"Bell, ayo cepetan. Kita udah telat nih." Ucap Clarissa adik tirinya.
"Iya-iya. Sabar, aku lagi pakai sepatu nih." Balas Bella.
Isabella Aurelia Dinata terlahir dari keluarga kelas menengah, kehidupannya begitu sempurna. Ia memiliki paras yang cantik, dan papa yang sangat menyayanginya. Sejak kecil, Bella tinggal bersama papanya, setelah mamanya meninggal saat melahirkan dirinya.
Selang satu tahun, papa Bella, Pak Indra Dinata menikah dengan Bu Maya yang tak pernah bisa menerima kehadiran Bella. Hingga pada akhirnya Bu Maya melahirkan seorang anak perempuan bernama Clarissa.
Berbagai cara sudah dilakukan Bu Maya untuk membuat Pak Indra membenci Bella. Namun semakin kuat ia berusaha, justru semakin membuat Pak Indra menyayangi Bella.
Bu Maya bahkan menghasut Clarissa anaknya, agar ikut membenci Bella. Ia menanamkan rasa iri di hati Clarissa terhadap Bella sejak kecil.
Malam ini, Clarissa dan mamanya sudah merencanakan suatu siasat agar Bella dibenci oleh papanya. Clarissa dan Bu Maya tak terima saat mengetahui bahwa Bella dijodohkan dengan anak konglomerat sahabat Pak Indra. Hal itulah yang membuat keduanya berniat untuk memfitnah Bella.
Bella dan Clarissa tiba di sebuah pesta yang dikatakan Clarissa sebagai pesta ulang tahun sahabatnya itu. Keduanya tampil cantik dengan gaun berwarna gold. Namun, lagi-lagi pandangan semua orang lebih tertuju pada Bella. Hal itu membuat Clarissa semakin sakit hati.
"Bell, kamu tunggu disini ya. Aku ambil minum dulu." Ucap Clarissa.
'Tumben banget Clarissa baik sama aku.' gumam Bella.
Dengan cepat Bella menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ah, mungkin saja Clarissa benar-benar berubah." Ucap Bella meyakini dirinya sendiri.
Dari tempat yang tak jauh dari posisi Bella duduk, seorang pemuda tampan memandanginya tanpa berkedip sedikitpun.
"Benar-benar cantik..." Ucapnya sambil tersenyum.
Tak lama Clarissa kembali dengan dua gelas minuman berwarna merah di tangannya.
"Nih minum..." Ucap Clarissa.
"Makasih." Balas Bella.
Sekitar lima menit setelah meminum jus itu, Bella merasa kepalanya pusing sekali.
'Rasain kamu, tungguin aja, bentar lagi kamu bakal terima akibatnya karena udah ambil semua yang aku suka.' ucap Clarissa dalam hati.
"Riss kita bisa pulang sekarang gak, gak tau kenapa aku pusing banget nih." Ucap Bella.
"Yaaahh Bella, acaranya kan belum mulai. Masa udah pulang aja. Mmm... kalau kamu mau pulang, pulang sendiri aja deh."
"Tapi Riss, aku gak bisa pulang sendiri. Aku pusing banget."
"Aku gak peduli. Ini pesta teman kuliah aku. Gak mungkin dong aku pergi gitu aja." Ucap Clarissa jengkel.
Clarissa kemudian melihat kanan kiri dan terlihat celingukan.
"Ya udah, kamu tunggu disini. Aku mau cari bantuan temen aku dulu buat nganter kamu." Ucap Clarissa.
Clarissa meninggalkan Bella yang terlihat mulai kehilangan kesadarannya itu.
"Eh Ron, sana cepetan laksanakan tugas lo." Ucap Clarissa pada lelaki bertubuh kekar.
"Apa gue gak bisa ngelakuin hal yang lain setelah dapet foto-foto bugil dia?" Tanya Roni.
