NovelToon NovelToon

Tiga Ketukan

Datang

Cerita ini hanya fiktif belaka. Tempat, karakter , dan semua yang terjadi dalam cerita hanya imajinasi dari penulis. Penulis tidak bermaksud menjelekkan pihak manapun.

.

.

.

Hai, aku Ahra, aku siswi kelas 2 SMA. Aku akan menceritakan kejadian menakutkan yang kualami pada kalian, tentang sosok wanita itu, tamu tak diundang yang datang ke rumahku.

-Satu Hari Sebelum Kejadian-

Sore itu orangtuaku pamit untuk pergi menjenguk nenek di kampung. Aku tidak ingin ikut karena malas, meski aku sedang libur semester.

"Mamah pergi dulu ya, jaga rumah dan jangan keluyuran," pesan mamah sebelum pergi.

"Iya, Mah." Aku hanya mengangguk patuh.

"Nanti Mbok Sumi ke sini sebentar lagi," sambung ayah berusaha meyakinkan bahwa aku nanti tidak sendiri.

"Iya, ayah."

Aku sudah terbiasa tinggal di rumah sendiri dan selalu Mbok Sumi yang menemaniku. Aku menatap kepergian mereka di teras depan. Melambai pada mobil yang semakin jauh, sampai hilang di balik gerbang rumah.

Malamnya hujan turun disertai petir yang terus menggelar. Sudah jam 10, tapi Mbok Sumi belum datang.

Aku putuskan untuk mengirim pesan padanya. Memberi tahu jika gerbang depan dan pintu rumahku sudah dikunci. Jadi, jika sudah sampai Mbok Sumi harus menghubungiku dulu.

Sudah terkirim, tapi belum dibaca. Jadi aku putuskan meneleponnya. Saat nada tersambung terdengar, pintu utama rumahku ada yang mengetuk.

'Mbok Sumi, kah?' tanyaku dalam hati.

Aku putuskan untuk memeriksanya. Berjalan mendekati jendela samping pintu, dan sedikit mengintip dari balik tirai. Aku melihat bayangan seseorang di luar sana.

Itu pasti Mbok Sumi.

Aku tersenyum karena lega, lalu segera membuka kunci pintu. Tapi, tak ada siapapun diluar saat aku membukanya.

"Mbok," panggilku sambil mencari-cari sosok Mbok Sumi.

Apa aku salah lihat?

Aku putuskan untuk menutup kembali pintu rumahku. Saat akan menguncinya kembali ....

"Ini ... Mbok."

Aku mendengar suara Mbok Sumi dari luar. Aku membuka pintunya kembali. Ternyata benar, Mbok Sumi ada di sana.

"Mbok Sumi, tadi ke mana? Ngagetin aja," gerutuku kesal.

Mbok Sumi tidak membalas perkataanku, dia hanya tersenyum tipis.

"Udahlah, cepat masuk, sekalian masak bikinin aku nasi goreng. Aku lapar!" pintaku kemudian. Ya memang, sejak sore aku belum makan nasi. Hanya camilan dan kue kering yang aku makan.

"Iya," ucapnya sembari masuk ke dalam.

Aku segera mengunci pintu dan mengikutinya dari belakang ke arah dapur. Aku duduk di kursi makan, menunggu Mbok Sumi yang sedang masak di depanku.

Di luar masih hujan, malah semakin deras. Aku memandang ke arah luar rumahku dari jendela dapur yang ada di samping kananku. Kenapa aku merasa ada sesuatu yang salah? Tapi, apa?

Lamunanku langsung buyar saat sepiring nasi goreng diletakkan di depanku. "Makasih, Mbok," ucapku sambil tersenyum.

Akhirnya aku makan nasi. Aku langsung memakannya karena memang aku sudah lapar.

"Sekalian minumnya dong," pintaku.

Mbok Sumi langsung mengambil air dan menyerahkannya padaku.

Setelah selesai makan, aku menyuruh Mbok Sumi tidur di kamar biasa. Aku juga segera pergi ke kamarku dan menghubungi mamah jika Mbok Sumi sudah datang.

Tak lama, setelah aku tertidur. Ponselku berdering entah dari siapa. Saat aku melihat jam di atas nakas, ternyata sudah tengah malam. Entah siapa yang meneleponku. Apa dari mamahku?

Saat aku melihat nama kontak yang tertera di layar ponsel, aku meengerutkan dahi karena bingung.

(Mbok Sumi is calling)

Mbok Sumi? Kenapa telepon? Kenapa tidak langsung datang ke sini jika memang ada perlu. Aku langsung mengangkat panggilannya.

"Hallo, Mbok?"

[Non, maaf ... bibi nggak bisa datang.]

"Maksudnya?"

Aku tidak mengerti arah pembicaraannya. Apanya yang tidak bisa datang? Siapa?

[Non, Mbok nggak bisa datang. Anak Mbok sakit, sekarang Bibi lagi di rumah sakit.]

Oke, sepertinya Mbok Sumi sedang melindur.

