Seorang pria tampan sekaligus Dokter kebanggan sebuah rumah sakit besar yang sudah terkenal dengan kemampuannya dalam mengobati pasien dan juga ketenarannya yang sudah melebar luas hingga ke telinga para gadis dari anak konglomerat dan tak sedikit yang mengagumi Dokter muda nan tampan itu.
Hari ini seperti biasa, Dokter tampan itu selalu memiliki kesibukan hingga tak ada waktu hanya untuk sekedar bertegur sapa atau bosa-basi tidak penting. Bahkan menyapa pun dia benar-benar hampir tidak pernah bisa melakukannya.
Namanya adalah Kevin Stevano. Anak tunggal dari pernikahan orang tuanya, tapi dia juga menjadi anak kedua Ayahnya setelah beberapa jam Ibunya meninggal dunia.
" Dok, anda sudah ada jadwal operasi tiga puluh menit lagi. "
" Baiklah. "
Beginilah hidupnya. Dia hampir tidak pernah memiliki waktu untuk bersantai-santai. Dan yang membuat Dokter tampan ini belum juga menikah tentu saja adalah kesibukannya yang tiada batas. Di usia ketiga puluh tahun dia sudah banyak menjalin hubungan dengan banyak wanita, tapi tak ada satupun dari mereka yang membuatnya ingin lebih lama menghabiskan waktu bersama terkecuali kekasih barunya yang bernama Renata. Gadis itu lumayan bagi Kevin. Kenapa? karena dia tidak manja apalagi merengek seperti gadis-gadis yang sebelumnya. Karena Kevin paling tidak mentolelir seseorang gadis yang selalu mengeluhkan dirinya tidak memiliki waktu untuk berkencan seperti kebanyakan pasangan lainya.
***
" Kakak, bawa aku bersama mu. Please.... "
Rengek seorang gadis kecil bernama Berly kepada kakaknya yang bernama Sherin. Sherin juga adalah seorang dokter bedah yang memiliki kemampuan di usianya yang terbilang muda. Beberapa bulan lalu, gadis itu genap berusia dua puluh enam tahun.
" Bagaimana aku bisa membawamu? orang-orang akan mengira kau anakku. Aku akan kesulitan mencari jodoh nantinya. " Tolak Sherin.
" Kakak, aku ini sangat malang sekali loh nasibnya. Ibu dan Ayah bercerai lalu Ibu sudah menikah lagi dan suami baru Ibu tidak mau mengurusku. " Rengek Berly sembari menarik-narik ujung baju Sherin.
Sherin menghembuskan nafas kasarnya.
" Kenapa Ibumu suka sekali menikah? " kesal Sherin.
Berly yang tadinya terlihat memelas kini menatap Sherin sebal.
" Jangan lupa kalau dia Ibumu juga! "
Sherin terperangah tak percaya yang jelas-jelas itu adalah kepura-puraan.
" Benarkah? ya ampun... aku baru tahu kalau dia adalah Ibu ku juga. "
Berly menjebikan bibirnya kesal. Dia sebenarnya ingin memaki kakak bodohnya itu. Tapi saat ini dia sedang membutuhkan seseorang untuk merawatnya dan memberi makan. Jadilah dia hanya bisa menahan segala makian yang terasa memuncak di ujung bibirnya.
" Kakak,... apa kau ingin melihat gadis cantik sepertiku tinggal dijalan? apa kau tidak merasa rugi adikmu menjadi gembel? sutradara film saja pasti akan menangis kalau melihat ku jadi gembel. "
Sherin hanya bisa menggeleng heran dengan mulut pedas Berly yang tiba-tiba begitu manis. Sebenarnya dia begitu marah dan kecewa kepada Ibunya yang benar-benar tidak bertanggung jawab. Dia se enaknya saja mengantar Berly ke apartemennya dan pergi sebelum dia membuka pintu. Terkadang Sherin sampai merasa ragu jika wanita paruh baya itu adalah seorang Ibu dari dua putri.
" Dengan berat hati aku akan mengizinkan mu tinggal. " Ucap Sherin dengan wajah malasnya.
Cih! sombong sekali kau kakak jelek! untung saja kau kakak ku. Kalau bukan, aku pasti sudah mengutuk mu menjadi babi.
