...Cerita ini murni dari pemikiran saya sendiri. Kalau ada kesamaan tokoh, latar belakang, itu hanya kebetulan yang tidak di sengaja. Kalau ada yang sama semuanya, bisa kasih linknya ke saya!...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Keluar dari rumahku sekarang juga! Jangan pernah berani untuk kembali, sebelum kamu menemukan siapa ayah dari anak yang kamu kandung!” bentak seorang pria dengan sorot mata berapi-api.
“KELUAR!” semakin menggelegar suaranya, jari telunjuk menunjuk ke arah pintu.
Perempuan tengah bersimpuh di atas lantai berteman air mata itu, tak bisa mengatakan apa-apa. Dia sadar atas kebodohan yang telah dilakukan, hingga menyebabkan sebuah kehamilan.
Dia adalah Anita, perempuan cantik berusia 19 tahun yang dijebak oleh kekasih dan juga sahabatnya sendiri, hingga harus melalui sebuah malam bagaikan mimpi buruk bersama lelaki tak pernah ia kenal.
Malam di mana kesuciannya terenggut, kini menghancurkan lebih banyak kehidupan serta masa depan. Kedua orang tua Anita tidak terima akan kehamilan dari putri tunggal mereka, mengusir dengan sangat tegas tanpa pernah ingin peduli seperti apa kehidupan dari perempuan terus memohon ampun itu.
Divya—ibu kandung dari Anita tak bisa berbuat apa-apa atas keputusan final suami yang dikenalnya memiliki watak keras. Bagaimanapun juga, putrinya bersalah dan tak bisa untuk ia bela dengan membenarkan kesalahan.
Paling tidak, ia harus tega melepaskan bidadari kecilnya itu agar bisa mengerti kesalahan telah diperbuat dan tak mengulanginya lagi.
Anita hancur, dia tak tahu harus tinggal di mana. Ia menyesali setiap apa yang pernah dilalui. Tidak seharusnya Anita memiliki kekasih yang justru menjadi sebuah awal dari kehancuran, hubungan pacaran tidak bermanfaat tidak seharusnya ia jalin bersama laki-laki yang bahkan tak pernah direstui oleh kedua orang tuanya.
Entah mengapa kedua orang tuanya tak pernah merestui hubungan bersama Vano, mungkin mereka telah mengetahui sesuatu yang tak pernah diutarakan pada Anita. Kini, penyesalan dan air mata menemani langkah berat Anita untuk keluar dari rumah dengan juta kenangan indah di dalamnya.
Jika saja waktu bisa untuk dikembalikan, Anita akan mengubah semua menjadi lebih baik. Namun, semua tak akan mungkin untuk kembali, dan Anita harus menjalani seperti apa lika-liku kehidupan yang tak pernah ia ketahui di depan.
Kebahagiaan sesaat karena sebuah hubungan pacaran membutakan, ternyata memberikan kesengsaraan yang tak mungkin bisa dianggap sesaat.
Malam itu, Anita pergi bersama kekasihnya untuk berkencan di sebuah restoran. Seperti minggu-minggu dalam tujuh bulan hubungan terjalin, mereka akan menghabiskan akhir pekan bersama.
Namun, itu bukanlah akhir pekan yang benar-benar sama, karena di pagi hari Anita mendapati tubuhnya tanpa pakaian di sebuah hotel bersama lelaki tak pernah ia kenal.
Kembali dari hotel sebelum lelaki itu terbangun, Anita mendatangi rumah Vano.
Ternyata air mata belum cukup sampai disaat ia mengetahui jika kesucian telah terenggut, di rumah Vano ia mendapati fakta lain, bahwa kekasih juga sahabatnya berada di dalam kamar sama dengan pakaian tak seharusnya.
Bukan seorang perempuan bodoh yang menganggap keduanya selesai bermain catur dalam kamar hingga ketiduran, pakaian dari Rara—sahabat telah dianggap saudara olehnya pun cukup dipahami. Ya, pagi itu Rara mengenakan gaun tidur seksi yang menunjukkan dada tanpa pelapis apa pun di dalamnya.
Dunia seakan runtuh di atas kepala, langkah kaki pun melemah seketika. Terlebih pengusiran keras yang dilakukan oleh Vano dan mengatakan jika dirinya telah meninggalkan bersama pria lain semalam, membuat Anita semakin tak berdaya. Kini, semua harus dijalani seorang diri dengan menguatkan hati.
