Joshua mengepak barang-barangnya ke dalam satu tas besar. Hari ini ia akan pindah ke kota Merigold, karena ia diterima di salah satu kampus swasta di sana setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas. Merigold-salah satu kota besar di pulau Jawa.
Akan tetapi, entah mengapa Asih—ibunya, awalnya menentang keras keputusan Joshua. Walaupun pada akhirnya Asih memberi Joshua izin.
Tok....
Tok....
Tok....
Suara ketukan pintu membuat Joshua mengangkat pandangannya dari arah tas di hadapannya yang sekarang sudah terisi penuh dengan pakaian.
"Masuk saja, Bu," seru Joshua dengan suara yang sedikit nyaring agar bisa menembus pintu.
Ceklek....
Pintu terbuka. Menampilkan seorang wanita paruh baya yang terlihat masih cantik walaupun sudah tergerus usia. Ia berjalan mendekati Joshua dan segera duduk di atas kasur anaknya tersebut. Wajahnya terlihat sendu dan sembab. Membuat Joshua mengerutkan dahinya, merasa khawatir.
"Ibu yakin, tidak apa-apa jika aku tinggal sendiri?" tanya Joshua cemas.
Asih menganggukkan kepalanya, dan menatao ke arah Joshua sambil mengusap pundaknya pelan untuk menenangkan anaknya tersebut. "Ya, Jo. Pergilah. Tuntutlah ilmu sebanyak-banyaknya. Hanya saja...." Asih membuang napasnya pelan. "Hanya saja jangan sampai kau terlibat dengan dunia gelap di sana."
Joshua mengerutkan dahinya tidak setuju. "Maksud Ibu? Tentu saja aku tidak akan terlibat dunia gelap. Mana mungkin aku mengkonsumsi narkoba atau bermain wanita."
"Bukan itu maksud Ibu...."
"Jadi, dunia gelap seperti apa yang Ibu maksud?" tanya Joshua yang masih dilingkupi dengan kebingungan.
"Jika suatu saat ada yang menghampirimu dan mengajakmu bergabung ke dalam organisasi rahasia. Maka kau harus menolaknya."
Nasihat ibunya membuat Joshua terkekeh. "Ibu ada-ada saja. Tenang saja, Bu. Tidak ada organisasi-organisasi seperti itu. Itu hanya ada di dalam novel saja."
Asih kembali menghela napasnya pelan. "Ya sudah. Sebelum pergi jangan lupa sarapan dulu. Ibu tunggu di ruang makan."
Joshua menatap ke arah luar jendela kereta api yang akan membawanya ke kota Merigold. Kota tempat ayah dan ibunya menghabiskan sebagian besar hidup mereka.
Sebenarnya, salah satu alasan Joshua memilih berkuliah di kota tersebut adalah karena ia ingin mengetahui seperti apa lingkungan tempat orang tuanya banyak menghabiskan waktu semasa muda dulu.
Ayahnya sudah meninggal semenjak ia berusia 10 tahun. Ayahnya yang perofesi sebagai seorang petani meninggal di ladang tempat ia bekerja pada malam hari. Entah apa yang dilakukan oleh ayahnya tersebut di kala malam saat orang-orang terlelap. Menurut penyelidikan polisi, ayahnya meninggal karena bunuh diri. Ia kehabisan darah ketika 14 tusukan di tubuhnya cukup untuk membunuhnya.
Sebenarnya, Joshua hingga sekarang masih tidak percaya bahwa ayahnya melakukan tindakan bunuh diri. Ia yakin ayahnya tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Ayahnya bukan orang yang tidak bertanggung jawab dengan meninggalkan keluarganya secara tiba-tiba. Hidup mereka juga baik-baik saja. Walaupun tidak berasal dari keluarga kaya, tapi uang yang mereka miliki cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari.
Juga, bagaimana mungkin seseorang sanggup menusuk dirinya sendiri dengan pisau sampai dengan 14 tusukan. 5 tusukan saja mungkin sudah membuat seseorang menggerang kesakitan sehingga tak mampu dan tak memiliki tenaga lagi untuk menusuk dirinya sendiri.
Tapi, kata ibunya, Joshua harus percaya dengan apa yang dikatakan oleh polisi. Karena mwrekalah yang mempunya ilmu tentang penyelidikan. Mereka harus menerima kepergian ayahnya dengan lapang dada.
