NovelToon NovelToon

Aldebaran Mencari Cinta

Bab 1

"PAPA NGGAK MAU TAHU, POKOKNYA TAHUN INI KAMU HARUS NIKAH!” Suara Abimanyu Maheswara mengguncang kediamannya sendiri di kawasan Menteng, Jakarta, pagi ini. Wajahnya tampak merah padam, seperti menahan amarah untuk sang anak yang sedang duduk di hadapannya.

Aldebaran Maheswara – atau yang biasa dipanggil Al – langsung menengadah memandangi sosok sang ayah. Mangkok serealnya belum habis, serial Netflix di handphone baru diputar setengah jalan, kenapa sang ayah mengusiknya pagi-pagi begini? Dengan topik yang itu-itu saja pula?

“Kenapa lagi sih, Pa?” Al bertanya dengan nada malas-malasan.

"PAPA MAU KAMU NIKAH!" teriak Abimanyu, lagi.

Al berani bersumpah bisa melihat urat-urat di sekeliling leher ayahnya.

"Iya, tapi kenapa lagi kali ini? Kayaknya udah lama Papa nggak ngeribetin aku soal nikah."

Abimanyu melotot, seperti ingin memakan Al hidup-hidup.

"Kamu nggak tahu ya gosip apa yang beredar di luar sana karena kamu gak nikah-nikah???"

Al mengangkat alis.

'Memangnya siapa sih yang ngegosipin gue? Temen aja cuma punya tiga. Apa Boris, Aseng atau Rene mulai aneh-aneh lagi?' Al mulai berspekulasi dalam hati.

Abimanyu sendiri menunggu jawaban Al atas pertanyaannya. Akhirnya, Al menyerah, menuruti kemauan sang ayah.

"Nggak tahu. Emang pada bilang apa?" tanyanya.

"Katanya, kamu itu nggak suka perempuan!" Abimanyu histeris.

Al mengernyit.

Well, tuduhan ini bukanlah sebuah hal yang baru. Ia akhirnya hanya bergumam pelan, "Oh..."

Abimanyu terpelongo dengan reaksi anaknya itu.

"ALDEBARAN MAHESWARA!!!" Lagi-lagi suara Abimanyu menggelegar membelah ruangan. Kali ini, Al sampai terlonjak kaget.

"Apaan sih, Pa?!" Al menggerutu.

"OH KATAMU?! KAMU INI BETUL-BETUL NGGAK SUKA PEREMPUAN YA???" Nadanya menuduh.

Untuk sejenak, Al mempertimbangkan apakah harus berbohong atau jujur saja sekalian. Tapi mungkin berbohong pada Abimanyu sudah tidak ada gunanya. Akhirnya, Al memutuskan untuk mengambil pilihan kedua.

Ia menatap Abimanyu sambil berkata, "Iya, Pa. Aku nggak suka."

Abimanyu terkejut. Wajahnya langsung pucat pasi.

"Ja-jadi kamu..." Ia langsung gelagapan.

'Mampus! Kalimat gue ambigu banget! Papa pasti salah paham!' Al menggerutu dalam hati.

Abimanyu sudah terhuyung sampai terduduk di kursi.

"Kamu..." Ia tidak bisa lagi melanjutkan kalimatnya.

"YA AMPUN, PAPA SALAH NGERTI!" Al cepat-cepat menjelaskan. Tapi bukan sang ayah namanya, kalau mau mendengar pendapatnya lebih lanjut.

"Jadi, di antara Boris atau Aseng, kamu sama siapa, Al?" tanya Abimanyu.

"Pa, nggak dua-duanya dong. Jangan salah paham gini!" Al menggerutu.

"Papa nggak nyangka! Anak yang Papa besarkan sepenuh hati, Papa rawat sebaik mungkin, Papa kenalkan pada agama. Ternyata Papa tetap masih bisa juga kecolongan." Abimanyu tersedu-sedu.

Al memutar bola mata. Ayahnya memanglah raja drama nomor satu sebumi nusantara!

"Pa, aku nggak mungkin selera sama Boris atau Aseng!" kata Al, gemas sendiri. Kalaupun dia memang tidak normal, tentu dia bisa bisa memilih yang lebih baik dari Boris dan juga Aseng! Dengan kualitas dirinya, dia yakin bisa mendapatkan Adipati Dolken atau bahkan Nikolas Saputra! Well, Al langsung menyesali diri karena berpikir demikian. Bukan itu masalahnya sekarang!

