NovelToon NovelToon

Orang Tua Untuk Bayiku

PROLOG

Tersiak-siak kakiku menempuh jalan terjal ini. Sejujurnya aku tak tahu kemana kaki ini akan melangkah. Hanya sedikit uang yang kupunya, dan aku tak tahu sampai kapan uang ini bisa menghidupiku dan bayi dalam kandunganku. Tubuh ini terasa begitu lelah, tendangan bayi di perutku pun semakin kencang. Kaki ini sudah tak sanggup untuk melangkah, sedangkan yang aku lihat hanya rumah milikMu. Oh Tuhan masih pantaskan tubuh ini bernaung di rumahMu meski hanya sebentar saja.

 

****

Tangis bayi pecah, aku hanya bisa mengucap rasa syukur. Diusiaku yang tak lagi muda, aku masih bisa melahirkan dengan normal tanpa ada masalah apapun. Sungguh besar KaruniaMu Ya Allah.

Sayup-sayup kudengar suara seorang laki-laki mengumandangkan adzan di telinga putraku. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk melihatnya. Dalam hitungan jam aku sudah harus berpisah dengannya.

Sekilas aku melihatnya lagi, dia bayi yang begitu tampan, matanya bulat dan besar. Ya, mata itu sangat mirip dengannya. Mengingatnya terlalu menyakitkan untukku. Rasa trauma itu ternyata belum hilang dalam memoriku. Laki-laki yang sudah menjadi cinta pertamaku tapi selalu lari bagaikan pecundang tanpa dosa. Semua kata-katanya penuh kemunafikan, dan janjinya hanyalah janji palsu. Namun bodohnya aku, sampai detik ini pun aku masih mencintainya.

Kupandang bayi itu lagi, anak yang aku kandung dan aku lahirkan dengan penuh perjuangan. Satu jam setelah melahirkan aku dibawa ke ruang perawatan. Malam ini adalah malam terakhirku, besok pagi kami sudah diijinkan pulang dan aku harus berpisah dengannya.

Sesungguhnya malam ini aku tak bisa tidur, kupandangi bayi mungil yang tidur begitu lelap tak jauh dariku. Hati ini masih begitu sakit membayangkan jika esok adalah hari perpisahanku dengannya. Terkadang aku ingin lari saja membawanya pergi dan hidup denganku. Namun aku juga harus memikirkan perasaan orang-orang di sekitarku. Aku tak mau mengecewakan mereka semua.

Sudah cukup kebodohan yang kulakukan dulu yang telah merugikan semua orang yang kucintai. Sudah cukup aku menjadi wanita egois yang mementingkan diriku sendiri. Aku adalah seorang Ibu yang harus memikirkan perasaan anakku, aku adalah seorang anak yang harus berbakti ada orang tua, sudah cukup orang tuaku menanggung beban karena perbuatanku, kali ini aku harus rela berkorban.

Berat, sangatlah berat tapi ini semua demi kebaikannya dam kebaikan semua orang di sekitarku. Lagipula keluarga barunya adalah salah satu keluarga terkaya di kota ini. Masa depan cerah sudah menantinya. 

Suami istri itu sangat menyayanginya sejak dia masih dalam kandunganku, aku hanya bisa melihat mereka menimangmu dengan penuh cinta dan kebahagiaan dari balik kaca ini, sambil menatap mereka pergi membawamu.

'Selamat tinggal nak, semoga kita bisa berjumpa kelak, aku tidak akan pernah melupakanmu, kamu tetap menjadi bagian hidupku meskipun kita tidak bisa bersama' batinku dalam hati, sambil menangis tersedu-sedu.

Akupun melangkahkan kaki pergi dari rumah sakit ini melewati jalan yang berbeda dengan mereka. Aku sudah tak sanggup lagi menahan tangisku saat melihatmu, dan menghindar adalah jalan terbaik saat ini.

Aku akan kembali untuk merawat anakku yang lain yang masih membutuhkanku sebagai ibunya.

Sudah cukup kujalani kehidupan yang begitu pahit ini, akan kurangkai kembali masa depanku dengan pintu pertaubatan. Dosaku sudah terlalu banyak, tapi aku yakin Tuhan Maha Pengampun.