"Gue awalnya emang cuma nyuruh lo fotoin dia bugil sama lo. Tapi sekarang, gue serahin dia sama lo."
"Serius?" Tanya Roni tak percaya.
"Tentu." Balas Clarissa mantap.
Roni terlihat menggendong Bella keluar dari tempat pesta itu menuju mobilnya. Ia kemudian membawa Bella ke sebuah hotel yang tak jauh dari tempat pesta itu berlangsung.
Roni kemudian langsung membawa Bella ke kamar hotel yang sudah disewa sebelumnya dan meletakkan Bella di atas tempat tidur.
Satu persatu pakaian Bella dilucuti, hingga tak ada sehelai benangpun yang menempel di tubuh Bella. Dengan cepat Roni memotret tubuh Bella yang bugil. Setelahnya, Roni hanya membuka pakaiannya lalu ikut mengambil foto dengan Bella yang setengah badannya sudah ditutup selimut bersama dirinya.
Saat hendak melampiaskan ***** bejatnya, tiba-tiba Bella tersadar. Bella kaget mendapati dirinya terbaring tanpa mengenakan sehelai benangpun yang menempel di tubuhnya dan dihadapannya ada seorang lelaki bertubuh kekar tengah menatap dirinya penuh *****.
"Si-siapa kau? Kenapa aku bisa disini?" Teriak Bella.
"Wah, wah, wah, ternyata si putri cantik sudah bangun. Ah, jadi lebih baik. Karena jika kau hanya tertidur saja, kau tidak akan bisa menikmati permainanku." Ucap Roni.
"To-tolong lepaskan aku. Jangan apa-apakan aku, tolong lepaskan aku." Ucap Bella terduduk sambil memegangi selimut untuk menutupi dadanya.
Roni tersenyum licik, ia semakin mendekat ke arah Bella sembari tangannya terus berusaha melepas celananya.
"Jangaann." Teriak Bella mendorong Roni hingga terjerembab.
"Sialan..." Teriak Roni lalu menampar Bella dengan keras hingga membuat kepala gadis malang itu membentur tembok.
Bella kembali pingsan.
"Lebih baik begini." Ucap Roni.
Dari belakang secara tiba-tiba seorang laki-laki memukul Roni dengan keras. Roni tersungkur, niat hati ingin melawan tapi beberapa orang laki-laki lainnya menggebuki dirinya hingga lemas.
"Kalian semua keluarlah, bawa bajingan itu pergi jauh dari sini. Aku tidak mau melihatnya lagi."
"Baik..." Jawab empat orang pria lainnya.
Erlan Alexander, seorang presdir dari Xander Group, berusia dua puluh tiga tahun. Untuk pertama kalinya ia merasa tertarik pada seorang gadis.
Erlan harus menerima tanggung jawab sebagai seorang Presdir di usia muda, yaitu dua puluh tahun. Saat itu papa Erlan terkena stroke hingga tak dapat melakukan apa-apa.
Sejak saat itulah, Erlan dipaksa oleh keadaan untuk memimpin Xander Group. Hingga sampai saat ini, papa Erlan, Tuan Adam Alexander harus menjalani therapi agar ia bisa pulih kembali.
Erlan menatap Bella yang tak sadarkan diri. Pipi Bella terlihat memerah bekas tamparan.
"Benar-benar gadis yang cantik." Ucap Erlan sambil membungkuk memungut pakaian Bella yang berserakan di lantai.
Erlan duduk disamping Bella yang terbaring. Ia memandangi setiap sudut wajah Bella. Hingga ia terfokus pada bibir merah Bella yang terlihat menggoda.
Erlan membungkuk lalu mencium bibir tipis Bella. Nafas Erlan semakin memburu. Ia benar-benar dikuasai ***** karena melihat wajah dan pundak Bella yang putih mulus. Keinginan Erlan untuk meniduri Bella semakin kuat saat ia melihat seluruh lekuk tubuh Bella.
