Seorang wanita mengenakan heels berwarna merah menyala sedang berjalan di tengah-tengah padatnya dance floor. Dengan kepala yang tertutup hoodie dan sebuah kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya, ia celingukan kesana kemari seolah tengah mencari keberadaan seseorang.
Tak butuh waktu lama, ia akhirnya bertemu dengan seorang pria di koridor yang cukup sepi. Pria itu sangat mudah dikenali karena ia berperawakan tinggi dengan pakaian serba hitam dan juga sebuah topi dengan warna senada. Sekilas mereka tidak terlihat begitu akrab. Wanita itu hanya menyerahkan sebuah amplop panjang berwarna coklat dan selembar foto.
"Namanya Freya. Lakuin sesuai rencana dan jangan sampai gagal," tegas wanita itu.
Mereka berpisah usai sang pria mengiyakan perintah dari wanita yang tidak diketahui siapa namanya.
Pria tadi kemudian berjalan di sekitaran meja bar. Melalui petunjuk foto itu, ia akhirnya menemukan Freya.
Setelah duduk di sampingnya, pria itu mencoba untuk berbicara dengan Freya. Namun Freya yang sudah mabuk berat tidak menggubris ucapan pria itu. Ia terlihat sudah memejamkan matanya dengan kepala tersungkur di atas meja bar.
"Mas ini siapa, temennya ya?" tanya seorang bartender.
"Iya mas, kenapa?"
"Mending mbaknya di anter pulang, dia udah abis 5 botol, saya rasa dia juga udah nggak bisa jalan sendiri," lanjut bartender itu.
Pria itu menganggukkan kepala lalu bangkit dari kursi untuk membantu memapah Freya.
Namun sebelum tangan pria itu berhasil menyentuh Freya, tiba-tiba datang pria lain yang langsung menepis tangan pria bertopi hitam itu.
"Gue yang akan bawa dia karena gue pacarnya. Lo siapa?" tegas pria dengan setelan jas ala-ala orang kantoran itu.
Pria bertopi langsung ketakutan saat mengetahui jika Freya sudah dijemput oleh pacarnya.
"Sa-ya cuma temennya mas, niatnya tadi mau nganter dia tapi karena mas udah dateng.. Ya udah mas aja yang nganter dia."
Setelah mengutarakan alasan yang klise itu, pria itu langsung menjauh dan meninggalkan mereka berdua tanpa rasa curiga sedikitpun.
Shaquil Alano atau pria yang akrab di panggil Alano itu tersenyum miring saat melihat pria tadi sudah lari ketakutan.
"Al, lo jangan macem-macem ya. Lo nggak kenal sama ni cewek kan, terus ngapain lo ngaku-ngaku jadi pacarnya segala," bisik seorang pria yang berada di samping Alano.
"Lo nggak liat kalau gue baru aja jadi pahlawan buat ni cewek," ucap Alano dengan gaya sombongnya.
Dengan wajah polosnya, Justin hanya melongo menatap Alano yang kini sudah menggendong tubuh Freya.
Seperti cerita dongeng, Alano bak pangeran yang tiba untuk menyelamatkan tuan putrinya. Ia menggendong Freya keluar meninggalkan tempat yang penuh dengan kemaksiatan itu.
Justin yang bingung dengan sikap Alano hanya bisa mengikutinya. Sebenarnya Alano bukan tipe pria yang suka mencampuri urusan orang lain, apalagi dengan orang yang tidak ia kenal. Namun malam ini Justin menjadi saksi atas kemurahan hati Alano.
"Gue nggak ngerti kenapa lo nyelametin cewek ini. Kenal nggak, wajahnya juga pas-pasan, ini bukan tipe lo Al." Justin masih bertanya-tanya tentang alasan Alano membawa Freya.
"Sepertinya ada yang punya niat jahat sama ni cewek," jawab Alano.
"Maksud lo apa sih, nggak usah belibet, ngomong yang jelas."
