"Udah selesai shalatnya?" tanya Rudi.
Sarah tidak menyadari bahwa dialah yang ditanyai Rudi, berlalu begitu saja menuju tempat penyimpanan sepatu. Dilihatnya sepatunya tak ada di tempatnya, dia terkejut.
"Ini sepatumu, kan?" suara seorang pria menambah keterkejutannya.
Dilihatnya pria itu sedang memegang sepatunya yang tak bisa dibilang bagus lagi.
"Ya," jawabnya singkat.
"Terima kasih." Sarah mengambil sepatunya dan segera pergi tanpa sedikitpun memperhatikan orang yang telah mengambil sepatunya itu.
Setengah berlari Sarah menuju ke unit kerjanya dan segera membuka bekalnya.
"Waduh, jam makan siang akan segera selesai," dengan terburu-buru dia menghabiskan bekalnya.
"Alhamdulillah." Segera dia membenahi wadah bekalnya.
***
Di tempat lain Rudi, seorang pria lajang berusia 34 tahun, CEO di perusahaan itu masih penasaran dengan Sarah, wanita yang selalu menarik perhatiannya.
"Siapa dia?" Pertanyaan itu selalu ada di kepalanya setiap kali keluar dari mushola kantornya.
**Flashback**
Seperti biasa setelah makan siang Rudi langsung menuju mushola untuk menunaikan shalat Dzuhur, tak sengaja dia melihat sepatu yang menurutnya unik karena ukurannya kecil dan modelnya seperti sepatu anak-anak.
"Mungkinkah ada karyawan yang membawa anaknya ke kantor?"
Dia segera berwudhu, dan memasuki mushola untuk shalat berjamaah dengan para pegawainya, tapi tak ditemuinya seorang anak pun di dalam mushola itu. Bahkan dia sempat melirik tempat jamaah wanita.
Selesai shalat dia melihat sepatu itu masih ada di sana. Seminggu berturut-turut dia melihat sepatu itu di rak sepatu mushola, lama-lama dia penasaran dengan sang pemilik sepatu yangi tak pernah sekali pun dia temui.
**flashback end**
"Mamaaa...!" seru Fabio berhambur dari dalam tempat penitipan anak.
"Hai, assalamualaikum anak mama yang sholeh," sapa Sarah sambil mencium anaknya.
"Wa'alaikumsalam mama yang cantik."
"Ayo salam dulu sama bunda Arini," Fabio menyalami pengurus penitipan anak itu.
"Sampai besok ya, Nak. Assalamualaikum," ucap Arini sambil mengelus kepala Fabio.
"Wa'alaikumsalam, Bunda. Bio pulang dulu, ya?" pamit Fabio pada Arini.
Sarah berpamitan dan segera membawa Fabio pulang. Rasanya lelah sekali, tapi setelah bertemu Fabio, lelah itu sedikit terobati. Dia sangat terhibur dengan semua ocehan Fabio. Anak laki-laki berusia 4 tahun itu sangat ceria, dialah yang selalu menjadi penyemangat hidup Sarah.
"Mama capek ya? Aku pijitin yaa..." segera dipijatnya kaki Sarah.
Meski pijatannya tak terasa, Sarah sangat bahagia mendapat perhatian dari anak lelakinya itu.
"Udah, kaki mama udah gak capek lagi. Makasih ya, sayang."
"Sama-sama, mama cantik." Fabio turun dari tempat tidur lalu mebganbil remote tv
Sarah segera ke dapur untuk mengambilkan sedikit makanan dan susu untuk Fabio. Dilihatnya Fabio sedang bermain sambil nonton tv acara film Upin dan Ipin kesukaannya.
"Sayang, dihabiskan, ya susunya, mama mau kerja dulu." Sarah meletakkan segelas susu dan setoples kue kering kesukaan Fabio.
Fabio meminum susunya sedikit lalu memakan kue kering yang telah disajikan ibunya di hadapannya sambil menonton film film kartun kesukaannya.
Sarah membuka laptopnya dan mulai mengerjakan pekerjaan sambilannya yang sudah hampir deadline. Tak terasa jam sudah menunjukkan jam 8 malam, dilihatnya Fabio sedang tidur nyenyak di kasurnya yang sebetulnya hanya cukup untuk satu orang.
