NovelToon NovelToon

The Doctors Time Travel Story

1. Awal Mula

Di sebuah ruangan gelap, suara tawa wanita menggema.

"Sebentar lagi kamu akan mati, Clara. Hahaha!" Suara tawa itu semakin keras, penuh kemenangan.

Di seberang kota, telepon berdering di sebuah tempat tersembunyi.

"Halo, bagaimana hasilnya?" tanya seseorang dengan nada dingin.

"Beres, Boss. Semua aman!" jawab suara dari balik telepon.

"Kerja bagus. Nanti uangnya akan saya transfer," ucap orang itu sebelum menutup telepon.

Tiiit ... tiiit... Sambungan terputus.

 

Rumah sakit ternama di kota tersebut.

Seorang dokter cantik yang baru selesai bertugas tersenyum kepada rekannya.

"Suster, saya pulang duluan, ya. Udah malam," ujar Clara lembut. "Pasien di kamar A tolong cek botol infusnya. Besok pagi ada jadwal operasi saya, jadi tolong siapkan semuanya, oke?"

"Baik, Dok. Hati-hati di jalan," balas Suster Ana dengan senyum ramah.

Clara membalas dengan isyarat jempol dan berjalan keluar.

 

Di jalanan kota yang sepi, dini hari.

Clara melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Namun saat hendak berbelok, wajahnya mendadak pucat.

"Ada apa ini?! Rem-nya nggak berfungsi!" teriak Clara panik sambil mencoba mengendalikan mobil.

Mobilnya terus melaju tanpa kendali, hingga menerobos pembatas jalan.

"Ya Tuhan, apakah ini akhir hidupku?" gumam Clara dengan mata berkaca-kaca. "Mama, Papa, maafkan Clara belum bisa membahagiakan kalian. Tolong jaga mereka, Tuhan... Selamat tinggal."

Boom!

Ledakan besar menggema, diiringi kobaran api yang membakar mobil Clara.

 

Keesokan harinya.

Berita kematian Clara, putri seorang pengusaha ternama sekaligus anak bos mafia, tersebar luas. Ibunya jatuh pingsan mendengar kabar tragis itu.

Di dalam mobil yang membawa sang ibu pulang, Jeni—sahabat sekaligus saudara angkat Clara—diam-diam tersenyum puas.

"Akhirnya, Clara telah pergi. Semua perhatian akan menjadi milikku." pikir Jeni penuh kemenangan.

 

Di antara cahaya terang yang menyilaukan.

Clara membuka matanya. Di hadapannya berdiri seorang gadis berwajah sama persis dengannya.

"Clara," sapa gadis itu sambil tersenyum.

"Siapa kamu?" tanya Clara bingung. "Kenapa wajahmu sama denganku? Aku nggak punya saudara kembar."

"Aku adalah kau, dan kau adalah aku," jawab gadis itu lembut. "Namaku Lian Wei Yu. Aku berasal dari dunia kuno. Aku ke sini ingin meminta tolong."

"Meminta tolong?" Clara mengernyit.

"Aku ingin kau membalaskan dendamku. Beri aku keadilan," ucap Lian Wei Yu dengan nada tegas.

Clara terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, aku akan membantumu. Aku janji."

Lian Wei Yu tersenyum lega dan memeluk Clara erat. Cahaya di sekitar mereka perlahan memudar.

 

Di sebuah gubuk pinggir hutan.

Seorang gadis menangis tersedu-sedu di samping Clara yang terbaring tak sadarkan diri.

"Hiks... hiks... Tuan Putri, bangunlah..." isaknya lirih.

Clara perlahan membuka matanya.

"Uh... kepalaku sakit," keluh Clara sambil memijat pelipisnya.

"Tuan Putri, Anda sadar? Hamba sangat khawatir... hiks..." gadis itu terisak lagi.

"Siapa kamu?" tanya Clara bingung.

"Hamba Nuan, pelayan Tuan Putri sejak kecil," jawab Nuan terisak.

Clara menatap mata Nuan yang jujur dan tulus. Apakah aku bisa membaca pikiran seseorang? pikir Clara heran.