"Jadi, kamu sama siapa, Al??? Kasih tahu Papa!!!"

Al tidak habis pikir. Sebenarnya apa sih yang ada di pikiran Abimanyu? Seberapa parah sebenarnya gosip yang beredar di luar sana sampai ayahnya kebakaran jenggot seperti ini?

"Aku nggak sama siapa-siapa, Pa, demi Tuhan!" Al bersumpah.

"Jangan bawa-bawa Tuhan kalau kelakuan kamu udah nggak bener, Al!"

Al meringis. Benar-benar tidak tahu lagi bagaimana caranya menjelaskan pada ayahnya yang kini sudah histeris tidak karuan.

"Morning! Kenapa pagi-pagi pada berisik sih?" Shaletta – adik perempuan Al satu-satunya – muncul di ruang makan dengan wajah riang gembira, berbanding terbalik dengan wajah ayahnya yang merah padam.

"Abangmu, Ta, abangmu..."

Al sampai meringis sendiri melihat betapa berlebihannya ayahnya pagi ini.

"Bang Al kenapa?"

"Katanya dia lebih demen sama laki-laki!"

Mata Al terbelalak sempurna. KENAPA KESIMPULANNYA JADI SEPERTI INI SIH???

"HAHAHAHAHA. Ini beneran, Bang?" Shaletta malah tertawa terbahak-bahak.

"Kagak! Ampun dah!" Al memilih untuk tidak menanggapi secara berlebihan omongan sang ayah dan Shaletta yang duduk di hadapannya. Lebih baik ia menikmati kembali sereal yang sudah mulai lembek itu.

"Abangmu akan mempermalukan keluarga kita, Ta." Abimanyu masih juga membahas hal itu. Shaletta berpikir sejenak.

"Gimana kalau kita cariin aja pacar buat Bang Al, Pa?" Shaletta memberi usul.

"Ta, lo jangan aneh-aneh deh!" Al memperingatkannya. Shaletta hanya tersenyum-senyum saja.

"Kamu yang jangan aneh-aneh, Al. Sepanjang garis keturunan Maheswara, cuma kamu yang begini." Abimanyu balas menghardik Al.

'Ya ampun! Terserah saja deh!' gerutu Al dalam hati.

Junita, sang ibu, tiba-tiba muncul di ruang makan.

"Kenapa sih Papa marah-marah masih pagi begini?" Ia menegur Abimanyu.

"Bang Al nggak selera sama cewek katanya, Ma." Shaletta terkikik.

"HAH???" Junita kaget.

"Enggak, Ma. Papa sama Etta salah paham." Al gemas sendiri melihat kelakuan Abimanyu dan Shaletta.

"Salah paham bagaimana? Kamu sendiri yang jelas-jelas bilang ke Papa kalau kamu nggak suka cewek!" Sang ayah terus merepet.

"Abang kok gitu sih? Mama ada salah didik kamu dimana, Bang?" Air mata ibunya menggenang.

Al merutuk dalam hati. Kalau sang ayah adalah raja drama, sang ibu adalah orang yang sangat suka menangis. Kedua orangtuanya memang pasangan yang diciptakan untuk satu sama lain! Kadang Al penasaran bagaimana perjalanan mereka selama berpacaran dulu, pasti sangat penuh drama dan airmata sinetron.

"Ma, ini cuma salah paham."  Ia garuk-garuk kepala.

"Papa nggak mau tahu, pokoknya kamu harus cari calon istri dalam dua minggu ke depan. Kalau masih belum dapat, Papa coret kamu dari daftar warisan!" ancam Abimanyu pada Al.

"Ya, terserah deh." Al menjawab dengan ogah-ogahan. Ini adalah ancaman sang ayah untuk kesekian kalinya. Dia sudah tidak terlalu peduli lagi. Mungkin pada awalnya, Al sangat panik, tapi sekarang ancaman itu sudah terdengar seperti angin lalu buatnya.

"Papa serius, Al!" kata Abimanyu, lagi.