“Aku harus mencari tempat tinggal,” ucap Anita lirih, masih terus berjalan dengan bulir keringat memenuhi dahi.
Tak ada uang sepeser pun yang ia bawa. Anita merogoh saku dress sederhana warna biru muda yang ia kenakan, ada ponsel miliknya di dalam sana.
Terbesit cara untuk bisa mendapatkan uang, Anita memutuskan untuk menjual ponsel miliknya. Lagi pula, siapa yang akan sudi menghubungi dirinya setelah ini, tak akan ada lagi.
Tak ingin menambah sebuah kebodohan dalam hidup sendiri, Anita juga tak berniat untuk menggugurkan kandungan. Walau itu mungkin anak yang tak pernah diharapkan, tapi tetaplah darah dagingnya yang tak pantas untuk dilenyapkan.
Seperti apa pun cara Tuhan menitipkan anak dalam rahim seseorang, semua tetaplah harus dipertanggungjawabkan. Anak adalah sebuah anugerah, mereka suci dan tak mengetahui apa yang sudah terjadi. Ia berhak untuk hidup, berhak untuk mengenal dunia.
Membuang anak atau bahkan melenyapkan karena merasa tak mengharapkan, hanyalah sebuah tingkah pecundang yang tak pantas dilakukan. Bahkan, binatang saja yang tak memiliki pikiran masih bisa menyayangi anaknya sendiri.
Lantas, pantaskah seorang manusia yang diberikan akal serta pikiran harus membuang anak kandungnya.
Mungkin jika tak siap dengan kehadiran anak, seharusnya perempuan bisa menjaga dirinya dari kejamnya dunia.
Atau tak seharusnya melakukan hubungan sebelum pernikahan dengan alasan takut kehilangan, agar tak pernah ada anak tidak berdosa yang menjadi sasaran dan tak ada masa depan serta kebahagiaan keluarga yang menjadi taruhan.
Anita tiba disebuah counter, ia mengeluarkan ponsel dan meletakkan di atas sebuah etalase kaca terdapat beberapa kartu perdana di dalamnya.
Ponsel itu adalah keluaran terbaru, hadiah dari papanya sewaktu ulang tahun Anita tiga bulan lalu. Penjaga memeriksa sejenak ponsel, memberikan sejumlah uang tanpa perlu tawar-menawar.
Sedikit keberuntungan ia dapat, karena counter itu juga memiliki tempat kos yang disewakan. Anita memutuskan tinggal di sana, memberikan uang untuk satu bulan.
Kos-kosan bertingkat yang cukup besar, dijadikan Anita sebagai tempat beristirahat setiap harinya bersama calon buah hati.
***
Hari berganti bulan, Anita tetap tinggal di kos-kosan tersebut dengan berusaha mengumpulkan uang dari menjual botol-botol minuman sisa penghuni kos. Ada seorang laki-laki yang juga membantu Anita, dia adalah Rian.
Lelaki dengan ketulusan yang mencarikan Anita pekerjaan, dan rela setiap hari datang mengantarkan boneka untuk dipasangkan mata, lalu esoknya diambil dan disetorkan.
Setiap uang yang ia peroleh, ditabung sebagian oleh Anita dan dipergunakan untuk biaya persalinan juga kebutuhan dari anaknya nanti, tanpa ingin pelit untuk membeli makan demi nutrisi anak yang ia kandung.
Mungkin ada sebuah kebaikan lain yang pernah ia lakukan, sehingga Tuhan menghadirkan sosok Rian dalam hidupnya dan menjelma sebagai malaikat tak bersayap. Entah berapa banyak hutang budi yang dimiliki Anita pada Rian, hingga anaknya lahir ke dunia.
Mungkin bukan hanya hutang budi, tapi juga uang. Karena Rian juga menyewakan sebuah rumah kontrakan untuk Anita dan anaknya agar hidup lebih layak, setelah perempuan itu terusir dari tempat kos.
Ya, Anita memang terusir kembali setelah keadaan perut membesar. Rian mencarikan tempat kontrakan untuknya, dan bersedia menjadi sandaran untuk perempuan yang tak pernah ia pertanyakan asal-usulnya.
Semua atas dasar kemanusiaan, Rian pun menganggap anak Anita sebagai anaknya sendiri dan sering datang untuk membawakan keperluan atau sekedar makanan.