Malam terlarang pun terjadi. Erlan tak dapat lagi menahan dirinya, hingga ia akhirnya meniduri Bella.
*******************
Tersadar, Bella menatap jam yang menempel di dinding tembok kamar hotel itu menunjukkan pukul dua dini hari. Yang pertama kali dirasakan Bella adalah sakit di bagian bawah perutnya.
'Apa laki-laki itu sudah...?'
Air mata jatuh di pipi Bella. Sesaat ia menyadari bahwa tubuhnya tengah di peluk seseorang. Bella berusaha menyingkirkan tangan itu dari tubuhnya. Ia ingin segera kabur dari tempat itu.
Perlahan Bella akhirnya dapat melepaskan dirinya. Ia memunguti pakaiannya, lalu dengan cepat mengenakannya.
Sebelum pergi, Bella melirik ke arah wajah laki-laki yang tidur dengannya itu. Seingat Bella, lelaki yang membawanya ke kamar ini adalah lelaki bertubuh tinggi besar. Namun, yang dilihat Bella sekarang adalah laki-laki yang berbeda.
'Kenapa bisa berubah?' pikir Bella.
'Untuk apa aku memikirkan hal itu? Lebih baik aku segera pergi dari sini.'
Pagi harinya, Bella langsung diusir papanya keluar dari rumah.
"Papa malu punya anak seperti kamu." Teriak Pak Indra pada Bella.
"Pa, Bella bisa jelasin semuanya. Ini semua su...."
"Tutup mulut kamu. Mulai sekarang pergi dari rumah ini. Jangan bawa apapun selain pakaian yang menempel di tubuhmu itu."
"Riss, tolong jelasin sama Papa kalau...."
"Jelasin apa?" Potong Clarissa. "Jelas-jelas semalam kamu mabuk dan memilih meninggalkan aku demi bisa berduaan dengan kekasih kekar mu itu di kamar hotel." Sambung Clarissa.
"Ya Tuhan... Pa..."
"Sudah cukup, jangan bawa-bawa nama Tuhan. Segera angkat kakimu dari rumah ini. Kamu benar-benar sudah mencoreng nama baik keluarga ini. Papa tidak sanggup menghadapi masyarakat yang sudah melihat foto syurmu bertebaran di dunia maya. Cepat pergi, papa tidak mau lagii melihatmu." Teriak Pak Indra.
Bella akhirnya meninggalkan rumahnya, ia memutuskan untuk keluar kota dengan menumpang di mobil bak terbuka.
Hingga suatu hari ia menyadari bahwa dirinya tengah hamil. Dan kini ia sudah berada di kota Y menjalani hidupnya bertahun-tahun hanya ditemani anak semata wayangnya Noah yang kini berusia enam tahun.
"Tidak... Jangan... Jangan.... Lepaskan aku..." Teriak Bella yang kini berusia dua puluh tujuh tahun.
Kulitnya begitu putih, rambutnya hitam dan bergelombang. Bibirnya yang merah tak henti-hentinya mengigau dengan berteriak minta tolong.
"Toloong.... Jangan ganggu akuuu...." Teriaknya lagi.
Bocah laki-laki yang tengah tidur terlelap disampingnya itu terbangun mendengar teriakannya.
"Mah.... Mama... Bangun Ma. Mama kenapa?" Ucap bocah berparas tampan itu.
Seketika Bella, sang Mama, terbangun dengan keringat yang mengucur deras.
"Mama kenapa Ma?" Tanya bocah itu lagi.
Bella mengusap wajahnya perlahan lalu tersenyum ke arah puteranya yang kini berusia enam tahun itu.
"Mama gak apa-apa sayang. Cuma mimpi buruk saja." Balas Bella.
"Tapi Ma, hampir setiap malam Mama selalu teriak seperti itu."
Mendengar ucapan puteranya itu, Bella tersenyum getir.
"Noah sayang, Mama gak apa-apa. Beneran deh, Mama cuma mimpi buruk saja. Lebih baik Noah tidur ya. Besok kan harus pergi sekolah. Sekarang masih jam dua pagi loh."