"Iya, Pa. Emangnya aku budek apa? Aku bisa denger kok." Kini Al berjalan ke arah wastafel untuk meletakkan mangkok serealnya yang sudah kosong.

"ALDEBARAN!!! KAMU TUH YA!!!" Abimanyu menggeram karena merasa diabaikan.

"Pa, sabar! Nanti darah tinggi Papa kumat loh!" Al malah mengingatkan dengan santainya.

"KELAKUAN KAMU YANG BIKIN DARAH TINGGI PAPA KUMAT!"

"Lah? Aku kan nggak ngelakuin apa-apa, Pa."

Shaletta semakin tertawa cekikikan mendengar kalimat abangnya.

Abimanyu menggeram lagi, "POKOKNYA KALAU KAMU MASIH BELUM BAWA CALON ISTRI DALAM DUA MINGGU KE DEPAN, PAPA JUGA AKAN BATALIN PELANTIKAN KAMU!"

Al cemberut. Sang ayah sudah menjanjikan posisi Direktur Utama di Maheswara Company sejak dua tahun yang lalu. Namun, ia masih ragu karena umur Al yang masih terlalu muda. Jadilah ia membuat Al menunggu selama dua tahun. Dan sekarang ia kembali ragu untuk memberikannya HANYA KARENA AL TIDAK BERMINAT UNTUK MENIKAH???

Sebuah bentuk penghinaan macam apa ini??? Kenapa kemampuan Al untuk memimpin perusahaan diragukan hanya karena ia... tidak berniat jatuh cinta???

"Loh??? Kok gitu sih, Pa???" Al protes.

"NGGAK ADA PROTES-PROTES! KAMU NIKAH ATAU SEGERA HAPUS NAMA MAHESWARA DARI AKTA LAHIR KAMU!"

"Ah, terserah Papa deh!" Al pun berjalan keluar dari ruang makan.

Sejak kapan seorang ayah menghapus hubungan darah hanya karena anaknya tidak mau menikah? Sebegitu putus asanya kah Abimanyu pada kisah cinta Al?

Well, sang ayah tidak salah.

Al juga terkadang heran dengan diri sendiri.

Karena Aldebaran Maheswara belum pernah jatuh cinta satu kalipun di sepanjang tiga puluh tiga tahun kehidupannya.

***

Selamat datang di kisah Al dan Ai. Semoga berkenan untuk menekan tombol like dan favorite ya. Terima kasih 🤗🤍

IG : @ingrid.nadya

Bab 2

Seorang gadis memasuki sebuah kamar rumah sakit, dengan tangan yang memeluk tiga botol air mineral ukuran besar. Wajahnya terlihat lelah, tapi dia tetap berusaha tersenyum.

Namanya Airina. Tanpa marga keluarga. Tanpa embel-embel apapun lagi. Satu kata itu saja. Bahkan orang-orang disekitarnya masih juga mendiskon nama itu dengan memanggilnya dengan sebutan singkat, Ai.

Ai pun meletakkan tiga botol air mineral tersebut di atas meja, sebelah ranjang.

“Banyak banget aqua-nya, Nak?” kata Mira, sang ibu yang sedang berbaring di atas ranjang rumah sakit.

“Buat minum sampe sore. Aku ada kelas sampe jam enam soalnya.”

Mira tersenyum. Putri satu-satunya itu memang sangat bisa diandalkan.

“Makasih, Nak.”

Ai mengangguk, lalu segera mengambil tas kuliahnya dan menyampirkan di bahu, “Aku berangkat dulu ya, Ma.”

"Iya, Nak. Kamu langsung ke kampus atau ke toko dulu?" tanya Mira. Ekspresinya selalu berubah seperti merasa bersalah pada putrinya itu. Mengingat bahwa beban keluarga mereka tidak lagi ada di pundak Mira.

"Toko dulu, Ma. Ada pengiriman pagi ini. Tapi kuliahnya mulai siang kok." Ai berusaha menghibur hati Mira. Ibunya tidak perlu merasa bersalah atas apapun. Ini hanyalah takdir kehidupan, lebih baik dijalani saja, tidak ada yang perlu disesali.

Akhirnya Mira mengangguk, tidak ingin membebani pikiran Ai lebih lagi.

"Kuliahnya jangan sampai ketinggalan ya, Nak," katanya.