Setelah perdebatan tak berarti itu, Sherin akhirnya memutuskan untuk segera berangkat ke rumah sakit meski ini masih terlalu pagi. Sesuai dengan jadwal, ini adalah hari terakhir Sherin bekerja di Rumah sakit itu karena mulai minggu depan, dia akan dipindahkan tugas ke Rumah sakit pusat.
Sherin tersenyum menikmati sinar matahari dari kota yang sudah empat tahun dia tinggali. Dia tidak menyangka jika karirnya akan begitu mulus setelah drama pahit di dalam hidupnya.
Hei, sun. Aku Sherin Farinda. Besok aku akan pindah ke pusat kota untuk menjalankan tugas ku sebagai Dokter disana. Buatlah aku bahagia dengan sinar matahari mu yang selalu akan menyinari ku di manapun aku berada.
Mungkin hariku akan berbeda setiap hari seperti sebelumnya. Tapi aku berharap, bahagia ku selalu ada di setiap hariku.
Begitulah Sherin. Dia adalah gadis polos yang sama sekali tidak memiliki waktu untuk berkencan. Sebenarnya dia merasa iri dengan kebanyakan teman seprofesi nya yang sering mengeluh kan kekasih mereka. Mulai dari rasa sebal karena pertengkaran kecil, saling cemburu, berkencan dan menonton film, apalagi saat mereka menceritakan hal-hal intim seperti berciuman dan melakukan hubungan badan. Tentu saja cerita itu membuatnya panas dingin dan begitu penasaran akan rasanya pacaran. Tapi mau bagaimana lagi? biaya hidup jaman sekarang sungguh sulit di minimalisir, membuatnya mau tak mau harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya sekarang dan esok saat tua. Maklum saja, karena tak kunjung mendapatkan pasangan, lama-lama ia menjadi rendah diri dan mengantisipasi seandainya dia tidak menikah sampai tua nanti, setidaknya dia sudah memiliki tabungan yang cukup.
Sesampainya dirumah sakit, Sherin langsung menemui pimpinan untuk mengambil surat keterangan pindah tugas. Sebelum keluar dari ruangan pimpinan dia sedikit berbosa-basi seperti biasanya. Menanyakan kabar ataupun kegiatan hari ini.
Sherin menghela nafas dengan bibir yang tersenyum. Sebenarnya dia memiliki luka hati yang cukup dalam. Tapi yang membuatnya sadar adalah kenyataan yang selalu tak sesuai dengan harapan yang selalu indah di pikirannya. Perlahan gadis itu bangkit dan mulai fokus untuk belajar agar mendapat beasiswa dan menempuh pendidikan hingga S1 tanpa bantuan dari orang tuanya yang sudah lama bercerai. Dia memutuskan untuk hidup mandiri sejak usia delapan belas tahun dengan nekat tanpa persiapan apapun. Dan siapa yang bisa menebak kalau tindakan nekat itu membawanya kedalam ke suksessan.
Sherin masuk kedalam ruangannya. Memang masih berat rasanya meninggalkan ladang uang yang selama ini menopang hidupnya. Tali kepergiannya ke Rumah sakit pusat adalah sebuah prestasi baginya, karena itu berarti, kemampuannya sudah di akui oleh Rumah sakit besar itu.
Tiga puluh menit kemudian, beberapa pasien yang sudah mengantri untuk berkonsultasi sudah mulai berdatangan dan membuatnya sibuk seperti biasanya. Apalagi beberapa jam setelah itu dia sudah memiliki jadwal operasi yang padat.
Pukul dua puluh satu malam. Sherin sudah bersiap untuk pulang. Dia meraih ponselnya untuk menanyakan perihal adik tirinya yang tadi ia titipkan kepada tetangga apartemennya. Dia langsung menghubungi wanita paruh baya yang adalah tetangganya, setelah memastikan gadis bermulut ketus itu baik-baik saja, dia bisa bernafas lega dan bisa pulang dengan santai dan tenang seperti biasanya.
