...Liliana atau biasa dipanggil Lili...
...Lahir tanggal 16 Mei 1993...
...Bintang nya Taurus...
...Tinggi badan 162cm...
...Pekerjaan : Penyanyi cafe...
...Andra Wijaya biasa di panggil Andra...
...Tanggal lahir 9 September 1991...
...Bintang Virgo...
...Tinggi badan 180cm...
...Pekerjaan : Wirausaha...
Untuk kali ini aku akan membuat cerita yang cukup menarik karena akan diselipin dengan gambar para pemain.
Dan jika kalian tidak suka dengan para tokoh pemainnya,kalian bisa memakai ilustrasi tokoh kesukaan kalian sendiri.
Karya ini aku buat atas imajinasi ku sendiri, dan haluku sendiri.
Ditunggu yah kelanjutannya.
😉😉😉😉
"Katanya, aku perempuan murahan."
Kalimat itu masih terngiang jelas di kepala Lili, bahkan seminggu setelah pertama kali ia mendengarnya.
Ia tidak sedang bercermin, tidak sedang bersolek. Malam ini, Lili hanya duduk diam di lantai kamar, punggungnya bersandar pada sisi ranjang, dan mata menatap kosong ke arah jendela. Hujan di luar jatuh pelan, seperti berusaha menenangkan amarah dan luka yang berkecamuk di dalam dirinya.
"Katanya, aku cuma penyanyi kafe yang bisa dibeli."
Ia tertawa kecil, pahit, dan getir. Jemarinya menggenggam ujung selimut dengan erat, seolah berusaha mencengkeram sesuatu yang bisa menahan perih di dada.
Lili tahu betul siapa dirinya. Ia bukan orang yang sempurna, juga bukan sampah seperti yang mereka tuduhkan, melainkan ia bekerja keras, bernyanyi dari panggung ke panggung, menyambung hidup tanpa mengemis pada siapapun.
Lantas apa salahnya? Mengapa orang-orang menghakimi dirinya seolah-olah, ia adalah seorang pendosa? Ani-ani? Ataupun, simpanan orang?
Suara pintu diketuk pelan, membuyarkan lamunan Lili. Tak lama kemudian, sosok ibunya–Rosa– dan ayahnya–Rudi– masuk dengan hati-hati.
"Lili,” suara Ibu terdengar pelan, nyaris berbisik. "Mama masak sup ayam. Turun, ya?"
Lili tak menjawab. Ia hanya menggeleng perlahan, menunduk semakin dalam. “Lili gak lapar, Ma.”
Rosa berjalan mendekat, lalu duduk di samping putrinya. Ia mengusap rambut Lili dengan lembut, lalu menarik tubuh anaknya ke pelukannya.
“Maaf ya, Mama sempat marah waktu itu,” bisiknya. “Tapi, Mama nggak tahan. Dengar mereka hina kamu kayak gitu, rasanya Mama nggak sanggup diem aja.”
Lili akhirnya membuka suara. Suaranya pecah, pelan, dan nyaris tak terdengar. “Aku juga nggak ngerti, Ma. Kenapa mereka sebenci itu sama aku? Aku nggak pernah ganggu hidup siapa-siapa.”
Rosa memeluk Lili lebih erat. “Kadang dunia memang kejam sama orang yang berbeda, Nak. Tapi, kamu nggak salah. Kamu kerja dengan jujur, kamu nggak nyakitin siapapun. Mama bangga punya anak seperti kamu.”
Lili menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang sudah siap jatuh. Namun, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia menangis dalam pelukan sang ibu. Bukan karena hinaan orang, melainkan karena ada seseorang yang tetap percaya padanya, walau dunia seakan ingin menjatuhkannya.
Rosa mengusap lembut punggung putrinya, lalu menyeka sisa air mata di pipi Lili dengan ujung jarinya. Senyum hangatnya mengembang, meski matanya masih sembab.
“Sekarang, makan dulu, ya? Mama dan Papa sudah lama tidak makan bersama kamu. Yuk, Nak,” ajaknya lembut.
Lili mengangguk pelan. Ia bangkit dari lantai dan bergantian memeluk ayahnya yang berdiri di ambang pintu, menunggu dengan senyuman tipis dan tatapan penuh kasih. Pelukan itu tak lama, tapi cukup untuk menghangatkan hati Lili yang selama ini terasa dingin dan sepi.
***
Pagi itu, Lili kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Bangun siang, disemprot ibunya, mandi dengan lagu K-Pop menggelegar, lalu duduk di meja makan sambil menyuapkan nasi goreng ke mulut sambil menghafal lirik lagu.
Meski gosip itu belum sepenuhnya reda, ia belajar untuk tetap tersenyum. Dunia boleh seenaknya menilai, tetapi ia masih punya hidup yang harus dijalani. Malam ini, Lili harus bernyanyi di salah satu kafe cukup mewah di pusat kota. Hal itulah alasan utamanya untuk bangkit dari kasur pagi tadi.
Menjelang sore, Lili tiba lebih awal di lokasi. Ia mengenakan dress merah muda selutut, sedikit ketat, tapi masih sopan menurut standarnya. Wajahnya dirias ringan, rambutnya dikuncir ke samping. Penampilannya memang mencolok, tapi begitulah dirinya, ia tidak suka bersembunyi.
Setelah berbincang sebentar dengan pemilik kafe, Lili duduk di meja paling dekat dengan panggung sambil menyeruput es teh manis yang baru saja diantar. Ia sedang melihat catatan lagu di ponsel ketika seseorang melangkah masuk dari pintu utama.
Pria itu berjalan dengan langkah tenang, mengenakan kemeja putih polos yang digulung hingga siku, celana hitam yang rapi, dan membawa map besar di tangan kirinya. Wajahnya tenang, ekspresinya dingin, seolah semua orang di ruangan ini tak penting.