Itulah sedikit kisah perjalanan Anita yang harus merasakan seperti apa kerasnya hidup akibat kehamilan di luar nikah, yang tak seharusnya terjadi dan lebih bisa menjaga diri. Kisah selanjutnya, kita mulai dari sini.
Sepuluh tahun berlalu setelah kelahiran bayi mungil berjenis kelamin laki-laki, kehidupan Anita pun berubah drastis dari kesengsaraan dilalui selama ini.
Siapa yang menyangka jika anak yang ia pertahankan dalam rahimnya itu, tumbuh menjadi anak jenius yang mampu membuat kehidupannya berubah.
Tak lagi kesulitan dengan keuangan, bahkan kini Anita menempati sebuah rumah layak dengan mobil pribadi dimiliki. Itu semua berkat bocah laki-laki yang diberi nama Arga.
Diam-diam, bocah dengan kecerdasan di atas rata-rata itu membuat sebuah game dan mengembangkannya. Game yang dibuat, sanggup diterima oleh dunia dan pundi-pundi rupiah pun mengalir layaknya air.
Anita tak pernah mengetahui akan apa dilakukan oleh putranya, ia pun terkejut begitu sang anak mengakui semua bersama Rian. Ya, Rian membantu Arga untuk mewujudkan keinginan yang terbesit begitu saja dari seorang anak berusia tujuh tahun.
Terlalu muda memang, tapi usia hanya sebuah angka yang tak pernah bisa dijadikan patokan atas sebuah kecerdasan. Namun, karena kecerdasan luar biasa yang dimiliki, justru membuat Arga tidak di terima sekolah.
Entah apa alasan dari beberapa sekolah untuk menolaknya, mungkin saja mereka takut kewalahan menghadapi Arga yang bahkan sanggup mengerjakan soal tersulit ketika mendaftar.
Arga tak berkecil hati walau ditolak oleh beberapa sekolah, ia tak hentinya belajar dan justru menjadi seorang anak yang berhasil di usianya.
Belajar tentang dunia game secara otodidak dari ponsel Rian kala lelaki itu datang, Arga mempelajari dengan sungguh-sungguh hingga sanggup mencapai keberhasilan di usianya yang baru sepuluh tahun.
----------------
Malam ini, Anita baru kembali dari pertemuan yang melibatkan Arga selaku pengembang game termuda di dunia. Memasuki sebuah rumah yang hanya ditempati berdua, Anita sejenak duduk di ruang tamu bersama putranya melepas rasa lelah.
“Arga ambilkan minum buat mama sebentar,” kata bocah berambut hitam pekat itu.
“Tidak perlu, Sayang. Kemarilah,” sahut Anita mengulurkan tangan kanan.
Arga duduk di samping sang mama, yang tak pernah bosan memperhatikan tiap pahatan indah dari Tuhan pada wajahnya. Terkadang, Anita bertanya pada hatinya tentang wajah sang anak yang begitu mirip lelaki di kamar hotel hari itu. Ya, mungkin saja jika kecerdasan Arga juga turunan darinya.
“Ma, boleh Arga tanya sesuatu?” menoleh bocah kini tengah menyandarkan kepala pada pangkuan sang mama.
“Apa?” sahut Anita seraya membelai rambut bocah berkemeja hitam pendek tersebut.
“Who’s my dad?” tanya Arga tanpa lagi basa-basi, ia telah menahan cukup lama atas pertanyaan tak pernah berani dilontarkan.
Anita tersentak, dia menatap putranya. Apa yang harus ia jawab, apakah ia harus mengakui semua jika anaknya terlahir tanpa seorang ayah?
Apa yang akan terjadi ketika Arga mengetahui hal itu? Apakah ia akan menganggap bahwa dirinya penghancur sebuah keluarga, ataukah akan menganggap bahwa kehadirannya tak pernah diharapkan?
“Kenapa? Kenapa kamu bertanya hal itu?” senyum paksa dikembangkan Anita.
“Just want to know, Mom. Bukankah aku harus mengetahui siapa ayahku? Apa mama tidak merasa hal itu sangat penting untukku? Aku ingin mengenalnya,” terang Arga.