"Nggak datang gimana? Tadi Mbok kesini, Mbok sekarang lagi tidur di kamar biasa, kan?!"

[Hah? Maaf, Non. Tapi ... Mbok lagi di Rumah Sakit sekarang.]

Rumah sakit? Lalu? Siapa yang tadi datang dan yang membuatkanku nasi goreng?

Sambungan pun terputus, entah siapa yang mematikan, mungkin juga karena sinyal.

Entah kenapa aku jadi teringat dengan cerita itu. Tidak mungkin 'kan cerita itu menjadi kenyataan. Aku hanya menceritakan kembali, tak ada maksud apapun. Jika itu benar, berarti Mbok Sumi sudah dirasuki, dan sekarang ... tunggu, bukannya dia bilang pelayannya itu tak pernah datang ke rumah? Lalu jika Mbok Sumi kerasukan, kenapa dia datang ke rumah? Dan juga jika yang di rumah ini Mbok Sumi, terus tadi siapa yang telepon? Aaargh, aku bingung.

*Flashback On-Kemarin Sore*

*"Mbok yakin kalau itu Mang Dadang?" tanya gadis itu dengan wajah memastikan, ia sedang duduk di teras belakang menemani pelayannya itu yang sedang berjemur pakaian.

"Yakin lah, Non," jawab wanita paruh baya itu sambil terus menjemur. Ia Mbok Sumi, pelayan yang sudah bekerja sejak gadis itu belum lahir.

"Tapi, bagaimana jika dia itu tamu yang tak diundang," simpul gadis itu, Ahra, dengan wajah menakuti.

"Maksud, Non Ahra?" tanya Mbok Sumi tak mengerti.

"Dia tamu yang tak pernah Mbok sangka," jelas Ahra yang berhasil membuat Mbok Sumi menatap heran pada anak majikannya itu. "Dia datang hanya ingin menguasai raga Mbok, lalu setelah bosan dia akan membunuh Mbok," lanjutnya.

"Jangan mengada-ngada Ahra, itu semua tak akan terjadi," timpal seorang wanita dari arah belakangnya.

Wanita itu menghampiri Ahra, lalu menatap anaknya itu. Kadang, ia bingung dengan imajinasi Ahra yang terlalu besar.

"Tapi, temanku bilang itu pernah terjadi pada pelayan di rumahnya," jelas Ahra mencoba membela diri.

Ia menatap mamahnya yang menatap lelah ke arahnya.

"Temanmu hanya mengarang cerita," ucap wanita itu, Tiara.

"Tapi buktinya pelayan itu mati karena bunuh diri," ungkap Ahra meyakinkan mamahnya.

"Dia hanya mengarang Ahra," simpul Tiara, lalu ia menghela napas perlahan. "Sudah, jangan bicarakan itu lagi," pinta Tiara pada Ahra.

"Iya, baiklah," patuh Ahra.

Setelah Tiara yakin bahwa Ahra tak akan menceritakan hal-hal aneh lagi, ia kembali masuk ke dalam. Ahra menunduk memilih melihat layar ponselnya.

Mbok Sumi hanya menatap Ahra sekilas, lalu tersenyum. Ia juga merasakan hal sama dengan Tiara, imajinasi Ahra terlalu besar, dan tentunya mudah percaya dengan omongan orang.*

*Falshback Off*

Tidak, itu semua tidak nyata. Ini pasti Mbok Sumi hanya mengerjaiku. Iya, itu benar, Mbok Sumi pasti sekarang sedang tertawa mengejek karena sudah berhasil membuatku takut.

Aku langsung beranjak ke lantai bawah, ke kamar yang biasa ditempati Mbok Sumi saat ia menginap di sini.

"Mbok," panggilku sambil mencoba membuka pintu.

Terkunci?

"Mbok Sumi ...." Aku mengetuk pintu kamarnya berkali-kali, namun tak ada sahutan dari dalam.

"Mencari Mbok?" seru seseorang dari belakangku.

Saat aku menoleh, ternyata itu Mbok Sumi.

"Mbok mengerjaiku, ya?"

Aku menatap kesal padanya, beraninya ia melakukan ini padaku. Anehnya ia tak mengatakan apapun, hanya menatapku tanpa ekspresi.

"Mbok mengatakan jika sekarang sedang di Rumah Sakit dengan meneleponku, tapi sebenarnya Mbok ingin menakutiku, kan," tebakku dengan perasaan menang karena ia tak berhasil mengerjaiku.

Tak ada tanggapan apapun, ia hanya menatap ke arahku kosong.

Oke, aku mulai takut. "Mbok," panggilku lagi, mencoba menyadarkannya yang mungkin tengah melamun.

Kupikir aku salah lihat, namun dengan jarak yang hanya beberapa meter, aku lihat Mbok Sumi tersenyum menyeringai. Apa-apaan tatapannya itu? Ia malah menatapku tajam.

"Bagaimana jika yang meneleponmu itu benar, Mbok Sumi sedang ada di Rumah Sakit?" ucapnya yang membuatku sedikit terkejut.

