“Brengsek! Rafa selingkuh!” Anna menggertak geram.
Bagi keluarga alim keturunan Kyai Haji, tentu mulut Anna jauh dari kata-kata kotor seperti yang baru saja ia ucapkan. Tapi yang terjadi sekarang, emosinya tidak lagi terkendali.
Semesta alam saja senantiasa bertasbih memuji keagungan Yang Maha Kuasa, tapi Anna? Dengan mudah memaki saat merasa tersakiti. Alam bahkan mungkin mengutukinya. Entahlah. Intinya, Anna sedang terluka dan ingin meluapkan kekesalannya.
Anna mengulang pandangannya. Lalu mengucek mata untuk memastikan apa yang baru saja dia lihat tidak salah. Ia menghentikan langkah sambil mengusap keringat dengan handuk kecil yang menggantung di leher.
“Ada apa sih, An? Tumben banget mulut lo nyumpah serapah gitu. Dosa, tauk!” Arini berdiri menjajari Anna setelah mengikat tali sepatunya yang terlepas.
“Rin, lo liat nggak? Itu tadi Rafa, kan?”
“Mana?”
“Itu tadi yang barusan lewat.” Anna menunjuk ke arah jalan, tentu saja si pengendara motor yang baru saja melintas sudah tidak ada. “Kok, Rafa boncengan sama cewek? Pelukan lagi. Berduaan gitu, udah kayak lubang hidung aja.”
Mata Anna mendadak berair dan mukanya cemberut. Rafa adalah pria yang pertama kalinya mengenalkan Anna dengan istilah cinta, gondok sekali dia.
“Salah liat kali,” celetuk Arini.
“Tapi jaket yang dipake jelas jaketnya Rafa. Bodinya juga bodi Rafa.”
“Emangnya jaket yang kayak punya Rafa Cuma dia doang yang punya? Yang punya bodi kayak Rafa juga Cuma dia doang? Jangan suudzon, kalian pacaran kok nggak saling percaya gitu?”
Anna mengingat-ingat postur tubuh yang menaiki motor ninja yang barusan melintas, sepertinya ia tidak salah lihat.
“Tapi gue yakin banget itu Rafa.”
“Jangan asal nuduh.”
“Besok gue tanyain ke dia deh kalo ketemu.” Anna sangat anti membicarakan hal-hal ekstrim melalui telepon, takut nggak nyambung. Ia rela menunggu hari esok. Lebih baik bicara empat mata, akan puas dan jelas.
“Bukannya lo bilang cowok lo itu main futsal ya hari ini? Biasanya kalo main futsal kan dia berangkatnya pagi banget. Gimana mungkin bisa keluyuran sampe sini?” tutur Arini.
Anna mengernyit, berpikir. Mungkin yang dikatakan Arini benar, pacarnya itu sedang main futsal. Kenyataannya jam enam pagi tadi Rafa memang berpamitan akan main futsal melalui pesan. Anna berharap apa yang ia lihat tadi salah meski ia tidak yakin dan memastikan akan menanyakan hal itu ke Rafa. Hari libur begini Rafa memilih menghabiskan waktu main futsal, sementara Anna dan Arini mengisi hari libur dengan lari pagi.
Anna dan Arini berpenampilan serupa. Keduanya mengenakan celana training panjang dan kaos putih serta rambut diikat satu.
Lelah berlari, mereka kini jalan kaki. Anna terlihat sudah tidak bersemangat lagi mengerahkan tenaga untuk berlari.
“Udah dong, jangan bete mulu, An. Kasian kan muka cantik lo jadi jelek,” bujuk Arini sembari melirik muka Anna. “Percaya deh ama gue, Rafa itu setia sama lo.”
“Setau gue juga gitu, sih.”
“Nah, apa lagi? Nggak inget apa, sejak awal kalian jadian, siapa yang ngejar-ngejar lo? Siapa yang nembak lo? Siapa yang muja-muja elo? Rafa, kan? Dia itu cinta banget sama lo, nggak mungkinlah main belakang.”
Anna mengangguk malas.
“Nggak seru ya kalo nggak ada Joli, dia yang sealu bikin rame,” celetuk Arini yang merasa bosan tanpa kehadiran Joli, sahabatnya selain Anna.
“Tauk tuh anak tumben nggak mau diajak lari pagi.”
Mereka berpisah di gerbang rumah Anna. Arini melambaikan tangan kemudian kembali berlari-lari kecil menuju rumahnya yang berjarak sekitar setengah kilo meter dari rumah Anna.