Pulang

Kulangkahkan kaki keluar dari rumah sakit, lalu kuambil ponsel dari dalam tasku dan memesan taksi online untuk mengantarkanku ke terminal bus. Aku akan kembali ke kotaku, setelah tiga bulan lamanya aku terdampar di kota ini. Tak berapa lama taksi yang kupesan pun datang. Sepanjang jalan kupandangi kota ini yang telah menjadi saksi bisu kenanganku bersama anak yang baru saja kulahirkan.

Masih teringat jelas aku berjalan di depan komplek pertokoan dengan wanita baik hati bernama Winda yang sekarang menjadi orang tua angkatnya. Kami berbelanja dengan penuh rasa bahagia memenuhi semua kebutuhan bayi dalam kandunganku. Tak terasa air mata mengalir kembali di pipi.

'Oh Tuhan, kenapa rasanya masih begitu sakit?'

Kuambil ponselku dan kulihat seorang bayi merah yang baru lahir masih menggunakan handuk di tubuhnya saat masih dibersihakan oleh para perawat di rumah sakit. Lalu aku membuka sebuah video yang berhasil direkam Bu Winda, saat bayiku pertama kali menangis, dan ketika dia dikumandangkan adzan oleh Pak Arif, ayah angkatnya.

'Nak.' kataku dalam hati.

"Mba kita sudah sampai di terminal." tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.

"Ya Pak, terimakasih." kataku, lalu aku turun dan membayar ongkos taksi tersebut.

Kulangkahkan kaki menuju bus yang akan membawaku ke daerah tujuanku, kota Solo. Tek begitu lama aku menunggu di dalam bus, akhirnya bus pun berangkat. Kulewati jalan yang menjadi saksi bisu akan bejadnya Randi, yang membawaku melalui jalan ini saat menculik dan kemudian memperkosaku dalam keadaan hamil besar. Sakit, hanya itu yang kurasa. Tak terasa, tiga jam perjalanan membuatku terlelap di dalam bus ini. Mungkin tubuhku masih terasa begitu lelah usai melahirkan.

Saat kuinjakkan lagi kakiku di kota ini, kurasakan sesak merasuk dalam dadaku. Masih teringat jelas dalam memoriku, tiga bulan yang lalu saat aku berjalan di jalanan ini, dengan hati yang begitu perih membawa bayi tak berdosa dalam kandunganku.

Nahasnya, jalan pulang menuju rumah selalu melewati rumah milik Randi. Lelaki berbisa yang memperdayaku kedalam rayuannya. Kupejamkan mataku, aku tak ingin semua memori kebersamaanku dengannya hinggap kembali. Dan aku tak ingin trauma itu kembali menghantuiku di setiap mimpi-mimpiku.

Begitu sulit aku berusaha untuk bisa lepas dari trauma yang telah Randi perbuat dalam hidupku. Akupun terkadang masih merasakan ketakutan saat membayangkan diriku yang berjalan sendiri di tengah hutan dengan tubuh penuh luka.

Seharusnya sedari awal aku sadar, dia hanyalah mempermainkanku, dia masih memiliki keluarga yang utuh. Bahkan saudari-saudariku sudah berulang kali memperingatkanku, tapi selalu kuacuhkan. Aku mengira semua janji manis yang diucapkan untuk mengikatku dalam sebuah ikatan perkawinan adalah janji kami terdahulu yang sempat tertunda. 

Randi adalah cinta pertamaku saat di bangku sekolah. Kami dahulu berjanji untuk hidup bersama sampai ajal menjemput. Namun saat hubunganku dengannya sedang begitu hangat, dia memutuskan hubungan kami tepat di hari kelulusannya.

Aku merasa begitu kacau setelah kami berpisah, yang kudengar orang tua Randi membawanya pindah ke Sumatera untuk suatu hal yang tak pernah kuketahui alasannya. Kami terpisahkan, dan aku tidak berharap apapun darinya, bagiku berharap suatu hal yang tidak pasti tentu akan semakin menyakitkan. Saat itu aku memang begitu naif dan polos.