"Sudahlah, Mbok, hentikan dramanya," pintaku yang merasa ini tak lucu.

Dia menyeringai lagi. "Sayangnya tak ada drama yang sedang aku perankan."

Aku? Sejak kapan Mbok Sumi menyebut dirinya 'aku' padaku.

"Ka--kau ... siapa?"

"Menurutmu?"

Ia malah semakin menatapku tajam, dan seringainya semakin lebar, seolah mulutnya robek sampai telinga.

Aku ingin berteriak sekarang juga, tapi suaraku hilang entah ke mana. Jantungku berdetak kencang, lalu mundur perlahan mencoba lari. Tiba-tiba ....

Kepala Mbok Sumi berputar 180° tetap dengan senyuman mengerikannya. Aku tercengang melihatnya. Tangan dan kakinya seolah sengaja dipatahkan sampai bunyi tulang-tulang terdengar. Lalu menjatuhkan diri ke lantai, meninggalkan ngilu yang terasa.

Tanpa sengaja aku menjatuhkan ponselku, menutup mulutku dengan kedua tangan karena tak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. Sembari mundur perlahan.

Tiba-tiba saja Mbok Sumi, ralat, sosok wanita itu kayang, yang kupikir itu tak apa-apa, tapi ia langsung mengarah padaku dengan berlari. Bukan, mungkin lebih tepatnya merayap.

Aku berteriak keras sambil berlari menuju kamarku meski dengan susah payah. Aku takut, sangat. Sesampai di kamar, aku langsung mengunci pintu dari dalam. Aku terduduk jatuh di depan pintu karena seluruh tubuh merasa lemas.

Apa itu tadi? Apa aku berhalusinasi? Tapi ... entahlah aku bingung, sangat. Aku bangkit berdiri beranjak ke kamar mandi memilih membasuh wajah, mungkin terlalu lelah atau tadi itu hanya mimpi. Tapi, sayangnya kejadian tadi sulit untuk disangkal.

Jadi benar, wanita itu bukan Mbok Sumi. Apa kejadian yang menimpa pada pelayan temanku itu akan terjadi padaku?

Pucat, pantulan wajahku di cermin tampak mengenaskan. Bibirku sampai berwarna biru, apa setakut itu kah diriku? Perlahan air mataku turun. Aku benar-benar takut. Aku menutup mulut agar suara isakanku tak terdengar.

Aku ingat, gerbang utama sudah kukunci. Seharusnya aku curiga dari awal. Bagaimana mungkin Mbok Sumi bisa mengetuk pintu utama.

Tok ... tok ... tok ...

Suara itu? Suara ketukan yang sama di pintu utama tadi. Pelan namun terdengar memaksa dan hampa. Aku seketika berhenti menangis.

"Ini ... Mbok."

Suara itu sama persis seperti Bi Sumi, tapi kuyakin itu bukan Mbok Sumi.

Tok ... tok ... tok ...

Lagi, sosok itu kembali mengetuk pintu kamarku.

"Ini, Mbok," lirihnya yang terdengar mencoba meyakinkan diriku.

Anehnya, kenapa suara sekecil itu dapat kudengar sampai sini? Padahal jarak pintu kamarku dan kamar mandi cukup jauh.

"Pergi, jangan ganggu aku!" teriakku mengusirnya.

Aku masih di kamar mandi, tak ada sedikitpun niat untuk membukakan pintu kamarku, sedikit pun.

"Ini, Mbok."

Ia terus saja mengatakan hal itu, apa-apaan sosok itu. Sialnya aku malah menjatuhkan ponselku tadi dan meninggalkan begitu saja.

DUG?

"INI, MBOK!" teriaknya sambil memukul pintu kamarku keras.

Aku langsung terkejut mendengarnya berteriak begitu, ditambah pukulan di pintu.

"PERGI!"

Aku berteriak nyaring tanpa beranjak dari posisiku.

DUG! DUG! DUG!

"BUKA PINTUNYA!"

"PERGI!"

Ia semakin keras memukul pintuku dengan tak sabaran, malah sekarang ia mengeluarkan suara menggeram yang mengerikan.

Aku semakin takut, samnil berjongkok aku berteriak sambil menutup kedua telingaku dengan tangan.

Tak lama, pukulan itu tak terdengar. Tergantikan, dengan suara pintu yang justru terbuka.

Itu pintu kamarku? Tidak mungkin, aku menguncinya kan tadi.

Saat aku fokus pada pemikiranku sendiri, di hadapanku kedua telapak kaki yang pucat itu terlihat. Tak mampu untuk mendongak ke atas, air mataku perlahan kembali jatuh.

"Aku menemukanmu," ucapnya terdengar mengerikan.

Aku menatap kedua matanya yang kosong, tak ada bola mata di sana. Wajahnya yang pucat penuh darah, mulutnya yang robek sampai ke telinga, dan air mengalir yang membasahi tubuhnya entah dari mana.

"Ayo bermain, kuhitung sampai sepuluh kau harus sudah sembunyi. Jangan sampai aku menemukanmu, jika tidak aku akan membunuhmu."

