Seorang gadis cantik berkulit kuning langsat, rambut diiikat kuda dengan pita warna orange, berlari kecil memasuki gerbang sekolah. Gadis itu bernama Freya, usianya masih 15 tahun tapi sudah kelas 1 SMA.
Freya bisa bersekolah di sekolah elite ini karena beasiswa, bukan karena kekayaan orang tuanya. Citanya-citanya menjadi dokter dan pengusaha. Entahlah kenapa dia ingin keduanya, dan dia ingin sekali kuliah di luar negeri.
Tadi sebelum ke sekolah, dia harus ke beberapa warung untuk menitipkan kue buatannya. Selama ini Freya memang sudah terbiasa mencukupi kebutuhannya seorang diri, sekolah saja dia selalu mengandalkan beasiswa.
Bukan karena keluarganya tidak mampu. Ayahnya seorang pengusaha, begitu juga dengan mamanya. Juga bukan karena didikan kedua orang tuanya yang menginginkan Freya seperti itu. Hanya saja ... kedua orang tuanya itu pelit.
Tidak percaya?
Kakaknya Freya, seorang perempuan yang kini berusia 20 tahun, kuliah di jurusan sastra, setiap hari menggunakan mobil mewah dan barang-barang branded.
Adiknya Freya, perempua juga yang kini baru berusia 12 tahun, setiap ke sekolah selalu diantar sopir dengan mobil mewah, juga memakai barang-barang mahal.
Sedangkan Freya?
Naik ojol!
Uang bulanan kakaknya, dua puluh juta satu bulan, belum lagi uang tambahan kalau sudah habis. Itu di luar biaya kuliah dan keperluan kuliah.
Uang bulanan adiknya, delapan juta perbulan, tanpa ongkos angkot dan jajan di sekolah, karena biaya sekolahnya yang seratus juta perbulan itu sudah termasuk biaya makan di cafe sekolah. Tidak mungkin juga makannya menghabiskan ratusan piring, kan?
Sedangkan Freya?
Satu juta perbulan. Itu sudah untuk semuanya. Ongkos angkutan, jajan, biaya tugas.
Itulah sebabnya dia haru ekstra mencari tambahan. Sekolah di sekolah elite dengan dipenuhi murid-murid yang tajir melintir tentu saja (ada kalanya) bisa membuat murid 'sederhana' sepertinya minder.
Wajah cantik, otak encer, tapi kalau tidak punya uang? Apa iya setiap hari minta jajan sama teman? Kalau jalan-jalan ke mall minta antar jemput dan juga dijajani lagi?
Kadang Freya berpikir, apa mungkin dia anak pungut? Sikap pilih kasih kedua orang tuanya membuat dia tidak pernah akrab dengan mereka.
Setiap pagi dia harus bangun jam tiga untuk membuat kue, itu juga modal dari uang jajannya yang sudah kecil, harus disisihkan lagi.
Dia juga ingin memakai barang-barang bagus, nonton, dan makan di cafe. Bukannyaendapat barang lungsuran dari kakaknya, yang sudah bosan atau jelek baru dikasih. Itu pun bukan barang mahal.
Ck, pokoknya Freya benci mereka!
Gadis berusia lima belas tahun itu memasuki kelasnya, melepaskan lelah dan rasa kantuk karena harus bangun secepat itu. Semua demi uang.
"Ya, aku mau mengadakan pesta ulang tahun, bikinin konsepnya dong," ucap Nania, salah satu temannya yang juga duduk bersebelahan dengannya.
Freya menengadahkan tangannya.
"Apa?"
"Bayar, dong! Sederhana, bayar 10 juta, kalau mewah bayar dua puluh juta. Itu sudah aku kasih diskon karena kita teman."
Nania menoyor kepala Freya.
"Dasar teman matre."
"Gak matre gak hidup, woy! Kamu kira bikin konsep, enggak mikir? Butuh makan untuk bisa berpikir dengan baik. Butuh referensi untuk mencari ide, dan semua itu pakai uang. Buka W*, nulis cerita online, nonton you*ube, buka goo*le pun pakai kuota yang harus dibeli, buka F* saja, kalau mode janda enggak bisa lihat gambar, kan!"
Nania tertawa, dalam hati meng-iya-kan perkataan Freya.
"Oke deh, nanti aku transfer tiga puluh juta, tapi harus cetar loh konsepnya."