Sejak kematian ayahnya hingga sekarang, ibunya tidak pernah lagi membicarakan tentang prihal kematian ayahnya. Ibunya juga secara tiba-tiba memaksa Joshua untuk berhenti berlatih tinju. Olahraga yang selalu diajarkan ayahnya sejak kecil.
Joshua yang sudah terlanjur mencintai tinju harus berlatih tinju secara diam-diam. Samsak yang ayahnya belikan untuknya, ia ambil diam-diam dari tempat pembuangan sampah setelah dibuang oleh ibunya. Kemudian, ia masuk ke hutan dan menggantungnya ke salah satu pohon dengan cabang yang kuat. Lokasinya agak jauh memang dari rumahnya. Namun, hanya itu yang dapat ia lakukan agar tetap bisa berlatih tinju.
Bagi Joshua ayahnya adalah panutannya. Disaat semua orang mulai melupakannya. Joshua tetap menyimpan sosok ayahnya di dalam hatinya.
Saat orang-orang berpikir bahwa malam adalah waktunya untuk tidur sebagai media beristirahat setelah hari yang panjang, beberapa orang malah berpikir untuk saling menonjok sebagai sarana melepas penat setelah hari yang panjang.
Hal itu membuat UB-Underground Boxing-sebuah klub tinju bawah tanah yang terletak di sudut kota masih ramai. Mereka para anggota klub berasal dari berbagai kalangan asalkan sudah lewat dari 18 tahun dan mempunyai kartu identitas, siapapun boleh bergabung.
Di dalam klub ini, siapapun derajatnya sama. Latar belakang keluarga, dan pekerjaan semua diabaikan. Orang dengan derajat tertinggi di klub ini adalah orang yang menang dalam pertarungan. Jika kau beruntung, kau bisa mendapatkan bayaran dari taruhan yang cukup tinggi.
Klub ini legal, makanya tak pernah dibubarkan oleh pemerintah kota. Namun, bersifat rahasia. Karena, beberapa polisi dan pejabat pemerintah lainnya serta orang-orang penting yang namanya dirahasiakan, tergabung dalam klub ini. Kau bisa menggunakan nama asli atau samaran untuk memperkenalkan dirimu. Hanya kau dan petugas administrasi klub yang tahu identitas aslimu. Semua identitas anggota klub tersimpan rapi dan sangat terjaga kerahasiaannya.
Malam ini kursi penonton di UB nampak terisi penuh. Semua orang berkumpul untuk menyaksikan Sang Juara bertarung melawan seorang anak muda yang baru naik daun. Mereka berdua sama-sama belum memiliki catatan kekalahan dalam setiap pertarungan.
Bayaran untuk taruhan malam ini cukup tinggi. Sang Juara menantang langsung Sang Anak Muda setelah melihat pertandingan terakhirnya. Sang Anak Muda tak menolak tantangan tersebut karena kapan lagi bisa bertarung dengan Sang Legenda.
Panggilannya J saat berada di ring tinju. Usianya baru menginjak 22 tahun. Tubuhnya tidak sebesar lawannya, namun gerakannya gesit dan pukulan-pukulan yang ia layangkan selalu tak terduga, tidak biasa dan mengagumkan.
Lawannya kali ini adalah Evan-Sang Legenda yang sudah lama bertarung di klub ini tanpa adanya catatan kekalahan. Usianya 30 tahun.
Badannya lebih besar dari pada J. Rambutnya panjangnya yang ikal selalu ia ikat ketika bertanding. Baginya, saat melihat J ia seperti melihat dirinya sendiri. Karena Evan juga mulai bergabung di klub ini saat usianya masih muda. Walaupun tak semuda J, yang bergabung di usia 21 tahun. Evan sendiri baru bergabung di klub ini saat usianya 25 tahun. Itulah sebabnya ia menantang J, karena ia melihat dirinya sendiri dalam diri J.
