NovelToon NovelToon

Wulan Di Malam Luka

Prolog

Surabaya, 31 Juli 2021

Aku sedang memandangi jalan raya yang sarat kendaraan berlalu lalang dari jendela kantorku di lantai 10. "Sebentar lagi. Sebentar lagi aku akan kembali kesana", gumamku. Aku, Wulan Febriana Lestari, 29 tahun. Saat ini aku bekerja sebagai Manager Accounting PT. Textille Globalindo. Sebuah perusahaan tekstil terbesar se-Asia Tenggara, memiliki banyak anak cabang baik di dalam maupun luar negeri di kawasan Asia Tenggara. Kantor tempatku bekerja sekarang adalah pusatnya.

Beberapa saat yang lalu aku baru saja membaca surel yang masuk ke alamat emailku. Sebuah surat penunjukkan dari dewan direksi untuk memimpin proyek pembangungan cabang perusahaan baru di Desa Karang Gayam. Salah satu desa/kelurahan di Kota Pasuruan. Bukan tanpa alasan pihak direksi memutuskan bahwa akulah yang akan memimpin proses pembangunan pabrik tersebut, karena akulah yang mengusulkan lokasi tersebut. Dan bukan tanpa alasan pula aku mengusulkan desa tersebut.

Tok tok. Ketukan dipintu membuyarkan lamunanku. "Masuk!" jawabku singkat, mempersilahkan tamu yang mengetuk ruangan kerjaku.

Ceklek. Suara handle pintu kantorku yang terbuka. "Selamat pagi menjelang siang Bu Wulan," kata Novi, sekretaris dewan direksi, seraya mendekat ke mejaku. Gadis itu membawa dokumen dalam pelukannya.

Aku yang saat itu sedang berdiri di depan jendela kantorku beringsut kembali ke kursiku. "Silahkan duduk, mbak Novi. Ada keperluan apa?" jawabku sambil duduk.

Novi menarik kursi diseberang mejaku, kemudian duduk. Dibukanya dokumen yang dibawanya. Sambil meletakkan dokumen di mejaku, Novi berkata menjelaskan maksud kedatangannya. "Saya ingin meminta tanda tangan Bu Wulan untuk surat perintah penunjukkan pembangunan pabrik baru."

"Oh iya, tentu. Saya baru saja membaca emailnya tadi. Sudah saya pelajari juga, jadi saya tinggal tandatangan" ujarku. Aku membubuhkan tandatanganku pada dokumen yang dimaksud. Setelah mengamati tandatanganku sejenak, aku kembali menyerahkan dokumen tersebut kepada Novi.

"Ini mbak Novi," ujarku.

"Terima kasih, Bu," jawab Novi sambil menerima kembali dokumen. "Oh, Iya Bu. Ada pesan juga dari pihak direksi. Setelah makan siang, akan ada rapat dengan pihak kontraktor yang akan menangani pembangunan pabrik. Ibu juga diminta hadir."

"Tentu. Terima kasih infonya ya Mbak," jawabku menyanggupi permintaan pihak direksi.

"Saya permisi kalau begitu, Bu," Novi pamit padaku.

Aku mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.

Lantai sepuluh tempat kantorku berada merupakan lantai tertinggi dari gedung tempatku bekerja. Lantai yang dikhususkan bagi pegawai level manager dan direktur. Untuk mencapai posisi ini tak mudah bagiku. Jatuh bangun dan air mata menyertai usahaku untuk menempati ruangan kantor dengan label "Manager Accounting" pada pintunya. Ruangan dengan ukuran 6x5 meter yang dilengkapi AC, karpet tebal warna merah terang pada lantainya, sebuah meja berbentuk L dengan seperangkat komputer dan dokumen-dokumen diatasnya, kursi putar tempatku duduk, dan 2 buah kursi tamu diseberangnya. Jendela kaca besar menghiasi ruanganku, jendela yang langsung menghadap kearah jalan jika aku menundukkan pandangan.