"Pasti, Ma. Aku pergi dulu ya. Dah, Mama!" Ai mencium tangan Mira lalu beranjak keluar kamar sambil melambai-lambai.

Saat melewati meja suster jaga, ia mampir sejenak. Suster Rika – yang selalu siap sedia untuk menengok Mira saat Ai ada jadwal kuliah – langsung mengampiri.

"Sus, Mama lagi transfusi darah. Minta tolong dilihatin ya, takutnya Mama ketiduran, jadi lupa manggil Suster. Aku harus ke toko pagi ini, dan ada kuliah juga.”

Suster Rika menepuk bahunya, "Iya, nanti Suster lihatin. Kamu kuliah aja yang tenang ya."

"Makasih, Sus."

Suster Rika tersenyum.

Ai pun segera beranjak keluar untuk bertemu dengan mas ojek online-nya. Mereka pun segera meluncur menuju jalan raya.

Beberapa menit kemudian, Ai sudah tiba di sebuah toko kecil miliknya, di sudut jalan, bernama Rumah Bunga. Inilah toko kecil tempat Ai menghasilkan uang. Sudah dua tahun belakangan, ia menjadi penjual sekaligus perangkai buket bunga.

Memang terkadang, hidup hanyalah rahasia Ilahi. Kita tidak pernah tahu apa yang akan menjadi takdir kita sendiri. Dua tahun lalu, Mira divonis menderita kanker limfoma. Sebuah penyakit yang merusak cara kerja kelenjar getah bening dan sel darah putih. Hal inilah yang membuat Mira terkadang harus mendapatkan transfusi darah karena sel darah merahnya diserang oleh sel darah putihnya sendiri.

Banyak sekali pantangan yang harus Mira jalani karena penyakit ini. Bahkan terkena cahaya matahari pun ia sudah tidak bisa lagi. Hal ini membuatnya harus berhenti dari pekerjaan. Ai pun harus mengambil alih tugas kepala keluarga dari pundak sang ibu. Mereka hanya hidup berdua. Tidak ada lagi yang bisa diandalkan, selain diri sendiri. Ai pun harus bekerja sekaligus kuliah pada saat yang bersamaan agar seluruh kebutuhan harian dan biaya pengobatan Mira di rumah sakit dapat dilunasi.

Tapi, yang perlu kita tahu, bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Dia melihat dan memperhitungkan segala usaha dan jerih payah hamba-Nya. Jika niat kita memang baik dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Dia akan bukakan pintu rezeki secukup-cukupnya.

Ada satu kalimat yang akhir-akhir ini sering digunakan orang untuk menyemangati diri sendiri…

"Yuk bisa yuk!" Ai merapalkan kalimat itu seperti mantra jitu sebelum dia masuk ke dalam tokonya. Ntah kenapa, kalimat sederhana ini cukup ampuh untuk membangkitkan semangatnya.

Ai pun beranjak menuju lemari pendingin tempat ia menyimpan bunga-bunga jualannya agar tidak cepat layu. Ia mengambil beberapa bunga mawar, lili, dan lainnya. Hendak merangkainya menjadi beberapa buket sesuai pesanan pelanggan.

"Pagi, Bu Bos!" Tantri satu-satunya karyawan yang Ai miliki, muncul di pintu.

"Bu Bos dari Hongkong!" Ai mencibir.

Tantri cengengesan, "Rajin banget sih lo, datangnya pagi-pagi banget."

"Ntar rezeki gue dipatok ayam kalau kerjanya siang."

"Dimana-mana ayam tuh makannya beras, bukan rezeki orang!" keluh Tantri sambil mulai menyapu toko. Ai mengabaikan dumelan Tantri, lebih memilih sibuk merangkai buket-buket bunga pesanan pelanggan.

Setelah semua buket terangkai sempurna, Ai lanjut menuliskan kartu-kartu ucapan. Inilah bagian paling favoritnya. Ketika para pelanggan mempercayakan beberapa kisah cintanya…

Ada yang minta maaf pada kekasihnya, ada yang mengucapkan selamat ulang tahun pada orangtuanya, ada yang mengucapkan selamat atas kelulusan sahabat. Macam-macam!

Tantri yang sedang menyapu di hadapan Ai berhenti sebentar untuk mengamatinya menulis.