Pertandingan dimulai, semua penonton bersorak sorai hingga suara mereka memenuhi ruangan. Suara teriakkan cenderung lebih banyak mengelukan nama Evan dari pada J. Namun, bagi J itu bukanlah masalah. Banyaknya pendukung Evan dan sedikitnya pendukungnya tidak membuat J gentar sedikitpun. Ia tidak takut kalah sama sekali, meskipun sedang melawan Sang Legenda sekarang. J tidak pernah takut pada siapapun. Tidak juga pernah takut kepada pristiwa atau kondisi apapun.
Masing-masing dari mereka meletakkan posisi tangan kanan dengan telapakyang mengepal tepat di samping dagu dengan bagian siku posisinya berada tepat di depan tulang rusuk. Lalu, tangan sebelah kiri berada kira-kira enam inci tepat di depan wajah sejajar dengan mata.
Permainan dimulai dengan Evan yang menyerang terlebih dahulu. Namun, berhasil dihindari oleh J. Gerakan J yang gesit membuat Evan tersenyum miring. Pertandingan ini akan menarik baginya. J pun berusaha memberi serangan balasan walaupun berhasil terhalau oleh tangan Evan yang rupannya sudah mempelajari teknik bertarung yang digunakan oleh J.
J kesulitan mencari titik lemah dari Evan. Begitu pula Evan. Akhirnya J melayangkan pukulan-pukulan lurus dengan sangat cepat yang seolah-olah membidik wajah Evan. Tentu saja Evan dapat menghalaunya. Namun yang Evan tidak duga adalah, ketika ia fokus dengan pukulan J yang menurutnya buang-buang waktu dan remeh, ternyata J tak lagi melemparkan serangan lurus. J bergerak cepat dari arah bawah dan memukul bagian rahang sebelah kiri Evan dengan kuat.
BUGH!
Serangan J benar-benar membuat Evan cukup terkejut. Hingga beberapa detik ia menjadi lengah. J yang terkenal dengan serangannya yang cepat dan gesit tentu saja langsung memanfaatkan hal tersebut dengan memberondong Evan pukulan-pukulan lainnya.
BUGH!
BUGH!
BUGH!
Permainan semakin menegangkan. Orang-orang semakin dibuat ramai. Hingga akhirnya kemenangan diraih oleh J. Meskipun ia tidak sampai membuat Evan K.O, tapi permainannya dapat membuat lutut sang Legenda menyentuh tanah dan membuatnya menyerah atas pertarungan.
Setelah pertarungan usai, Evan memeluk J dengan penuh penghormatan. Tidak ada dendam ataupun kemarahan. Kekalahannya tidak membuatnya terhina. Itulah yang dilakukan oleh petarung sejati.
“Aku menghormatimu, Anak Muda. Aku menantikan pertandingan kita selanjutnya.” Evan menepuk pelan pundak J sebelum berbalik pergi setelah melemparkan senyum simpulnya.
J menganggukkan kepalanya setelah Evan hilang dari pandangannya, dan ditelan kerumunan orang-orang yang berlomba-lomba keluar dari rungan klub. Pertandingan Evan dan J tadi memanglah merupakan pertandingan terakhir hari ini.
J melepaskan sarung tinjunya dan berjalan ke ruangan tempat ia mengambil hadiahnya. Seorang lelaki paruh baya dengan kumis lurus di atas bibirnya, melemparkan senyum ke arah J yang baru saja masuk ke ruangannya. Giginya yang berwarna kekuningan terlihat jelas saat kedua sudut bibirrnya terangkat ke atas.
Lelaki tersebut kemudian memberikan amplop berwarna putih yang sudah terisi penuh dengan uang. “Kerja bagus, J. Aku menikmati pertandinganmu.”
J hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum simpul. Ia menghitung jumlah uang di dalamnya. Jumlahnya pas. Tak kurang sepeserpun. “Terima kasih,” katanya kepada lelaki paruh baya sebelum akhirnya berbalik pergi menuju pintu keluar.
“Sering-seringlah kemari J. Pertandinganmu tadi benar-benar menghibur,” ucap lelaki paruh baya dengan sedikit berteriak sebelum akhirnya J benar-benar hilang dari pandangannya.
J berjalan menuju lokernya dan mengambil barang-barangnya. Tasnya ia sampirkan di pundaknya, kemudian ia segera pergi meninggalkan klub. Setelah sampai ke tempat pemberhentian bus. J segera menaiki bus terakhir malam ini, yang akan membawanya pulang ke tempat tinggalnya.