"Gue suka gaya lo!"
"Dasar, dengar kata-kata uang, tuh mata langsung ijo."
"Ck, coba kalau kamu bayar EO, berapa puluh juta yang harus kamu keluarkan?"
"Iya deh, iya."
"Oya satu lagi."
"Apa?"
"Aku punya konsep baru yang cocok banget sama kamu, tapi ...."
"Tapi apa?"
"Kalau kamu mau pakai ide aku itu, belikan aku dress, sepatu sama tas ya, buat ke ulang tahun kamu."
Nania mendengkus kesal, tapi langsung mengangguk.
Nania itu sahabat Freya sejak SD, jadi dia tahu bagaimana kehidupan Freya selama ini. Itulah kuga sebabnya, Freya bisa berbicara seperti itu kepada Nania. Bersikap seolah dia teman matre dan pelit. Itu karena Freya ingin kuliah di luar negeri, jadi dia harus menyiapkan semuanya dari jauh-jauh hari, karena biaya hidup di luar negeri sudah pasti sangat mahal.
🍁🍁🍁
Bel istirahat berbunyi, murid-murid menuju kantin yang bisa dikatakan sangat mewah. Berbagai menu ada di sana.
"Mau makan apa, Ya?"
"Apa saja deh."
Tidak lama kemudian Arby, murid laki-laki yang sudah kelas dua itu tiba di kantin. Pemuda itu tampan, berkulit putih dengan rambut cepak.
"Kak Arby ganteng banget, sih."
Nuna, yang juga sahabat Freya memandang kagum pada seniornya itu.
Arby, anak dari seorang pengusaha. Kalau biasanya pria tampan dan pintar akan menjadi ketua osis, tidak dengan Arby. Dia selalu menolak saat ditawarkan menjadi ketua OSIS saat dirinya masih SMP.
Satu deret meja ditempati oleh Freya dan sahabat-sahabatnya, sedangkan deret meja yangblain diisi oleh Arby dan sahabat-sahabatnya.
Karena hari ini hari pertama tahun ajaran baru, sepulang sekolah nanti Freya bisa sedikit bersantai karena tidak ada tugas yang diberikan oleh guru-gurunya. Gadis pintar itu juga tidak perlu berpikir lama tentang konsep pesta ulang tahun Nania, karena dia sudah tahu apa yang cocok untuknya. Jika Freya masih lima belas tahun, maka sahabat-sahabatnya sudah enam belas tahun.
"Pulang sekolah kita ke mall, yuk!"
"Mau apa?"
"Nonton, kek. Shoping, kek. Makan, kek."
"Mau enggak, Ya?" tanya Nania.
"DP dulu lima ratus ribu, nanti malam aku kirim konsepnya ke kamu."
Freya mengedip-ngedipkan matanya. Bukannya dia tidak punya uang, tapi uang yang ada di rekeningnya untuk biaya kuliah dan hidupnya di luar negeri nanti, kan.
Nania mengangguk, apalah artinya uang lima ratus ribu untuknya yang anak orang kaya itu.
Selesai makan, mereka kembali ke kelas dan berpapasan dengan Arby dan sahabat-sahabatnya. Marcell senyum-senyum kepada Nania yang dibalas dengan dengkusan dari gadis berambut ikal itu.
"Apa lu lihat-lihat, sok cakep!"
"Jangan gitu dong, Nan. Mentang-mentang mantan. Kan mantan pacar, bukan mantan suami."
Ucapan Marcell itu membuat Arby dan sahabat-sahabatnya tertawa.
"Ngajak ribut, lu?"
"Aku maunya ngajak kamu ke KUA, tapi takut kamunya belum siap lahir batin."
"Sudah Nan, jangan diladeni. Curut gitu mah enggak punya otak," ucap Nuna.
"Eh, apa lu bilang?"
"Gue bilang, lu curut!"
Sontak terjadi perkelahian antara tim perempuan dengan tim laki-laki.
"Stop! Kalian ini apa-apaan sih, baru hari pertama sekolah sudah membuat masalah. Kalian murid baru harus jaga sikap. Sedangkan kalian senior, harus memberi contoh yang baik untuk adik-adik kelas kalian."
Guru itu langsung menghukum mereka dengan mencuci piring di kantin.
"Awas, lu!"
"Lu yang awas!"
Mulai lagi, mereka berharap tidak ada piring terbang akibat pertikaian dua kubu itu.