"Ada kartu yang seru gak hari ini?" tanyanya.

Ai menyerahkan satu kartu potensial pada Tantri.

Disana tertulis kalimat yang cukup sensual.

Meet me in my room tonight?

(Temui aku di kamarku nanti malam?)

"Dikirimnya kemana?" Wajah Tantri terlihat penasaran. Ai pun menyebutkan sebuah nama hotel terkenal di Jakarta.

Tantri langsung cekikikan, "Dari gadun buat sugar baby-nya kali ya?"

"Ya kan? Gue juga mikirnya kayak gitu." Ai tertawa.

"Ada lagi yang lain?"

"Gak ada. Udah, udah. Balik kerja sono. Jangan gaji buta!"

"Galak deh. Lagi dapet ya?"

"Iya, dapet duit."

Tantri mencibir, tapi ia langsung lanjut menyapu.

Tak lama kemudian, satu sosok tiba-tiba muncul di dalam toko. Tantri melirik dengan kesal orang tersebut karena kembali mengotori lantai yang sudah dia sapu daritadi. Namun, begitu menyadari siapa yang datang, raut wajahnya langsung berubah.

"Selamat pagi, Mas Samuel!" sapa Tantri sambil senyum-senyum dan menyelipkan sendiri rambutnya ke balik telinga.

Ai menengadah. Begitu menyadari siapa yang sedang digoda oleh Tantri, ia hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Pagi, Tantri!" Samuel – sahabat kecil yang lebih sering Ai panggil dengan sebutan Sammy – juga balas tersenyum lebar. Tantri langsung kegirangan seperti orang sawan.

Well, dia tidak tahu saja...

Sammy pun berjalan ke arah Ai.

"Pagi, Rosalinda!" Sammy selalu menyapa Ai seperti ini, setiap hari. Menurutnya, Ai memang adalah sosok Rosalinda, seorang tokoh perempuan penjual bunga di telenovela zaman dulu.

Ai meliriknya dengan dramatis, selalu benci jika Sammy meledeknya seperti itu.

"Galak amat!" Sammy terkekeh.

Ai memutar bola mata.

"Mau dibantuin, nggak?" tanya Sammy.

"Nggak usah. Ini udah kelar kok. Tinggal dikirim aja."

Sammy mengangguk.

Setelah memastikan semuanya sudah sesuai pesanan, Ai segera mengambil smart phone untuk memesan jasa kurir langganan.

"Tunggu sebentar ya? Please?" Ai memelas pada Sammy.

Ia langsung mencibir, "Tadi galak, sekarang mohon-mohon. Bipolar banget sih!"

Ai tertawa, "Namanya orang lagi butuh..."

Sammy tidak menjawab. Namun sepertinya, ia sadar bahwa pekerjaan Ai akan memakan waktu – tidak seperti yang dijanjikan. Jadi, ia memilih untuk duduk santai di sudut Rumah Bunga, lalu memasang airpod-nya. Ai bernafas lega. Sepertinya Sammy sedang menonton serial Netflix, ia akan cukup sibuk untuk sementara waktu. Ai jadi sedikit lebih tenang untuk mengurusi pengiriman.

Tepat setengah jam kemudian, akhirnya Ai menghampiri Sammy.

"Udahan?" tanya Sammy, sambil melepas airpod-nya. Ai mengangguk.

Mereka pun beranjak menuju kampus.

Ai dan Sammy memang tidak terpisahkan sejak kecil. Sudahlah jarak rumah hanya dua langkah, anehnya, mereka juga selalu diterima di sekolah yang sama. Bahkan kampus dan jurusan saja seperti berjodoh.

Dan seperti yang sudah disadari, Sammy selalu menyempatkan diri untuk menjemput dan mengantar Ai sesering yang ia bisa. Katanya, ingin memberi moral support pada Ai dan mengurangi sedikit beban sahabatnya itu. Ai selalu berterima kasih atas kebaikan Sammy ini.

Setibanya di kampus, mereka langsung melangkah menuju ruang mata kuliah siang itu. Saat memasuki pintu, mata mereka langsung beredar menyapu ruangan.

