wajah dengan jambang di sekeliling rahang, mata coklat, dan hidung mancung serta alis yang tebal. Terlihat begitu sempurna di mataku.

"Benar-benar makhluk sempurna," batinku takjub.

Tuan Aldrich sepertinya menangkap tatapanku, dan tersenyum miring. Merasa malu tertangkap basah si empunya wajah. Aku pun tertunduk seketika.

"Besok kamu bisa ambil cuti urus paspor mu. Lusa biarkan Adam menjemput dan mengantar kamu ke bandara, kita ke Singapura dengan jet pribadi," ujar tuan Aldrich kini balas menatapku.

"Ba-baik, Tuan. Terima kasih," sahut ku.

Aku beranjak berdiri meninggalkan ruangan tuan Aldrich, namun langkah kakiku terhenti.

"Satu lagi, pergi lah ke butik sepulang kantor nanti," ujar tuan Aldrich.

"Ta- tapi, Tuan," protes ku.

"Pergi saja, jangan pikirkan soal uang. Ambil lah ini, sebagai hadiah keberhasilan kamu dalam presentasi tadi," imbuh tuan Aldrich, seraya menyodorkan black card kepada ku.

Dengan tangan gemetar aku pun mengambil kartu debit warna hitam tersebut. Dan pergi meninggalkan ruangan tuan Aldrich.

****

Jam kantor telah berakhir, aku bergegas berbenah dan bersiap meninggalkan kantor, berdiri di seberang jalan menunggu taksi pesanan ku datang.

"Ting," bunyi notif pesan masuk. Ternyata pesan dari taksi yang aku pesan, sedang menuju ke tempatku.

Dan benar saja tak lama kemudian taksi yang aku pesan datang, tapi sayang. Mobil tuan Aldrich lebih dulu berhenti tepat di depanku.

Seorang pria berwajah blasteran yang duduk di bangku belakang, membuka kaca jendela mobil, "Masuklah!"

Aku pun bingung harus memilih naik taksi yang sudah aku pesan atau masuk ke mobil atasanku.

"Cepat masuk," hardiknya kesal, karena aku kelamaan berpikir.

Ku ambil uang lembaran warna biru, dan ku berikan kepada sopir taksi yang berhenti di belakang mobil tuan Aldrich. Sebagai permintaan maaf pembatalan ku. Dan aku langsung masuk duduk di samping tuan Aldrich.

Dak dik duk irama jantungku saat itu, keringat dingin pun mulai mengucur di jidat. Tangan dan kaki pun gemetar, saat duduk berdekatan dengan atasanku.

"Tenang, Jane. Santai," batinku menguatkan mental ku saat itu.

Tiap kali di hadapkan dengan tuan Aldrich, aku selalu mengalami senam jantung. Karena aku sadar, hanyalah seorang wanita jelek yang karena keberuntungan terpilih menjadi sekertaris tuan Aldrich. Walau saat interview dulu para pesaing ku semuanya cantik nan molek, berbeda terbalik denganku.

****

Mobil yang di kendarai oleh pak Adam berhenti persis di depan sebuah pusat perbelanjaan kota. Dan aku pun bergegas turun sebelum tuan Aldrich mentitah ku hal lain.

"Terima kasih, Tuan," ucapku berpamit dan membuka pintu mobil.

Lagi-lagi jantung ku kembali senam, saat tuan Aldrich ikutan turun bersama ku. Dan menuntunku masuk ke sebuah butik.

"Ya, Tuhan," gumam ku merinding disko.

Bak mayat hidup aku saat itu, berdiri dan bergandengan tangan dengan tuan Aldrich. Bagai mimpi di siang bolong. Tanpa basa-basi beliau mengambil beberapa setel pakaian dan menyuruhku mencoba di ruang ganti.

Hampir seluruh pakaian yang di pilih tuan Aldrich, seperti baju yang kurang bahan. Sangat kecil dan ketat di tubuhku. Tapi yang namanya perintah terpaksa harus ku turuti. Aku pun mencoba gaun berwarna merah menyala yang terlihat kontras dengan kulitku, gaun tanpa lengan dan menonjolkan bagian dada.