Bocah bernama Noah itu mengangguk, lalu kembali berbaring di kasur lapuk yang sudah menjadi tempat tidurnya itu sejak kecil.
Kontrakan berukuran tiga kali empat meter itu sudah menjadi tempat bernaung bagi Bella dan anaknya Noah sejak tujuh tahun lalu semenjak Noah masih berada dalam perut Bella.
Bella menatap puteranya, Noah, yang selama ini menjadi alasannya tetap kuat untuk menjalani hidupnya yang serba kekurangan.
Noah terlahir sebagai anak yang genius. Ia begitu pintar dalam berbagai hal, mulai dari berhitung, membaca, dan yang lainnya. Tapi yang paling menonjol adalah kemampuan Noah dalam bermusik.
Sejak berusia tiga tahun, Noah sudah dapat membuat alunan musik nan merdu hanya dengan mengetuk-ngetuk sendok ke mangkok. Atau memukul-mukul ember dan benda lainnya yang mengeluarkan bunyi.
******************
Praaang....!!!
Sebuah vas bunga pecah karena dilempar ke tembok. Tiga orang laki-laki berbadan tegap dan berpakaian serba hitam tertunduk.
"Kalian semua bodoh, sangat bodoh. Butuh berapa ratus orang lagi agar aku bisa menemukan gadis itu. Kenapa kalian semua tidak becus...." Teriak Erlan.
"Ma-maaf Tuan Muda. Kami sama sekali tidak dapat menemukan jejak dari wanita yang Tuan Muda cari itu." Jawab salah seorang laki-laki yang berdiri di depan Erlan.
"Kalian semua memang bodoh..." Teriak Erlan lagi.
Erlan kemudian berjalan mendekat ke arah jendela, menatap seluruh kota yang terlihat jelas dari lantai teratas gedung Xander Group.
"Bagaimana bisa ketemu, nama wanita itu saja kita tidak tahu." Bisik salah seorang pria.
"Iya." Balas pria yang lainnya.
Erlan yang mendengar ucapan pria itu langsung berjalan mendekat dan memegang kerah baju pria itu.
"Jangan buat aku marah. Aku tidak perduli, bagaimanapun caranya, kalian semua harus menemukan wanita itu." Ucap Erlan penuh penekanan. "Kalau tidak, aku akan membuat kalian semua menderita." Lanjut Erlan.
"Ba-baik Tuan Muda."
"Sekarang keluar dari ruangan ku. Aku muak melihat kalian semua." Teriak Erlan lagi.
Secepat kilat tiga orang itu berlari keluar ruangan.
"Tuan Muda benar-benar menyeramkan jika sedang marah."
"Iya kau benar. Tapi sekarang, bagaimana cara kita menemukan wanita itu. Ini sudah tujuh tahun, dan tidak ada petunjuk apapun kita bisa menemukan wanita itu."
"Aku pusing..."
Begitulah percakapan tiga orang yang baru saja menemui Erlan.
Di dalam ruangan, Erlan membuang semua barang yang ada diatas mejanya.
"Tuan Muda tolong tenang, kita pasti bisa menemukan Nona itu." Ucap Pak Bimo, Sekretaris Erlan.
"Kau sama tidak becusnya dengan anak buahmu itu. Ini sudah tujuh tahun dan kau sama sekali tidak bisa menemukan tanda-tanda keberadaannya." Lagi-lagi Erlan berteriak.
"Maafkan saya Tuan Muda, saya pantas dihukum." Ucap lelaki paruh baya itu menunduk.
"Sudahlah, kalau saja kau bukan orang kepercayaan Papa, sudah ku tendang kau jauh-jauh."