Hari-hari Freya, hingga sejauh ini berjalan dengan lancar. Nilai-nilainya selalu memuaskan, bahkan wali kelasnya sering menyampaikan informasi bahwa sudah banyak universitas luar negeri yang akan memberikan beasiswa kepadanya. Tentu saja hal itu membuat Freya senang.
Di kelas lain
Arby teringat akan pembicaraan dengan ayahnya tadi malam. Sebagai anak satu-satunya, tentu saja dia dituntut untuk belajar bisnis dan menjalankan perusahaan. Bukannya tidak mau, hanya saja dia merasa semua itu belum waktunya. Dia masih berusia enam belas tahun. Sama seperti Freya, pemuda itu juga pintar, dan sudah kelas dua SMA di usianya itu. Seperti anak muda lainnya, dia juga ingin melalui masa remajanya dengan bermain, tanpa dibebani urusan penerus keluarga.
💕💕💕
Freya membawa bekal ke sekolahnya, dan di jam istirahat ini, dia membagioan kue-kue itu kepada temannya.
"Gimana, enak enggak?"
"Enak banget, Ya."
"Kalau mau pesan, minimal dua hari sebelumnya. Ini sample, jadi kalian sudah tahu rasanya gimana."
"Dasar otak bisnis."
"Iya, dong. Bisnis itu enggak hanya teori, tapi juga harus praktek."
"Iya'in aja, deh."
Bulan depan mereka sudah akan ujian, dan sebentar lagi akan naik ke kelas dua.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Arby melihat Freya yang membagikan kue-kue itu kepada sahabat-sahabatnya.
"Ngapain lihat-lihat Nania?" tanya Marcell.
"Dih, siapa juga yang lihat dia."
"Terus lihat siapa?"
Arby diam saja, kemudian melanjutkan memakan makanannya.
💕💕💕
Malam harinya, rumah Freya kedatangan tamu pria dan wanita, sepertinya sepasang suami istri. Freya dan kakak adiknya juga diminta untuk menyambut tamu itu, sepertinya orang penting. Freya melihat sepasang suami istri yang wajahnya terlihat ramah. Dilihat dari penampilannya, bisa dioastikan bahwa mereka adalah keluarga kaya.
"Ini tuan Arlan dan nyonya Elya," ayah Freya memberi tahukan itu kepada Freya dan saudara-saudara.
Arlan dan Elya memandang wajah Freya dengan lekat, membuat Freya merasa heran. Apa ada kotoran di wajahnya, pikir Freya.
Para orang tua sibuk membicarakan bisnis. Ayla, kakak Freya terlihat bosan. Naira, adik Freya hanya duduk diam, sepertinya pikirannya sedang piknik entah ke mana. Hanya Freya saja yang diam-diam menyimak dan mempelajarinya.
Hal itu tentu saja tidak lepas dari perhatian Arlan dan Elya, membuat keduanya tersenyum senang, dan merasa yakin dengan apa yang ada di hati dan pikiran mereka.
🌹🌹🌹
Hari ini ujian terakhir untuk murid kelas satu dan dua. Satu minggu lagi Freya akan berusia enam belas tahun. Setelah ujian, dia dan teman-temannya berencana liburan ke Jogja. Freya membuka-buka brosur universitas-universitas yang ada di luar negeri. Kegiatan yang sangat dia sukai, karena itu bisa membuatnya semangat belajar. Dia sendiri juga sebenarnya masih bimbang, apakah akan berkuliah di Jepang, London, atau Amerika.
Selain belajar, Freya juga sudah menyiapkan diri dengan kemampuan berbahasa asing, selain bahasa Inggris tentunya. Dia belajar bahasa Jepang, Korea, Belanda, Jerman dan Perancis.
Untuk pilihan universitas, dia memang terkadang labil, itulah sebabnya dia mempelajari berbagai bahasa asing itu. Yang jelas baginya, dia harus kuliah di luar negeri.
🍁🍁🍁
Arby tersenyum kecil, membayangkan wajah seorang gadis. Ketika mengingat gadis itu, dia selalu bersemangat. Ke sekolah, belajar, bahkan mempelajari tentang perusahaan.
Seperti remaja pada umumnya yang sedang kasmaran, terkadang Arby menulis nama gadis itu di buku paket atau buku tulisnya, lalu buru-buru menghapusnya kembali sebelum ada yang melihatnya. Dia juga menggambar wajah cantik itu di buku sketsa miliknya, lalu menyimpannya bagai harta karun yang takut diambil perampok.