Sungguh membuatku canggung mengenakannya. Aku keluar dari ruang ganti dengan malu-malu, menutupi bagian dadaku yang sedikit terbuka. Berjalan menuju tuan Aldrich, apa yang terjadi??

*****

BERSAMBUNG....

Hilangnya Keperawananku

Tuan Aldrich bengong saat menatapku, hal itu semakin membuat aku salah tingkah di hadapannya.

"Bagaimana Tuan?" tanyaku masih menutupi bagain depan dadaku.

"Waouw....," gumam Aldrich masih tak percaya melihatku, seolah melihat hantu saja pikirku.

"Gadis ini sebenarnya tidak terlalu jelek, hanya butuh satu sentuhan saja pasti lebih cantik," gumam tuan Aldrich kembali, masih terpaku menatapku.

"Maaf sepertinya tidak pas ya Tuan. Baiklah saya permisi mencoba yang lain," pamitku membalik badan.

"Stop! tidak usah coba lagi," sahut beliau.

Aku makin bingung hendak mencoba yang mana, jujur dalam hal berpakaian seleraku memang minus.

"Pelayan, bungkus semuanya!" titah tuan Aldrich, dan seorang pegawai butik bergegas membungkus semua pilihan tuan Aldrich tadi.

"Apa yang ini tidak jadi dipilih, Tuan?" tanyaku mencoba memberanikan diri.

"Apa kamu tidak dengar apa yang aku ucapkan barusan, semua...." bentaknya.

Seketika aku bergegas ganti ke ruang ganti, menyertakan gaun itu kepada pelayan untuk dibungkus.

Seusai dari butik, tuan Aldrich mengantarku pulang ke apartemen, "Terima kasih, Tuan," ucapku sebelum turun dari mobil.

"Sama-sama, selamat malam," ucapnya datar tanpa menoleh ku. Setelah itu tuan Adam pun melajukan mobil mewah itu dengan kencang, seketika melesat jauh.

*****

Seperti biasanya aku selalu bangun lebih awal, meski hari ini atasanku secara khusus memberiku izin tidak masuk kantor. Karena harus mengurus paspor di kantor Imigrasi.

Dengan menaiki taksi aku pergi menuju kantor Imigrasi, dan kantor masih terlihat sepi. Hanya beberapa gelintir orang saja yang tampak mengantri. Aku adalah urutan ke lima.

Hampir satu jam aku duduk menunggu panggilan, akhirnya giliran ku pun tiba, "Jane Audrey," panggil petugas loket yang berjaga.

Aku pun maju sembari menyodorkan nomor antrian, dan mulai mengisi beberapa lembar form pengajuan perpanjangan paspor.

Beberapa sesi pun ku lewati hingga kurang lebih satu jam, paspor baru ku telah selesai cetak.

Aku bergegas meninggalkan kantor Imigrasi, kembali menaiki taksi. Ku lihat jam yang melingkar di tangan menunjukkan pukul sebelas lewat. Dan aku putuskan pergi ke salon, sudah sangat lama semenjak bekerja di perusahaan tuan Aldrich, aku tidak memanjakan tubuhku.

"Pak ke Spa Tjampuhan," ucapku pada sopir taksi.

"Baik, Non," dan taksi pun meluncur ke arah yang kumaksud.

Akhirnya aku bisa menikmati waktu bersantai untuk diriku sendiri sejenak. Memanjakan diri, dan tak lupa aku juga melakukan serangkaian treatment pada wajah. Tak ayal wajah yang sempat terlihat kusam kini berganti lebih cerah dan glow.

Tanpa terasa hari sudah sore, dan sebentar lagi senja pun tiba. Aku kembali pulang ke apartemen. Setelah makan malam, aku beranjak ke ranjang untuk merebahkan tubuh, besok harus bangun lebih awal dari biasanya. Tiba-tiba sebuah notif pesan masuk kembali terdengar.

"Jangan tidur terlalu malam, besok Adam akan menjemput kamu tepat jam 07.00," isi pesan yang dikirim oleh tuan Aldrich.

Ku letakkan kembali ponsel dan menarik selimut, mulai merajut mimpi.

*****

"Kring...., kring...., kring...." bunyi alarm yang aku setel sebelum tidur semalam.