"Cowok tadi itu orang bayaran yang disuruh buat nyelakain ni cewek. Gue liat sendiri waktu dia nerima uang itu."
"Lo serius?" kaget Justin dengan mata yang sudah melebar. Ternyata ia sudah berburuk sangka dengan sahabatnya.
"Ngapain gue bohong," jawab Alano dengan entengnya.
Alano berniat ingin mengantarkan Freya ke rumahnya, namun setelah memeriksa isi tas Freya, Alano tidak menemukan apapun. Tas itu hanya berisi uang tunai dan juga peralatan make-up. Tidak ada identitas apapun mengenai siapa diri Freya.
"Gila ya ni cewek, bisa-bisanya pergi tanpa identitas. Udah di tolongin, nyusahin lagi. Tau gini nggak usah gue tolongin tadi ?" gerutu Alano kesal.
Sementara Justin justru tertawa riang begitu tahu temannya sedang kebingungan gara-gara sikap sok pahlawannya.
"Bawa aja ke apartemen lo, gampang kan?" sahut Justin.
"Itu namanya gue bunuh diri. Lo kan tau CCTV di apartemen itu yang ngatur oma, gue nggak bisa otak-atik camera itu."
"Ya udah bawa aja ke hotel," ujar Justin dengan entengnya.
Alano mendorong bahu Justin, membuat dada pria itu terbentur stir mobil.
"Napa lo jadi marah sama gue, gue kan cuma ngasih saran."
"Saran lo nggak masuk akal."
"Otak lo yang nggak masuk akal. Lo tinggal pesenin dia kamar habis itu lo tinggal pergi, gampang kan. Emang dasar otak mesum lo ya, negatif mulu pikirannya."
Alano terdiam, ucapan Justin membuatnya gelagapan hingga tidak bisa menemukan kata-kata untuk membantahnya.
Sesuai apa yang dikatakan Justin, Alano akhirnya membawa Freya ke sebuah hotel yang tak jauh dari club itu.
"Lo deh yang bawa dia masuk," ucap Alano begitu mereka sudah tiba di depan hotel.
"Kok gue, yang tadi niat mau nolong siapa, elo kan?" sahut Justin.
Alano hanya bisa berdecak kesal ketika Justin berkali-kali mematahkan argumennya. Tidak ada cara lain selain ia sendiri yang membawa Freya masuk karena memang dari awal Alano sendiri yang ingin menolongnya.
"Haishh.. Ini yang pertama dan terakhir, nggak mau lagi gue nolongin orang," gerutu Alano sambil menggendong Freya.
Tiba-tiba saja saat Justin ingin menyusul Alano berjalan ke dalam, ponselnya berbunyi. Awalnya ia menyerngit bingung karena tidak biasanya mamanya menelpon di jam segini. Namun setelah mengangkatnya, Justin langsung meninggalkan hotel dengan terburu-buru.
Sementara di lobby hotel, Alano menunggu Justin dengan perasaan yang sudah berkecamuk. Ia berusaha menghubungi Justin berkali-kali namun tidak ada satupun panggilannya yang diangkat. Hingga akhirnya ia keluar untuk mencari Justin, tapi mobil Justin tidak ada di depan hotel.
Belum cukup dengan ditinggal Justin tanpa kabar. Kini malah ada seorang yang membuntuti Alano. Alano sendiri yakin jika ia sedang dibuntuti oleh wartawan.
Dengan tergesa-gesa Alano langsung menggendong Freya menuju ke kamar yang sudah ia pesan. Sekarang ia sudah tidak bisa kemana-mana lagi. Ia bahkan tidak bisa keluar dari hotel karena wartawan sudah mencurigainya, apalagi Justin juga sudah pergi tanpa kabar.
"Sial! Mana gue cuma pesen satu kamar, nggak mungkin kalau gue keluar lagi. Itu sama aja gue bunuh diri."
Alano hanya bisa merutuki kebodohannya setelah terjebak di kamar hotel bersama Freya.