Baru saja ia menyalakan ponselnya setelah sudah lama ia matikan, panggilan telepon segera masuk. Ia pun segera mengangkatnya dan menepelkan ponselnya ke arah telinga.
“Joshua, kau pasti sudah mengerjakan tugas kelompok kita kan? Karena besok tugasnya harus dikumpulkan,” ujar suara laki-laki di seberang telepon. Ya. Nama asli J adalah Joshua. Lebih tepatnya Joshua Daniswara.
Joshua menyungingkan senyum sinisnya. “Sudah. Sudah selesai semua. Besok tinggal dikumpul.”
“Baguslah. Berarti nanti kami tinggal ngirim NIM¹ kami ke kamu.”
Joshua menatap ke arah luar jendela bus sambil meringis. Selalu saja begitu. Ia tak terkejut lagi dengan adanya orang-orang tak tahu diri seperti ini. “Ya,” katanya singkat.
Bip.
Panggilan dimatikan secara sepihak tanpa ucapan terima kasih. Joshua kembali memasukkan ponselnya ke dalam sakunya. Baginya hal seperti ini bukan masalah besar. Ia akan tetap memasukkan nama orang-orang tidak tahu diri tersebut ke dalam tugas yang akan dikumpul besok. Urusan mereka sendiri yang tidak mendapat ilmu. Joshua tidak peduli, selagi ia mendapatkan ilmu dari tugas tersebut dan mendapatkan nilai yang menyelamatkannya, urusan orang lain mendapat ilmu atau tidak bukan urusannya.
Saat kelas dibubarkan Joshua segera mengumpulkan tugasnya bersaaan dengan mahasisawa lainnya. Sementara itu anggota kelompoknya segera berlalu pergi meninggalkan kelas saat sudah memastikan bahwa Joshua sudah mengumpulkan tugas mereka. Tidak ada ucapan terima kasih. Bahkan Joshua seperti tidak terlihat. Ia diabaikan dan diremehkan keberadaannya.
Selalu begitu. Mahasiswa-mahasiswa lain hanya mencarinya jika membutuhkan sesuatu darinya. Tidak ada yang mau bergaul dengannya karena bagi mereka tidak ada yang dapat dimanfaatkan dari Joshua kecuali ia yang mudah disuruh-suruh ketika tugas kelompok, ataupun paling mudah dimintai catatan ketika mereka sibuk mengabaikan kelas. Bagi mereka Joshua tak ayal seorang anak yatim dari desa yang rajin mengikuti kuliah.
Biar pun wajah Joshua tidak bisa dikatakan tidak tampan, tapi tetap tidak ada yang begaul denganya. Pun dengan Joshua, ia tidak tertarik bergaul dengan anak-anak orang kaya yang menurutnya sangat konyol karena hobi mamerkan harta yang baginya malah terlihat norak. Karena menurutnya jika seseorang benar-benar kaya maka harta bukanlah sesuatu yang perlu dipamerkan. Orang-orang yang benar-benar kaya tidak akan butuh pengakuan dari orang lain bahwa ia adalah orang kaya.
Walau harus ia akui bahwa tidak semua mahasiswa di kampusnya seperti itu. Tapi, hidup di kota besar seperti ini menyadarkan Joshua tentang fakta bahwa orang hanya akan mendekatimu untuk mengambil manfaat darimu. Setelah itu ia akan pergi.
Joshua tidak ambil pusing. Ia malas berdebat dan bertikai hanya karena masalah kecil. Mereka memang bersikap seenaknya kepada Joshua, tapi itu bukanlah hal besar untuknya. Pun juga baginya tidak ada hal yang bisa ia ambil dari orang-orang tidak dewasa di sekitarnya tersebut. Joshua terbiasa hidup mandiri. Dan ia tidak butuh orang-orang manja untuk mempersulit hidupnya.
Joshua mungkin petarung tinju terbaik di UB, namun ketika keluar dari arena klub, ia adalah seorang penyendiri yang tak dihiraukan keberadaannya oleh orang sekitarnya. Hanya dianggap jika dapat dimanfaatkan saja, dan diabaikan setelah manfaatnya habis.
.
.
.
.
.