***
“Halo Kak Angel Afifa!” Anna menyapa kakaknya yang ia lintasi.
“Halo, halo. Bahasa apa sih itu, Ann? Assalamu’alaikum dong, Anna!” Angel, Kakaknya Anna memperingatkan. Pandangannya fokus pada pakaian yang sedang ia seterika tanpa menoleh ke arah Anna yang berlari masuk.
Anna memasuki ruang tamu dan mendapati Ayahnya yang tengah duduk manis di sofa, segelas kopi tersaji di depannya.
“Hai, Ayah!”
“Mulai besok pakai jilbab, Anna. Rambutmu terlalu cantik untuk dilihat para lelaki di luaran sana!” titah Herlambang, Ayahnya Anna kemudian pandangannya kembali ke koran yang ia baca.
Anna tersenyum kemudian masuk ke kamar.
Lima tahun yang lalu Herlambang menunaikan panggilan mulia ke tanah suci Mekkah, ibadah haji. Sekembalinya ke tanah air, para tetangga memanggilnya dengan panggilan Haji meski ia kerap kali menolak gelar yang memang seharusnya tidak perlu ada.
Disamping mengenakan hijab adalah perintah agama, Herlambang juga malu mendengar tetangga yang menyebut anak seorang Haji tidak berjilbab. Oleh karenanya ia sering meneriakkan supaya Anna berhijab.
Kepada Angel, Herlambang tidak perlu lagi meneriakkan hal yang sama. Sudah sejak SMP, sulungnya itu mengenakan hijab karena memang Angel sekolah di Tsanawiyah dan melanjutkan ke Aliyah. Setelah lulus kuliah, Angel menekuni kegiatannya sebagai peternak bebek.
Berbeda dengan Anna yang menuntut ilmu di sekolah umum. Anna tidak pernah menjawab setiap kali Ayahnya memerintahnya memakai hijab, paling-paling hanya tersenyum simpul.
Herlambang meraih ponselnya yang berdering dan langsung menjawab. Dari calon besan.
“Selamat pagi, Pak William. Tentu, Pak. Saya akan luangkan waktu untuk membicarakan perjodohan antara putra Bapak dengan putri saya. Iya. Bisa, bisa, Pak. Saya akan membawa putri saya untuk bertemu. Sebelum mereka dinikahkan, tentu kita harus mempertemukan mereka terlebih dahulu. Putri saya pasti akan menikah dengan Alan William. Ya ya, Pak. Tentu.” Herlambang tersenyum bangga menatap ponselnya sesaat lawan bicaranya memutus telepon. Dia memang belum membicarakan hal itu kepada putrinya, tapi ia yakin putrinya pasti menerima kehormatan itu.
***
Lelaki berjas hitam mengolesi roti dengan selai rasa nenas. Penampilan klimis menandakan ia akan berangkat kerja. Istrinya yang juga berpenampilan rapi, memasuki ruang makan duduk di sisi lelaki berperut buncit itu setelah sebelumnya mendaratkan ciuman singkat di pipi suaminya. Wajahnya tampak lebih muda dari usianya.
“Belum berangkat, Pa?” tanya Laura seraya memotong burger yang sudah disediakan pembantu di meja makan panjang. Saking panjangnya bisa untuk amin tenis meja.
“Belum. Sarapan dulu. Alan mana?” Wiliam menanyakan putra sulungnya setelah sebelumnya menyapu seisi ruangan dan tidak mendapati sulungnya di sana. Hanya ada tiga pembantu yang berdiri di belakangnya mengenakan seragam pembantu berwarna hitam putih. Mereka siaga di sana, jika majikan membutuhkan sesuatu maka akan dengan cepat mereka menyajikannya.
“Alan aja yang ditanya, Stefi sama Clarita nggak ditanyain?”
“Alan kan anak kita yang paling ganteng,” sahut sang Papa yang memiliki perhatian lebih pada sulungnya. Disamping Alan dianggap yang paling bisa diandalkan serta penerus perusahaan yang ia kelola, tentu saja Alan dipandang seperti malaikat pengganti di rumah itu. Toh, tidak sia-sia ia mendidik Alan dengan didikan keras selama ini. Alan menjadi lelaki bertanggung jawab dan cerdas di mata Wiliam.
***
TBC alias to be continued. .
hehee.
Love,
EMMA SHU
“Pagi, Pa, Ma.” Alan menyusul dan menarik kursi di depan kedua orang tuanya. Satu kata untuk Alan, perfect.