Jam sudah menunjukkan waktu makan siang. Aku bergegas pergi ke kantin untuk mengisi perut yang meronta menuntut haknya. Setelah makan siang selama 30 menit aku kembali ke ruanganku. Sesampai di ruangan, aku menyiapkan dokumen untuk meeting bersama kontraktor dan dewan direksi.

Meeting berlangsung lancar selama 2 jam. Pihak kontraktor memaparkan desain yang akan digunakan untuk membangun pabrik baru dan langsung disetujui pihak direksi. Setelah berbasa-basi sedikit, aku pamit untuk kembali ke ruanganku. Ada laporan keuangan dari pabrik cabang di Jember yang harus segera aku periksa.

Laporan keuangan cabang Jember yang aku terima membuat pusing kepala. Ada indikasi dana yang digelapkan. Segera aku menghubungi pihak auditor internal cabang setempat agar segera melakukan audit.

Tak terasa aku memeriksa laporan selama 3 jam, membuatku penat. Aku meraih ponsel yang ada di atas mejaku, menghubungi nomor yang aku inginkan.

"Halo sayang," ucapku begitu panggilan diseberang sana menjawab teleponku. "Udah makan?", tanyaku.

Suara jawaban diseberang sana membuatku ingin bergegas pulang, aku merindukan priaku.

Dalam hidupku saat ini hanya ada 2 orang penting. Priaku dan seorang wanita yang saat ini tinggal bersamaku, wanita yang menolongku saat keadaanku benar-benar terpuruk, yang aku anggap sebagai ibuku sendiri. Ibu kandungku? Entah, aku sendiri tak tahu dimana rimbanya. Aku hilang kontak dengan ibuku semenjak aku meninggalkan Desa Karang Gayam.

Aku melajukan mobilku dalam diam. Mengenang dan menyusun rencana-rencana yang akan lakukan untuk kembali ke desa kelahiranku. Tempat yang memberi luka dan anugrah dalam hidupku. Luka terdalam sekaligus anugrah terindah bagi seorang wanita.

"Sebentar lagi. Tunggu aku. Balas dendamku untuk kalian akan sangat sakit. Jauh lebih sakit dari luka yang kalian torehkan padaku" setetes air mata lolos membasahi pipiku.

Bab 1. Awal Perjuangan

Desa Karang Gayam, April 2010

Aku sedang sibuk mengerjakan latihan soal ujian masuk perguruan tinggi di jam istirahat. Aku bersekolah di salah satu SMA favoritku di kota Pasuruan.

"Pssstt, Lan. Ke kantin yuk!" ajak Lisa, sahabatku lain kelas, dari jendela kelasku.

"Ga ah, Lis. Lagi sibuk. Titip es teh aja ya. Nanti aku ganti" jawabku.

"Biasaan!" cibir Lisa berlalu ke kantin.

Sekalipun berkata sambil mencibir Lisa selalu membelikan apa yang aku titipkan. Terkadang ia tidak mau mengambil uang yang aku serahkan.

Baru 5 menit Lisa meninggalkanku, suara langkah kaki seseorang yang mendekat membuatku mendongak dari kegiatan belajarku untuk melihat siapa yang datang. Aku tersenyum tatkala mengetahui pria yang mendekatiku.

"Serius amat yank belajarnya," Ryo mengacak rambutku saat telah sampai di tempat aku duduk.

"Ga ke kantin?" tanyaku padanya.

"Males. Mending ngapelin kamu" jawab Ryo sambil nyengir. Ryo duduk di bangku sebelahku.

Alasan sebenarnya Ryo tidak ke kantin sama denganku, berhemat. Ryo Anggara adalah kekasihku sejak kelas XI. Wajahnya biasa saja, tidak tampan juga tidak jelek. Cukup tinggi untuk ukuran pria, sekitar 180 cm karena Ryo anak basket. Sayangnya berat bedannya tak begitu proporsional dengan tingginya, berkisar 65 kg sehingga terkesan kurus. Rambut hitam, bola mata hitam, kulit kecoklatan. Tidak ada yang istimewa pada diri Ryo. Aku menerimanya menjadi kekasihku, hanya karena dia sopan. Pria-pria lain di sekolahku sering kali menatapku dengan tatapan menjijikkan, penuh ***** yang membuat aku jengah.