"Sudah, jangan menangis. Suaramu hampir merusak telingaku," ketus Clara.

Nuan tersentak. "Tuan Putri...?"

"Apa yang terjadi? Kenapa kita ada di sini?" tanya Clara lagi dengan nada serius.

Nuan menarik napas panjang dan mulai menceritakan semua yang telah terjadi—kisah kelam yang menunggu Clara untuk menguak kebenarannya.

Bersambung

Memulai Hidup Baru

"Begini Putri, Putri adalah Putri Mahkota pertama dari Kaisar Lian dan putri dari mendiang Permaisuri Jun Xi. Nama lengkap Putri adalah Lian Wei Yu. Putri telah diasingkan selama tiga tahun karena dituduh ingin meracuni Selir Fu," jelas Nuan sambil menunduk dengan hati-hati, takut jika perkataannya menyinggung perasaan Putri.

Lian Wei Yu mengepalkan tangan dalam diam, geram dengan tuduhan yang tidak masuk akal itu. "Dasar bodoh! Bisa-bisanya kesalahan dilimpahkan pada bayi yang bahkan baru lahir," pikirnya dengan perasaan yang membara.

Nuan yang menyadari Putri sedang melamun segera menggoyangkan tangannya di depan wajah Lian Wei. "Putri? Putri?"

"Hah? Ya?" Lian Wei tersentak sadar dari lamunannya.

"Jadi, hukuman saya tinggal berapa tahun lagi?" tanyanya dengan nada yang lebih tenang.

"Hukuman Putri tinggal dua tahun lagi," jawab Nuan sopan.

"Oh, baiklah," sahut Lian Wei dengan santai, membuat Nuan terkejut.

"Hah? Ada apa dengan Putri? Dulu beliau selalu menangis karena tidak sabar menunggu masa hukumannya selesai. Sekarang Putri terlihat begitu santai," batin Nuan dengan bingung.

Dalam hati, Lian Wei telah mengambil keputusan besar. "Sambil menunggu hukumanku selesai, aku akan berlatih kultivasi dan merawat wajah serta tubuhku yang hitam ini. Aku akan mengumpulkan tanaman obat. Di zaman ini, orang dihormati karena kekuatannya. Semakin tinggi level kultivasinya, semakin berkuasa orang tersebut. Benar-benar sama seperti di zaman modern. Huff..." pikirnya sambil menatap kulit tubuhnya yang hitam serta wajahnya yang dipenuhi jerawat.

"Oh iya, satu lagi. Jangan panggil aku Putri, aku tidak suka. Panggil saja namaku, Lian Wei," ucapnya dengan nada tegas.

"Ampun, Putri. Tapi hamba tidak bisa. Itu sangat tidak sopan. Hamba hanyalah seorang pelayan," jawab Nuan sambil bersujud di depan Lian Wei.

Lian Wei yang melihat Nuan bersujud segera melangkah mundur dengan tidak suka. Bagaimanapun, dia merasa semua manusia memiliki derajat yang sama.

"Nuan, jangan bersujud seperti itu. Aku tidak suka! Walaupun aku seorang Putri, di mataku semua manusia memiliki derajat yang sama. Dan satu hal lagi, kamu bukan pelayanku. Kamu sahabatku. Kalau tidak bisa memanggilku dengan namaku, panggil saja aku Nona," perintah Lian Wei lembut namun tetap tegas.

Mendengar itu, Nuan merasa terharu. Baginya, dia adalah pelayan paling beruntung karena memiliki junjungan yang begitu baik hati.

"Baik, eh... Nona," jawab Nuan kikuk.

Tiba-tiba perut Lian Wei berbunyi keras, membuat suasana sedikit canggung.

"Nuan, aku lapar. Bisa tolong siapkan makanan?" pinta Lian Wei dengan cengengesan, sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Baik, Nona. Tunggu sebentar, hamba akan menyiapkannya," jawab Nuan seraya bergegas ke dapur kecil yang ada di dalam gubuk sederhana itu.