Tubuhku kaku tak bisa bergerak, air mataku mengalir deras. Tak ada kata apapun yang keluar dari tenggorokanku.

"Satu ... sampai ... SEPULUH!"

Tanpa disangka dengan tiba-tiba ia menamparku keras dengan tangannya yang dingin sampai wajahku membentur dinding kamar mandi.

Gelap dan ... sunyi, itu yang kurasakan selanjutnya.

Apa aku mati?

.

.

.

Terima kasih sudah membaca

Jangan lupa tinggalkan jejak

Rate, like, coment, vote, and tap love

Sampai jumpa!

Kembali untuk Merasuki

Cerita ini hanya fiktif belaka. Tempat, karakter, dan semua yang terjadi dalam cerita hanya imajinasi dari penulis. Penulis tidak bermaksud menjelekkan pihak manapun.

.

.

.

*Hari Kejadian*

-Pagi Hari-

Gelap, itulah yang kulihat dalam pandanganku. Sepertinya aku mulai tersadar karena tak jauh dari tempatku aku mendengar suara langkah kaki.

Siapa? Mamah? Papah? Atau Mbok Sumi? Atau sosok wanita itu lagi, kah? Aku lelah, sebntar saja, aku ingin menutup mataku lebih lama.

Tak lama, aku seperti mendengar suara Mbok Sumi. Ah, entahlah, wajahku benar-benar sakit.

"Non, Non."

Badanku terasa diguncang pelan olehnya.

Mbok Sumi, kah?

Aku membuka mataku perlahan, terlihat bayangan Mbok Sumi meski buram.

"Non."

"Mbok Sumi?" lirihku.

Apakah kejadian kemarin itu hanya mimpi buruk? Tapi saat merasakan nyeri di sebelah kanan wajahku. Jadi, kemarin malam itu nyata? Aku langsung menangis mengingat kembali kejadian kemarin malam.

"Non, baik-baik saja?" tanya wanita itu khawatir.

Aku sempat berpikir kalau dia bukan Mbok Sumi seperti kemarin. Tapi, saat tangannya menyentuh wajahku dan tak sedingin kemarin, jadi dia memang Mbok Sumi.

"Mbok sakit, Mbok," keluhku kesakitan.

Pasti wajahku lebam, dan juga tenggorokanku kering.

"Ayo, Non, bangun."

Mbok Sumi mencoba membopongku untuk berdiri. Sepertinya ini sudah pagi.

Mbok Sumi membaringkanku di ranjang. Dugaan sementara yang didapat Mbok Sumi terjadi perampokan di rumah.

 

-Sore Hari-

Ahra benar-benar merasa lelah, bahkan sampai demam. Ia bangun hanya untuk sarapan dan makan siang tadi. Mbok Sumi menjaganya dari pagi sampai sore ini.

"Mbok, Ahra kenapa?" tanya seorang wanita terlihat panik lalu duduk di samping Ahra, ia Nyonya Tiara, ibu Ahra, dan seorang pria di belakangnya yang merupakan ayahnya, Tuan Dika.

"Saya tidak tahu nyonya, tapi saat saya sampai, Non Ahra pingsan di kamar mandi," jelas Mbok Sumi, pelayan itu.

"Kenapa bisa begitu? Bukankah Mbok yang menemani Ahra kemarin."

Tiara tampak kesal dengan penjelasan Mbok Sumi yang seolah tak bertanggung jawab.

"Menemani apa, Bu? Saya kemarin di Rumah Sakit, menemani anak saya. Saya sudah bilang ke Ibu, kan?" jelasnya membela diri.

"Tapi, Ahra bilang, mbok ada di rumah saat aku meneleponnya," ungkap Tiara merasa heran.

"Saya tidak ke rumah, Bu, saya di Rumah Sakit menemani anak saya."

Nyonya Tiara merasa aneh, pelayannya bilang, ia tak ke rumah, tapi Ahra malah bilang pelayannya itu ada di rumah. Jika Ahra mengatakan Mbok Sumi ada di rumah, tapi pelayannya itu mengatakan sedang di rumah sakit, lalu siapa yang di rumah kemarin malam?

"Nyonya, saya sempat curiga kalau Non Ahra korban perampokan, bagaimana jika orang yang dimaksud Non Ahra itu ternyata perampok," duga Mbok Sumi.

Nyonya Tiara tampak terkejut, tapi ia seolah membenarkan.

"Perampokan?" Tuan Dika terkejut dengan dugaan Mbok Sumi.

"Itu hanya dugaan saya, Tuan," jelasnya.

"Apa ada barang yang hilang?" tanya Tuan Dika seolah menginterogasi.

"Kenapa malah bertanya tentang barang, kau tak khawatir dengan Ahra?" gerutu Nyonya Tiara tidak terima.

"Bukan begitu, jika memang rumah kita dirampok, bukan kah seharusnya ada barang yang hilang," jelas Tuan Dika.

"Ah, benar." Nyonya Tiara setuju dengan ucapan suaminya. "Jadi Mbok, apa ada barang yang hilang?"