“Waah... Anak Papa udah rapi. Pasti mau kerja.” Wiliam tersenyum menatap sulungnya. Bola matanya menyapu penampilan sulungnya, seperti biasa, rapi, wangi dan ganteng.
Alan mengangguk seraya tersenyum sangat manis. Wajar saja Alan menjadi idola di kantor. Bahkan dari kalangan client perusahaan, banyak yang menginginkan Alan menjadi menantu mereka.
“Hari ini kamu diundang ke SMA Pancasila, kan? Setelah beberapa minggu yang lalu jadi cover majalah, sekarang diundang ke sekolah untuk dijadikan mentor. Keren.” William tampak bangga.
“Rina, tolong buatin jus alpukat kayak biasa! Aku lagi nggak selera makan,” titah Alan pada salah seorang pembantunya.
Pembantu yang diperintahkan membungkukkan badan dan segera beranjak ke belakang melaksanakan perintah.
Alan mengawasi kepergian Mamanya melalui ekor matanya. Mamanya selalu begitu. Tidak pernah perduli dengan perkembangan anak-anaknya. Justru Papanya yang lebih perduli dalam segala hal mengenai anak-anaknya. Bahkan yang selalu mengingat hari ulang tahun anak-anaknya dan membuat pesta kecil-kecilan untuk mengingat hari lahir adalah Papa, bukan Mama. Laura lebih fokus dengan kariernya, tekun dengan pekerjaannya sebagai General Manager di perusahaan lain. Padahal Wiliam sudah berkali-kali mengingatkan agar istrinya itu berhenti bekerja, tapi Laura menolak permintaan suaminya mengingat pekerjaannya itu sudah ia geluti sejak masih gadis. Dan ia tidak ingin melupakan pekerjaan itu.
“Kamu kayak baru kenal Mamamu aja. Jangan kecewa sama Mama, ya. Mamamu memang gitu, tapi aslinya sayang.” Wiliam mengerti maksud tatapan Alan terhadap Laura.
Alan mengangguk dan langsung menyedot jus yang disodorkan Rina.
“O ya, hari ini Papa mau ketemu sama Pak Herlambang, Pak Haji itu loh.” Wiliam mengunyah makanannya. “Papa akan membicarakan masalah pernikahanmu. Perjodohanmu dengan putri Pak Haji akan segera dilangsungkan.” Wiliam tampak bahagia membayangkan putranya menikah dengan putri seorang Haji yang sangat ia kenal, pasti langgeng serta menuju keluarga yang sakinah, mawardah dan warohmah. Ia tidak perlu mencemaskan akhlak calon istri sulungnya. Anak Haji, semoga salihah.
“Cie cie.... Calon Kakak ipar, ni yeee?” Clarita, si bungsu yang muncul ke ruangan tersebut langsung meledek. Ia duduk di sisi kanan Alan.
“Waow... bakalan rame rumah ini, dong. Ketambahan satu cewek. Dua cewek aja ramenya udah kayak bebek mau dipotong,” sahut Stefi, Kakaknya Clarita. Ia duduk di sisi kiri Alan.
“Gimana, Alan? Kamu siap, kan?” tanya Wiliam.
Alan mengangguk tanpa ekspresi.
“Pokoknya Papa akan kondisikan supaya pernikahan antara kamu dengan putri Pak Haji secepatnya berlangsung,” lanjut Wiliam.
“Terserah Papa aja.” Alan kembali menyedot jusnya.
“Emangnya kenapa sih Pa kok Kak Alan mesti dijodohin segala?” tanya Stefi sambil mengunyah makanannya. “Udah sejak beberapa bulan yang lalu Papa sibuk ngomongin perjodohan Kak Alan? Ini kan bukan jaman siti Nurbaya lagi yang pake acara jodoh-jodohan segala.”
Wiliam sekilas menatap Alan sebelum menjawab pertanyaan putrinya. Kemudian ia berkata, “Papa Cuma ingin Kakakmu mendapat jodoh yang baik. Yang soleha dan taat agama, pokoknya seperti bidadari surga. Jadi Papa nggak takut sewaktu melepas Kak Alan membina rumah tangga.”
“Iya, bener tuh kata Papa,” sahut Clarita sok tahu. Ia masih duduk di bangku SMA kelas sepuluh. “Entar kasian kalau Kak Alan dapet istri jahat kayak di sinetron-sinetron yang kerjanya suka morotin doang. Sayang dong laki-laki sesempurna Kak Alan dapet cewek ganjen. Ya, nggak?”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!