Dengan tinggiku 160 cm, berat 52 kg bisa dikatakan badanku proporsional. Lisa bilang aku seksi dan cantik, body gitar, area depan dan belakang menonjol, betis yang menyerupai model yang berjalan di catwalk, kulit kuning langsat, rambut lurus sepunggung dan lesung pipi yang menambah kecantikanku.

"Kenapa masih belajar? Kan kita udah daftar beasiswa penuh ke universitas?" Ryo bertanya padaku. Aku dan Ryo memang sama-sama mendaftar beasiswa pendidikan penuh ke universitas di Surabaya. Ryo mendaftar ke universitas negeri ITS Surabaya, sementara aku mendaftar ke Universitas Petra.

"Tapi kan belum ada kepastian yank, lolos atau tidak. Pokoknya jangan kasi kendooorr," selorohku sambil terkikik.

"Apaan kendor? Kamu udah kendor, Lan?" kata Lisa yang baru datang dari kantin, membawa sebungkus plastik berisi jajanan dan dua bungkus es teh.

"Mulut yaa, mulut!" aku mendelik sewot, sementara Ryo hanya berdecak sambil menggeleng pasrah.

"Hahahaha. Lagian kendar-kendor depan pacar. Nih es teh kamu, Lan. Duitnya gampang deh." Lisa menyerahkan es teh pesananku.

"Aku ga beliin kamu, Yo. Ga tahu kalau kamu ada disini." lanjut Lisa pada Ryo.

"Aku berdua sama Wulan," jawab Ryo sambil nyengir.

"Dih, najong!" cibir Lisa.

"Belajar apaan lagi, Lan? Udah keterima di universitas swasta terbaik kok. Pacarnya di universitas negeri terbaik. Ngiri deh sama kalian," Lisa menghembus nafas kasar, tak habis pikir pada sahabatnya yang hobby belajar.

"Sama aja nih berdua. Ryo juga barusan nanya gitu. Kan belum ada kabar kepastiannya, Neng. Aku tetap harus mengantisipasi kemungkinan terburuk," jelasku.

"Ya ya ya. Suka-suka kamu deh," jawab Lisa mendengar penjelasanku. Otak dan wajah Lisa memang biasa saja. Selama bersahabat denganku, dia sering membandingkan dirinya denganku. Dia selalu bilang, bahwa dia salah memilih teman. Aku lebih segala-galanya dari dia, begitu kata Lisa. Tapi hanya sampai disitu, Lisa tak pernah berkata buruk atau menjelekkan diriku di belakangku.

Sebenarnya Lisa manis. Bibir merah alami, pipi sedikit chubby yang menggemaskan, rambut hitam sebahu, kulit kuning langsat, tinggi 154 cm, dan berat 55 kg. Hanya saja dia "rata". Manusia memang seperti itu, selalu melihat kekurangan padahal ada banyak kelebihan lain yang dimiliki.

Aku, Lisa dan Ryo satu kelas saat kelas X. Menginjak kelas XI, Ryo masuk kelas IPA, sementara aku dan Lisa masuk kelas IPS. Kelas XI aku sekelas dengan Lisa, tapi kemudian berpisah pada saat kelas XII.

Ryo menembakku saat awal-awal kelas XI, dan aku langsung menerimanya karena aku memang juga menyukainya. Dia pria sopan yang aku kenal, tak pernah berani berlama-lama menatapku. Tak seperti pria lain yang memandangku dari ujung kepala sampai ujung kaki seolah menelanjangiku.

Selama sisa jam istirahat itu, aku habiskan dengan latihan soal. Lisa sibuk dengan ponselnya. Dan Ryo, sibuk memainkan rambutku dengan jarinya sembari memandangiku belajar. Sesekali menyodorkan sedotan es teh untuk kusesap.