Kasur itu seperti menggodanya untuk segera menyusul anaknya ke alam mimpi. Sarah pun ikut tertidur di samping anaknya.
Jam 2.30 dini hari Sarah bangun untuk mengerjakan shalat tahajud dan melanjutkan pekerjaannya yang ditinggalkannya semalam. Dia harus segera menyelesaikan tulisannya dan mengirimnya lewat email ke kliennya. Sarah memang mempunyai otak yang cukup cerdas, sehingga dia mampu mengerjakan beberapa pekerjaan lain di luar jam kantornya.
Penerjemah, content writer, transcriber, semua pekerjaan sampingan itu dia jalani tanpa hambatan berarti selain kantuk yang sering menggoda. Dia bertekad untuk mendapatkan uang banyak untuk membiayai anaknya. Dia tak pernah punya pikiran untuk meminta ataupun menerima bantuan dan berhubungan dengan ayah dari anaknya yang sudah meninggalkannya saat Fabio masih berada dalam kandungannya.
Tiga pekerjaan itulah yang menghidupinya saat dia mengandung Fabio. Tinggal di sebuah kontrakan kecil milik ibu Sani, seorang janda tua yang tinggal sendiri karena anaknya sudah berkeluarga dan anak laki-lakinya ditugaskan di luar kota. Ibu Sani pulalah yang menemaninya saat melahirkan. Sarah sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri.
Rasanya sedih sekali saat harus melahirkan tanpa suami. Perawat dan orang-orang di rumah sakit menanyakan dimana suaminya, beruntung ibu Sani bisa membungkam mereka dengan mengatakan bahwa dia adalah ibu mertuanya dan suami Sarah sedang bertugas di luar negeri.
Beberapa kali anak lelaki Ibu Sani, Sandy, pulang untuk menemui ibunya dan tentu saja dia bertemu dengan Sarah dan Fabio yang kala itu masih sangat kecil. Sandy sangat menyayangi Fabio dan menganggapnya seperti anak sendiri. Dia pun beberapa kali melamar Sarah, tapi Sarah menolaknya secara halus. Sandy dan ibu Sani memahami keputusan Sarah untuk menunda mencari pendamping hidupnya yang baru. Meskipun begitu Sandi tak putus harapan untuk membina rumah tangga bersamai Sarah.
"Sar, kamu harus mengurus perceraianmu. Kamu sudah terlalu lama berpisah dengan lelaki itu. Kamu harus memperjelas statusmu," kata bu Sani suatu hari.
"Tapi Bu, Sarah gak tau caranya. Sarah juga gak tau dia tinggal dimana sekarang," jawab Sarah sedikit berbohong.
Dia tahu dimana suaminya dan keluarganya tinggal, hanya saja dia tidak mau bertemu lagi dengan lelaki itu. Meskipun begitu Sarah menuruti nasehat Bu Sani dan mengurus perceraiannya.
Karena selama sidang lelaki itu tak hadir dan surat panggilan pengadilan tak pernah diresponnya, hakim memutuskan cerai mati atas suaminya.
"Alhamdulillah." Sarah berucap syukur atas putusan hakim yang menutup peluang mantan suaminya untuk kembali padanya. Sarah merasa tujuannya semakin jelas sekarang dengan statusnya yang baru, yaitu membesarkan Fabio dengan sekuat tenaganya.
Sejak kepergian bu Sani yang mengikuti anaknya tinggal di luar kota, Sarah tinggal di rumah itu berdua dengan Fabio. Bu Sani dan Sandi mengijinkannya untuk tetap tinggal di rumah itu karena mereka tahu bahwa Sarah tak punya sanak keluarga di kota itu.
Sebetulnya Sarah merasa malu karena terus menyusahkan bu Sani dan Sandi. Dia tahu bahwa bu Sani ingin menjual rumah itu dan menetap bersama Sandi.
Karena itu Sarah memutuskan untuk mencari pekerjaan tetap agar bisa sedikit-sedikit mengumpulkan uang untuk menyewa atau membeli rumah kecil untuk dia dan anaknya
Setelah melamar ke sana-sini, akhirnya Sarah diterima bekerja sebagai seorang penulis di sebuah media online yang cukup bergengsi dengan gaji yang lumayan. SLC media, nama perusahaan tempatnya bekerja sejak 2 minggu yang lalu.