Setelah 15 tahun dia kembali, aku pikir dia benar-benar akan mewujudkan cita-cita kami yang tertunda dulu. Tapi ternyata semua janjinya adalah palsu. Bahkan setelah mengetahui kehamilanku, dia dengan mudahnya pergi meninggalkanku. Masih teringat kata-kata terakhirnya saat dia mencampakkanku dan menolak anak dalam kandunganku.

"Aku tidak yakin itu anakku Mila, bukankah suami pertamamu juga tidak percaya Amanda adalah darah dagingnya, apalagi aku yang tidak memiliki ikatan pernikahan denganmu." katanya padaku dengan nada mencibir dan tersenyum sinis. Setelah semua kenangan manis yang kulakukan dengannya, begitu mudahnya dia berkata seperti itu padaku. Hatiku bertambah sakit, takkala aku tahu semua yang terjadi dalam hidupku ini sudah menjadi bagian dari rencananya yang ingin menghancurkan keluargaku.

Aku tak tahu dia menyimpan dendam yang begitu besar pada keluargaku. Seharusnya sejak menjalin hubungan dengannya di bangku sekolah aku menuruti kata-kata Ayah, namun aku memang terlalu naif. Hingga semua ini terjadi padaku, dan saat kusesali semuanya sudah terlambat.

Perih, duniaku hancur seakan berhenti berputar saat dia mencampakkan aku. Bahkan Ibuku juga harus menjadi korban karena perbuatanku, Ibu meninggal setelah tahu kenyataan yang sebenarnya terjadi padaku.

Sungguh aku tak menyangka kecerobohan yang telah kuperbuat berdampak begitu besar pada hidupku, bahkan keluargaku pun ikut menanggungnya. Ayah begitu terpuruk setelah ditinggalkan Ibu, hari-harinya tak seceria dulu saat masih bersama Ibu.

Keluargaku akhirnya mengusirku saat usia kandunganku menginjak enam bulan. Mereka tidak ingin ada orang yang tahu jika aku sedang mengandung tanpa seorang suami. Hati kecilku sebenarnya meronta, namun aku harus tegar karena ini semua demi kebaikan anak dan keluargaku. Ayah memang orang yang begitu terpandang, tentu dia akan sangat malu jika salah satu anak perempuannya hamil diluar nikah. Aku juga tak ingin Amanda, putri semata wayangku semakin curiga pada perutku yang semakin membesar.

Saat itu keluargaku juga begitu membenciku, bahkan sejak Ibu meninggal tak satupun diantara mereka yang mau berbicara denganku. Aku pasrah mengikuti keinginan Ayah, aku yakin ini memang yang terbaik untuk keluarga kami. "Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu saat kau sudah bisa menitipkan anakmu pada orang yang tepat. Percayalah Mila ini adalah keputusan terbaik, kau tentu tidak ingin anakmu mendapat cibiran, sangat tidak baik untuk perkembangan psikologis anakmu, Ayah yakin bayi ini pasti akan bertemu orang yang tepat untuk bisa menerima dan menyayanginya." Itulah kata-kata terakhir dari Ayah sebelum aku pergi.

Ayahku menyuruhku untuk pergi ke rumah Mba Tari, kebetulan salah seorang teman Mba Tari ada yang ingin mengadopsi anakku, mau tak mau aku menyanggupinya. Saat itu aku yakin, anakku pasti bisa dirawat dengan baik olehnya. Namun di tengah perjalanan saat akan menuju ke Bandara, Randi menculik dan memperkosaku. Dia bahkan menyekapku lalu membuangku begitu saja layaknya sampah di sebuah hutan belantara yang sangat jauh dari tempat tinggalku. Mungkin dia berharap jika aku akan mati, namun nyatanya aku masih bisa bertahan. Dan dari kejadian itu akhirnya mempertemukan aku dengan orang yang menolongku dan mau mengadopsi anak dalam kandunganku.

Bahkan nasibku kini jauh lebih baik dibandingkan Randi, yang mungkin akan membusuk di penjara. Tuntutan yang diberikan padanya bukan hanya satu tuntutan tapi di dituntut oleh berbagai macam pasal berlapis yang semakin memberatkan hukumannya.

Akhirnya taksi yang membawaku sampai di sebuah rumah minimalis berwarna abu-abu. Rumah yang sudah sangat kurindukan. 'Amanda, mama pulang, Ayah Mila pulang' batinku dalam hati.