Aku bergegas ke kamar mandi, dan bersiap menata pakaian ganti yang akan kubawa, barangkali pertemuan nanti akan membutuhkan waktu untuk menginap.

"Tin..., tin...., tin...," benar adanya tuan Adam, sudah siap dengan mobil jemputan. Dan mobil mewah itu bertengger di depan apartemen ku.

Aku bergegas mengunci apartemen dan segera masuk ke dalam mobil. Tanpa sepatah kata pun yang keluar dari bibir kami, hingga sampai di bandara.

Tak lama setelah aku dan tuan Adam tiba, mobil yang mengantar tuan Aldrich juga tiba, segera kami menaiki jet pribadi milik keluarga Tuan Aldrich.

"Hari ini kamu terlihat cantik," puji tuan Aldrich mengulas senyum tipis di bibirnya, seraya menoleh ke arahku. Membuatku kembali gugup.

"Terima kasih, Tuan," jawabku balas tersenyum tipis.

Jet pribadi yang kami tumpangi membumbung tinggi ke awan selama dua jam. Tepat jam 09.30 waktu Singapura, jet pun mendarat dengan selamat.

Dengan gagah dan kharisma yang dimiliki tuan Aldrich, aku berjalan di samping beliau. Pria berwajah blasteran itu layaknya aktor Hollywood berlenggak turun dari jet, ditambah saat mengenakan kaca mata hitam. Semakin menambah ketampanan di wajahnya.

*****

"Selamat datang, Tuan Aldrich. Selamat datang juga Nona Jane," sambutan dari tuan Charoen menjabat tangan kami bergantian.

Pagi itu tuan Charoen mengantar kami ke hotel yang sudah dipesan untuk kami menginap. Ternyata prediksiku tidak meleset, perjalanan bisnis ini pasti membutuhkan waktu untuk kami menginap.

Setelah beristirahat selama dua jam, siang harinya tuan Charoen mengundang kami ke kantor perwakilan miliknya di Singapura, tak jauh dari hotel tempat kami menginap.

"Selamat datang di kantor perwakilan kami, Tuan Aldrich, Nona Jane," sambut kembali tuan Charoen.

Aku kembali menunjukkan performaku, memperkenalkan sample produk dari perusahaan tuan Aldrich.

"Terima kasih Nona Jane, setelah mendengar sekilas produk yang akan diluncurkan, saya semakin yakin kerja sama ini akan meraih kesuksesan," tandas tuan Charoen antusias penuh percaya diri.

Asisten tuan Charoen pun menyiapkan berkas-berkas perjanjian kerja sama antara kedua belah pihak. Aldrich Barayeve membaca dengan seksama isi dari perjanjian tersebut, sebelum menanda tanganinya.

Rapat kerja sama itu berlanjut hingga makan siang. Aku pun kembali menemani tuan Aldrich ke jamuan makan siang bersama tuan Charoen. Setelah makan siang, kami kembali ke hotel untuk beristirahat.

"Sampai bertemu dinner nanti, Tuan Aldrich, Nona Jane," ucap tuan Charoen pergi meninggalkan kami.

Setelah kepergian tuan Charoen, aku dan tuan Aldrich kembali ke hotel. Kamar kami bersebelahan, jadi kami berpisah masuk ke kamar masing-masing.

Malam pun tiba, aku berdandan sebisaku memoles wajah yang jarang sekali kusapu bedak. Dan memakai lipstik warna merah menyala, senada dengan gaun yang aku kenakan.

Dengan menyanggul ala kadarnya rambutku, akhirnya riasan minimalis ku pun selesai. Tak lupa aku juga mengenakan sepatu heels yang senada dengan gaun.

Entah kebetulan atau bagaimana, secara tidak sengaja aku dan tuan Aldrich keluar dari kamar secara bersamaan. Beliau terpaku menatapku, entah tatapan kagum atau mencibir, hanya dia yang tahu. Membuatku lagi-lagi merasa grogi sekali lagi.

"Cantik!" gumam Aldrich takjub akan penampilan Jane malam itu, bahkan sorot matanya tak berkedip melihatnya.

"Permisi, Tuan. Saya duluan," pamit ku berjalan mendahului beliau. Tuan Aldrich masih diam mematung menatapku, dan aku terus berjalan.