" Tidak tahu bagaimana memperlakukan gadis kecil yang seperti preman itu. Dari dia lahir aku jarang sekali bertemu dengannya. Dan tiba-tiba aku harus merawatnya? oh ya ampun! Ibu ku pasti terlalu banyak menguyah kemenyan dan membuat otaknya koyak. "
TBC
Sepulang dari rumah sakit, Sherin langsung menuju rumah meski sengaja dia memperlambat langkah kakinya untuk menikmati suasana malam di kota yang akan segera ia tinggalkan itu. Tak banyak yang harus dikemas, karena Sherin tidak memiliki banyak barang-barang seperti wanita pada umumnya. Bukanya tidak mampu untuk membeli, tapi dia lebih tertarik untuk menimpuk uangnya agar bisa hidup layak saat tua nanti. Dia juga menjadi Vegetarian karena ingin lebih menghemat uangnya. Maklum saja, perceraian kedua orang tuanya benar-benar membuatnya selalu memikirkan masa tuanya yang tidak boleh di abaikan. Dia juga tidak mau seperti Ibunya yang bergonta-ganti pasangan hanya untuk di hidupi oleh pria.
Setelah selesai berkemas, dia langsung merebahkan tubuhnya menatap langit-langit. Entah bagaimana dia akan merawat adik tirinya nanti. Memikirkan membuat Sherin menjadi sakit kepala. Mau tidak mau, dia harus memikirkan biaya sekolah dan hidup gadis kecil itu.
Ibu, kenapa begini? padahal aku sudah menarik diri dari Ibu dan Ayah. Aku tidak pernah meminta uang kan? kenapa Ibu memberiku beban dengan menitipkan putrimu padaku? bu, aku benar-benar tidak mau menjadi seperti dirimu.
Perlahan-lahan Sherin mulai memejamkan mata untuk merangkak ke alam mimpi.
" Kakak! "
Sherin terbangun dengan mata yang langsung membulat sempurna karena suara lantang Berly dan tubuhnya yang digoyangkan dengan kuat.
" Apa?! "
Sherin memegangi dadanya yang terasa begitu bergemuruh karena cara Berly membangunkannya sangat kasar. Apalagi Sherin selalu hidup sendiri dan jarang kedatangan tamu, tentu saja dia sangat kaget. Untung saja dia langsung mendapati akal sehatnya, kalau tidak dia pasti sudah menepak kepala Berly.
" Apa kau tidak bisa lebih lembut saat membangunkan ku? kau hampir membuat jantungku berlari meninggalkan tubuhku! "
Sherin menepuk-nepuk dadanya yang masih berdebar kencang.
Berly menatap sebal kakaknya itu. Dia sudah membangun kan Sherin dengan lembut untuk merebut hati Kakaknya, tapi dia malah tak bergeming, mulutnya juga sangat berisik saat tidur. Mau tidak mau dia menggunakan suara ekstra keras dan menggoyang-goyangkan dengan kuat tubuh kakaknya.
" Suara dengkuran kakak lebih keras loh dari suara ku memanggil kakak tadi. "
Berly kembali bertingkah sok imut. Sebenarnya dia amatlah kesal kalau harus berpura-pura manis seperti ini. Tapi, dia juga menyadari jika kakak nya pasti keberatan merawatnya. Jika tidak dengan kakaknya, lalu dengan siapa lagi? Ayah kandungnya sudah menikah dan tidak bisa mengurusnya. Lalu Ibunya juga sudah menikah kembali. Dia tidak memiliki siapapun sekarang ini selain Sherin. Kakak yang hanya sekali ia temui saat baru dilahirkan.
" Jangan omong kosong! mana mungkin aku mendengkur?! " Protes Sherin yang tak terima jika dia dikatai mendengkur oleh Berly.
" Baiklah, lain kali akan aku rekam kan. " Berly tersenyum.
Sherin menghela nafas lalu mengusap wajahnya. Sebenarnya penting juga untuk segera bangun, karena dia juga harus mempersiapkan barang-barang Berly lalu memesan taksi online untuk mengantarnya ke ibu kota. Tempat dimana rumah sakit pusat menunggunya.
" Baiklah, ayo kita bereskan barang-barang mu sembari menunggu sarapan. " Sherin bangkit menuju kamar Berly untuk mengemas baju Berly.
" Dimana baju mu? " Tanya Sherin kepada Berly yang masih berdiri mematung di belakangnya. Tak menjawab, Berly justru langsung membuka lemari dan mengeluarkan sebuah tas kecil berwarna coklat.
" Tidak perlu di kemas, kakak. Aku belum mengeluarkan bajuku. "
Sherin mengeryit bingung. Karena tas yang Berly pegang hanyalah sebuah tas yang berukuran sedang. Mungkin saja hanya empat atau lima setel baju saja yang tertampung disana.