“You know, Mom? Actually, aku begitu iri dengan mereka yang memiliki ayah. Aku ingin bisa bermain bola dan menghabiskan waktu seperti mereka di taman lalu bercanda. Mungkin makan es krim dan menikmati hari libur,” tambahnya seraya menatap ke langit-langit rumah seolah tengah membayangkan.
Luruh air mata Anita, tatkala mendengarkan ucapan dari putranya. Dia tak pernah memikirkan hal itu sama sekali, dan berusaha sebaik mungkin memberikan kasih sayang pada Arga tanpa membiarkan dirinya merasa kekurangan.
Namun, anak tetaplah membutuhkan kedua orang tua dalam pertumbuhannya. Tak peduli seberapa jenius anak itu, tak peduli seberapa mandiri sikap ditunjukkan selama ini, Arga tetaplah seorang anak yang memiliki hati dan perasaan.
Rasa iri terhadap anak-anak lain yang bisa menghabiskan waktu bersama kedua orang tua, jelas dirasakan oleh Arga. Bocah itu pun sering menatap di balik pagar rumahnya ketika hari minggu. Di mana beberapa dari tetangga lingkungannya tinggal, saling melakukan rutinitas jalan-jalan pagi.
Sang anak berjalan di antara kedua orang tua, saling menyatukan tangan. Arga bermimpi tentang itu, dia meminta pada Tuhan untuk diberikan kesempatan merasakan hal sama layaknya anak seusianya.
Tak banyak yang diharapkan oleh Arga dalam hidupnya, hanya ingin menghabiskan waktu dan tertawa. Bukan harta, bukan kecerdasan yang menjadikannya berbeda, bukan pula ketenaran seperti apa yang dicapainya. Tapi keutuhan keluarga kecil yang bahagia.
Air mata menetes tepat di wajahnya, menyadarkan Arga dari lamunan indah tentang sebuah keluarga. Ia menatap sang mama, lalu duduk di sampingnya menyeka air mata.
“Don’t cry, please. I’am sorry, really sorry.” Arga menyeka air mata mamanya lembut.
Pelukan diberikan oleh Anita pada seorang anak yang dianggapnya terlalu dewasa. “Maafkan, Mama.”
Arga tak berkata apa-apa, dia merasa bersalah atas air mata sang mama. Bukan kali ini, tapi Arga sering melihat mata coklat itu berurai air mata kala malam.
Isakan tangis pun terdengar begitu menyiksa, tanpa pernah Arga tahu mengapa.
Itulah alasan darinya tak pernah mengutarakan tentang keinginan, tak pernah bertanya tentang seseorang yang mungkin harus dipanggilnya papa. Arga melepaskan pelukan, dia mengukir senyum. “Give me your beautiful smile, Mom. Please,” pintanya dalam senyuman.
“Love you, Honey. You are my life,” kata Anita tulus.
“Love you too, Mom. You are my everything,” sahut Arga tersenyum lebar.
Anita pun mengukir senyum lebar yang sama, kembali memeluk putranya dan mengecup kening. Arga tak hentinya menggerutu ketika harus dicium, namun itu terlihat lucu bagi Anita ketika memperhatikan.
Dia tak menyukai ketika dicium, tapi sangat menyukai untuk bersandar kepala dan dibelai lembut rambutnya. Tak hentinya ia berterima kasih pada Tuhan, karena sudah menghadirkan Arga dalam hidupnya yang mampu menjadi penyemangat, juga alasan untuknya tetap menjalani kehidupan.
“Sekarang kamu harus istirahat,” ucap Anita. “Tapi ganti pakaian dulu,”
“Aku ingin makan, apa tidak boleh?” jawab Arga seraya mengusap perutnya.
“Tentu, mama akan buatkan makan dan kamu ganti baju dulu. Setuju?” sahut Anita mencubit gemas kedua sisi wajah putranya.
“Oh ayolah, aku bukan anak kecil. Jangan mencubitku seperti ini,” protes Arga.
“Kamu bilang mencintai mama, tapi dicubit dan dicium tidak mau?” berlagak merajuk Anita melipat tangan depan dada.
“Ah, baiklah. Tapi jangan lakukan di depan orang lain seperti tadi,” ucap Arga, berhasil membuat mamanya tersenyum.
“Anak tampan,” cubit Anita gemas pada pipi kanan Arga, hingga kepalanya turut bergoyang mengikuti gerakan tangan.