Tanpa kusadari saat tengah asyik berjalan, tuan Aldrich tiba-tiba berdiri sejajar di sampingku, dan menggamit lenganku. Kini kami terlihat layaknya pasangan sejoli. Dengan percaya diri tuan Aldrich menggandengku menuju tempat kami dinner bersama tuan Charoen.

Saat tiba di restoran, tuan Charoen sempat kaget melihatku malam itu.

"Tuan Aldrich, benarkah wanita di samping Anda ini, Nona Jane?" tanyanya dengan mata membola.

Aku pun mengulas senyum lebar seraya mengangguk, "Benar, Tuan. Saya Jane," jawabku singkat.

"Kenapa Tuan Charoen? Apa Anda kaget?" tanya tuan Aldrich terkekeh.

"Ternyata selain pintar, Nona Jane juga cantik bukan?" imbuh tuan Aldrich berseloroh.

Aku tersipu malu mendengar pujian dari kedua laki-laki di hadapanku saat itu. Setelah basa-basi saling mengobrol lepas tentang kehidupan pribadi masing-masing dari kedua pria tersebut. Kami bertiga lanjut menikmati makan malam dengan menu yang sudah disiapkan oleh tuan Charoen.

Kedua pria ini tampak saling membenturkan gelas untuk bersulang, menenggak Anggur yang sudah ditata di atas meja. Hingga tanpa terasa kedua pria di hadapanku mulai kehilangan kesadaran. Meracau entah kemana obrolan mereka.

"Hai Jane, malam ini cantik sekali," racauan dari bibir tuan Zain.

Aku bingung harus menolong siapa dulu dari kedua pria ini. Dan akhirnya aku telepon asisten tuan Charoen untuk membawanya pulang. Sementara aku membawa tuan Aldrich kembali ke kamar.

Sesampainya di dalam kamar tuan Aldrich, aku membaringkannya di atas kasur, namun malah tubuhku tertarik oleh tangannya, hingga aku jatuh terjerembab di atas tubuhnya.

Tiba-tiba beliau mencium bibirku paksa, aku berusaha menolak namun beliau terus memaksa.

"Ayolah Jane, malam ini kita habiskan malam berdua. Kamu harus melayaniku," ucapnya di tengah kesadaran yang sedikit menghilang.

"Jangan, Tuan. Anda sedang mabuk, jangan lakukan ini," pintaku menolak.

Tapi sayang, hasrat tuan Aldrich sudah memuncak. Bak pria yang kehausan, dia melucuti gaun yang aku kenakan. Dan menjamahku brutal.

Aku hanya bisa pasrah setelah berkali menghindar dan menolak namun gagal, kekuatan tuan Aldrich yang sedang mabuk, sepertinya melebihi akal warasnya.

Tuan Aldrich terlihat lihai bermain di atas tubuh polosku, sentuhan yang baru pertama kali aku rasakan itu terpaksa aku terima hingga akhirnya mahkotaku berhasil direnggut oleh tuan Aldrich malam itu.

"Hiks....," Isak tangis ku, setelah keperawanan ku hilang oleh ***** brutal atasanku, akibat Anggur sialan itu.

"Apakah Anda akan bertanggung jawab, Tuan??" pekikku dalam hati menangis sedih batinku malam itu.

*****

BERSAMBUNG....

7 Tahun Kemudian....

Pagi menjelang, aku masih terisak di samping tuan Aldrich, menutupi tubuhku dengan selimut warna putih. Saat itu jam menunjukkan pukul 09.00 pagi waktu Singapura.

Samar perlahan tuan Aldrich mulai membuka mata. Kaget melihatku menangis, "Jane."

"Kenapa pagi-pagi kamu menangis di tempat tidurku, apa yang sudah terjadi semalam?" tanyanya seolah tak terjadi apa pun. Batinku makin sakit saat itu.

Aldrich berusaha mengingat kejadian semalam, dan pria ini menepuk jidatnya kasar, setelah berhasil mengingat semua nya.

"Untuk yang terjadi semalam lupakan lah," ujarnya santai.

Aku berlari ke kamar mandi menumpahkan tangisku dibawah guyuran derasnya air dari shower. Membungkam mulut dan menangis sekencangnya di dalam sana.

*****

Satu bulan kemudian....