Sambil menunggu, Lian Wei mengamati kondisi gubuk yang reyot. "Apa-apaan ini? Gubuk ini sudah tidak layak huni. Huff... malangnya nasibku. Anak seorang pengusaha dan mafia malah terdampar ke dunia yang entah berantah ini. Mama, Papa, apakah kalian baik-baik saja di sana? Semoga kalian bisa ikhlas menerima kepergianku. Jaga kesehatan, aku sangat merindukan kalian. Maafkan Clara belum bisa membahagiakan kalian," gumamnya dalam hati dengan tatapan kosong.

Tak lama kemudian, Nuan muncul membawa nampan berisi nasi dan telur rebus.

"Nona, makanannya sudah jadi. Silakan makan," ucap Nuan sambil meletakkan nampan di hadapan Lian Wei.

"Hanya nasi dan telur rebus?" tanya Lian Wei dengan alis terangkat. Bukan bermaksud tidak bersyukur, tapi dia terbiasa dengan makanan mewah dan sehat.

"Maaf, Nona. Hanya ini yang ada. Berasnya dikirim oleh pelayan istana, sedangkan telur ayamnya hamba temukan di belakang gubuk. Ada banyak ayam hutan di sini," jelas Nuan dengan wajah meringis.

"Baiklah, terima kasih. Oh iya, di sini ada minyak?" tanya Lian Wei penasaran.

"Hah? Minyak? Apa itu, Nona?" Nuan mengerutkan alis bingung.

Lian Wei mengelus dahinya. "Astaga, jadi di zaman ini belum ada minyak? Kasihan sekali diriku ini. Jadi makanan di sini hanya direbus? Rasanya aku ingin melompat ke jurang saja," gerutunya dalam hati.

"Sudahlah. Nanti saya jelaskan. Kita makan dulu, lalu tidur. Besok kita latihan bela diri dan kultivasi. Saya juga akan melatihmu agar bisa menjaga diri. Setelah itu, temani saya mencari tanaman di hutan," ucap Lian Wei sambil mulai makan.

"Baik, Nona," jawab Nuan patuh.

---

Keesokan harinya, setelah sarapan, mereka bersiap untuk latihan kultivasi di depan gubuk. Lian Wei mengajari Nuan dasar-dasar bela diri yang dia pelajari di zaman modern.

Tingkat kultivasi di dunia ini terdiri dari beberapa level:

Tingkat Warrior (1-5)

Tingkat Elit (1-5)

Tingkat Master (1-5)

Tingkat Grand Master (1-5)

Tingkat Surgawi (1-5)

Tingkat Alam Semesta (1-5)

Tingkat Keabadian

Setelah selesai berlatih, mereka menyusuri hutan di dekat tempat tinggal mereka. Lian Wei sangat senang karena banyak tanaman berkhasiat yang masih tumbuh subur, termasuk bunga lily ungu yang sudah langka di zamannya.

Saat sedang asyik mengumpulkan tanaman, terdengar suara seseorang meminta tolong.

Lian Wei segera berlari ke arah suara itu dan terkejut melihat seorang nenek yang hampir diterkam seekor macan. Tanpa berpikir panjang, dia mengambil ranting kayu sebagai senjata dan menghadapi macan tersebut.

"Grrrrrr..." macan itu menggeram ganas.

Saat macan melompat menyerang, Lian Wei dengan sigap menekuk tubuhnya dalam posisi kayang, membuat macan melompati dirinya. Dengan cepat, dia menusukkan ranting kayu ke titik lemah di tubuh macan tersebut.

Jleb!

Satu serangan langsung membuat macan itu tumbang.

Hay readers salam kenal yah.

maaf kalau ada typo.

author baru belajar.

happy reading.

jangan lupa like, coment dan vote yah.

Kalung Dimensi

Setelah melihat macan tersebut tergeletak di tanah, Lian Wei segera menghampiri nenek itu.

"Nenek, tidak apa-apa? Kenapa nenek bisa berada di sini?" tanya Lian Wei dengan khawatir.

"Nenek baik-baik saja, nona. Terima kasih, nona, sudah menyelamatkan nyawa nenek. Nenek datang untuk mencari kamu," jawab nenek tersebut.

"Iya, nek, sama-sama. Tapi kenapa nenek mencari saya? Dan nama nenek siapa?" tanya Lian Wei, mengerutkan alisnya kebingungan.