"Saya belum periksa, Nyonya."

"Kalau begitu, kita periksa rumah ini."

Mereka langsung memeriksa isi rumah. Jika memang ada barang yang hilang, berarti benar ada perampokan. Jika tidak ... maka pertanyaannya siapa yang kemarin malam bersama Ahra? Sayangnya, setelah berkali-kali memeriksa tak ada satupun barang yang hilang.

 

-Malam Hari-

*Aku sudah terlalu lelah untuk menerima ini semua, bahkan sekedar membuka mataku saja enggan. Sekilas aku ingat kalau Mbok Sumi membopongku tadi pagi. Aku masih tak percaya, apa kejadian kemarin malam itu nyata?

Sepi, itu yang kurasakan. Tak ada suara apapun, sampai-sampai detak jantungku pun terdengar jelas.

Perutku mual ... aku langsung terbangun seketika, beranjak ke kamar mandi meski pusing di kepalaku tiba-tiba menyerang. Aku langsung memuntahkan isi perutku ke wastafel.

Apa itu? Menjijikan! Belatung-belatung itu keluar dari mulutku setelah aku memuntahkan isi perutku, sialnya mereka masih bergerak-gerak hidup, dengan darahku yang bercampur. Aku langsung mencuci mulutku dengan kasar untuk menghilangkan rasa menjijikan itu.

Aku terbatuk karena sebagian air keran masuk ke hidungku. Tak lama, aku mendengar suara pintu kamarku diketuk. Aneh, karena jaraknya jauh, kan.

Tok ... tok ... tok ...

"Ini ... mbok," ucapnya dari luar.

Aku menghentikan kegiatanku, mematikan keran untuk mendengar lebih jelas.

"Buka pintunya," pintanya parau.

Aku perlahan keluar dari kamar mandi, berjalan ragu ke arah pintu. Tak yakin jika harus membuka pintu untuknya.

DUG!

Gedoran keras itu mengagetkanku. Lagi, apa sosok itu akan datang? Kakiku kaku tak bisa digerakkan, nafasku memburu gelisah. Terlebih saat pintu kamarku terbuka perlahan dan sosok itu memandangku sinis dengan seringainya di wajah.

Aku langsung tak sadarkan diri, saat ia tiba-tiba ada di hadapanku dan langsung menusuk dadaku dengan pisau di tangannya.*

Aku langsung terbangun dari tidurku, ternyata hanya mimpi. Aku bernafas lega, mengatur nafasku yang memburu dan mengelap keringat dingin yang bercucuran.

Tapi ... entah kenapa aku merasa sesuatu di tanganku ada yang menggerayangi. Saat kulihat apa itu, betapa terkejutnya saat tahu ternyata di tanganku penuh dengan sekumpulan belatung yang bergerak-gerak.

Aku langsung terbangun dari posisi tidurku. Aku berusaha menyingkirkan belatung-belatung itu ditanganku, dan tubuhku? Bagaimana bisa?

Tok … tok … tok …

“Non, ini mbok, boleh mbok masuk?”

Aku menghiraukan ketukan pintu Mbok Sumi, dan tetap fokus dengan belatung di seluruh tubuhku dan sekarang mereka berusaha masuk ke kulitku.

Aku langsung mengambil pisau buah di nakas dan segera menyingkirkan ulat-ulat itu di tubuhku dengan brutal, meski aku tahu itu menyakitkan, aku tak peduli. Aku hanya ingin belatung-belatung itu menyingkir dari tubuhku walau darah segar kini mengalir di seluruh tubuhku.

Aku berteriak histeris karena dua hal, belatung itu yang tidak menyingkir dari tubuhku dan sakit yang semakin terasa.

“Non, non baik-baik saja?”

Aku tetap tidak peduli dengan Mbok Sumi yang mengetuk pintu tergesa dan juga mamah yang kini ikut menggedor pintuku.

“Non!”

“Ahra, buka pintunya. Apa yang terjadi?”

Kenapa? Sekarang Aku merasa bukan aku yang melakukannya, kenapa tak bisa berhenti menyakiti diriku. Hah, wanita itu … sosok yang mirip Mbok Sumi kini menampakkan diri dengan wajah yang mengerikan. Tubuhnya dipenuhi ulat dan darah yang mengalir, aku terlihat sepertinya kini. Dia hanya diam dengan seringainya yang selalu ia tujukan padaku.

Tiba-tiba tanganku mengacungkan pisau itu ke dadaku dan pandanganku memburam tak lama gelap yang datang.

 ---

Tok … tok … tok …

Awalnya wanita tua itu hanya ingin memastikan keadaan gadis yang berada di dalam kamar di hadapannya kini, dengan membawakan teh hangat di atas nakas.

Tok … tok … tok ...

“Non, ini mbok. Boleh mbok masuk?”

Bukan sahutan yang dia dengar, melainkan teriakan yang ketakutan dari dalam kamar. Teriakan itu semakin jelas yang membuat ia khawatir.

“Non, non baik-baik saja?”