Satu tangan pun melambai begitu menyadari kehadiran mereka. Yaitu Shaletta, satu sahabat mereka yang lain, yang seperti biasa memilih bangku paling pojok di belakang kelas. Begitu Ai dan Sammy duduk di sebelahnya, mereka langsung memandang heran Shaletta yang sedang tertawa-tawa kecil sambil memandangi smart phone-nya.

"Kenapa lo?" tanya Ai, penasaran.

"Nggak apa-apa!" Shaletta masih tertawa-tawa.

"Buset! Masih ketawa! Ada meme lucu? Video tiktok viral apalagi yang bikin lo ketawa?" tanya Sammy.

Akhirnya, Shaletta berhenti tertawa. Dia mematikan layar smart phone, lalu beralih memandangi Ai.

"Ai..." panggilnya.

"Hm?" Ai menjawab sambil mengeluarkan buku.

"Lo masih belum punya pacar kan?"

"Iye! Kenapa? Lo mau ledekin gue lagi?"

"Enggak…”

"Terus?"

"Lo mau nggak kalau gue jodohin sama abang gue?"

"HAAAAH?!"

“Ini beneran! Mau nggak?”

Ai mengernyit, memandang Shaletta seakan-akan ia adalah mahluk alien dengan mata tiga dan kaki berselaput.

Ia tidak pernah menyangka bahwa kalimat Shaletta bisa terdengar begitu konyol.

***

Tekan tombol favorit dan like nya ya! Yuk bisa yuk! 🙂🤍

Bab 3

Musibah kadang datang seperti pencuri di malam hari. Itulah yang membuat kita suka luput dan mengabaikan tanda-tanda yang sudah ditunjukkan sebelumnya. Begitu pun apa yang terjadi pada Al pagi ini. Dan yang paling tidak ia sangka, badai hidupnya justru datang dari ayah sendiri.

Harusnya Al sudah curiga, karena orang-orang terlihat berbisik-bisik begitu ia melangkah masuk ke dalam kantor. Tapi Al bukanlah tipikal orang yang terlalu peduli pada sekitarnya, jadi ia abaikan semua pertanda itu.

Dan begitu tiba di depan ruangannya, Al terkejut luar biasa saat melihat seluruh barang-barangnya sudah tidak ada lagi di dalam ruangan. Mejanya bersih. Dan terlihat seseorang Office Boy (OB) sedang menurunkan papan namanya.

"Apa-apaan ini, Mas?" tanya Al pada sang OB.

"Eh, Pak Aldebaran. Maaf banget, Pak, tapi Pak Abi yang minta untuk bersihin ruangan ini. Saya cuma menuruti perintah saja."

"Pak Abimanyu? Ayah saya?" Al menegaskan lagi.

"I-iya, Pak." Sang OB terlihat sama bingungnya dengan Al.

"Terus ruangan saya dipindahkan kemana, Mas?"

Sang OB semakin bingung, "Sa-saya nggak tahu, Pak. Dari pagi udah kosong. Ini juga Bapak yang minta dibersihin."

Setiap kata yang keluar dari mulut sang OB membuat wajah Al semakin merah padam. Apalagi saat ini, ia bisa mendegar bisik-bisik pegawai lain di luar ruangan.

"Me-memangnya Pak Abi nggak ngomong apa-apa sama Bapak?" tanya OB itu, lagi. Ia memang hanya menuruti perintah Abimanyu, tapi ia juga takut melakukan kesalahan pada anak sang bos besar.

"Nggak ada, Mas!" Ada kepanikan dalam suara Al.

"Maaf, Pak. Saya benar-benar nggak tahu." Sang OB terlihat merasa bersalah.

Al langsung keluar dari ruangan. Bisik-bisik itu langsung berhenti seketika. Al tidak tahan lagi! Sang ayah melakukan ini tanpa pemberitahuan sama sekali! Ia benar-benar merasa dipermalukan!

Ia melangkah cepat-cepat ke ruangan Abimanyu. Tapi setibanya disana, ia hanya menemukan ruangan kosong.

"Bapak lagi meeting di lantai sepuluh sama potential customer, Al." Rene ikut masuk ruangan saat melihat Al seperti kesetanan. Rene adalah salah satu sahabat Al sejak SMA. Rene tidak dapat menyelesaikan kuliahnya dulu karena masalah keuangan, makanya Abimanyu, yang telah lama mengenal Rene, akhirnya mempekerjakan teman baik anaknya itu sebagai sekretarisnya.