Sweet Home

"Assalamualaikum... Assalamualaikum, Ayah Mila pulang, Amanda, Mama pulang."

Tak ada jawaban, hingga beberapa menit kemudian kudengar langkah kecil seseorang membukakan pintu. Seorang anak berusia 10 tahun menghambur memelukku.

"Ma, Amanda kangen banget sama Mama, Mama kemana aja? Kok tiba-tiba Mama pergi? Manda pikir Mama marah sama Manda sampai pergi tanpa memberitahu Manda." 

"Mama ada pekerjaan di luar kota sayang, mama ga pernah sama sekali marah sama Manda, mama sayang banget sama Manda." kataku sambil memeluk Amanda dengan begitu erat. Lalu air mataku pun menetes, rasanya aku begitu merindukan Amanda, sejak kecil dia tak pernah jauh dariku. Beberapa bulan terakhir ini pasti sangat berat untuknya, apalagi dia tinggal di rumah ini hanya dengan Ayahku saja.

"Kakek mana? Kok sepi?"

"Di belakang Ma, sedang membersihkan kolam ikan milik Manda, Bi Sumi juga ikut bantuin kakek."

"Loh sekarang Manda punya kolam ikan?"

"Iya dong, Papa yang bikinkan buat Manda, ikan-ikan di kolam juga hadiah dari Papa buat Manda, sejak Mama pergi hampir tiap hari Papa datang ke rumah loh. Bahkan Papa juga sering nginep di sini nemenin Manda tidur, kalau ga ada Papa mungkin Manda udah kesepian dan sedih ditinggal Mama." kata Amanda sambil menunjukkan wajah yang begitu sedih.

"Sudah sayang, Amanda sekarang sudah ga boleh sedih lagi kan mama sudah pulang."

"Tapi kalau Mama pulang, Papa ga bisa ke rumah ini lagi dong?"

"Papa pasti ke sini lagi sayang, Papa kan sayang sama Manda." jawabku menghiburnya.

"Papa juga masih sayang sama Mama loh, bahkan saat Papa menginap di sini, Papa ga pernah berhenti mandang foto Mama yang ada di kamar."

Hatiku begitu sakit mendengar kata-kata Amanda. 'Mas, masih begitu besarkah rasa cintamu padaku? Jika kamu tahu yang sebenarnya terjadi padaku, apakah kamu masih mau mencintaiku yang sudah begitu kotor?' batinku dalam hati.

"Mila kamu sudah pulang nak?" Tiba-tiba suara Ayah mengagetkanku, lalu kulihat wajah Ayah tersenyum sambil mendekat padaku, dia lalu memelukku dan membelai rambutku.

"Ih Kakek, ganggu aja deh, Mama kan lagi mulai kangen sama Papa, malah Kakek ganggu." kata Amanda.

"Sok tahu kamu, kamu udah kerjain PR belum?'

Amanda lalu menggeleng. "Ya sudah kamu kerjain PR dulu, kalau udah nanti kita main sama Rayhan, Mama udah telpon Bude Rani sebentar lagi mereka dateng, kamu buruan kerjain PR sebelum mereka dateng."

Amanda lalu mengangguk dan melangkah pergi menuju kamarnya.

"Kamu istirahat dulu saja, bibi sudah ayah suruh membuatkan minuman untukmu, kamu tentu merasa lelah." kata Ayah sambil membawa barang-barang bawaanku ke dalam kamar.

"Ayah...." kata-kataku tertahan.

"Sudah nanti saja ceritanya Mila, tenangkan dirimu lebih dulu, sekarang kamu istirahat saja nak, maafkan ayah nak yang tidak bisa menjagamu." katanya sambil berlalu pergi.

Aku melihat mata Ayah berembun. Aku tahu dia sedang menutupi tangisnya sehingga dia begitu cepat berlalu dari hadapanku.

Kuhirup aroma kamar ini, semua masih sama. Sama seperti saat terakhir kutinggalkan. Sama seperti saat aku masih remaja, takkala pertama kali menempati kamar ini. Randi, sebuah nama yang selalu kusebut di kamar ini. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti apa itu cinta. Kami hanya sebatas curi-curi pandang lalu tersenyum malu saat mata kami bertemu pada titik yang sama.