Freya pun juga tak luput dari luapan emosi seorang Alano. Ia menjadikan Freya sebagai sumber masalah atas kesialannya malam ini.
"Semua ini gara-gara lo. Kalau gue nggak ketemu elo, gue akan berakhir disini. Lo hutang besar sama gue," sungut Alano dengan tatapan penuh kemarahan.
Alano bahkan mengguncang-guncang bahu Freya agar wanita itu bangun. Namun cara itu tidak berpengaruh untuk Freya yang sudah tertidur dengan pulas.
"Lo harus dengerin gue baik-baik. Gue nggak mau tau lo harus bisa ngluarin gue dari sini. Nasib gue udah diujung tanduk. Ck!"
Alano yang frustasi akhirnya melepas bahu Freya dengan kasar. Namun usai mengangkat tangannya, Freya justru menarik punggung Alano hingga pria itu jatuh diatas tubuh Freya.
Deg.
Mata Alano seketika membulat dengan dada yang sudah bergerak naik turun dengan tempo yang semakin cepat.
...BERSAMBUNG......
Freya melenguh sambil menggeliatkan tubuhnya. Perlahan ia membuka mata begitu merasakan sinar matahari mulai masuk ke cela-cela jendela.
Dengan santainya Freya duduk di ranjang sambil meregangkan otot-otot tubuhnya. Ia sama sekali tidak sadar jika ia sudah tidur satu ranjang dengan pria yang tidak ia kenal.
Freya menyibak selimut, pakaiannya masih lengkap sehingga ia belum menyadari keberadaan pria yang masih tertidur pulas di sampingnya. Namun begitu Freya menginjakkan kakinya di lantai, ia baru menyadari jika lantai yang ia pijaki sekarang bukanlah lantai kamarnya.
Perlahan Freya melirik ke sisi kanan, dimana akhirnya ia melihat sebuah kaki yang berada tepat di sampingnya. Seketika mata Freya membulat dengan mulut yang sudah terbuka lebar. Sebelum Freya sempat berteriak, samar-samar Freya mengingat kejadian semalam saat ia menarik tubuh seorang pria ke dalam pelukannya.
Freya terpaksa harus menutup mulutnya rapat-rapat serta mengangkat tangannya untuk menutupi wajahnya.
'Astaga, apa yang udah lo lakuin Freya,' rutuk Freya dari dalam hati.
Menghilangkan rasa sedih dan malunya, Freya kini sudah mengepalkan tangan bersiap untuk meninju pria yang ada di sampingnya. Apapun yang terjadi, Freya tetap akan melimpahkan kesalahan pada pria itu karena bagaimana pun dia lah yang sudah membawanya ke hotel.
Setelah mengumpulkan keberanian, perlahan Freya menoleh ke belakang dan langsung memukul wajah Alano yang masih tertidur dengan damai.
"Brengsek, beraninya lo bawa gue disini!" rutuk Freya dengan tangan yang terus menyerang wajah Alano.
Rupanya tindakan Freya sudah membangkitkan sisi kejam yang ada di diri Alano. Begitu membuka mata, Alano langsung mencengkram kedua tangan Freya dengan sangat kuat.
Bahkan tatapan Alano lebih tajam dari tatapan seekor serigala, membuat Freya harus menutup matanya rapat-rapat.
Kini Alano sudah bangkit dari tidurnya dengan tangan yang masih mengunci kedua pergelangan tangan Freya.
"Lepasin! berani-beraninya lo ngelecehin gue. Lo nggak tau gue siapa?" gertak Freya dengan pipi yang sudah memerah karena menahan rasa takut.
Alano belum berbicara, ia hanya menatap Freya dengan setumpuk kemarahan yang sudah tersimpan sejak semalam. Kini saat Alano ingin meluapkannya, Freya justru membuat masalah baru dengan memukulnya saat ia tengah tertidur.