Tak lama, seorang wanita lain yang merupakan mamah gadis itu datang dan mencoba mengetuk pintu kamar gadis itu.

“Non!”

"Ahra kenapa, Mbok?" tanya wanita itu, yang merupakan mamahnya penasaran.

"Non Ahra tidak mau membuka pintunya, Nyonya," jawab Mbok Sumi.

Wanita itu menatap aneh pada Mbok Sumi, ia berfikir kenapa harus mengetuk pintu dan berteriak seperti itu, tinggal dibuka saja, kan.

Tiara langsung mencoba membuka pintu kamar Ahra, tapi ternyata pintunya terkunci.

“Ahra, buka pintunya. Apa yang terjadi?”

Tiara membujuk Ahra agar mau membukakan pintu, namun sampai sekarang pun pintu itu belum terbuka.

Lama kelamaan ketukan pintu semakin kencang dan terburu-buru, meski tak ada sahutan dari dalam yang membuat mereka takut. Ditambah mereka mendengar teriakan yang sangat kencang, dan itu membuat mereka semakin takut. Mereka terus berusaha mencoba membuka pintunya secara paksa meski sia-sia.

“Ahra, buka pintunya!”

“Non, non baik-baik aja kan?”

Mereka terus mencoba segala cara agar pintu terbuka.

“Ahra, jawab mamah sayang!” teriak frustasi wanita itu yang merupakan mamah dari gadis yang ada di dalam kamar.

Tak habis pikir wanita itu berlari kebawah menuju gudang dan kembali dengan membawa kapak ditangannya, dengan sekuat tenaga dia mengacungkan kapak itu berusaha menghancurkan pintu kamar.

Bruk … bruk … bruk

Meski sudah mencoba beberapa kali, pintu itu tetap tidak bisa dihancurkan. Mungkin, tenaganya tidak kuat. Tiara mulai lemas saat teriakan dari dalam kamar sangat keras dan setelah itu tak terdengar apapun.

“Ahra, kau dengar mamah?!” Wanita itu berteriak sambil mengetuk pintu terus menerus lalu terduduk lemas, dia menangis karena tidak tahu apalagi yang harus ia lakukan.

Wanita tua disampingnya yang merupakan pelayan di rumah itu mencoba menenangkan majikannya dengan berjongkok disamping wanita itu, dia merasa takut kalau sesuatu yang buruk terjadi pada gadis di dalam kamar itu yang merupakan anak dari majikannya itu.

KRIEEET

Dengan perlahan, pintu kamar terbuka dan terlihat seorang gadis dengan wajah dingin dan tatapan kosong disertai hawa dingin yang mencengkam.

“Ahra,” lirih wanita itu dengan wajah lelah sekaligus lega.

“Ada apa?” tanya gadis itu tenang seolah tak terjadi apa-apa.

“Non, Non baik-baik saja?” tanya pelayan itu memastikan, masih dengan posisi berjongkok.

Gadis itu malah tersenyum menyeringai, “aku baik, sangat baik.”

Tiara langsung bangkit memeluknya karena perasaan lega yang sebelumnya rasa ketakutan yang menguasai.

“Mamah pikir, terjadi sesuatu padamu," ucapnya khawatir dan semakin mempererat pelukannya pada gadis itu.

Wanita itu menangis haru dan senang karena putrinya baik-baik saja. Sebaliknya, pelayan mereka yang masih berjongkok dibawah malah menampilkan ekspresi ketakutan dan wajahnya pucat pasi. Bahkan ia sampai jatuh terduduk.

Itu karena ia sadar kalau gadis dihadapannya kini berbeda, terlebih saat ia melihat kebawah tepat di kaki gadis itu, yang ia lihat kulit putih pucat seperti tak bernyawa.

.

.

.

Terima kasih sudah membaca

Jangan lupa tinggalkan jejak

Rate, like, coment, and tap love

Sampai jumpa!

Ayo Bermain

Cerita ini hanya fiktif belaka. Tempat, karakter, dan semua yang terjadi dalam cerita hanya imajinasi dari penulis. Penulis tidak bermaksud menjelekkan pihak manapun.

.

.

.

*Setelah Kejadian*

-Malam Hari-

Saat tengah malam, gadis itu duduk di depan cermin rias dengan cahaya remang dari lilin. Menyisir rambutnya perlahan sambil menyeringai pada bayangannya yang terpantul.

"Ayo, bermain," gumamnya entah pada siapa.

Ia tersenyum menyeringai. Matanya tetap tearah pada bayangan cermin di hadapannya seolah itu adalah orang lain. "Tangkap aku, jika kau bisa."

Ia kembali menyeringai dengan matanya yang sinis. Rambut panjangnya kembali ia sisir perlahan.

---

*Satu Hari Setelah Kejadian*

-Pagi Hari-

Pagi itu, Nyonya Tiara menyiapkan sarapan di meja makan. Meski memiliki pelayan di rumahnya, ia tetap merasa bertanggung jawab dalam hal itu.

Merasa ada yang kurang, ia mencari-cari sosok itu sekitaran dapur dan ruang makan.