"Ck, dasar cewek barbar. Dia kira dia cantik, apa?"
Perkataan Marcell membuyarkan lamunan Arby akan gadis pujaannya.
"Heleh, barbar juga kamu masih suka ngegodain."
"Ya habis mau gimana lagi, kan masih suka."
Teman-temannya Marcell tertawa geli. Bingung dengan sikap Marcell itu.
Di tengah canda gurau itu, seorang gadis memasuki kelas Arby dan berdiri di hadapan Ikmal.
"Lalay lalay lalay, panggil aku si jablay, abang jarang pulang, aku jarang dibelay," nyanyinya sambil joget dangdut. Matanya mengedip manja pada Ikmal. Dia adalah Nuna, gadis berkulit coklat namun berwajah manis.
Sontak satu kelas tertawa menyaksikan perilaku adik kelas mereka.
Di pintu, Freya, Nania dan Aruna menyaksikan itu pun tertawa geli. Mereka menikmati tontonan itu sambil memakan kacang telur yang dibeli dari Freya. Setelah itu, Nuna ke luar kelas sambil melakukan tos kepada sahabat-sahabatnya.
Belum ada reaksi dari Arby cs, sepertinya mereka masih syok dengan keadaan tadi. Nuna, gadis ceria namun sangat galak itu nyanyi dan berjoget dangdut? Rasanya seperti mimpi.
Arby tersenyum, merasa senang bahwa baru saja gadis idamannya itu datang ke kelasnya. Mimpi apa dia tadi malam?
"Woy, Ar! Kenapa sih senyum-senyum sendiri?"
"Lucu aja."
"Gara-gara Nuna, ya?"
Arby diam saja. Bisa dipastikan hari ini dia akan bermain basket dengan semangat. Tidak lama kemudian bel masuk berbunyi. Sebelum keluar kelas, Arby sempat mengeluarkan buku tulisnya dan menulis nama gadis itu dengan huruf yang sangat kecil.
I love you.
Di dalam kelasnya, Freya dan yang lain masih tertawa geli karena Nuna. Gadis itu tadi kalah taruhan, menyebabkan dia harus melakukan tantangan itu.
"Lain kali aku enggak akan kalah lagi. Ya, nanti kalau kamu kalah, kamu juga harus menerima tantangan yang kami suruh."
"Oke, siapa takut."
Murid-murid menonton pertandingan basket, murid kelas 2.1 melawan kelas 2.2
Murid kelas satu meneriakkan nama Arby, idola mereka. Mata Arby sesekali melirik salah satu gadis yang ikut menonton, lebih tepatnya mereka itu sedang tebar pesona kepada kakak kelas yang ganteng-ganteng.
Arby mendengkus kesal, fokusnya kembali kepada basket. Dia harus secepat mungkin menyelesaikan pertandingan ini.
Pertandingan selesai, yang dimenangkan oleh kelas Arby. Freya dan kawan-kawan langsung menuju kantin.
"Nanti malam kita nginap di rumah Nania saja. Biar besok habis subuh bisa langsung ke bandara sama-sama."
"Oke."
"Aku enggak sabar pengen lihat bule-bule di Bali."
"Bebas kita liburan di bali."
"Aku juga enggak sabar mau ketemu sama bule-bule itu," Freya tak kalah semangat.
Mereka memang liburan (hanya) ke Bali, karena biasanya mereka akan ke luar negeri. Jangan ditanya masalah biaya, karena Freya juga tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya, maklumlah punya teman orang kaya semua. Yang punya jet pribadi, villa, juga orang tua yang memiliki hotel. Jadi, kalau oun mereka menginap di hotel, sudah pasti gratis.
Terkadang Freya iri dengan sahabat-sahabatnya, yang disayang dan kebutuhannya dicukupi oleh kedua orang tua mereka. Sedangkan dia? Orang tuanya tidak miskin, tapi seperti itu.
Diam-diam, Arby cs mendengar pembicaraan Freya cs. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, kemudian saling memandang dan tersenyum.
"Nanti malam kita kumpul di rumah Arby."
Mereka mengeluarkan ponsel masing-masing, mengetik kalimat yang intinya sama.
[Besok aku sama teman-teman mau liburan ke Bali.]