Kamar ini adalah saksi cintaku dengan Randi, jendela kamar ini adalah perantara cintaku padanya.

'Kenapa aku masih saja memikirkan lelaki brengsek itu!' gumamku dalam hati.

Inilah kelemahanku, sampai detik ini aku masih saja memikirkan Randi, entah karena aku begitu membenci dirinya atau karena rasa trauma yang belum juga hilang dalam benakku.

"Mba Mila ini tehnya." Bi Sumi datang dan memberikan secangkir teh padaku. Aku lalu meminum teh tersebut, tenggorokan ini memang terasa begitu kering terkuras oleh air mata, dan perjalanan pulang selama tiga jam di dalam bus memang cukup membuat kehilangan cairan tubuh. Baru saja kuletakkan secangkir teh di nakas sebelah tempat tidurku, tiba-tiba seseorang sudah berhambur memelukku.

"Mila maafin mba Mila, mba ga bisa jagain kamu, kalau saja mba mengecek kondisi mobil sebelum mengantarmu, sesuatu tidak akan terjadi pada kita berdua dan tentu Randi ga akan menculikmu."

"Sudah Mba, semua sudah berlalu, semua terjadi bukan karena kesalahan Mba Rani, sekarang Randi sudah mendapat semua balasannya Mba, keadaanku juga sudah sehat, Mba Rani gimana? Semua baik-baik saja kan?"

Mba Rani lalu mengangguk, mencoba tersenyum meski air mata masih mengalir deras di pipinya.

"Rayhan mana Mba?"

"Lagi main sama Amanda."

"Ya sudah Mba, jangan sedih, aku sudah baik-baik saja, lebih baik kita buka lembaran baru. Mba bantuin Mila buka cafe lagi yuk mba, sayang cafe Mila sampai tutup gini, padahal dulu omsetnya udah lumayan kan?" 

Raut kebahagiaan mulai terlihat di wajah Mba Rani "Iya Mila." jawabnya singkat sambil mengangguk.

"Gimana keadaan anakmu Mila? Apakah kamu menyimpan fotonya?"

"Ya Mba aku mengambil beberapa fotonya sebelum kami berpisah."

"Mba boleh lihat keponakan mba kan Mila?"

"Tentu Mba"

Lalu kuambil ponselku di dalam tas dan keperlihatkan sebuah foto bayi yang baru kulahirkan.

"Tampan sekali anakmu Mila, untungnya cuma matanya saja yang mirip Randi, sedangkan wajahnya sangat mirip denganmu, Mba ga sudi wajah dia mirip dengan keponakan mba."

"Stttt sudah Mba, ga usah ngomongin penjahat itu lagi, sebentar lagi dia juga pasti membusuk di penjara."

"Tentu Mila, kami pasti akan membuat dia membayar semua perbuatan jahatnya."

"Ya sudah Mba, kita berdoa saja semoga proses persidangan Randi dipercepat dan dia bisa mendapatkan hukuman yang setimpal."

"Iya Mila, tapi sungguh mba ga menyangka anak yang kamu lahirkan itu begitu tampan, tahu gitu mba saja yang jadi orang tua angkatnya hahahaha." kata Mba Rani sambil tertawa.

"Iya Mba, dia memang begitu tampan, namun sayang kami harus terpisah oleh keadaan." jawabku.

"Kamu yang sabar Mila, ini demi kebaikannya, suatu saat kita pasti bisa bertemu lagi dengannya."

"Tentu Mba, mereka tidak pernah memberi batasan padaku untuk berkomunikasi dengan anakku."

"Iya Mila." jawab Mba Rani.

Dibalik pintu kamar, sosok lelaki tua juga terlihat menangis. 'Maafkan ayah Mila, jika ayah tak mengusirmu, kejadian buruk itu tak akan menimpamu.'

Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar. Kulihat Bi Sumi tergopoh-gopoh membukakan pintu lalu mendekatiku. "Maaf Mba Mila, ada Ibu Wina di depan katanya ingin bertemu."

Aku lalu berpandangan dengan Mba Rani, namun Mba Rani juga menggelengkan kepalanya. 'Ada apa istri Randi datang ke rumah ini?'

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!