" Hanya itu barang yang kau punya? "
Berly mengangguk.
" Ibu hanya memberikan empat baju ganti di dalam sini. "
Sherin benar-benar tak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia masih tidak bisa mempercayai Ibunya yang seolah sedang membuang anaknya terang-terangan. Bahkan dia yang bukan seorang Ibu merasa tidak tega melihatnya.
" Ibu mu memberi uang? "
Berly menggeleng. Sherin lagi-lagi memukul dadanya sedikit lebih kuat. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan cara berpikir Ayah dan Ibunya Berly. Memanglah, Ibunya Berly juga adalah Ibunya. Tapi kenapa selaku terulang hal yang seperti ini? menikah dengan tujuan ingin dibiayai hidupnya. Tapi setelah tidak nyaman dengan mudahnya meminta cerai tanpa perduli apa pun tentang anaknya. Sebenarnya bukan hanya Sherin dan Berly korban dari ke egoisan Ibunya. Sebelum menikah dengan Ayah kandungnya Sherin, Ibu juga sudah memiliki anak degan mantan suaminya. Tapi karena perceraian yang tidak jelas apa maksudnya, lalu menjadi berkepanjangan dengan segala drama di dalamnya, anak mereka menjadi korban. Untunglah ada seorang tetangga yang mau merawatnya dan sekarang sudah menjadi anggota keluarganya. Sherin dan kakaknya Memnag jarang berkomunikasi, tapi setidaknya hubungan mereka ada di batas baik-baik saja.
" Baiklah, berikan tas itu padaku. Aku akan memasukkannya ke koper ku. Setelah sampai di ibu kota, baru nanti kita beli baju untukmu. "
Berly mengangguk dan menyerahkan tasnya. Dia tak mengatakan apapun dan hanya diam sembari menatap nanar punggung kakaknya yang menjauh dan meninggalkannya sendiri di kamar.
Terimakasih, kakak. Saat dewasa nanti, aku akan membalas kebaikan yang sudah kakak berikan kepadaku. Aku janji.
Beberapa jam telah berlalu.
Sherin dan Berly sudah sampai ke sebuah apartemen yang ia pesan melalui online. Apartemen yang bisa dibilang mewah dan memiliki fasilitas lengkap dengan pelayanan yang baik.
Tak membutuhkan bantuan, Sherin membawa barang-barangnya sendiri bersama Berly. Bukan tidak mau membuang uang, hanya saja barang yang mereka bawa hanyalah baju dan beberapa sepatu dan tas milik Sherin. Semua itu bisa Sherin kemas hanya dengan dua koper besar.
Sherin tersenyum lalu bernafas lega karena akhirnya sudah sampai di pintu unit miliknya.
" Ayo Berly. " Ajak Sherin. Gak mendapat jawaban, Sherin memalingkan wajah agar bisa melihat apa yang dilakukan oleh Berly.
Sherin terperangah melihat Berly yang bersemu merah pipinya karena entah sejak kapan matanya dan mata anak laki-laki super tampan itu saling bertatapan dan sama-sama tersenyum.
Ya ampun!!!! dua anak ini kenapa menatap penuh cinta?! hei! hei! aku saja belum pernah merasakan ada di posisi kalian. Bagaimana mungkin anak ingusan seperti kalian saling jatuh cinta?!
Merasa tak terima dengan apa yang dia lihat, Sherin langsung berdehem agar dua cecunguk itu berhenti saling melempar senyum malu-malu itu. Bukanya berhenti menatap, Berly justru berlari menghampiri anak laki-laki tampan itu.
" Hai "
Anak laki-laki itu tersenyum sebelum menjawab salam dari Berly.
" Hai juga. "
" Kau tinggal disini? " Tanya Berly sembari menunjuk pintu unit yang ada di dekat anak laki-laki itu.
" Iya. Kau tinggal disana? " Tanya anak laki-aki itu. Berly mengangguk.
" Kami baru pindah. "
" Oh, begitu ya. " Berly kembali mengangguk.
" Siapa namamu? " Tanya Berly lalu mengulurkan tangannya.
" Namaku Nathan. " Nathan menerima uluran tangan Berly lalu tersenyum.