Kemarahan Alano sudah tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin jika Alano punya kekuatan super, ia sudah melempar Freya jauh-jauh dari dunia ini. Bahkan menghilangkan Freya dari muka bumi ini. Tidak ada pilihan yang lebih baik selain tidak melihat wajah Freya lagi.
"Kenapa diem, lo takut, lo ngrasa bersalah. Basi! Lo itu cuma cowok bejad yang-"
Ucapan Freya terhenti karena tiba-tiba Alano menarik tangan Freya.
"Lepasin gue, lo nggak denger gue ngomong apa?!"
Alano mendorong tubuh Freya ke dinding lalu ia mendekat secara perlahan hingga menyisakan jarak sekitar satu jengkal saja.
Freya sudah ketakutan, ia pikir Alano akan memanfaatkan situasi ini untuk memerdaya dirinya.
"Mundur, gue bilang mundur!" teriak Freya.
"Kalau lo nggak mau mundur, gue akan teriak," ancam Freya.
Alano semakin mendekat. Bahkan kemudian ia mengagetkan Freya dengan meletakkan satu tangan kirinya di dinding tepat di samping wajah Freya.
"Lo mau apa. Pergi nggak! Atau gue akan teriak!" gertak Freya.
Alano justru memiringkan wajahnya, bahkan bibirnya hampir menyentuh bibir Freya. Namun ketika Freya memejamkan mata, Alano justru tersenyum miring. Alano kemudian memukul tembok di sisi kanan kepala Freya, membuat gadis itu terkejut setengah mati.
"Apa lo juga nggak tau siapa gue?" Alano tersenyum sarkasme. "Lo pikir gue napsu liat cewek kaya lo. Body kek triplek, rambut berantakan, culun lagi," ujar Alano sambil memindai penampilan Freya.
Freya menggeram marah, rasanya ia ingin memukul kepala Alano. Tapi mengingat keadaannya terancam, Freya hanya bisa mengepalkan tangannya.
Alano kemudian membisikkan sesuatu di telinga Freya. "Lo itu harusnya berterima kasih sama gue."
Freya hanya bisa menelan ludahnya dengan susah payah. Ia kemudian mencari titik lemah Alano, dan saat Alano lengah Freya menggunakan lututnya untuk memberikan pelajaran pada junior Alano.
"Rasain lo!" gerutu Freya.
Alano langsung merintih kesakitan sambil memegang juniornya. Sementara Freya dengan bangganya justru melenggang pergi setelah melambaikan tangan sambil memberi kiss bye.
"Jangan keluar. Jangan berani keluar sebelum gue yang nyuruh!" teriak Alano dengan penuh tekanan. Ia sangat yakin jika wartawan masih ada di sekitar hotel, maka dari itu ia berusaha keras untuk menahan Freya.
Alano berusaha mengejar Freya untuk menghentikannya. Namun teriakan Alano tidak berarti apa-apa untuk Freya. Gadis itu tidak mungkin mau kembali dan menarik kata-katanya.
Freya sudah mendorong pintu kamar hotel. Tekadnya untuk menjauh dari Alano membuat Freya melupakan segalanya. Lupa akan tasnya yang masih berada di dalam dan ia bahkan belum sempat untuk membasuh wajahnya. Dan lihatlah betapa berantakannya Freya sekarang.
Sesampainya di lobby hotel, Freya langsung diserbu oleh beberapa wartawan. Mereka mengerumuni Freya layaknya seorang artis terkenal.
Freya hanya bisa celingukan kesana kemari, tak tahu dengan apa yang tengah menimpanya.
"Apa benar kamu menginap disini bersama Alano, presdir dari perusahaan penerbitan dan periklanan?"
"Dimana Presdir Alano, apa anda tidak keluar dengan beliau?"
"Mbak, katakan sesuatu. Apa kalian memiliki hubungan khusus atau kalian hanya berken-can?"
Freya benar-benar pusing mendengar serentetan pertanyaan yang ditujukan padanya. Belum lagi, wajahnya kini terpampang di beberapa media dengan image buruk.