Note: 1. NIM adalah singkatan dari Nomor Induk Mahasiswa. Sebuah nomor induk yang dikeluarkan oleh suatu kampus yang digunakan sebagai kartu identitas mahasiswa yang terdaftar pada kampus tersebut.
Ketika waktu sudah melewati angka 12 di malam hari, seluruh kota sudah tampak tertidur. Hanya lampu-lampu di setiap teras bangunan dan di setiap sudut jalanan yang masih terjaga. Beberapa becak nampak terparkir di pinggir jalanan di sekitaran wilayah wisata dan pasar. Beberapa becak bahkan terisi satu orang di dalamnya yang sedang beristirahat setelah seharian berputar mengelilingi kota untuk mengantarkan para wisatawan.
Tak ada usaha yang masih buka kecuali café-café tempat para anak muda-yang mayoritas berasal dari kalangan mahasiswa-sedang bercengkrama, atau hanya sekedar mengobrol hingga larut malam. Beberapa dari mereka ada yang sibuk terpaku dengan laptop di hadapannya tanpa menghiraukan keramaian di sekitarnya.
Tidak mau kalah. Warung-warung makan yang biasa disebut oleh para mahasiswa dengan sebutan burjo memilih untuk belum tutup bersamaan dengan warung makan lainnya. Memberikan opsi kepada setiap orang yang merasakan lapar di ketika lewat tengah malam, tapi terlalu malas untuk memasak. Mereka menjual berbagai macam makanan. Namun, maknan unggulan mereka adalah makanan olahan dari mie instan. Entah mengapa, mie instan yang dijual di burjo umumnya lebih enak dari pada mie instan buatan sendiri. Mereka juga menjual minuman berupa kopi dan yang lain-lain, yang membuat burjo jadi tempat yang juga merupakan sasaran empuk para anak muda untuk nongkrong di malam hari.
Beberapa mini market juga masih buka. Seperti Indoapril, bisnis mini market yang sudah menjamur di setiap sudut kota. Beberapa dari mereka buka hingga 24 jam. Dengan tersedianya beberapa kursi dan meja di teras mini market, memudahkan beberapa anak muda khususnya mahasiswa yang sedang ingin nongkrong dengan pengeluaran low budged.
Joshua bekerja part time di Indoapril dan mendapat shif malam hari ini. Meskipun ia baru saja mendapatkan bayaran besar hasil tinju kamarin, hal itu tak lantas membuatnya berhenti berkerja part time karena ia butuh uang untuk membiayai hidupnya sehar-hari. Sedangkan uang yang ia peroleh dari hasil tinju kemarin akan ia gunakan untuk pembayaran kuliahnya. Sejak awal kepindahannya ke kota ini, Joshua tak pernah meminta uang sepeser pun dari ibunya.
Langkah Joshua terhenti di depan sebuah gang sepi yang gelap saat ia hendak berangkat ke tempat kerjanya. Tanpa sengaja ia melihat seorang gadis yang tangannya ditarik paksa oleh 2 pria berbadan besar. Gadis itu nampak memberontak, tapi sia-sia karena tubuhnya terkunci. Joshua terdiam sejenak dan berpikir. Haruskah ia terlibat?
Ini sudah sangat larut malam. Tidak mungkin ada orang selain dirinya yang bisa menolong gadis itu. Joshua menjatuhkan tasnya ke tanah. Ia segera mendekat ke arah gadis tersebut. Namun, seorang menghadang jalannya. Lelaki berbadan besar yang hampir sama perawakannya dengan dua laki-laki yang mencekal gadis tersebut.
“Siapa kamu? Tidak perlu ikut campur jika masih ingin hidup,” kata lelaki itu sambil menjatuhkan rokoknya ke tanah dan menginjaknya hingga bara api di ujungnya padam.
Joshua mengabaikannya dan memilih berjalan melewati lelaki tersebut, namun lelaki tersebut menghadang langkah Joshua dengan tangannya kemudian mendorong Joshua hingga tubuh Joshua mundur beberapa langkah.
“Sudah kukatakan untuk pergi saja! Kau tidak bisa mendengarku, hah?” geram lelaki itu tepat di depan wajah Joshua.