"Halo, bisa bicara dengan saudari Sarah Indriani?" tanya suara di telepon.
"Ya, saya sendiri."
"Selamat sore, Mbak Sarah, besok pagi bisa datang ke kantor SLC media untuk menandatangani kontrak kerja?" tanya suara itu lagi.
"Bisa, mbak. Insha Allah saya akan datang."
"Baik, Mbak. Besok pagi kami tunggu kedatangannya jam 9 di kantor, ya? Mbak bisa menemui bagian HRD kantor kami. Terima kasih," kata suara wanita di telepon itu menutup pembicaraan.
"Yes! Alhamdulillah, ya Allah!" seru Sarah kegirangan karena akhirnya dia mempunyai pekerjaan tetap dan mulai ada kejelasan mengenai keuangan mereka.
Kegembiraan itu tidak bertahan lama saat dia menyadari bahwa harus ada yang menjaga Fabio saat dia bekerja. Dia berpikir keras untuk mencari jalan keluarnya karena dia tak punya sanak saudara di kota itu yang bisa dimintai bantuan untuk sekedar menjaga anaknya.
"Arini!" serunya sambil meraih ponselnya dan mencari nomor seseorang lalu dia meneleponnya.
"Assalamualaikum, Arini?"
"Wa'alaikumsalam. Maaf, ini siapa, ya?" tanya suara wanita di seberang sana.
"Ini aku, Sarah, Ar. Teman kamu waktu SMA."
"Masha Allah, Sarah. Apa kabar kamu? Kamu kemana aja, Sar? Aku kangen, tau. Kamu tinggal dimana sekarang?" Arini nyerocos tanpa memberi Sarah kesempatan bicara.
"Aku jawab yang mana dulu nih?" jawab Sarah sambil terkekeh.
"Alhamdulillah aku ada di sini, masih di kota ini. Langsung aja, ya Ar? Aku mau minta tolong sama kamu nih. Boleh nggak?." sambung Sarah
"Tentu saja boleh, asal jangan minta duit. Kamu mau minta tolong apa, sih?" tanya Arini.
"Kamu masih mengelola tempat penitipan anak, kan Ar? Aku mau minta tolong, aku mau nitip Fabio di Penitipan anak kamu, masih bisa nggak? Soalnya mulai besok aku harus kerja."
"Fabio? itu nama anakmu, Sar? Kapan lahirannya? Koq aku nggak tau? Suami kamu apa kabarnya?"
"Iya, panjang ceritanya Ar. Nanti aku ceritain, ya kalau kita ketemu."
"Oh gitu. Oke deh, besok kamu bawa aja Fabo ke sini. Pagian dikit, ya datangnya. Soalnya biasanya anak yang baru dititipin suka agak susah pisah sama ibunya."
"Siap, Bos. Besok, pagi sekali aku ke situ. Makasih ya, Ar? Assalamualaikum." Sarah menutup pembicaraannya dengan Arini.
Masalah Fabio sudah bisa diatasinya. Sarah membuka lemarinya dan dia mulai memilih dan memilah baju yang masih layak dipakai untuk bekerja kantoran.
"Ya Allah, aku gak punya sepatu. Ini sudah gak ada waktu untuk beli yang baru."
Dicarinya sepatu kesayangannya, Sepatu berukuran 35 yang sudah jarang sekali dipakainya, karena dia lebih sering memakai sandal.
"Masih muat dan enak dipakai." gumamnya sambil mencoba sepatunya.
Sepatu ukuran kecil yang dengan susah payah dicarinya di toko sepatu, karena sulit menemukan model sepatu wanita dewasa yang sesuai dengan ukuran kakinya yang mungil.
Mengingat sepatu itu, tanpa sadar dia mengingat seseorang yang pernah singgah di hatinya, Rizal, ayah Fabio.
Dengan sabar Rizal mengantarnya mencari sepatu yang cocok dengan ukuran kakinya dan saat mereka menemukan sepatu itu, dia tertawa dan mengatakan bahwa Sarah masih layak disebut anak kecil.
"Tau gitu kita pergi ke toko sepatu anak-anak aja tadi. Biar gak capek dan pegal begini."