Empat orang remaja perempuan bermain kejar-kejaran di pantai yang ramai oleh para turis itu.
Freya, Nania, Nuna dan Aruna.
Empat remaja itu terlihat sekali menikmati hari pertama mereka liburan.
Freya, gadis itu memakai kaos pendek berwarna putih dengan celana pendek selutut. Seperti biasa, rambutnya dikuncir kuda.
Nania, gadis berkulit sawo matang itu memakai tengtop pink dengan hotpant berwarna senada. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai.
Nuna, gadis itu memakai kaos tanpa lengan, juga memakai hotpant.
Aruna, yang paling terlihat seksi. Memakai tengtop pendek yang menunjukkan sedikit bagian perutnya, juga memakai hotpant berwarna hitam.
"Gila, ganteng-ganteng banget sih, tuh para bule."
"Yang kaos biru, ototnya bagus banget."
"Aku suka yang celana hitam, brewoknya uwu banget."
"Aku yang pakai kaca mata hitam, dadanya itu loh, pelukable. Gimana ya rasanya sandaran di sana."
"Klo gitu aku yang pegang kamera deh, punggungnya lebar. Pasti nyaman banget kalau digendong sama dia."
Keempat ABG itu mengambil ponsel mereka untuk memfoto para bule ganteng itu.
"Sayangnya di sekolah kita enggak ada yang seperti ini."
"Ya jangan disamain, Nun. Mereka kan masih pada bocil, bodynya belum terbentuk sempurna."
Tidak ada yang menyadari ada empat remaja pria yang juga diam-diam mendengarkan pembicaraan para gadis itu.
"What, secara tidak langsung kita dibilang bocil? Apa kabar mereka, yang lebih bocil dari kita," keluh Vian.
"Tapi kayanya kecantikan kita kalah saing nih sama bule perempuan."
"Tapi kita ini cantiknya udah maksimal, loh."
"Apanya yang kurang ya?"
Mereka berempat berpikir, lalu menemukan jawabannya.
"Kurang montok!" jawab mereka serempak.
"Masa iya, perasaan dada aku udah lumayan gede, loh."
Secara reflek, mereka (termasuk para pria penyelundup itu) melihat ke arah dada Nuna.
Sontak wajah pria-pria itu memerah, dan pikiran-pikiran liar mulai mengotori otak mereka yang akan bertransmigrasi ke dunia halu para kaum adam.
"Kita harus fitnes. Tante aku punya tempat fitnes dengan instruktur yang profesional. Kita bisa membentuk tubuh biar lebih wow."
Keempat gadis itu penuh semangat.
Yang ada dalam pikiran para pria, apakah perempuan seribet itu? Toh nanti saat mereka beranjak dewasa juga ukuran tubuh mereka akan membesar dan membentuk dengan sendirinya.
Dasar, perempuan memang ribet!
"Kita juga harus fitnes. Kita juga bisa kok memiliki punggung yang nyaman untuk menggendong."
"Pundak yang enak untuk bersandar."
"Perut kotak-kotak yang enak untuk dilihat, diiraba, ditrawang."
"Tapi aku enggak mau punya brewok seperti yang itu."
Cih, dasar cowok.
Mumpung masih muda, mereka harus membentuk diri untuk bisa memikat para kaum hawa. Syukurlah mereka mendengar sendiri apa yang kebanyakan para perempuan sukai dari seorang pria, selain uangnya, tentu saja.
Seharian mereka menikmati bermain di pantai. Menikmati es kelapa, jagung bakar dan rebus, juga jajanan lainnya.
Namanya anak muda, semangatnya masih sangat besar. Setelah puas bermain di pantai hingga menjelang magrib, malamnya mereka berwisata kuliner, sekaligus shoping, karena tidak terlalu banyak membawa baju biar tidak ribet.
Seharian ini juga diam-diam Arby memotret gadis kesayangannya, lalu menyimoannya di galery rahasia.
"Sampai kapan sih kita mau nguntitin mereka?"
"Sampai mereka balik lagi ke Jakarta."
"Ck, mendingan kita nyari cewek."
"Lah, yang kita ikutin kan cewek."
"Diikutin doang, enggak bisa didekati."
"Tujuan kita ngikuti mereka liburan ke bali sebenarnya apa, sih?"
Mereka saling pandang, bingung juga sebenarnya untuk apa. Emang dasar enggak punya kerjaan.