"Masih lama meetingnya?" tanya Al, dengan gusar.

"Baru mulai. Kayaknya bakal lama. Schedule-nya sampai jam lima."

"Mati gue!" Al memaki.

"Lo kenapa sih?"

"Emang lo gak tahu? Papa nggak kasih tahu lo?"

"Kasih tahu apaan?"

"Dia kosongin ruangan gue!"

Rene seperti teringat sesuatu, "Eeeeeeeh, beneran dilakuin?"

"Lo tahu?!"

"Bapak pernah bilang. Tapi gue kirain cuma main-main."

"Ini beneran, Re! Barang-barang gue udah hilang semua dari ruangan! Lo tahu gue dipindahin kemana?"

Tiba-tiba Rene teringat sesuatu lagi.

"Apaan, woy?" Al bertanya dengan tidak sabar.

"Kayaknya gue tahu barang-barang lo ada dimana sekarang."

"Dimana?"

Rene terlihat ragu.

"Dimana, Re?" Al mendesaknya.

"Ikut gue!"

Al pun mengekori Rene, membelah sebuah ruangan yang dipenuhi para staff. Mereka sama sekali tidak berusaha lagi untuk menyembunyikan bisik-bisik mereka di hadapan Al.

Al baru mencoba tidak peduli, tapi saat Rene berhenti di sebuah kubikel, Al kembali naik darah.

Kubikel itu penuh dengan tumpukan barang-barang yang familiar. Itu kan barang-barang dari ruangannya!

"Bapak pernah bilang mau pindahin lo kesini." Rene meringis.

Al benar-benar tidak terima!

Kalau ia hanya anak yang menerima ijazah palsu dan gelar bodong…

Atau kalau ia hanya mengandalkan jalur nepotisme untuk masuk ke dalam Maheswara Company…

Mungkin ia bisa terima dengan perbuatan sang ayah.

Tapi Al menamatkan kuliah dari Columbia University, dengan predikat double degree sebagai Sarjana Ekonomi dan Sarjana Komunikasi. Setelah itu, ia bahkan juga menyempatkan diri untuk menamatkan pendidikan S2 kurang dari dua tahun di universitas yang sama. Ditambah, ia juga menggali ilmu dunia pekerjaan terlebih dahulu di sebuah sebuah Firma Konsultan Bisnis nomor satu di Jakarta selama beberapa tahun, sebelum melamar ke Maheswara Company.

Al bekerja keras, mati-matian memantaskan diri sebelum berani masuk ke dalam perusahaan keluarga. Ia melalui semua proses perekrutan selayaknya semua karyawan disini. Ia diterima disini sebagai Vice Precident bukan dengan jalur nepotisme seperti yang diduga kebanyakan orang.

Dan beginikah balasan sang ayah atas semua kerja kerasnya selama ini? Hanya karena Al tidak mau menikah? Hanya karena gosip orang-orang di luar sana? Apa yang sebenarnya sang ayah harapkan? Apakah ia ingin Al besok harus mengenalkan seorang wanita dan langsung menikah seminggu kemudian?

"Sabar, sabar." Rene menepuk bahu Al. Rene melirik ke sekitarnya, seperti ingin mengingatkan Al bahwa tingkahnya saat ini sedang disaksikan banyak orang.

"Gue nggak bisa sabar kalau gini, Re." Al berbisik.

Wanita itu sama sekali tidak tahu harus mengatakan apa. Ia pun sama terkejutnya seperti Al!

"Gue mau lo tanya HRD, sekarang ini posisi gue apa di perusahaan ini. Kenapa sekarang gue nggak dapat ruangan lagi,” kata Al, lagi.

"Oke, oke. Tenang dulu! Lo mau nunggu dimana?"

Rasanya Al ingin membenturkan kepalanya keras-keras ke dinding. Bukannya ia sudah tidak punya pilihan lain?

"Disini aja."

"Oke." Rene segera berjalan cepat keluar ruangan.

Al pun duduk di kubikel tersebut. Sialnya kubikel ini tidak bisa menutupinya sedikit pun. Semua orang masih memperhatikannya! Rasanya seperti ditelanjangi di depan umum oleh ayah sendiri!