Pak Bimo tertunduk, ia tak pernah mengambil hati setiap ucapan dan umpatan Erlan terhadapnya. Karena Pak Bimo tahu tempramental Erlan akan berubah saat sesuatu yang ia inginkan tak ia dapatkan. Walau begitu, semarah apapun Erlan, ia tak pernah menjatuhkan tangannya pada Pak Bimo.
Pak Bimo awalnya merupakan sekretaris Tuan Adam Alexander, papa Erlan. Tapi, sejak Tuan Adam jatuh sakit, dan menyerahkan jabatan Presdir pada Erlan, maka Pak Bimo ditugaskan menjadi sekretaris Erlan.
"Tuan Muda, apa Tuan Muda tidak ingin menyiapkan sesuatu untuk Tuan Besar? Hari ini Tuan Besar berulang tahun." Ucap Pak Bimo.
Erlan yang tengah duduk bersandar di kursi Presdirnya langsung duduk tegap.
"Ya Tuhan Pak Bimo.....!" Lagi-lagi Erlan berteriak. "Kenapa tak kau katakan dari tadi.... Hah..."
'Salah lagi... Salah lagi...' pikir Pak Bimo.
"Maafkan saya Tuan Muda, saya tidak sempat mengingatkan Tuan Muda, karena sejak tadi, Tuan Muda sibuk memarahi para pengawal." Jawab Pak Bimo.
"Bagaimana aku bisa lupa..." Erlan memijit pelipisnya. "Baiklah, kalau gitu siapkan sebuah kue yang besar untuk Papa. Masalah hadiah aku tidak tau harus menyiapkan apa, karena Papa sudah punya semuanya. Lebih baik aku bertanya saja padanya dia mau apa."
"Baik Tuan Muda, akan saya urus semuanya."
********************
"Happy birthday Pa..."
Erlan datang menghampiri Tuan Adam yang terduduk di kursi roda di taman belakang rumahnya.
"Erlan..." Ucap Tuan Adam.
"Iya Pah, Erlan disini. Sekali lagi selamat ulang tahun Pa. Maaf karena Erlan tak punya hadiah khusus untuk Papa karena Erlan tidak tahu harus memberi Papa hadiah apa."
"Uuuhh Kak Erlan memang tak pernah menyiapkan sesuatu untuk Papa." Ucap Vino, adik Erlan.
Alvino Alexander, adik bungsu Erlan. Vino kini tengah mengenyam pendidikan di universitas ternama di Ibu Kota.
Rumah utama keluarga Alexander hanya dihuni laki-laki, karena sang Nyonya Besar sudah lama meninggal.
"Pah, ini Vino bawakan buku ensiklopedia baru untuk Papa." Ucap Vino menyodorkan sebuah buku tebal pada Tuan Adam.
"Terima kasih Vino, kau memang tahu apa yang Papa butuhkan. Tidak seperti...." Ucap Tuan Adam seraya melirik Erlan.
"Hahaha Kak Erlan memang tak tahu apa-apa." Ucap Vino.
Ctaakkk..!!
Erlan menyentil kening adiknya itu.
"Aduuhh sakiiitt... Kak." Pekik Vino.
"Diaam....!" Bentak Erlan.
Vino langsung diam, seraya mengelus keningnya.
"Pah, kasih tahu Erlan, Papa mau hadiah apa dari Erlan?"
"Papa tidak mau apa-apa. Papa hanya mau kamu menikah Erlan. Sekarang usia kamu sudah tiga puluh tahun. Sampai kapan kamu membujang? Umur Papa juga sepertinya tidak akan panjang, jadi lebih baik kamu segera menikah agar Papa bisa melihat kamu duduk di pelaminan. Apalagi jika Papa sampai bisa melihat kamu memiliki anak." Ucap Tuan Adam panjang lebar.
"Jangan bicara begitu Pa. Papa baik-baik aja, Papa pasti akan sembuh." Ucap Erlan.
"Udah deh Kak, mending ikutin aja kemauan Papa. Apa Kak Erlan mau aku lebih dulu."
Erlan kembali menjitak kening Vino.