20 menit kemudian, bel tanda istirahat berakhir terdengar. Ryo dan Lisa pamit untuk kembali ke kelas masing-masing. Ryo memberikan kiss bye padaku sementara Lisa mencibir sambil sambil mendesis, "Idiiihh". Aku tertawa pada tingkah konyol mereka.

Hari ini hari Jum'at, waktu sekolah singkat. Tersisa satu mata pelajaran dengan durasi 2x45 menit setelah jam istirahat.

Mengejar impian, melelahkan sekaligus menyenangkan.

Bab 2 Rencana Kencan

Bel tanda akhir pelajaran berbunyi, aku bergegas mengemasi barang-barangku. Aku tak mau membuat Lisa menunggu terlalu lama. Setiap pulang dan pergi sekolah aku selalu nebeng pada motor Lisa karena kami searah. Meski searah, tapi rumah Lisa lebih dekat dengan sekolah. Jadi Lisa hanya memboncengku sampai depan gang rumahnya, kemudian aku melamjutkan berjalan kaki ke rumah sekitar 250 meter.

Lisa sudah menungguku di depan ruang kelasnya. Sambil menggamit lenganku Lisa mengajakku segera pulang, "Yuk langsung pulang, Lan. Keroncongan nih! Tadi ga sarapan, siang cuma kebagian donat sebiji. Gara-gara pisang molenku diembat sama cowok kamu!" Lisa bersungut-sungut mengingat saat istirahat tadi.

"Hahaha udah sih ikhlasin aja. Aku ke kelas Ryo bentar ya. Ada perlu.5 menit doang," ujarku sembari melepaskan lengan Lisa, kemudian berlari ke kelas kekasihku.

"Lima menit, Lan!" Lisa meneriakiku yang berlalu meninggalkannya.

"Beres!" seruku.

Sampai di depan kelas Ryo, kekasihku itu sedang berjalan keluar kelas. Aku tersenyum menyambutnya. Ryo menggamit tanganku untuk digandengnya.Kami terbiasa ke parkiran bersama karena Ryo tak pernah mengantarku pulang. Rumah Ryo dan rumahku berlawanan arah. Hanya pada hari Sabtu Ryo akan mengantarku pulang, karena hari itu adalah jadwal kami berkencan.

Sambil berjalan ke area parkir kami berbincang mengenai rencana kencan besok.

"Besok mau kemana?" tanya Ryo padaku.

"Hmm, kemana aja deh. Nonton boleh," jawabku padanya.

"Oke, nontonnya aku yang bayarin. Kamu bayarin makannya ya? Hehehe" Ryo mengiyakan ajakanku.

"Siap, Bos!" candaku.

"Udah ditungguin Lisa tuh!" tunjuk Ryo pada arah gerbang sekolah.

"Ish, kenapa pula Lisa harus ngobrol bersama empat pria itu. Aku tak suka cara mereka memandangku." Aku mengeluh kesal karena melihat Lisa sedang berbincang dengan "Genk Kece", begitulah empat pria itu menamai kumpulan mereka.

"Langsung pulang aja. Tidak perlu meladeni mereka. Mereka pria-pria brengsek," Ryo pun juga tak begitu menyukai teman-teman sekelasnya itu. Menurut Ryo mereka hanya pria-pria sok keren yang mendompleng kekayaan dan jabatan orang tua mereka.

"Aku duluan yank," pamitku pada Ryo.

Ryo mengangguk dan melepaskan tanganku. "Hati-hati, ya. Bilang Lisa jangan ngebut bawa motornya." kata Ryo menasihati.

Aku melambai pada Ryo yang memasuki lahan parkir untuk mengambil motornya. Lalu dengan enggan aku menuju Lisa yang sedang menungguku. Sebisa mungkin aku menghindari interaksi dengan Genk Kece. Cara mereka menatapku seperti kucing kelaparan yang melihat ikan, membuatku risih. Terutama pada Deni Wiratmaja, ketua genk itu. Deni tampan, ayahnya kaya karena pemilik usaha satu-satunya di desa Karang Gayam. Menyadari ketampanan dan kekayaannya menjadikan Deni sosok yang sombong.