"Jadi kamu gak ikhlas nganterin aku nih?" ucap Sarah sambil cemberut.
"Ikhlas, sayang. Mau nyari dimana pun Abang antar," sambil mengelus pucuk kepala Sarah yang berhijab.
Rizal memang selalu memanjakan Sarah, apalagi setelah Rizal memutuskan untuk menikahinya, meski tanpa sepengetahuan orang tua Rizal yang jelas-jelas menentang hubungan mereka.
"Astaghfirullah, kenapa pikiranku jadi kemana-mana." segera dia mengambil wudhu dan melaksanakan shalat Isya.
Sarah ingin tidur lebih awal karena besok harus berangkat pagi sekali ke penitipan anak milik Arini, lalu pergi ke SLC media
***
"Udah dapat penulis baru?" tanya Rudi pada bawahannya.
"Sudah, pak. Ada beberapa orang yang sepertinya kompeten, lulus tes dan sesuai kriteria. Besok mereka akan datang."
"Ya sudah, besok langsung diberi pengarahan dan sudah bisa mulai bekerja."
"Baik, pak."
Rudi Antara adalah pemimpin sekaligus pemilik SLC media. Pria berusia 34 tahun itu masih melajang, dia memokuskan pikirannya pada usaha yang dirintisnya mulai dari nol.
Sebelum dia merintis media itu, Rudi bekerja di kantor penerbitan majalah, dan di sana pula Rudi bertemu dengan Sinta, mantan kekasihnya yang sekarang sudah menikah dengan atasan Rudi saat bekerja di majalah itu. Sinta tidak setuju jika Rudi resign dari kantor itu dan menentangnya untuk mendirikan usaha baru. Tanpa diketahui Rudi, Sinta ternyata memiliki hubungan asmara dengan Hardi, atasannya.
Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, akhirnya ketahuan juga. Rudi memergoki Sinta sedang bermesraan dengan Hardi, yang saat itu sudah punya istri dan memiliki 2 anak.
***
Setelah menitipkan Fabio, Sarah bergegas ke kantor SLC.
"Pyuh, masih ada waktu setengah jam, masih bisa sarapan sebentar", gumamnya. Segera dia membuka bekalnya dan melahap isinya.
"Wah, sepertinya sudah waktunya masuk." Segera dia menemui resepsionis dan meminta untuk diarahkan pada ruang HRD.
Kontrak kerja sudah ditandatangani, sekarang dia sedang mendapat pengarahan tentang pekerjaan yang harus dilakukannya.
"Oke, briefing hari ini sudah selesai. Mari saya tunjukkan ruang kerja kalian Kalian sudah mulai bekerja hari ini. ID dan salinan kontrak kerja sedang kami siapkan."
Sarah menghampiri meja kerja yang ditunjukkan padanya.
"Hai, baru masuk yaa? Kenalin aku Vina, ini Leni, kami juga belum lama koq kerja di kantor ini." Mereka mengulurkan tangan.
"Aku Sarah, senang berkenalan sama kalian. Nanti tolong dibantu ya kalau aku kesulitan."
"Kesulitan apa? Jangan bilang kesulitan uang ya?" Mereka tertawa.
Jam istirahat makan siang sudah tiba, karyawan berbondong-bondong keluar ruangan.
"Sar, makan yuk? Lapar nih", ajak Vina.
"Ayo. Kantinnya dimana?"
"Nanti aku tunjukkin. Aku sama Leni punya kantin favorit. Tempatnya enak, dan yang paling penting makanannya murah, pas buat kita-kita yang pegawai baru."
"Ayo." sahut Sarah mengajak Vina dan Leni
Sambil makan mereka saling berbagi cerita tentang diri masing-masing.
"Serius Sar, udah punya anak?" tanya Leni. Sarah mengangguk.
"Gak kelihatan udah punya anak lho, asli. Suami kerja dimana?" tanya Vina penasaran. Sarah hanya bisa menggeleng lesu.
"Udah cerai, apa meninggal?" tanya Leni sekali lagi.
"Nanti aja aku ceritanya ya, jangan sekarang", jawab Sarah.
"Oke, oke. Sorry ya kalau kita udah bikin lo sedih." kata Leni sambil bertatap-tapan dengan Vina.