"Ya elaah Kak, yang tadi aja belum hilang sakitnya, sekarang udah dijitak lagi."
"Makanya gak usah banyak omong." Ucap Erlan.
Erlan kemudian memegang tangan Papanya.
"Pah, Erlan lagi mencari menantu Papa. Tunggu saja, secepatnya Erlan pasti akan menemukan dia."
"Sudah tujuh tahun kau mencarinya Erlan. Butuh waktu berapa lama lagi? Apa kau akan mencarinya sampai ajal menjemput Papa? Kita bahkan tidak tahu, apakah wanita itu sudah menikah atau tidak." Ucap Tuan Adam.
"Pah, izinkan Erlan mencarinya sekali lagi."
"Baiklah, Papa akan memberimu waktu satu bulan. Jika kau tidak bisa menemukannya, maka kau harus menikah dengan wanita pilihan Papa. Berdoalah semoga Papa tetap panjang umur."
"Terima kasih Pa. Erlan akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan Papa." Ucap Erlan.
'Aku pasti akan menemukanmu Nona Cantik.' gumam Erlan.
Pagi menjelang....
"Sayang, ayo bangun. Hari ini hari pertama sekolah loh." Bisik Bella ditelinga Noah.
Noah menggeliat, lalu bangun pelan sambil mengucek matanya.
"Mah, apa Noah bisa punya teman?" Tanya Noah polos.
"Tentu saja sayang. Kenapa Noah harus khawatir?"
"Selama ini Noah hanya diam di rumah dan tidak pernah bergaul dengan anak-anak yang lain. Karena Noah tidak suka saat mereka sering mengejek Noah dengan mengatakan Noah tidak punya papa."
Bella memeluk puteranya itu. Merasakan kekhawatiran hati Noah yang hari ini untuk pertama kalinya akan beradaptasi dengan orang banyak.
Selama ini Noah hanya tinggal di dalam rumah, belajar dan bermain hanya dengan mamanya. Bella hanya bekerja sebagai tukang jahit di kontrakan kecilnya itu.
Tepat pukul tujuh, Bella menggandeng tangan Noah menuju sekolah dasar yang tak jauh dari kontrakan nya. Bella memang sudah memikirkan semuanya jauh-jauh hari sebelum Noah bersekolah.
Dulu, sebelum Noah lahir, Bella mencari kontrakan yang dekat dengan sekolah, agar saat anaknya besar nanti, Bella tak perlu susah payah memikirkan pendidikan anaknya.
Keduanya tiba di sekolah tempat Noah mendaftar.
"Sayang, mau Mama temenin sampai pulang gak?" Tanya Bella.
"Gak usah Ma, Mama pasti punya kerjaan di rumah. Noah bisa sendiri Ma." Balas Noah.
"Ya sudah, kalau gitu Mama pulang ya. Nanti Mama jemput lagi."
Noah mengangguk, lalu mencium tangan Bella.
Di dalam kelas...
"Selamat pagi semuanya, perkenalkan nama Ibu adalah Ibu Hanni Parwita, kalian boleh memanggil dengan sebutan Ibu Hani. Ibu mau kalian maju satu persatu untuk memperkenalkan diri dan sebutkan hobi kalian masing-masing." Ucap seorang guru yang memakai kacamata itu.
Satu persatu siswa mulai maju ke depan. Karena Noah duduk paling belakang seorang diri, maka dia dapat giliran terakhir untuk memperkenalkan diri.
Tiba saat Noah maju ke depan, semua siswa menatapnya, begitu juga dengan para orang tua yang berdiri di luar ruang kelas menengok lewat jendela.
"Selamat pagi semuanya, perkenalkan nama saya Noah Azriel. Nama panggilan Noah. Hobi saya banyak." Ucap Noah dengan penuh percaya diri.
Bu Hanni yang melihat kepercayaan diri Noah menjadi gemas.