"Yuk langsung, Lis", ajakku pada Lisa yang duduk di atas jok motornya tanpa berbasa basi dengan mereka berempat.

Lisa yang terlihat sedang mengagumi salah satu anggota Genk Kece terlonjak karena tak menyadari kehadiranku. Lisa memang menyukai Prastama Andrean sejak kelas X.

"Aku anter ya, Lan" kata Deni merespon ajakanku pada Lisa.

Mending aku jalan kaki! Rutukku dalam hati. "Aku bareng Lisa aja, Den!" tolakku halus.

"Kamu pacaran sama Ryo yang miskin mau Lan, sama aku yang tampan dan kaya ga mau!" Deni menggeram tak terima dengan penolakanku.

"Urusan hati ga bisa dipaksa, Den. Ayuk Lis" jawabku pada Deni dengan ketus sembari menggamit tangan Lisa.

"Ya udah naik, buruan!" kata Lisa segera menstarter motornya, menyadari keenggananku.

Dalam perjalanan aku mengecam Lisa yang tadi asyik berbincang untuk menarik perhatian Tama. "Ngapain sih Lis, tadi nunggu depan anak-anak itu? Mana ngeliatin Tama sampe melotot gitu lagi."

"Duh Wulan, kamu kan tau aku udah kesengsem sama pria jangkung itu," jawab Lisa.

"Untung aja kamu kesengsemnya sama Tama, bukan sama Ryo. Kan mereka berdua jangkung banget." Aku berandai-andai sendiri, bergidik membayangkan dirinya akan berebut seorang pria dengan sahabatnya. Tak lucu! pikirku.

"Lagian kenapa sih, kamu ga suka sama Tama? Aku rasa dia asyik-asyik aja orangnya" tanya Lisa padaku.

"Aku bukannya ga suka sama Tama, Lis. Aku cuma ga suka teman pergaulannya, si Deni brengsek. Maaf maaf aja ya Lis, lagian Tama juga kayaknya ga suka sama kamu. Aku ga suka sama orang yang ga suka sahabatku," terangku panjang lebar.

Huuft. Lisa mendesah kasar. "Ya emang sih, Lan. Tapi aku akan tetap usaha buat mendapatkan perhatian Tama." ungkapnya sedih.

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Seperti kataku pada Deni tadi, urusan hati tak bisa dipaksa. Lisa sudah menyukai Tama sejak lama, tapi sayangnya tidak begitu dengan Tama. Tama pria jangkung hampir setinggi Ryo, berwajah semi kotak, hidung mancung, alis dan mulut tebal, kulit kecoklatan. Dan seperti kebanyakan pria lain, alasan Tama tak melirik pada Lisa adalah karena Lisa "rata". Aku tahu alasan Tama tak menyambut Lisa karena aku sering memergokinya curi-curi pandang menatapku. Seandainya Deni tidak terang-terangan mengatakan ingin menjadikanku kekasihnya, mungkin Tama akan menyatakan cintanya padaku.

Sisa perjalanan itu kami habiskan dalam diam. Setelah dua puluh menit perjalanan, kami sampai di depan gang yang menuju rumah Lisa. Lisa menghentikan motornya untuk menurunkanku.

"Makasih Lisa sayang tumpangannya. Besok jangan telat lho, aku tunggu disini kayak biasanya". Aku mewanti-wanti Lisa yang memang sering terlambat.

"Siap bos! Aku duluan ya." pamit Lisa, kemudian melajukan motornya masuk gang yang menuju rumahnya.

Sementara aku, melanjutkan perjalanan menuju rumahku. Bersiap menerima serentetan kata-kata pedas dari ibuku karena jadwal kencanku besok dengan kekasihku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!