" Aku Berly. Senang berkenalan dengan mu. Mulai saat ini kita berteman ya? dan siapa tahu kita akan menikah saat dewasa. "
Sherin menutup bibirnya dengan telapak tangan. Sungguh dia begitu iri dengan rasa tidak tahu malu yang Berly miliki. Kalau saja dia seperti Berly, pasti dia sudah memiliki kekasih saat ini.
TBC
Sherin mengembangkan senyu dan membuatnya agar terlihat semanis mungkin. Lama dia berkaca mengatur senyum agar terlihat elegan dan manis. Sebenarnya pengalaman mengajarkannya betapa penting tersenyum dengan manis dan tulus agar orang mudah menerima nya. Setelah beberapa saat sibuk dengan senyumnya, Sherin berjalan dan menyambar mini bag nya sebelum meraih handle pintu dan pergi meninggalkan kamar barunya. Ini adalah hari pertama baginya di tempat kerja yang baru, teman-teman yang baru dan suasana yang sudah pasti baru.
Kini kaki Sherin sudah berpijak di Lobby rumah sakit. Saat dia akan kembali melangkahkan kaki, dia begitu merasa aneh karena tatapan mata kebanyakan orang mengarah kepadanya. Tidak mau begitu percaya diri, Sherin langsung memutar kepalanya kebelakang. Benar saja, seorang pria tampan yang sudah pasti seorang Dokter dilihat dari baju yang ia kenakan. Sherin yang tak mengabiskan waktu percuma, langsung saja melanjutkan langkah kakinya dan memenuhi beberapa prosedur sebelum mulai bertugas.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, sekarang dia sudah di antar ke ruangannya. Memang begitu berbeda dari ruangan kerjanya terdahulu. Ruangannya sekarang benar-benar rapih, bersih, wangi dan yang pastinya lebih luas. Sherin memeriksa satu persatu peralatan medisnya. Sungguh dia dibuat terkagum-kagum dengan kelengkapan ruang prakteknya.
Sherin meraih kursi yang akan ia gunakan sebagai meja ke besarannya saat bekerja nanti. Perlahan dia mulai menduduki kursi itu.
" Oh ya ampun! empuk sekali ya kursinya. Kalau saja aku duduk di kursi seperti ini dari dulu, pantat ku pasti tidak akan tipis seperti sekarang ini kan? "
Sherin memutarkan kursinya ke kanan dan ke kiri dengan perasaan bahagia yang tidak bisa ia gambarkan. Dia benar-benar bahagia dan berharap semua rekan kerjanya akan menerimanya dengan baik.
" Ah,... memiliki banyak teman sepertinya benar-benar menyenangkan. "
Sherin kembali bangkit lalu memakai seragam yang sudah ia siapkan didalam bag tenteng yang ia bawa tadi. Dia kembali tersenyum bangga melihat seragam itu. Dia bisa sampai disini benar-benar dengan usahanya sendiri. Kerja paruh waktu, tidak perduli hujan atau panas demi memenuhi kebutuhan pribadinya. Untunglah rasa terpaksa nya membuat ia menjadi pintar dan mendapatkan beasiswa karena tidak ada yang mau membiayai sekolahnya.
Tidak banyak yang bisa ia kerjakan selain membereskan beberapa barang-barangnya. Setelah merasa rapih dan sesuai dengan yang ia inginkan, Sherin melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya.
" Eh? sudah jam satu siang ya? pantas saja perut ku lapar. "
Sherin keluar dari ruangannya untuk mencari kantin rumah sakit. Memang sempat kebingungan, tapi seorang perawat menunjukkan jalan menuju kantin dan akhirnya sampailah Sherin disana. Sherin menghembuskan nafas melihat ramai nya kantin rumah sakit. Terlebih tidak ada tempat yang tersisa untuknya duduk dan menikmati makan siangnya disana.
" Sudahlah, lebih baik aku pergi ke kafe sebelah rumah sakit ini saja. Beli saja makanan yang paling murah. Kalau tidak ada yang murah, ya sudah minum saja air keran sampai kenyang. " Dengan rasa kecewa yang nampak di wajahnya, Sherin melangkahkan kaki menuju Lobby lalu berjalan sedikit lagi untuk sampai di kafe tujuan nya.
Akhirnya Sherin bisa bernafas dengan lega sekarang. Kafe itu benar-benar memiliki begitu banyak tempat kosong rupanya. Sherin memesan satu porsi roti bakar dan segelas jus mangga kesukaannya. Setelah pesanannya datang, Sherin yang sudah merasa dahaga langsung menyedot jusnya dengan rakus hingga tersisa setengah dari tinggi gelasnya.
