"Kau yakin dengan keputusanmu? Bukankah ini terlalu gegabah? Kalau kau sampai tertangkap juga, maka masalahnya akan bertambah runyam. Setidaknya jangan pergi sendiri, bawalah salah satu anak buahku bersamamu," kata lelaki tua beruban yang kini menatap wanita dihadapannya.
Wanita yang baru saja datang dengan niat hendak menitipkan anak laki-laki yang baru berusia lima tahun padanya.
"Aku tidak bisa, pa. Kalau aku membawa salah satu anak buah papa, akan berisiko untuk papa nantinya. Biarkan aku pergi sendiri, setidaknya papa dan Dean akan aman."
"Tapi, bagaimana kalau kau tertangkap? Apakah kau tidak berpikir sampai ke sana? Ingat, Sof! Kau tidak ada apa-apanya kalau di bandingkan dengan mereka. Selain itu, apakah kau tidak kasihan dengan Dean? Dia baru berusia lima tahun, dan pada masa-masa ini, dia akan sangat membutuhkan kehadiran orang tuanya."
"Aku tahu, aku memang tidak bisa berbuat apa-apa. Aku juga sebenarnya tidak ingin melakukan ini, karena aku tahu Dean membutuhkan aku. Tapi di sisi itu, aku juga harus menyelamatkan ayahnya. Bagaimanapun, aku tidak ingin membuat Dean berada dalam bahaya…"
"…Kalau Dean terus bersama denganku, mereka akan berusaha untuk merebutnya dariku, karena mereka tahu, Dean memiliki DNA istimewa dariku dan Dam. Maka dari itu aku tidak ingin membuatnya terancam bahaya. Lagipula dengan Dean bersama dengan papa, aku yakin dia akan aman, karena tempat ini sudah dirancang agar tidak terdeteksi oleh alat apapun. Jadi aku mohon jaga Dean dengan baik, pa."
"Kau tidak mengerti. Apa yang kau lakukan ini sangat berisiko. Selain itu, kau tidak akan bisa dengan mudah keluar dari sana setelah kau masuk."
"Kami pasti akan menemukan cara agar bisa keluar dan kembali untuk Dean. Aku berjanji." Ia berusaha meyakinkan.
Pria tua yang bersamanya menghela napas pelan. "Baiklah kalau itu keputusanmu, aku hanya berharap kau kembali masih dengan dirimu yang seperti ini."
"Terima kasih, pa."
Wanita itu berjongkok di hadapan anak laki-lakinya yang baru saja ia titipkan.
"Kau akan aman berada di sini, sayang. Mama akan segera kembali," gumamnya pada anak laki-laki itu.
Wanita itu, beranjak bangun dari tempatnya. Berbalik, lantas melangkah pergi. Dean yang melihat wanita itu pergi, seketika menangis dan berusaha mengejarnya. Tapi tidak bisa, karena di tahan oleh pria tua disampingnya.
"Mama…" lirih Dean.
Dean Apollo, membuka kedua matanya spontan ketika suara alarm pada jam weker menginterupsi seisi kamarnya. Membuat Dean seketika tersadar dari mimpi buruknya.
Keringat dingin mengucur membasahi keningnya. Napasnya memburu dengan degup jantung yang berdetak tak karuan.
Dean terdiam sejenak berusaha mengatur napasnya, serta mengumpulkan seluruh kesadarannya yang sebagian besar masih tertinggal di alam bawah sadarnya.
Hal yang pertama kali ia sadari adalah langit-langit kamarnya yang kini diterangi oleh cahaya lampu berpola bintang-bintang dalam bentuk tujuh dimensi.
Kringg!
Jam itu masih berdering di tepi flying bed yang ia tempati. Tangannya bergerak berusaha meraih jam weker itu, namun gagal. Tanpa sadar tangannya hanya memukul meja nakes itu, dan anehnya jam tersebut mati dalam seketika seakan-akan tangannya yang tidak sampai tadi, berhasil meraihnya.
Mimpi itu lagi, batinnya saat hening menyelimuti seisi kamarnya.
Dean menghela napas pelan. Mimpi yang sama.
...***...