"Nama nenek Su. Kamu adalah gadis pemberani dan baik hati, serta memiliki sifat yang tidak serakah. Kamu memang cocok menjadi pemegang Pedang Biru Penguasa Lian Wei," ucap nenek Su sambil memegang tangan Lian Wei dengan lembut.

"Hah? Pedang Biru Penguasa? Lalu kenapa nenek tahu nama saya? Mungkin nenek salah orang," tebak Lian Wei.

Nenek Su tersenyum lembut kepada Lian Wei dan berkata, "Nenek tidak salah, nona. Sudah lama nenek menunggu kamu. Kamu adalah titisan Dewi Alam Semesta."

Lian Wei yang mendengarnya langsung mengangkat alisnya, bingung. Pasalnya, dia baru tiba kemarin di dunia ini, namun sudah ada yang menunggunya, pikirnya.

Nenek Su yang melihat kebingungan Lian Wei hanya tersenyum dan memberikan sebuah kalung dimensi kepada Lian Wei. Kalung itu terbuat dari emas dengan batu permata berwarna hijau.

"Nona, ini ambillah kalung ini dan juga pedang ini. Kalung dan pedang ini milikmu. Di dalam kalung ini terdapat semua yang kamu inginkan, dan kamu juga bisa masuk ke dalamnya," kata nenek sambil mengulurkan tangannya ke arah Lian Wei.

"Tapi, nek, kenapa nenek memberikan ini kepada saya?" Lian Wei menolak dengan halus, takut menyinggung nenek di depannya.

"Kedua benda ini adalah milikmu, nona. Kamu sudah ditakdirkan untuk menjadi pelindung alam semesta ini. Teteskan darahmu di kalung ini, dan setelah itu kamu harus bertapa di dalam air suci kehidupan yang ada di dalam kalung ini agar meridianmu yang tertutup bisa terbuka!" titah nenek Su.

"Baiklah, nek. Terima kasih, nenek," kata Lian Wei pasrah menerima kalung itu.

Lian Wei menggigit jarinya lalu meneteskan darahnya di kalung tersebut. Seketika, kalung itu bercahaya terang, dan cahaya itu berangsur-angsur menghilang.

Nenek yang melihat itu tersenyum dan menyuruh Lian Wei untuk masuk ke dalam kalung dimensi tersebut.

"Sekarang, kamu masuk ke dalam ruang dimensi itu. Pedang itu adalah Pedang Biru Penguasa!" perintah nenek Su.

"Bagaimana caranya, nek?" tanya Lian Wei bingung, karena dia tidak bisa membayangkan bagaimana mungkin seseorang bisa masuk ke dalam sebuah kalung.

"Cukup fokuskan dirimu, pejamkan matamu, dan berkonsentrasilah untuk masuk ke dalam kalung tersebut," jawab nenek Su.

"Tapi bagaimana jika sahabat saya mencariku, nek? Nanti dia khawatir," tanya Lian Wei sambil memikirkan Nuan.

"Tenang, nak. Di dalam batu dimensi itu, waktu berjalan berbeda dengan di luar. Satu hari di dalam dimensi berarti hanya satu jam di luar. Begitu pula, satu bulan di dalam dimensi berarti hanya sehari di luar," jawab nenek Su.

"Baiklah, kalau begitu," kata Lian Wei dengan takjub.

Akhirnya, Lian Wei memfokuskan dirinya pada kalung itu dan memejamkan matanya. Setelah membuka mata, dia terkejut melihat pemandangan yang sangat indah: tanaman langka, air suci kehidupan, dan sebuah pondok yang sederhana.

Setelah tersadar dari keterkejutannya, Lian Wei segera bertapa di tempat yang telah ditunjukkan oleh nenek Su. Ketika dia duduk dengan posisi lotus dan memfokuskan dirinya, rasa sakit yang luar biasa seperti ditusuk ribuan jarum panas datang. Namun, perlahan-lahan rasa sakit itu menghilang. Tubuh Lian Wei bersinar, dan wajah serta tubuhnya menjadi putih berseri. Wajahnya kini sangat cantik, seperti dewi. Kecantikannya mampu membuat seluruh kekaisaran berperang untuk memperebutkannya.