💞💞💞
Seluruh tempat wisata di pulau Bali sudah mereka jelajahi. Sudah tak terhitung juga berapa banyak uang yang mereka keluarkan untuk shoping dan wisata kuliner. Untung saja Freya memiliki sahabat yang baik. Dia tidak terlalu banyak mengeluarkan dana, bukan berarti juga dia mendapatkannya dengan cuma-cuma. Tidak, Freya bukan gadis matre yang akan memanfaatkan teman.
Dengan kemampuannya memasak dan berbisnis di usia muda ini, tentu saja dia memanfaatkan keahliannya itu. sahabat-sahabatnya juga mendukungnya, dan ikut mempromosikan dirinya. Meskipun dia tidak memiliki keluarga yang menyenangkan, setidaknya dia memiliki para sahabtbyang mendukung. Itulah yang sangat dia syukuri.
"Kamu jadinya nanti mau kuliah di mana, Ya?"
"Belum pasti. Kalau kalian di mana?"
"Masih bingung juga, sih."
Setelah tiba di villa, mereka melanjutkan dengan menonton drama korea thriller.
Di Villa lain, yang ditempati para cowok itu, mereka sedang bermain game online sambil menikmati soda dan berbagai makanan yang dibuat oleh chef pribadi.
"Itu ciwik-ciwik lagi pada apa, ya?"
"Palingan ngegosip."
"Atau ngehalu."
"Atau ngedrakor."
Tentu saja mereka tahu istilah ngedrakor dari teman-teman sekelas mereka yang setiap pagi dan di jam istirahat selalu heboh menceritakan tentang drama-drama yang mereka nonton, juga para pria berkulit mulus yang menjadi pemainnya. Membuat kuping mereka bosan, namun samoai sekarang tidak ada niat untuk mencari tahu siapa artis-artis itu.
"Ulang tahun Nania yang ke 17 aku mau kadih hadiah apa, ya?" tanya Marcell.
"Boneka aja," jawab Ikmal.
"Tapi boneka santet," saran Vian.
"Jadi bisa nyantet kamu," Arby juga ikut-ikutan.
Marcell berdecak kesal mendengar perkataan sahabat tanpa akhlak itu.
❤❤❤
Dari villa laki-laki, mereka bisa melihat cahaya lampu kelap-kelip menghiasi villa yang ditempati para cewek. Merah, kuning, hijau, seperti lalmpu lalu lintas. Namun di sisi lainnya, lampu berwarna biru, ungu dan warna lainnya juga menghiasi villa itu.
"Lihat ke sana, yuk!"
Yang lain mengangguk, karena mereka juga kepo.
Di villa cewek
"Udah siap semua belum?"
"Udah!"
Lampu Villa tiba-tiba saja mati total.
"Freya! Freya!"
Freya yang merasa dipanggil, berjalan dengan pelan.
"Nan, Nun, Ar!"
"Frey, tolongin aku."
"Kamu di mana?"
"Di luar!"
Freya melangkah ke luar, tangannya yang satu meraba tembok, sedangkan yang lain mengarah ke depan.
Tiba-tiba saja seperti ada yang menggelitik tengkuknya, tamun terasa halus dan dingin. Bayangan putih melesat di jendela. Entah itu kuntilana atau pocong, Freya tidak peduli.
Dia langsung berlari ke luar, menabrak (mungkin) guci-guci.
Brukkk
Dia menabrak sesuatu. Kembali ada yang memegang tengkuknya.
"Arrgghhh!" teriaknya.
"Hey!"
Suara seorang pria. Freya membuka matanya, dan melihat wajah Arby yang tangannya memegang tangan Freya.
"Kenapa?"
Freya tidak menjawab, matanya beralih pada Marcell, Vian dan Ikmal.
"Kamu kenapa?" tanyanya lagi.
"Frey, tolong!" teriak Nania.
Marcell yang mendengar Nania berteriak meminta tolong dengan suara yang ketakutan, tanpa pikir panjang langsung memasuki halaman villa.
Freya juga menyusul, diikuti yang lainnya.
"Nan, Nun, Ar? Kalian di mana, sih?"
Kali ini terdengar suara Nuna yang sepertinya kesakitan. Langkah orang-orang itu semakin cepat. Arby melihat tubuh Freya yang gemetaran, juga mendengar teman-temannya yang berteriak membuat dia cemas.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!