Aku tidak tahu mengapa mimpi itu terus saja menghantuiku. Apa sebenarnya mimpi itu? Mengapa aku akhir-akhir ini selalu memimpikan hal yang sama? pikir Dean.
Tok… tok… tok!
Ketukan di pintu terdengar, namun fokusnya terus tertuju pada mimpi yang baru saja ia alami dan berbagai pertanyaan yang terus menghampirinya.
"Dean, apakah kau sudah bangun? Jangan bilang kalau kau masih tidur, cepat bangun ini sudah hampir waktunya!" teriak wanita di balik pintu dengan suara melengking.
Namun suaranya, ia hiraukan. Dean malah diam dengan kening berkerut, ia berusaha mencari faktor penyebab dari mimpi buruknya yang terus menghantui diri.
Brakk!
Tak lama, atensinya beralih pada pintu yang mendadak hancur berkeping-keping. Serpihannya berterbangan kemudian jatuh ke lantai. Dirinya terperanjat kaget begitu melihat siapa pelakunya.
Dean melotot, menatap Sofia yang kini tengah berdiri dengan raut wajah kesal, amarah tampak jelas memuncak di mimik wajahnya.
"M… mama…" lirih Dean dengan wajah pucat.
Wanita itu melangkah masuk dengan langkah besar ke dalam kamarnya. Dengan cepat menghampiri Dean, menarik keras telinga menjunjungnya ke udara, membuat Dean berteriak kesakitan seraya meminta ampun.
"Cepat bangun atau mama buat telingamu putus!" murkanya.
Suara nyaring itu terdengar amat menggema di dalam kamar berukuran besar namun penuh dengan barang-barang miliknya yang berserakan itu. Kamarnya amat mirip bagai kapal pecah, tampak tak terurus sama sekali padahal ada orang yang tinggal di dalamnya.
"A… aw aww! Sa… sakit, ma. Lepaskan telingaku, ma," ucapnya, memohon untuk di lepaskan.
"Makanya kalau kau memiliki telinga itu dipakai. Jangan hanya di jadikan objek hiasan! Cepat bangun lalu bersiap. Papa dan adikmu sudah sejak tadi menunggumu dibawah untuk sarapan bersama. Kenapa kau ini pemalas sekali?" Sofia melepaskannya.
"Baiklah, aku akan bangun." Dean merangkak turun dari flying bed-nya.
Flying bed adalah ranjang tidur tanpa kaki yang melayang di udara setinggi sepuluh centimeter dari permukaan lantai. Selain melayang, dan di gunakan sebagai tempat tidur, benda itu disertai dengan pengatur suhu otomatis yang membuat si pemakainya bisa merasa nyaman saat sedang tidur.
Pengatur suhunya sendiri bisa secara otomatis mengatur sendiri, menyesuaikan dengan suhu di sekitarnya. Ketika dingin tiba, maka benda itu akan berubah menjadi hangat, begitu juga sebaliknya.
Flying bed juga memiliki sistem pemijat yang dapat merilekskan tubuh ketika si pemakainya merasa kelelahan sehabis melakukan aktivitas dan lain sebagainya. Selain itu, kasurnya tak pernah mengempis dan akan senantiasa terasa seperti baru.
Dean menghampiri kamar mandinya hendak bersiap untuk pergi ke asrama tempat yang akan menjadi persinggahannya hingga lulus SMA.
Sofia menggelengkan kepala. Ia menepuk tangannya dua kali, dan dalam sekejap tirai terbuka dengan sistem sirkulasi udara yang secara otomatis langsung bekerja.
Jendela-jendela terbuka, dan udara pengap yang semula menyelimuti ruangan itu, berganti menjadi udara segar dari luar.
"Andrew!" teriak Sofia dengan suara kencang. Tak lama sebuah robot android bergerak menghampiri dirinya.
"Ya, nyonya?"
"Bersihkan serpihan pintu tadi, lalu pasang pintu baru."
"Baik."
Robot itu mengubah layar digital pada wajahnya hingga menampakkan sebuah simbol penyedot debu, tak lama selang muncul dari tangannya, dan ia mulai sibuk membersihkan serpihan kayu di lantai.
Sementara itu, Sofia mulai sibuk membereskan seisi kamar putranya.
...***...