"Eh ada cowok ganteng tuh sebelah sana" Vina berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Kayaknya karyawan kantor sebelah tuh, gue sering lihat wara wiri di kantor itu."
"Cakep juga, ya? 8/10 deh nilainya." kata Vina. Sarah hanya bisa senyum melihat ulah teman-temannya.
Tak terasa dua minggu sudah berlalu. Sejauh ini Sarah menikmati bekerja di perusahaan media itu, meski pada awalnya dia mendapat beberapa komplain dari editor dan harus merevisi tulisannya, baginya tak masalah, dengan begitu dia bisa mendapatkan tambahan ilmu tentang penulisan. Dibantu oleh kedua temannya, pekerjaannya menjadi lebih ringan dan terasa menyenangkan menjalaninya.
"Nanti kita makan di tempat biasa, ya?" kata Vina.
"Oke," jawab Sarah dan Leni bersamaan.
"Tapi kalian pergi duluan ya, nanti aku nyusul, tolong pesankan makananku."
"Oke, Sar. Menu yang biasa, kan?" tanya Leni.
"Emang lu mau kemana dulu, Sar?" tanya Vina penasaran.
"Biasa. Mau menghadap Tuhan dulu," jawab Sarah.
"Heh, nyebut Sar, maksud lo mau bunuh diri? Jangan gila lu, Sar!"
"Aish, ngaco aja kamu, Vin. Aku mau shalat Dzuhur dulu. Kan tau sendiri kalau kita makan, pasti ngabisin waktu lama buat ngobrolnya daripada makannya," jelas Sarah.
"Betul itu, makannya cuman bentaran, ngocehnya yang lama. Apa aja dibahas, sampe orang lewat aja ikut-ikutan dibahas." Mereka bertiga tertawa mengingat kelakuan mereka yang hobi berghibah tentang apa saja.
Vina dan Leni sudah duluan pergi ke kantin favorit mereka. Kantin itu memang selalu penuh saat jam makan siang, jadi kalau terlambat sedikit, maka rak akan ada bangku yang tersisa untuk mereka, alhasil harus antri dan menunggu lama, mau beli dibungkus pun rasanya akan tetap lama, karena pelayan kantin itu harus melayani pelanggan yang sudah datang lebih dulu.
Sarah segera berwudhu setelah meletakkan sepatunya di rak sepatu. Mushola masih sepi karena adzan belum berkumandang, dan karyawan lain masih mengisi perut di kantin favorit masing-masing. Segera diambilnya Al quran, dan mulai membacanya. Tak lama adzan berkumandang, Sarah menghentikan mengajinya dan segera berdiri dan memulai shalat. Iseng-iseng dia mengintip shaf pria, ternyata baru ada 2 orang.
"Tak apalah, ikut berjamaah dengan mereka saja", gumamnya.
Tak lama masuk beberapa karyawan dan OB untuk shalat berjamaah.
Setelah selesai shalat, Sarah segera menyusul kedua temannya yang sudah menunggunya di kantin.
***
**Flashback**
Seperti hari biasanya begitu adzan berkumandang Rudi segera menuju ke mushola kantornya. Saat menuju rak sepatu, ada hal yang menarik perhatiannya. Sepasang sepatu kecil. Beberapa hari ini dia melihat sepatu itu, biasanya hanya ada sepatu beberapa orang karyawan dan OB di sana.
Segera dia berwudhu dan memasuki mushola yang masih sepi. Dia juga tak memerhatikan sosok yang ada di tempat jamaah wanita.
Rudi dan asistennya Robi berdiri menunggu adzan selesai di atas sajadah mushola. Tak lama beberapa pria masuk dan berdiri di belakangnya.
Selesai shalat tak sengaja dia melirik rak sepatu jamaah wanita. Sepatu kecil itu sudah tak ada di tempatnya.
Hari-hari berikutnya Rudi melihat sepatu kecil itu ada di rak sepatu itu lagi tanpa pernah tau siapa pemiliknya dan dia pun berusaha untuk tak peduli dengan hal itu.
**Flashback end**
***
Lelah merasuki sekujur tubuh Sarah. Mulai pekan ini Sarah diberi tugas sedikit lebih banyak dari sebelumnya karena beberapa tulisannya berhasil lolos editing, dan dianggap layak terbit.