Satu bulan berlalu sejak peristiwa yang terjadi di Singapura. Pagi ini entah mengapa perutku tiba-tiba terasa mual sekali, badan serasa lemas tak bertenaga. Namun karena tuntutan profesi, kupaksa untuk tetap bekerja.

Aku harus menyerahkan file yang aku rekap semalam, dan menyerahkannya kepada tuan Aldrich.

"Selamat pagi, Tuan. Ini rekapan berkas yang Anda minta," ucapku menyodorkan tumpukan kertas dari dalam map warna kuning, di atas meja beliau.

"Letakkan saja!" sahutnya datar, seperti biasa tanpa menoleh ke arahku. Dan aku tak ambil pusing segera meninggalkan ruangan tersebut.

Langkah kaki yang sudah sampai di depan pintu terhenti seketika, perutku kembali terasa mual. Bahkan kepalaku terasa pusing sekali, semua di sekeliling terasa gelap. Keringat dingin mulai menyapa, untuk beberapa saat aku tak tahu lagi apa yang terjadi padaku.

****

"Apa, hamil?" pekik pria yang telah merenggut kesucian ku.

Aku hanya bisa mendengar samar-samar semua percakapan pria itu dengan dokter yang memeriksaku. Karena tubuhku masih lemas.

Bahkan aku pun sempat mendengar pria itu menyuruh dokter untuk menggugurkan janin yang ada dalam rahimku, "Begitu kejamnya kau Tuan Aldrich, janin ini adalah darah daging mu," gumamku menjerit pilu batinku.

Setelah sadar aku kembali pulang ke apartemen dengan di antar oleh tuan Adam, sopir sekaligus asisten pribadi tuan Aldrich.

"Ini tidak boleh terjadi, kau sungguh bodoh Aldrich," gumam pria itu berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya.

Tepat satu Minggu setelah tuan Aldrich mengetahui kabar kehamilanku, pagi itu aku kembali bekerja. Namun sayang meja kerja ku telah diisi sosok wanita lain, entah siapa.

"Permisi, Tuan. Kenapa meja saya telah diisi karyawan lain, apa saya di pindahkan divisi?" tanyaku memberanikan diri.

Tiba-tiba sebuah amplop coklat ia sodorkan ke arahku. Aku pun membukanya dan ternyata adalah surat pemberhentian kerja, sungguh kaget diriku saat itu. Namun aku masih mencoba berpikir positif atas semua yang terjadi saat itu.

"Tinggalkan kantor ini!" usirnya, seolah aku seonggok sampah yang tak berguna di matanya.

"Baik, Tuan. Terima kasih sudah diterima dengan baik bekerja di perusahaan ini selama ini," pamitku tanpa sadar menetes air mata di pipi.

Langkahku seakan lunglai, namun terus berusaha tegar tetap melangkah untuk kehidupanku yang sudah hancur.

Malam harinya di apartemen, sesosok pria bertubuh tegap mengetuk pintu, aku pun mencoba bangun membukanya, "Siapa Anda?" tanyaku kaget.

Tiba-tiba, "Emmm...., emmm....,emmm...." aku tak sadarkan diri.

Ternyata aku di buang oleh tuan Aldrich jauh di negara Jerman.

*****

Tujuh tahun kemudian....

"Alexander, Mommy berangkat kerja dulu ya sayang. Jangan nakal, ingat kunci semua pintu, jangan di buka siapa pun itu kecuali Mom," pamitku pada putra kesayanganku.

"Okay Mom," jawab bocah berusia tujuh tahun itu menirukan logat ke barat-baratan.

Seperti biasa sebelum aku pergi bekerja, Alexander selalu menghadiahiku sebuah kecupan di keningku.

"Horeee....," teriak bocah itu kegirangan. Bergegas menuju kamarnya dan meraih laptop yang selalu ia pergunakan untuk bermain game, setiap aku berangkat bekerja.

Namun bukan game seusia dia yang dibukanya, melainkan channel tentang sains, pelajaran matematika serta beberapa pelajaran yang secara nalar belum saatnya untuk ia pelajari.

Alexander tampak mengamati dengan seksama semua yang ia lihat dan dengan begitu cepat otaknya mampu merekam semua yang ia pelajari tiap harinya.