Salah seorang wartawan tampak menelisik wajah Freya. Ia seperti mengenal Freya. Namun sebelum ia belum sempat mengajukan pertanyaan, tiba-tiba ada seseorang yang menariknya dari belakang. Orang itu terus menarik tangan Freya hingga akhirnya mereka berhenti di sebuah koridor yang berada di depan kamar mandi.
Mereka tampak lelah dengan deru napas yang tersengal-sengal. Freya sama sekali belum menyadari jika yang menarik tangannya adalah rekan kerjanya. Namun begitu ia mengangkat wajahnya, Freya langsung syok.
"Mesha, lo juga ada disini?"
Sebelum Mesha menjawab, Freya sudah lebih dulu mendekat dan memeluk tubuh sahabatnya itu.
"Untung ada lo, kalau nggak gue nggak tau gimana nasib gue sekarang."
Frey merasa lega setelah mengetahui fakta bahwa ternyata sahabatnya yang sudah menyelamatkannya. Ya meskipun sedikit terlambat, namun Freya tetap bersyukur dengan kehadiran Mesha.
"Jadi beneran lo yang udah tidur sama Pak Alano?" tanya Mesha tiba-tiba.
"Lo dapet gosip murahan dari siapa sih. Lo pikir gue cewek apaan. Lagian gue nggak kenal siapa Pak Alano. Udah yuk kita pulang sekarang, gue masih ngantuk."
Freya sudah menggandeng tangan Mesha tapi Mesha justru melepaskannya.
"Nggak usah bohongin gue," tegas Mesha dengan raut wajah tegang. "Terus lo ngapain ada disini. Berantakan begini, nggak bawa apa-apa lagi. Lo pasti abis mabuk kan, terus gimana ceritanya lo bisa ada disini sama Pak Alano. Lo nggak tau siapa dia?"
"Please deh Sha, gue pusing denger pertanyaan lo. Jadi lebih baik sekarang kita pergi dari sini, nanti gue jelasin di rumah."
***
"Siapkan mobil dan jemput gue di hotel Ayana sekarang," titah Alano pada salah satu bawahannya melalui sambungan telepon.
Usai mematikan teleponnya, Alano langsung meluapkan amarahnya pada benda-benda yang ada di kamarnya. Semua barang berhamburan di lantai. Bahkan Alano sampai melemparkan sepatunya ke kaca rias.
Rasa kesalnya pada Freya kini semakin menjadi setelah gadis itu mencoreng nama baiknya di depan umum. Sebentar lagi pasti akan timbul malapetaka yang siap menghancurkan hidupnya.
"Gadis bodoh itu… Berani-beraninya dia cari masalah sama gue," umpat Alano sambil mengepalkan tangan.
...BERSAMBUNG...
Beberapa bodyguard Alano sudah tiba di hotel. Pria berjumlah empat orang itu langsung berbaris rapi untuk mengawal Alano dan juga menjaga Alano dari kerumunan wartawan.
"Pak Alano.. Pak Alano.. Boleh kita bertanya sebentar," seru beberapa wartawan begitu melihat Alano berjalan keluar hotel.
"Pak tunggu pak, kita perlu klarifikasi dari bapak tentang kedatangan anda di hotel ini."
Mereka saling bersahut-sahutan meski Alano tetap bungkam dengan wajah yang tertutup masker dan juga kacamata hitam.
Suara itu sampai terdengar di telinga Freya dan Mesha. Freya yang penasaran dengan sosok Alano mulai mengintip dari balik tembok.
Begitu tahu jika Alano memang pria yang sudah tidur dengannya, Freya tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Jadi lo beneran nggak kenal Pak Alano?" tanya Mesha lagi.
Freya menggeleng dengan polosnya membuat Mesha menghela napas sambil menepuk jidatnya.
***
Freya gelisah, ia sudah berjalan kesana kemari sambil mencari solusi untuk masalah yang tengah menimpanya. Pemberitaan tentang dirinya sudah menyebar, menyebabkan kekacauan yang tidak mungkin bisa ia hindari.