"Buatkan aku pancake!" titah Seretha Apollo, yang mana merupakan adik dari Dean yang kini duduk di bangku SMP.
"Baik, nona." Humanoid yang di beri nama Gwendoline itu, lantas menyiapkan makanan yang di inginkan oleh tuannya.
Ia menghampiri meja di dekat tempat cuci piring. Menekan salah satu tombol hingga layar hologram muncul dihadapannya.
Humanoid itu menekan beberapa tombol yang tersedia, memilih makanan yang di inginkan. Tak lama kemudian sebuah tabung muncul dari tepi meja yang kemudian terbuka dan menampakkan makanan yang diinginkannya.
Gwen menghampiri Seretha dan memberikan sepiring pancake favoritnya.
"Terima kasih."
"Kepuasan anda adalah yang utama. Apakah anda menginginkan hal lain?"
"Tidak ada. Kau boleh kembali bekerja."
"Baik." Gwen bergerak melanjutkan pekerjaannya.
Beda Gwen beda Andrew. Gwen adalah humanoid wanita yang bertugas mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, di rancang untuk membantu Sofia menyelesaikan tugasnya dengan lebih cepat, sementara Andrew adalah robot android yang bertugas melakukan pekerjaan laki-laki. Ia biasanya memperbaiki berbagai hal yang rusak di rumah mereka.
"Yummy, pancake-mu memang yang terbaik," kata Seretha seraya melahap makanannya.
Sementara putrinya sibuk menikmati sarapannya, beda halnya dengan Damaris Apollo yang sejak tadi duduk dengan fokus pandang terus tertuju pada layar hologram di hadapannya.
Berbagai berita pagi yang sedang hangat di perbincangkan tampak di layar itu. Setiap gambarnya bahkan dapat bergerak layaknya sebuah video, namun dalam bentuk tiga dimensi. Layaknya sebuah koran, namun dalam bentuk digital, ia menikmati setiap sarapannya dengan di temani berita yang sedang hangat di perbincangkan.
Sofia tiba di ruang makan, duduk di kursi kosong dekat suaminya sambil menghela napas pelan.
Damaris menyapu udara dengan sebelah tangannya yang dalam sekejap menghilangkan layar hologram di hadapannya.
"Dean sudah bangun?" tanyanya, beralih fokus pada Sofia yang baru saja tiba.
"Ya, sudah. Seperti dugaanku, dia belum bersiap begitu aku tiba di kamarnya. Sebelum aku, menghancurkan pintu kamarnya."
"Mama menghancurkan pintu kamar kak Dean lagi?" Seretha menyambar begitu saja. Sofia hanya mengangguk pelan menanggapi kalimatnya.
"Wow…" Seretha tertegun. Walaupun bukan hal yang baru, namun tetap saja hal itu selalu berhasil membuat dirinya terkejut. Mamanya yang merupakan evolver dengan kemampuan tenaga super, seringkali membuat barang-barang hancur, salah satu yang menjadi favoritnya adalah pintu kamar kakaknya.
"Kakakmu itu sangat sulit dibangunkan," kata Sofia.
"Pagi," sapa Dean yang baru tiba di ruang makan dengan tas besar miliknya yang kini di bawa oleh Andrew.
Dean duduk di kursi samping Seretha, sementara Andrew menaruh tasnya di lantai dekat kursi yang ia duduki.
"Pagi," sahut yang lain serentak.
Dean menampakkan wajah masam, sementara Seretha justru tertawa terbahak saat melihat telinga kakaknya yang merah bukan main.
"Hahahaha, lihat. Telingamu kenapa?" gelak tawanya tak bisa tertahan. Seretha bahkan sampai menahan perutnya saking tak kuat menahan tawa.
Rasa panas bercampur sedikit perih menjalar pada telinganya yang baru saja ditarik dengan keras oleh Sofia.
Dean mendelik kesal ke arah Seretha. Ia berusaha untuk tetap tenang, tidak ingin membuat paginya semakin kacau dengan bertengkar bersama adik.
"Diam kau, jangan tertawa!" tukasnya. Alih-alih berhenti, Seretha malah semakin tertawa kencang. Sungguh, ingin sekali Dean menendang Seretha jauh-jauh. Kalau perlu, hingga ke Pluto.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!