Setelah menunggu hampir satu jam, Rene akhirnya muncul.

"Al..." panggilnya.

"Gimana, Re?"

Ia terlihat ragu menyampaikan isi kepalanya.

"Re, lo harus jujur sama gue!"

Rene menggaruk kepala. Bahkan Abimanyu sampai membuat sekretaris kebanggaannya garuk kepala!

"Bapak batalin pelantikan lo. Dan karena Direktur baru bakal masuk mulai minggu depan, jadi ruangan lo disiapin buat dia. Kata Bapak, untuk sementara lo harus disini dulu, sebelum ada ruangan kosong lainnya."

Al sukses terpelongo, benar-benar tidak terima dengan perlakuan sang ayah.

"Gue harus cepet-cepet cabut dari sini!" Al mengambil tasnya.

"Lo mau kemana? Nggak nunggu Bapak selesai meeting dulu?"

"Gue nggak mau bikin drama. Ntar juga ketemu di rumah. Thanks, by the way, Re. Gue harus pergi."

Rene mengangguk, pasrah.

Al pun cepat-cepat keluar dari ruangan. Persetan dengan gosip yang akan timbul setelah ini! Ia benar-benar tidak peduli! Bukankah sikap sang ayah yang seperti ini malah membuat asumsi yang tidak-tidak di mata semua karyawan Maheswara Company?

Begitu sampai parkiran, Al membanting pintu mobil dengan sekuat-kuatnya. Ia menjalankan mobil, ingin secepatnya keluar dari perusahaan ini.

Ia segera menekan tombol panggilan ke sebuah nomor.

"Ya, Kak?" Shaletta menjawab, tak lama kemudian.

"Bapak lo tuh gendeng!" Al memaki.

Shaletta tertawa, "Kenapa lagi?"

"Masa gue batal dilantik jadi CEO. Dan hari ini, dia mindahin gue dari ruangan ke kubikel seimprit, di tengah karyawan-karyawan lain, yang udah siap nyebarin gosip aneh-aneh tentang gue. Penghinaan macam apa ini???"

Tawa Shaletta semakin berderai, "Makanya abang nurut aja sama papa, nikah atuh.”

"Nikah sama siapa? Velg mobil?"

"Banyak kali cewek yang mau sama abang."

"Gue yang nggak mau sama mereka!"

"Jadi abang tuh beneran homo?"

Shaletta benar-benar kurang ajar!

"Ah, udahlah. Nggak guna ngomong sama lo.”

"Hehehe, jangan gitu dong, abang tersayang gue. Gini, gini. Abang mau gue kenalin ke temen gue, nggak? Nggak harus diikahin kok. Abang bawa aja ke bokap, biar dia gak mikir lo..."

"Jangan berani-berani nyebutin kata 'itu' lagi!"

Shaletta tertawa lagi, "Ya, nggak masalah, kan?! Gue banyak kok punya temen kayak gitu, mereka baik-baik. Gue juga nggak keberatan kalau abang gue–"

Al langsung memotong kalimat Shaletta, "Heh! Gue juga nggak ada masalah ya. I respect all kind of preferences. Mau ***** sama pohon juga gue nggak peduli. Gue cuma nggak suka dituduh sesuatu yang bukan gue!"

"Makanya, abang tunjukkan dong kejantanan abang sama Papa! Gue kenalin sama temen gue, mau ya?”

“Ogah!”

“Kok gitu? Masa abang nyerah gitu aja sih?”

“Bodo amat! Gue bisa dapetin pekerjaan di perusahaan lain, dengan gampang! Gue nggak butuh Papa!” maki Aldebaran.

Di ujung sana, Shaletta hanya cekikikan lagi. Meskipun bersimpati atas kesusahan sang abang, ia tetap merasa kejadian sekarang ini sangat lucu.

“Bye!” Al langsung memutuskan sambungan telepon. Ia sudah tidak tahu lagi harus melampiaskan kemarahan ini pada siapa. Jangan sampai adiknya yang tidak bersalah juga kena getahnya.

***

I respect all kind of preferences \= Gue menghormati setiap pilihan orang (Bahasa Inggris)

***

Tekan tombol favorit dan like nya ya! 🤗🤍

IG : @ingrid.nadya

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!