Ponselnya sudah berdering berkali-kali. Entah siapa yang menghubunginya, Freya belum berani untuk sekedar melihatnya. Tapi feeling Freya bisa menebak jika beberapa telepon itu pasti berasal dari papanya dan juga dari manajer tempat ia bekerja.
Tidak menutup kemungkinan jika Freya akan dikeluarkan dari pekerjaannya mengingat dirinya bekerja di bidang jurnalis. Perusahaan pasti tidak ingin terlibat masalah.
"Mau sampai kapan lo menghindar kaya gini?" tanya Mesha yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengusap-usap rambutnya yang masih basah menggunakan handuknya.
"Gimana gue jelasin masalah ini ke Pak Andre. Apalagi gue udah punya catatan buruk sebelumnya. Pasti nggak bakal ada lagi toleransi buat gue."
Dengan pasrah Freya menjatuhkan tubuhnya di ranjang sambil menatap langit-langit kamar Mesha.
"Makanya kalau mau apa-apa itu dipikir dulu. Tapi ngomong-ngomong lo beruntung bisa tidur sama Pak Alano," ujar Mesha sambil tersenyum nyengir.
Freya yang geram dengan ucapan Mesha langsung bangkit dan menonyor kepala sahabatnya. "Sekali lagi lo sebut nama dia, nggak ada lagi masker gratis!" ancam Freya.
Mesha menghela napas sambil memutar bola matanya dengan jengah. "Iya deh, yang kaya emang yang berkuasa. Remahan kaya gue mana bisa beli masker mahal dari Korea."
***
Di sisi lain, Alano sedang berjalan menuju ruangan papanya. Dengan cepat berita itu sudah sampai di telinga sang papa yang tidak lain adalah pemilik perusahaan penerbitan dan periklanan tempat Alano bekerja sebagai CEO.
Begitu Alano masuk, ia langsung duduk sambil menopangkan satu kakinya ke kaki yang lain. Ia sama sekali tidak peka dengan kemarahan papanya. Padahal sejak masuk, papanya sudah menunjukkan sikap dinginnya dengan tidak menjawab sapaan dari Alano. Bahkan pria yang biasa dipanggil Pak Reno itu justru menatap ke jendela, memunggungi Alano yang baru saja tiba.
"Apa kamu tau kenapa papa manggil kamu kesini?" tanya Papa Reno tanpa membalikkan badan ke arah Alano.
"Apa ini ada kaitannya dengan kejadian semalam? Udah lah pa.. Alano bisa atasi masalah ini, lagipula Alano nggak ngapa-ngapain sama itu cewek jadi nggak usah buang-buang waktu untuk mikirin gosip itu."
"Ini bukan sekedar gosip. Tapi ini tentang harga diri dan nama baik keluarga kita. Ini bukan masalah sepele Al. Jadi papa harap kamu bisa segera mengambil sikap."
"Jadi papa nyuruh Alano buat bikin klarifikasi tentang masalah ini."
"Bawa gadis itu ketemu papa."
"Apa? Papa mau ngapain. Lagipula itu cewek nggak bakal mau ketemu lagi sama aku pa."
"Itu karena kamu laki-laki pengecut. Kamu harus bawa dia, jika tidak maka papa akan cabut jabatan kamu."
"Nggak bisa gini dong pa, Alano-"
"Ucapan papa udah jelas jadi kamu bisa keluar dari ruangan papa," tegas Papa Reno.
"Tapi pa…"
"Bawa gadis itu besuk atau-"
"Oke, Alano akan bawa cewek itu ketemu papa," potong Alami cepat. "Papa puas sekarang?" ucap Alano. Ia sudah bangkit dari kursinya dan mulai berjalan meninggalkan ruangan papanya dengan perasaan kecewa dan kesal.
Setelah Alano pergi, barulah Papa Reno membalikkan badannya. Menghadapi sikap arogan Alano memang perlu ketegasan. Jika tidak, maka tidak menutup kemungkinan jika Alano akan kembali membuat ulah.