Joshua mendengus kesal dan balas mendorong tubuh si lelaki berbadan besar. Tidak terima badannya di dorong oleh Joshua, membuat lelaki itu marah dan melayangkan tinjunya ke arah Joshua. Akan tetapi, mampu Joshua halau. Joshua menangkap kepalan tangan lelaki tersebut. Cengkraman kuat tangan Joshua membuatnya kesal. Ia lalu berganti melayangkan tinju dengan tangan kirinya yang bebas, yang tentu saja dengan keahlian yang Joshua miliki, Joshua dapat menangkap lagi kepalan tangan si lelaki berbadan besar. Sehingga kedua tangan Joshua sekarang sedang mencengkram kuat kedua tinjunya.
Segalanya berjalan sangat cepat hingga si lelaki berbadan besar tak sadar jika Joshua sudah menendang perut bagian atasnya dengan sangat keras menggunakan telapak kakinya hingga membuat si lelaki berbadan besar terlempar ke tanah.
BRAK!
Masih memegangi perutnya yang terasa sakit dan belum sempat bangkit dari tanah, Joshua segera menginjak perut lalu dada lelaki tersebut.
“Arrghh….” Teriakan si lelaki bebadan besar membuat kedua temannya yang sedang sibuk memegangi lengan sang gadis, segera sadar bahwa mereka kehadiran tamu.
Pria yang berkepala plontos megedikkan kepalanya ke arah Joshua. Memberi kode kepada temannya yang berkumis tebal untuk mengurus Joshua.
Joshua tak membuang waktu. Saat pria berkumis melayangkan tinjunya secara lurus, Joshua merunduk dan dengan cepat ia segera menyerang wajah bagian samping pria berkumis.
BUGH!
Serangan Joshua cukup kuat hingga nampaknya membuat si kelaki berkumis tebal kesal. Ia membuang ludahnya dan kembali melayangkan tinjunya ke arah Joshua secara beruntun.
BUGH!
BUGH!
BUGH!
Sialnya, lengan Joshua berhasil terkena pukulan pria tersebut. Tapi, itu tak berpengaruh sama sekali untuk Joshua.
Lelaki berkumis hendak melayangkan tinju ke sisi wajah Joshua namun berhasil Joshua tangkis. Joshua mencengkram pergelangan tangan pria tersebut dengan kuat bersamaan dengan punggung kakinya yang ia pakai untuk menendang tubuh bagian samping lelaki tersebut secara cepat dan berulang.
Ia kemudian memelintir tangan yang masih berada di cengkramannya dan menguncinya di belakang punggung pemiliknya, sebelum akhirnya menendang punggung itu dengan keras.
BUGH!
BRAK!
Hal itu membuat tubuh sang pria berkumis tersungkur di tanah. Joshua menginjak lengan pria tersebut dengan kuat saat ia hendak menghampiri sang gadis yang tadi diganggu oleh para pria ini.
“Argghh….” Lelaki berkumis mengaduh kesakitan.
Akan tetapi, ternyata sang gadis sudah menghilang dan hanya tersisa pria berkepala plontos yang sekarang sudah memegangi perutnya sambil meringis kesakitan di bawah tiang listrik.
Joshua membuang napasnya lega. Syukurlah jika gadis tersebut berhasil kabur. Ia hanya tinggal melaporkan para laki-laki ini kepada pihak berwajib. Joshua membalikkan badannya dan segera berjalan ke arah tasnya yang ia jatuhkan di tanah tadi. Ia mengambil ponselnya dan mencari nomor polisi. Namun, saat ia membalikkan badannya, ke tiga lelaki tadi sudah hilang dari pandangannya.
“Halo, dengan kantor polisi….”
“Maaf, Pak. Saya salah sambung,” kata Joshua sebelum mematikan sambungan teleponnya secara sepihak.
Ia kemudian berlari menelusuri gang-gang sempit di hadapannya tersebut. Tapi, tak satupun dari para pria tadi ia lihat batang hidungnya. Juga sang gadis. Kepalanya mengadah menelusuri setiap sudut gang. Namun, CCTV pun tak dapat ia temukan. Joshua membuang napasnya kasar. Semoga gadis tersebut selamat.
Joshua menyampirkan tasnya ke pundak dan berjalan gontai. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia sudah terlambat masuk sift kerja part time-nya! Joshua pun segera berlari, dan kejadian tadi perlahan terlupakan sejenak di otaknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!