Tak terasa, sudah tiga hari Lian Wei berada di dalam kalung dimensi, yang berarti sudah tiga jam di luar. Kultivasinya pun telah mencapai tingkat Grandmaster.

Saat hendak keluar, tiba-tiba Lian Wei dihentikan oleh suara seorang pemuda.

"Tuan, berhenti!!"

"Siapa kamu? Kenapa kamu bisa masuk ke dalam kalung dimensi ini?" tanya Lian Wei dengan sikap waspada.

"Wah, dia sangat cantik! Benarkah dia, tuanku?" kata seorang pemuda berambut putih, yang terus memandang Lian Wei tanpa berkedip. Tiba-tiba, dia tersadar dari keterkejutannya karena Lian Wei memanggilnya.

"Hei."

"Ha... hamba adalah Phoenix Es, tuan. Saya adalah hewan kontrak Anda. Saya sudah ditakdirkan untuk menjadi hewan kontrak Anda. Sudah lama sekali saya menunggu Anda, tuan," ucap Phoenix Es memperkenalkan diri.

"Phoenix Es? Tapi kenapa kamu bisa jadi manusia?" tanya Lian Wei bingung.

"Karena hamba sudah hidup berabad-abad yang lalu, tuan. Hamba adalah salah satu hewan legenda yang selalu diburu oleh manusia serakah," jawab Phoenix Es.

"Salah satu? Berarti masih ada hewan legenda lainnya?" tanya Lian Wei.

"Benar, tuan. Dia adalah saudara saya, Phoenix Api, yang sekarang berada di Gunung Kematian, tepatnya di Hutan Kematian. Tolong, tuan, jemput saudara saya di sana," mohon Phoenix Es.

"Baiklah, saya akan ke sana untuk menjemputnya," jawab Lian Wei, mengikuti permintaan pemuda di depannya. "Apa salahnya berjalan-jalan dan melihat dunia luar," pikirnya.

"Siapa namamu?" tanya Lian Wei. Masa iya dia akan terus memanggil Phoenix Es? Itu tidak lucu. Semua orang pasti tahu.

"Hamba belum memiliki nama, tuan," jawab Phoenix Es.

"Emm... Kalau begitu, namamu Hanzo, apakah kamu menyukainya?" tanya Lian Wei.

"Terima kasih, tuan, hamba sangat suka!" seru Hanzo.

Tiba-tiba, Hanzo berubah menjadi burung pipit kecil. Lian Wei yang melihatnya terkejut sekaligus gemas. Hanzo tiba-tiba mematuk tangan Lian Wei dan mengambil darahnya. Lian Wei yang tersadar dari keterkejutannya karena dipatuk oleh Hanzo langsung bertanya.

"Kenapa kau mematuk tanganku? Kau lapar?" tanya Lian Wei, karena biasanya burung mematuk karena lapar.

"Bukan, tuan. Hamba tidak lapar. Saya mematuk untuk mengikat kontrak darah. Itu artinya kita sudah terikat kontrak darah, jika tuan mati, maka saya pun akan ikut mati," jelas Hanzo, membuat Lian Wei mengangguk mengerti.

"Baiklah, kalau begitu saya akan keluar! Oh iya, satu lagi, Hanzo, jangan panggil aku tuan! Panggil saja Weiwei, dan kamu bukan budakku atau apa pun itu. Sekarang kamu adalah sahabat dan keluargaku. Mengerti?" perintah Lian Wei dengan lembut namun tegas.

Hanzo yang mendengar itu merasa terharu. Baru kali ini dia dianggap sebagai sahabat dan keluarga oleh seseorang. Sebelumnya, tuannya hanya menganggapnya sebagai budak.

"Baiklah, Weiwei," jawab Hanzo.

Lian Wei langsung keluar dari kalung dimensi dan mencari nenek Su. Namun, saat kembali, nenek Su sudah tidak ada di tempatnya.

Akhirnya, Lian Wei memutuskan untuk kembali ke tempatnya sebelum Nuan khawatir, karena hari mulai gelap.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!