Alano membuka pintu ruangannya dengan kasar. Ia melonggarkan dasinya yang terasa mencekik leher dan juga melempar jasnya pada asisten-nya.
Alano yang terkenal arogan dan galak itu tidak takut pada siapapun kecuali papanya. Setiap perintah dari Papa Reno tidak ada yang bisa Alano bantah. Namun begitu ia tidak suka dengan perintah itu maka Alano akan melampiaskan pada bawahannya.
"Sial, belum cukup dia ngancurin nama gue, sekarang dia malah mempersulit keadaan," gerutu Alano.
Antoni, bodyguard-nya tidak berani berkutik. Ia hanya bisa menunduk sambil menunggu perintah dari Alano.
"Kita pergi sekarang," titah Alano tiba-tiba.
"Kemana Bos?" tanya Antoni.
"Nyari cewek gila itu, apalagi!" bentaknya dengan lirikan tajam.
Antoni berusaha mengejar Alano yang sudah berjalan lebih dulu.
"Tapi bos, siang ini anda ada meeting dengan dewan direksi," ucap Antoni.
Sebagai seorang asisten Antoni tentu mengetahui semua kegiatan bos-nya. Ia juga sangat paham segala seluk beluk mengenai Alano. Bisa dibilang jika Antoni memegang semua kartu As seorang Alano. Maka tidak heran jika Alano harus mengeluarkan uang tiga puluh juta per bulan untuk upah seorang asisten pribadi. Belum lagi tunjangan dan fasilitas yang lain.
Bagi Antoni sendiri, menjadi asisten Alano bukanlah beban yang cukup berat karena sejak belia ia sudah bekerja untuk Alano. Dulu ayah Antoni adalah supir pribadi keluarga Reno Tanuwijaya. Setiap hari pula Antoni selalu bermain dengan Alano. Itulah alasan kenapa Antoni begitu setia di sisi Alano meskipun Alano kerap kali memarahinya dan juga membentaknya.
"Cancel semua jadwal saya hari ini. Dan tugas kamu sekarang adalah mencari alamat gadis itu."
Antoni dengan sigap mengotak-atik Ipad yang ada di tangannya sambil menyeimbangkan langkah kakinya dengan kaki panjang Alano. Sudah menjadi keseharian Antoni untuk merangkap berbagai pekerjaan yang bagi orang lain sangat sulit untuk dilakukan. Namun beruntung karena Antoni sudah terbiasa dengan pekerjaan itu.
Sesampainya di mobil Antoni sudah bisa menemukan identitas lengkap seorang Freya Jovanka, tepat saat ia harus membukakan pintu untuk Alano.
"Gadis itu namanya Freya Jovanka, dia seorang penulis naskah untuk program berita. Dia tinggal di Cempaka putih No. 25 sekitar lima meter dari sini," ucap Antoni begitu ia sudah menutup pintu mobil untuk Alano.
Alano hanya mengangguk dan mereka segera meluncur ke alamat Freya.
Dua puluh menit kemudian mereka tiba di depan sebuah rumah dengan gerbang tinggi menjulang, dan jika dilihat dari luar rumah itu tampak menonjol dibanding rumah lainnya. Rumah dengan halaman luas dan bangunan yang megah menandakan jika pemilik rumah itu bukanlah orang sembarangan.
Alano sedikit meragukan informasi dari Antoni mengingat pekerjaan Freya hanyalah seorang penulis naskah.
"Kamu yakin ini rumahnya?" tanya Alano sebelum ia memutuskan untuk turun dari mobil.
"Benar bos."
"Mana mungkin dia tinggal disini. Gaji dia bahkan tidak cukup untuk bayar sewa rumah ini," remeh Alano. "Kita datang aja ke kantornya, dia pasti ada disana."
"Tapi bos, Freya memang anak-"
"Jalan sekarang."
...BERSAMBUNG...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!