"Sepertinya ini menarik, pasti banyak permainan di sana," celetuk Alexander, tangannya tiba-tiba mengulik sebuah laman web yang berisikan beberapa soal ujian seleksi masuk sebuah perguruan tinggi ternama di Jerman, yaitu Universitas Teknologi Berlin.

Dengan cepat bocah itu menggulir tombol mouse di tangannya. Hanya dalam hitungan sepuluh menit, lembar soal yang berisikan seratus soal acak mampu dikerjakan secepat kilat.

"Yes, pekik bocah berusia tujuh tahun itu. Terlihat bersemangat.

****

Satu Minggu kemudian....

Saat Jane berangkat kerja seperti biasanya, Alexander pun bergegas meraih laptop dan menghabiskan waktu bermain dengan laptop tersebut.

Sebuah balasan email dari sebuah perguruan tinggi di Berlin yang sempat ia buka laman situsnya, "Selamat, Alexander Audrey Barayeve telah diterima masuk di Perguruan Tinggi Teknologi Berlin, dengan nilai tertinggi."

Begitulah kira-kira bunyi email balasan yang masuk.

"Apa benar, mereka menerimaku masuk di sana, pasti ada banyak teman-teman untuk bermain game yang seru," gumam bocah tujuh tahun tersebut, masih menatap laptop di atas pangkuannya.

Tanpa menunggu lama, bocah kecil ini menaiki taksi, pergi ke Perguruan Tinggi Teknologi Berlin.

"Permisi, saya ingin bertemu dengan Bapak Dekan kampus ini, dimana kah ruangannya?" tanya Alexander kepada salah satu dosen.

"Hei anak kecil, ada perlu apa kamu mencari Bapak Dekan?" tanya dosen dengan wajah mentertawakan.

Bocah kecil itu memperlihatkan laptop yang ada di tangannya kepada dosen tersebut, betapa kaget nya sang dosen yang berdiri di depan Alexander itu. Mulutnya menganga dan kedua bola matanya membola.

Sang dosen segera membawa bocah ajaib itu menemui Dekan.

"Selamat pagi, Pak. Maaf, salah satu calon Mahasiswa baru ingin bertemu dengan Anda," ujarnya sopan.

Dekan yang sudah berusia setengah abad lebih itu mengamati Alexander yang berdiri di depannya dengan memeluk laptop.

"Mana calon Mahasiswa baru yang kamu maksud?" tanya Dekan.

Dosen yang berdiri di depan sang Dekan menunjuk ragu Alexander.

"Apa? apa kamu main-main, dia masih anak kecil bagaimana mungkin menjadi calon Mahasiswa di kampus ini, tidak sembarang orang bisa lolos seleksi," ujarnya mencibir melihat Alexander.

Bocah ajaib itu menyodorkan laptop dan memperlihatkan balasan email yang dikirim dari pihak kampus kepadanya. Betapa terkejut sang Dekan membacanya.

"Tidak mungkin," sanggah sang Dekan.

Bocah ajaib duduk di depan meja sang Dekan dengan percaya diri, "Berikan kepadaku soal tersulit yang belum bisa dipecahkan oleh Dosen atau murid Anda!" tantang bocah ajaib itu dengan wajah santai.

Mendengar tantangan yang diminta Alexander, Dekan dan Dosen saling bersitatap. Mengernyitkan dahi masing-masing.

Dan sang Dekan memberinya beberapa lembar soal seperti permintaan bocah ajaib itu. Mengagetkan kembali ternyata, hanya dalam waktu tidak sampai satu jam. Semua soal yang selama ini sulit dipecahkan oleh para Dosen, berhasil dijawab oleh Alexander.

"Waouw.... spektakuler," puji sang Dekan mengoreksi semua jawaban bocah ajaib di hadapan nya itu.

"Anak ini jenius sekali, baiklah Alexander. Mulai hari ini kamu diterima kuliah di kampus ini. Semoga kejeniusan kamu ini, bisa membawa nama baik serta pengaruh yang bagus untuk kampus kita ke depannya nanti," ujar sang Dekan.

Semenjak saat itu lah Alexander menjadi Mahasiswa termuda sepanjang sejarah.

****

BERSAMBUNG....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!