"Hobi Noah kan banyak. Apa Noah bisa menyebutkan salah satunya pada Bu Guru dan teman-teman yang lain?" Ucap Bu Hani.
"Hobi saya, belajar, main musik, dan nyanyi." Ucap Noah.
"Waahh tepuk tangan semuanya. Ternyata di kelas ini kalian punya salah satu teman yang hobinya menyanyi." Ucap Bu Hanni diiringi tepukan tangan dari siswa yang lain. "Kalau begitu, apa Noah bisa menyanyikan satu lagu untuk kita semua?" Lanjut Bu Hanni.
"Tentu." Jawab Noah lagi dengan tingkat kepercayaan dirinya yang sangat tinggi.
Noah pun maju ke depan kelas, dan mulai menyanyikan sebuah lagu sambil memukul meja hingga menghasilkan nada yang indah.
Bu Hanni dan para orang tua yang melihat lewat luar jendela, takjub akan merdunya suara Noah.
Terdengar riuh suara tepuk tangan dari dalam kelas sampai luar kelas, para orang tua juga ikut bertepuk tangan. Untuk pertama kalinya Noah bisa tersenyum sejak masuk ke dalam kelas.
"Noah, benar-benar berbakat dalam menyanyi dan bermain musik, suara Noah merdu sekali." Ucap Bu Hanni memuji Noah.
"Terima kasih Bu, apa saya sudah boleh duduk." Ucap Noah.
Bu Hanni tersenyum, "Tentu saja Noah." Balas Bu Hanni.
Saat Noah kembali ke bangkunya, para siswa yang lain mulai terlihat ramah padanya. Siswa yang lain mulai tersenyum dan menyapa Noah.
Hari berikutnya Noah mengikuti pelajaran berhitung. Belum sempat sang guru menjelaskan, Noah sudah dengan mudah menjawab semua pertanyaan.
"Noah, kamu sudah diajarin berhitung ya waktu TK?" Tanya guru Noah.
"Saya gak pernah sekolah sebelum ini Bu, gak pernah TK apalagi PAUD." Jawab Noah mantap membuat sang guru menatapnya penuh tanda tanya.
Saat jam istirahat tiba, Noah berkeliling sekolah.
"Noaaahh." Teriak seorang siswi.
Noah berbalik, dan melihat siswi bernama Sinta bersama dua orang temannya mendekat ke arahnya.
"Iya, ada apa?" Tanya Noah cuek.
"Kita ke kantin yuk." Ucap Sinta seraya menggandeng Noah.
"Aku tidak lapar."
"Aku yang traktir." Bujuk Sinta lagi.
"Lebih baik kalian pergi saja, aku sedang ada urusan." Ucap Noah lalu berjalan pergi.
Tiga bocah perempuan itu menatap Noah yang berjalan menjauh.
"Sinta, kamu suka ya sama Noah?" Tanya Dewi.
"Weii... Kita itu masih kecil, mana boleh main pacar-pacaran." Sahut Lulu.
"Sudah-sudah, ayo kita ke kantin saja." Balas Sinta.
Setelah berkeliling, Noah tiba di depan sebuah ruang kelas enam. Di papan tulis, sebuah tulisan, menarik perhatian Noah. Tanpa pikir panjang, Noah langsung menjawab pertanyaan yang ada di papan tulis itu menggunakan spidol yang ada diatas meja guru.
Tak lama bel tanda masuk berbunyi sesaat setelah Noah selesai mengerjakan soal matematika yang ada di papan itu.
Semua siswa di ruang kelas enam itu bertanya-tanya siapa yang sudah menjawab pertanyaan yang tertulis di papan. Sementara sang guru pun belum menjelaskan sama sekali tentang cara menjawabnya.
"Anak-anak! Siapa yang sudah menjawab soal ini?" Tanya Pak Rudi, seorang guru matematika kelas enam.
Semua siswa terdiam, tak ada yang menjawab. Sementara Pak Rudi fokus melihat rangkaian jawaban yang tertulis di papan itu.