Menuruti sang mama untuk berganti pakaian, Arga berpamitan lebih dulu ke kamar. Anita langsung menuju dapur, anaknya memang selalu makan sebelum tidur di malam hari. Itu sudah menjadi kebiasaannya dari kecil, tak akan bisa tidur sebelum makan malam.
Belum sampai makanan itu dibuatkan, ada yang menekan bel rumah dan Anita pun keluar untuk melihat siapa yang datang. Dengan apron berwarna pink menutupi tubuh depannya, Anita membukakan pagar putih rumahnya. “Ya, ada yang bisa saya bantu?” santun Anita.
Bukan jawaban yang ia dapatkan, melainkan mulut yang langsung disumpal dengan tangan. Anita meronta, berusaha sekuat tenaga untuk terlepas. Tapi, pria bertubuh besar yang membungkam mulutnya justru mengunci kedua tangan Anita di belakang.
“Cari dia!” kata pria yang membungkam Anita pada kawanannya.
Mengangguk lalu pergi ke dalam, tak mempedulikan teriak dari suara tak sanggup keluar. Pria-pria bertubuh besar itu memasuki rumah Anita dan mencari keberadaan Arga.
Setiap pintu kamar di buka oleh mereka, lalu menapaki anak tangga untuk mencari kembali dan akhirnya menemukan seorang anak baru saja keluar dari kamar.
“Siapa kalian?!” teriak Arga, langsung dibius dengan gerakan kilat.
Bocah itu seketika tak sadarkan diri karena obat bius yang telah dibubuhkan di atas sapu tangan berwarna putih. Seperti mengangkut karung beras, pria bertubuh besar itu membawa Arga turun.
Langkah sangat lebar digunakan untuk menyusuri rumah, Anita sudah lebih dulu dimasukkan ke dalam mobil agar tak mengundang perhatian.
Mulut dan tangan terikat, Anita terbelalak begitu melihat putranya tak sadarkan diri dan diletakkan pada pangkuan. Kedua pahanya bergerak, berniat menyadarkan Arga dengan suara tertahan memanggil nama putranya.
Mobil sedan hitam itu melaju sangat kencang, hanya pagar yang ditutup kembali untuk membuat keadaan terlihat normal. Mereka adalah bodyguard Reno Hardian Syahputra, seorang CEO yang terkenal akan kekejamannya selama ini.
Reno meradang, begitu ia tahu jika perusahan pengembang game miliknya mengalami kerugian terus-menerus dan sulit teratasi dalam dua tahun ini. Mengamati tentang Arga dan memberikan perintah untuk menangkapnya malam ini juga.
Dia sudah melakukan banyak cara untuk menghancurkan Arga, namun semua tak pernah berhasil. Berusaha sebaik mungkin untuk mengembalikan posisi, itu pun tak berhasil dilakukan sehingga kerugian semakin besar dialami oleh salah satu perusahaannya.
Reno bukan hanya memiliki perusahan dalam bidang pengembangan game, tapi ia memiliki banyak sekali perusahaan yang bergerak dalam semua bidang. Ia pun memiliki beberapa hotel serta restoran ternama, namun semua tak cukup baginya.
Merupakan pengusaha tersukses di dunia, tentu saja ia tak akan membiarkan kekalahan terjadi dan membuat perusahaan telah di bangun hancur. Lelaki yang bahkan tak segan menghabisi siapa pun yang menghalanginya itu, sangat membenci kegagalan, tak ada kata itu dalam kamus kehidupan.
...----------------...
Tak menunggu lama dalam rumah bak istana miliknya, bodyguard yang diperintahkan sudah membawa ibu dan anak itu ke dalam rumah.
Kecepatan yang dipergunakan, membuat mereka tiba lebih cepat karena waktu tak pernah diberikan oleh Arga lebih dari setengah atau satu jam.
Jika melewati batas waktu dari tugas, maka anak buahnya harus bersiap menghabisi nyawa sendiri—itulah satu kekejaman Reno yang tak pernah mengenal ampun.
Anita dan Arga di seret layaknya binatang, membawa mereka ke sebuah ruang kerja di mana seorang lelaki tampak angkuh menantikan dengan duduk pada kursi kebesaran. Pintu di ketuk, suara pun terdengar dengan izin di berikan.
Mulut dibebaskan dari sumpalan sapu tangan yang terikat pada tengkuk, begitu pula kedua tangan. Arga memang telah sadar dalam perjalanan, pengaruh bius itu hanya bertahan beberapa menit saja.