Dia kembali tersenyum saat merasa berhasil menghilangkan dahaganya. Tak mau membuang waktu, dia langsung menyergap roti bakar itu hingga habis tak tersisa. Entahlah, perasaannya benar-benar bahagia saat ini hanya karena satu porsi roti bakar dan segelas jus mangga. Atau mungkin, karena hari ini dia benar-benar bahagia jadi semua hal terasa indah?
" Ugh! " Baru saja selesai menelan makan super nikmat, serang malah ingin keluar lagi gara-gara tidak sengaja melihat sepasang manusia sedang berciuman dengan lidah yang saling melilit.
Sepasang kekasih itu terganggu dengan suara menahan muntah Sherin dan kompak menatap ke arahnya. Sherin yang menyadari tatapan kedua manusia itu terarah padanya, dia melotot kaget dan langsung mengubah posisi duduknya agar membelakangi mereka.
Eh? mereka dengar ya? lagi pula bukan salah ku juga kan? aku hanya jijik melihat cara mereka berciuman. Ih! kenapa sih lidah mereka harus seperti itu?
Sherin benar-benar tidak berani lagi menatap sepasang manusia yang tidak tahu malu itu, berciuman kok di tempat umum.
Tunggu! bukanya itu Dokter tampan yang tadi pagi? sungguh Dokter yang luar biasa mesumnya. Dia itu tidak waras atau apa sih?! kalau tadi aku sampai muntah, rugi sekali jadinya kan? roti bakar saja sudah hampir dua ratus ribu. Kalau aku jadi Ibunya, sudah aku jewer telinga mereka sampai putus.
Setelah mencuri pandang dan memastikan mereka sudah get out, barulah Sherin bangkit dan kembali ke gedung rumah sakit. Sialnya dia tidak sengaja bertemu dengan Dokter pria itu lagi di Lobby. Suasananya Memang berbeda, karena Dokter tampan itu tengah dikerubungi para suster cantik. Sherin yang memang tidak tertarik, lebih memilih untuk kembali ke ruangannya dan mengacuhkan tatapan Dokter tampan itu yang seolah ingin menjitak kepalanya.
Ih seram sekali tatapannya. Aku kan tidak sengaja ingin muntah tadi. Aku tidak berniat mengganggumu loh. Maaf ya? by!
Pria yang tak lain adalah Kevin, menatap ke arah Sherin yang berlalu begitu saja. Dia memang sempat kesal saat dia dengan jelas menahan muntah tadi. Tapi kini ia dibuat makin kesal karena Sherin tidak terlihat tertarik kepadanya seperti kebanyakan para gadis lainya.
Sebelum masuk ke ruangannya, Sherin sempat menegur beberapa suster dan sedikit ikut mengobrol dengannya. Tapi sayang, yang sedang mereka obrolkan adalah pria yang sedang dikerumuni di Lobby. Yah, akhirnya dia tahu nama pria itu dari obrolan para perawat. Sebanarnya sangat malas mendengar Nama Dokter itu terus keluar dari mulut mereka, tapi demi mendapat teman dan agar bisa berbaur, Sherin terus memaksakan bibirnya untuk tetap tersenyum seolah-olah dia begitu tertarik. Sudah tak tahan lagi, Sherin beralasan lalu meminta izin untuk menuju ruangannya.
" Yang benar saja, mana ada manusia sesempurna itu? mungkin benar kalau Dokter itu hebat. Tapi please... kenapa mereka memuja-muja Dokter, Dokter siapa ya namanya tadi? " Sherin menggaruk kepalanya dengan jari telunjuk tapi tak menghentikan gerak kakinya yang terus melangkah.
" Ah namanya saja aku sudah lupa. Dokter tertampan dan idola rumah sakit? Pft....! " Sherin menutup bibirnya menggunakan punggung tangannya.
" Lucu sekali. Apa kalian tidak rugi mengidolakan Dokter mesum itu? kupingku saja pegal saat mendengar namanya, Dokter, Dokter siapa sih aku lupa. "
" Kevin. "
Sherin menghentikan langkah dan langsung membalikkan tubuhnya ke arah belakang. Matanya melotot sempurna dengan bibir yang terbuka.
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!