"Mbok, Ahra mana? Kenapa belum ke sini?" tanyanya kemudian.

"Mungkin, masih di kamarnya, Nyonya," jawab Mbok Sumi.

"Kalau begitu, panggil dia, ya."

"Baik, Nyonya."

Mbok Sumi beranjak ke lantai atas menuju kamar Ahra. Ia segera mengetuk pintu kamar yang langsung menghadap ke arah anak tangga.

"Non," panggilnya dengan sedikit keras. "Non, Nyonya sudah menunggu di ruang makan," lanjutnya memberi tahu.

Lama tak ada respon, akhirnya pintu kamar terbuka. Ahra muncul di balik pintu, ia tersenyum.

"Non, ayo sarapan. Nyonya sudah menunggu."

Ahra semakin tersenyum. Entah kenapa ia melakukan itu, tapi sebelumnya ia tak pernah begitu.

"Ayo kita bermain," ajaknya melenceng yang membuat Mbok Sumi bingung.

"Main apa, Non?" tanyanya keheranan.

"Temukan aku."

Seketika aura di sekitaran mereka berdua berubah menjadi aneh.

Mbok Sumi berusaha tak menyadarinya. Ia selalu meyakinkan dirinya bahwa sosok yang di depannya memanglah Nona-nya. Tapi ....

"Non--" Saat ia menatap tepat di kedua mata Ahra. Tatapan itu, senyuman it-- bukan, bukan senyuman, dia menyeringai. Tingkah laku gadis di depannya itu, membuatnya tak yakin, bahwa sosok itu Ahra.

"Mbok, kenapa Ahra belum turun?" tanya seseorang dari arah belakang Mbok Sumi sambil menaiki tangga.

Kehadiran Nyonya Tiara mengubah suasana. Ahra kelihatan kesal dengan kehadirannya, sedangkan Mbok Sumi, pura-pura tak melihat itu dan berusaha baik-baik saja.

Mbok Sumi menoleh ke arah Nyonya Tiara. "Nona Ahra sebentar lagi akan ke sana, Nyonya."

Nyonya Tiara merasa ada sesuatu yang salah yang sedang terjadi. Tapi, seolah tak ingin memikirkan, ia mengabaikan hal itu.

"Kalau begitu, cepat turun."

Nyonya Tiara berbalik kembali menuju ruang makan. Mbok Sumi kembali menatap Ahra.

"Non, ayo turun," ajak Mbok Sumi berusaha bersikap seperti biasa.

Mbok Sumi berbalik menyusul Nyonya Tiara, ia pura-pura seolah tak terjadi apa-apa. Perlahan, ia mendengar langkah seseorang mengikutinya dari belakang.

---

-Malam Hari-

Guk! Guk! Guk!

Gonggongan anjing terus saja terdengar malam itu. Suasana yang sepi membuatnya terdengar jelas sampai ke beberapa rumah.

Ahra mengintip dari balik tirai yang terbuka. Ia tersenyum menyeringai saat tahu anjing itu terlihat menggonggong ke arahnya.

"Sepertinya, kau ingin bermain denganku," gumamnya sambil menatap anjing itu di balik jendela.

Ia berbalik menuju pintu kamarnya. Tanpa takut ketahuan, ia keluar dari kamarnya, menyusuri rumah yang kini gelap tanpa cahaya. Nyonya sudah tidur di kamarnya, ia tidak tahu jika putri satu-satunya keluar malam-malam dengan tenangnya.

Gonggongan anjing itu semakin keras saat Ahra sudah ada di tempatnya. Kalung rantai yang mengikat leher anjing itu membuat ia tercekik saat akan menghampiri Ahra.

"Kau ... terlalu berisik, anjing."

Guk! Guk! Guk!

"Baiklah, aku akan membuatmu tenang."

Ahra perlahan mendekat lalu berjongkok tepat di hadapan anjing itu. Tanpa takut tergigit, tangannya menjulur mencekik anjing itu. Anjing itu menggeliat menimbulkan suara yang berisik sambil menendang-nendang kakinya sembarang. Ahra terus saja mencengkeram leher anjing itu semakin kencang. Tak lama, anjing itu berhenti bergerak, dan seringai menakutkan muncul di wajah Ahra.

"Selamat tinggal."

Ahra tersenyum menyeringai. Dia menyeret jasad anjing itu keluar gerbang. Lalu melemparnya ke tempat sampah.

---

*Dua Hari Setelah Kejadian*

-Siang Hari-

Siang itu, cuaca sangat panas. Meski berdiam diri rumah, hawanya tetap terasa. AC, dan pendingin ruangan lainnya dinyalakan bersamaan agar tak kepanasan. Begitu juga Nyonya Tiara, yang menyuruh Mbok Sumi menyalakan semua AC untuk mendinginkan rumah. Tak peduli dengan biaya listrik yang mahal.

"Mbok, jangan lupa buang sampah."

"Baik, Nyonya."

Memang hanya ada Mbok Sumi seorang yang masih bekerja di rumah itu. Saat yang lain sedang pulang kampung, ia tetap setia di rumah itu untuk melayani Nyonya Tiara. Ya, itu karena kampung halamannya memang di situ.