Reno juga tak ingin membuatnya tewas sebelum tujuannya berhasil.
Anita langsung merengkuh tubuh putranya, kedua tangan sangat gemetar. Namun Arga masih terlihat tenang, dia berkata jika semua pasti akan baik-baik saja.
Tak tersirat ketakutan sedikit pun dari kedua mata Arga, bocah itu memang tak pernah memiliki ketakutan terhadap siapa pun selain Tuhan.
Bodyguard keluar, berjaga di depan pintu ruang kerja. Lelaki tengah duduk nyaman di kursi, kini memutar kursi kebesarannya untuk menatap secara langsung siapa orang yang telah membuatnya dalam keadaan hampir bangkrut.
“Kau?!” terbelalak Reno, menatap wajah Anita.
Anita pun tak kalah terkejut melihat lelaki di hadapannya, paras tampan namun menyiratkan keangkuhan itu tak akan pernah sanggup untuk dilupakan oleh Anita seumur hidup. Itu adalah lelaki yang dia lihat dalam kamar hotel pada pagi terburuk di hidupnya.
“Mama mengenalnya?” tanya Arga menatap keduanya bergantian.
“Mama?” lirih Reno, lalu beranjak dari duduk.
Lelaki tinggi putih itu berjalan menghampiri, Anita menggenggam tangan putranya. Namun justru Arga berpindah untuk berdiri di hadapan sang mama, menghalau lelaki berkemeja hitam itu untuk berbuat macam-macam.
“Apa yang Anda inginkan dari kami?” tanya Arga tanpa takut.
Reno bergeming, ia menatap lekat wajah Arga, Seolah bercermin pada diri sendiri, wajah itu sangat mirip dengannya. Mata dialihkan pada Anita, seolah kilatan cahaya dalam matanya mengisyaratkan tanya.
“Dia …,” tanya Reno menggantung.
“Ikut denganku!” tekan Reno dalam kata, meraih tangan Anita hendak menyeretnya.
“Tidak! Anda tidak bisa membawa mama saya pergi!” cegah Arga tegas.
“Tidak apa-apa, Sayang. Mama akan baik-baik saja,” ucap Anita memalsukan senyuman.
Anita telah mengetahui seberapa kejam Reno, dia tak ingin sesuatu terjadi pada putranya dan memilih untuk ikut lelaki bertubuh tegap itu keluar dari ruangan.
Arga ditinggalkan seorang diri, Anita melarangnya untuk ikut.
Sebuah kamar tamu tak jauh dari ruang kerja dimasuki oleh lelaki dengan tangan menyeret perempuan di belakang tubuh.
Kesulitan Anita untuk menyeimbangkan langkah, karena kaki Reno sangat panjang dan langkahnya pun lebar.
Terlempar ke atas tempat tidur luas begitu masuk ke dalam kamar, Anita terlihat semakin ketakutan. Reno menaikkan kaki kanan menekuk di atas ranjang, tangan kanan mencapit kedua sisi wajah Anita. “Dia … apa dia anakku?” melotot Reno sembari bertanya.
“Katakan padaku kebenarannya atau kau akan melihatnya menjadi abu hari ini juga!” ancam Reno tegas.
Anita terlihat sangat takut, jantungnya berdetak sangat cepat dengan napas memburu. Reno menunjukkan ketegasan dalam sorot mata, kata-katanya pun begitu menekan. “Aku tidak suka menunggu, Anita!” geram Reno, mengejutkan Anita karena nama diketahui.
Ya, Reno telah mengetahui siapa nama dari perempuan telah meninggalkannya di kamar hotel. Pagi itu, Reno sangat marah karena merasa dicampakkan. Kini, melihat wajah Arga membuat ia berkeyakinan jika itu adalah anak kandungnya.
Wajah Anita tak pernah lepas dari ingatan, amarah pun tak hilang sampai sekarang. Ketika bayang dirinya ditinggalkan itu hadir, Reno tak segan melampiaskan kekesalan dengan menghancurkan apa saja yang berada di dekatnya.
Dia telah mencari Anita, namun tak pernah ditemukan karena perempuan itu dalam penyamaran di balik kacamata tebal selama tinggal di tempat kos juga kontrakan, demi menjaga nama keluarganya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!