'Aku kan belum menjelaskan sama sekali bagaimana caranya untuk menyelesaikan soal ini. Lalu siapa yang sudah menjawabnya? Jawabannya pun benar.'
Hari demi hari berlalu, kemampuan Noah semakin berkembang dan membuatnya semakin terkenal di kalangan para guru. Meski Noah juga jenius dalam bidang matematika, tapi ia lebih condong pada musik. Kemampuannya dalam bermusik benar-benar membuat para guru takjub.
Hingga suatu hari, seorang guru merekomendasikan Noah untuk bersekolah di sekolah musik internasional setelah ia melihat Noah juga mampu membuat beberapa tangga nada.
*************
Hari ini, akhirnya Bella dapat menginjakkan kakinya kembali di Ibu Kota, tempat dirinya dilahirkan. Meski awalnya Bella menolak untuk membawa Noah pindah sekolah ke Ibu Kota, namun karena kegigihan Noah dalam membujuk dirinya, akhirnya membuat Bella luluh.
"Tolong Mah, kabulkan permintaan Noah. Kali ini Noah benar-benar dapat kesempatan untuk sekolah disana. Izinkan ya Mah?" Ucap Noah kala itu meminta izin kepada Bella.
Disinilah mereka hari ini, di Ibu Kota yang begitu sibuk dengan hiruk pikuk lalu lintasnya.
Karena belum memiliki tempat tinggal di Ibu Kota, Bella mengajak Noah menuju taman yang dekat dari sekolahnya untuk duduk beristirahat sambil mencari penginapan atau rumah kontrakan yang tak jauh dari sekolah Noah.
'Tidak mungkinkan aku pulang ke rumah Papa.' pikir Bella.
Bayangan akan pengusiran sang papa membuat Bella menghela nafas panjang.
"Mah, Noah mau makan es krim." Ucap Noah membuyarkan lamunan Bella.
Bella tersenyum, lalu meminta Noah untuk menunggu sementara dirinya pergi ke arah penjual es krim yang tak jauh dari tempat mereka duduk.
Saat Bella berjalan pergi, Noah tertarik akan suara gitar yang dimainkan oleh seseorang. Lantas ia mendekati orang yang tak lain adalah Erlan papanya.
Noah berdiri di hadapan Erlan yang tengah fokus memainkan gitarnya.
"Om boleh saya pinjam." Ucap Noah.
Erlan mendongak dan menatap Noah.
'Kenapa anak ini terlihat sama dengan diriku saat masih kecil.' pikir Erlan.
"Namamu siapa Nak?" Tanya Erlan.
"Noah Om." Jawab Noah.
Sambil mengobrol, Noah pun mulai memainkan gitar milik Erlan. Dia merasa sangat takjub akan permainan Noah.
"Maafkan saya Tuan Muda, kita harus pergi sekarang juga." Ucap Pak Bimo sekretaris Erlan.
"Hei Noah, kalau kau suka gitar ini Om berikan buat kamu." Ucap Erlan.
"Tidak perlu Om. Mama saya akan marah jika saya menerima barang dari orang yang tak dikenal." Jawab Noah polos.
Erlan mengusap pucuk kepala Noah lalu pergi.
Tak lama setelah itu, Bella kembali dan tak mendapati Noah di bangku panjang tempat mereka duduk awalnya. Hampir saja Bella histeris, Noah sudah ada dibelakangnya menarik pakaiannya.
"Ya Tuhan Noah. Dari mana kamu nak, mama hampir jantungan." Ucap Bella sambil menciumi pipi Noah berkali-kali.
"Tenang saja mah, tadi Noah hanya bermain gitar dengan Om ganteng."
"Om ganteng!" Seru Bella, dibalas anggukan Noah. "Lain kali jangan seperti itu lagi ya sayang." Ucap Bella.
Lagi-lagi Noah mengangguk, lalu memeluk Sang Mama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!