Mbok Sumi beranjak ke depan gerbang sambil membawa kresek sampah di kedua tangannya.

"Ada apa, ya, Bu? Kok pada rame?" tanya Mbok Sumi pada orang yang tak jauh di dekatnya.

Ia heran, tumben sekali ibu-ibu komplek berkumpul.

"Ooh, itu, anjingnya mati."

"Kok bisa?"

"Nggak tahu juga saya."

Mbok Sumi memperhatikan orang-orang yang berkumpul di sekitaran rumah di sebelah Nyonya Tiara.

"Aneh ya, anjing mati saja pada rame."

"Ya, kan, itu anjing suka ngasih tahu orang-orang kalau ada apa-apa."

"Hhm, iya juga sih."

"Bu, saya masuk dulu."

Mbok Sumi pamit masuk ke dalam setelah ia membuang kresek sampah di tempatnya.

"Mbok, di depan pada rame, ya?" tanya Nyonya Tiara penasaran.

Ia menjadi penasaran, apa yang membuat orang-orang rela panas-panasan di luar daripada berteduh di dalam rumah.

"Iya, Nyonya."

"Ada apa memang? Kok pada ngumpul di rumah sebelah?"

"Katanya anjing tetangga sebelah mati, Nyonya."

"Kok bisa?"

"Saya kurang tahu, Nyonya."

Tak terlalu memikirkan, Nyonya Tiara kembali membaca majalah di tangannya.

---

-Siang Hari-Taman Komplek-

"Satu ... dua ... tiga ... kau kalah!" teriaknya pada anak perempuan kecil di hadapannya.

"Kak ... sakit ...." lirih anak itu.

"Karena kau kalah, kau harus menerima hukumannya."

"Tapi, Kak ...."

"Ssstt, anak baik tak boleh mengeluh."

Ahra tersenyum manis, seolah apa yang dilakukannya sesuatu yang biasa. Ia kembali melanjutkan goresan di tangan anak itu dengan silet yang dipegangnya. Ia tak peduli meski darah di tangan anak perempuan kecil itu terus saja keluar.

"Sekarang, ayo main lagi."

"Tidak, Kak. Tanganku sakit."

"Kau berani menolaknya? Ingat, kau harus tetap main sampai kau mati sekalipun."

Ahra menarik tangan anak perempuan kecil itu agar tak kabur. Mencengkeramnya kuat tak peduli, kini tangannya terkena darah anak perempuan kecil itu.

"Tidak, Kak, aku tidak mau."

"Berisik!"

Sekali tebasan ia arahkan pada leher anak perempuan kecil itu. Darah segar mengalir mengotori rerumputan taman. Ahra menyeringai melihat anak perempuan kecil itu tergeletak tak lagi bergerak.

Ia berbalik meninggalkannya. Lagipula tak ada yang akan mencarinya, anak perempuan kecil itu hanya seorang pengemis yang tak sengaja Ahra temui di taman. Ah, anak perempuan kecil itu yang menghampirinya duluan, meminta uang untuk membeli sesuap nasi.

Ahra menghentikan langkahnya. Rumah yang ia masuki kemarin, kini ramai dengan orang-orang yang berkumpul. Kembali menyeringai karena mengingat sesuatu. Tak lama, Ahra memilih masuk ke rumahnya.

-Sore Hari-

Sorenya, cuaca tak sepanas tadi siang. Nyonya Tiara mengajak Ahra berjalan-jalan ke Mall untuk menghilangkan bosan. Tapi, baru pertama kalinya Ahra menolak ajakan Nyonya.

"Tumben kau menolaknya, biasanya kau semangat."

Ahra hanya tersenyum.

"Kalau begitu, kau ingin apa?"

Ahra kembali tersenyum. "Ayo, bermain."

"Main? Main apa?"

"Tangkap aku."

"Hm? Maksudmu petak umpet?"

Ahra menggeleng. "Bukan, tangkap aku."

Ahra kembali berucap begitu. Jelas Nyonya tak mengerti apa yang dimaksud Ahra.

"Maksudmu apa?"

Saat Ahra akan menjelaskan permainan yang ia maksud, Mbok Sumi tiba-tiba datang dengan ketiga es krim cup di tangannya.

"Ayo, kita makan es krim," ajak Mbok Sumi sambil meletakan dua es krim lainnya di atas meja lalu duduk di sebelah Nyonya Tiara.

"Woah, es krim. Ahra, bukankah kau suka?"

Nyonya Tiara langsung mengambil eskrim itu dan segera menyantapnya. Sedangkan Ahra tersenyum paksa. Ia kesal karena tak jadi bermain.

Ahra tak mengambil es krim itu di meja. Ia malah menatap tajam Mbok Sumi. Menurutnya wanita paruh baya itu pengganggu.

.

.

.

Terima kasih sudah membaca

Jangan lupa tinggalkan jejak

Rate, like, coment, vote, and tap love

Sampai jumpa!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!