Editor memberikan laporan mingguan pada ketua tim bahwa Sarah layak mendapat pembinaan penulisan lanjutan, jika minggu ini tulisan Sarah bisa lolos editing lagi. Ketua tim menyampaikan hal itu pada Sarah saat briefing mingguan.
"Sarah, laporan mingguan dari tim editor menyatakan bahwa ada banyak kemajuan dalam tulisan kamu. Lebih ditingkatkan lagi kinerjanya, agar kamu bisa mengikuti pelatihan penulisan lanjutan dan selanjutnya bisa masuk ke dalam tim inti. Ini juga berlaku untuk yang lainnya, berikan tulisan terbaik kalian. Selamat siang dan selamat bekerja," kata Pak Anwar menutup briefing hari itu.
"Kamu hebat, Sar. Baru dua minggu kerja udah dapat pujian dari Pak Anwar," puji Leni.
"Lu ajarin kita dong, Sar. Kita juga mau dapat pujian dari pak Anwar," sambung Vina.
"Biasa saja, Vin, Len. Yang penting kalian selalu ingat dan memerhatikan catatan review dari para editor, trus perbaiki deh apa yang salah menjadi sesuai dengan apa yang diinginkan mereka."
Sarah bertekad untuk menunjukan kemampuan dan kinerjanya secara maksimal.
Untuk menghemat waktunya, Sarah memutuskan untuk tidak ikut makan siang bersama kedua temannya dan sebagai gantinya dia akan membawa bekal makan siang dari rumah.
Rencananya selesai shalat Dzuhur, Sarah akan segera kembali ke mejanya untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda setelah menyantap bekal makan siangnya.
Hari ini hari Jum'at, hari penentuan penilaian kinerja mingguannya. Tulisan terakhirnya untuk minggu ini masih belum selesai. Bahan dan referensi sudah dia dapatkan, riset pun sudah dilakukannya, hanya tinggal merangkai kata-kata terbaiknya untuk menyelesaikan tulisan itu.
"Sedikit lagi kelar, tapi ini sudah masuk waktu Dzuhur. Aku shalat dulu saja, setelah itu baru dilanjutkan", gumam Sarah.
Segera dia menuju mushola dan berwudhu. Mushola sedikit lebih ramai karena dia terlambat datang. Adzan sudah berkumandang sejak tadi dan shalat berjamaah sudah memasuki raka'at terakhir.
"Wah, terlambat. Shalat berjamaahnya sudah mau selesai."
Sarah menjalankan shalat Dzuhurnya sendirian, tak lupa dia juga berdoa beberapa saat setelah shalatnya selesai. Lalu dia merapikan mukenanya dan bergegas keluar dari mushola. Dia menuju rak sepatu, dan betapa terkejutnya dia karena sepatunya tak ada di tempatnya.
Dicarinya sepatu itu di rak lainnya, tapi tetap nihil. Hampir putus asa dia mencari sepatu itu. Dia mengingat-ingat dimana terakhir dia meletakkan sepatunya.
"Tadi aku letakkan di sini. Tapi kenapa sekarang bisa gak ada, ya? Aduuhh, mana aku sedang buru-buru ini," batin Sarah.
Mushola sudah hampir kosong, tapi Sarah belum berhasil menemukan sepatunya.
"Gimana ini? Apa mungkin ada yang iseng? Atau salah ambil sepatu?" batin Sarah lagi.
Tiba-tiba matanya melihat sesosok tubuh di ujung area mushola sedang memerhatikan, atau lebih tepatnya menjaga sepatunya. Seorang pria yang tak dikenalnya sama sekali sedang duduk sambil mengawasi sepatu itu.
Segera dia mendekati pria itu dan mengambil sepatunya tanpa memerhatikan siapa dan apa yang dikatakan pria yang ada di hadapannya itu.
Dengan tergesa-gesa dia memakai sepatunya, namun sebelum pergi Sarah tak lupa untuk mengucapkan terimakasih pada pria itu karena bagaimanapun dia sudah menjaga sepatunya.
Setengah berlari dia kembali ke meja kerjanya untuk makan siang, lalu melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Gara-gara harus mencari sepatunya, dia harus rela kehilangan waktu berharganya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!