Lili secara refleks menoleh. Entah kenapa, dunianya terasa lambat sepersekian detik. Tinggi. Dingin. Ganteng. Tiga kata itu langsung melintas di benaknya.
"Siapa dia?” gumamnya pelan sambil mengikuti pria itu dengan pandangan mata. Pria itu duduk di salah satu meja dekat jendela, mengeluarkan laptop dari tas, lalu mulai sibuk sendiri tanpa memperhatikan sekitar.
Lili tersenyum kecil. Ia menyilangkan kaki, membetulkan letak duduknya, lalu sedikit nakal mengedipkan satu matanya ke arah pria itu.
Tak ada respons.
Pria itu bahkan tidak menoleh. Namun, lima detik kemudian, secara perlahan, ia mendongak. Tatapan matanya jatuh pada Lili, menelisik dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bukan tatapan tertarik, bukan pula kagum, melainkan lebih seperti, jijik.
Andra Wijaya, desainer sekaligus pemilik merek pakaian pria yang baru saja menerima tawaran kerja sama dari pemilik kafe tersebut, tampak tidak menyembunyikan ekspresi enggannya.
Ia menarik napas pendek, lalu kembali menunduk pada layar laptopnya. Seolah Lili bukan siapa-siapa. Seolah keberadaannya mengganggu konsentrasi dunia.
Lili membeku sejenak. Ia mengernyit, merasa sedikit tersinggung. Namun, rasa penasaran justru tumbuh.
“Dasar cowok sombong,” bisiknya sambil menyeruput es teh. “Tapi, kok, aura misteriusnya agak bikin penasaran, ya?”
Ia tidak tahu, bahwa pria yang baru saja membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat itu adalah orang yang dalam waktu dekat akan menguji kesabarannya sampai batas terjauh.
"Bang, besok kita harus pergi kerumah nenek. Kata ibu, Abang harus ikut karena Abang udah lama nggak nengokin nenek," ucap seorang gadis bernama Indri.
Andra baru saja kembali dari Jogja, wajahnya tampak kuyu, tapi tetap tampan. Ia bersama salah satu temannya bertemu dengan pengrajin batik untuk membahas tentang kerjasama. Namun, entah apa yang sedang dipikirkan oleh lelaki itu sampai mengabaikan Indri, adiknya.
"Bang Andra!" Indri menghentakkan kakinya kesal. “Denger nggak, sih, apa yang Indri katakan?"
Andra balik badan, menatap adik satu-satunya yang tengah merajuk. Ia berjalan menghampiri, mengusap puncak kepala Indri dengan sayang. "Iya, Dek. Bilang sama ibu, Abang ikut. Tapi, gak bisa bareng karena ada kerjaan yang harus dihandle."
Indri menatap Andra dengan mata menyipit, curiga. "Abang gak lagi bohongin kita, kan?"
Andra mengulas senyum kecil, menggeleng dengan tatapan penuh kasih. "Gak."
"Beneran loh, Bang? Abang nggak lagi nyari alasan buat gak ikut ke rumah nenek, kan?"
"Buat apa Abang bohong, Dek? Gak. Abang bakalan nyusul kalian, kok. Sudah sana keluar! Lebih baik kamu bantu ibu buat menyiapkan makanan. Kasihan ibu masak sendirian," usir Andra halus.
"Ck! Bisanya cuma nyuruh doang. Makanya, nyari istri, Bang, buat nemenin ibu dirumah!" celetuk Indri dengan sengit. Padahal, Andra tau, kalau Indri dan dapur itu tidak bisa bersahabat.
"Bilang aja kamu nggak bisa masak?” Andra terkekeh.
"Biarin. Suka-suka akulah!"
Andra tergelak. Indri memang jago urusan membersihkan rumah, belajar, bahkan mendikte dirinya. Namun, gadis itu akan uring-uringan jika disuruh masak seolah--olah, kompor dan wajan adalah rival.
"Kasihan nanti suami kamu, Dek, kalau kamu tidak bisa memasak."
"Yaelah, Bang. Zaman sekarang udah semakin maju. Restoran banyak, delivery merajalela. So, please! Gak usah dibesar-besarkan, deh!" Indri memajukan bibirnya, meledek kakaknya.
"Bukan gitu, De--"
"Bang!" Indri segera memotong ucapan Andra, menatapnya dengan mimik wajah yang serius. "Ibu gak pernah mengharuskanku bisa memasak. Jadi, jangan suruh aku buat nginjek itu dapur. Ok?"
Andra menarik napas, membuangnya cepat. “Hahh, kenapa sulit sekali kamu berdamai dengan mereka, Dek?” Andra tak bisa memaksa lagi, percuma. Indri akan menjadi keras kepala jika semakin dipaksa.
Andra dan Indri kini tengah duduk di sofa panjang dalam kamar, menatap taman samping rumah yang hanya dibatasi oleh balkon, dan kaca sebagai pemisah. Bunga, serta tanaman hias lainnya adalah hasil kerja ibunya–Ratu.
Ayah mereka sudah lama meninggal karena sebuah penyakit yang dideritanya cukup lama. Saat itu, mereka sangat terpukul atas kematian sosok kepala keluarga yang selalu mengayomi. Ibunya menangis histeris, bahkan sampai berkali-kali pingsan.
Andra juga kehilangan, tapi sebisa mungkin bersikap tegar. Ia adalah sosok pengganti sang ayah dan tidak boleh terlalu larut dalam kehilangan. Pria itu harus menjadi sandaran ibu serta adiknya.
Keluarga mereka memang bukan termasuk dalam kategori orang kaya, jadi mereka harus bisa mencari uang dengan kerja keras. Andra yang tadinya bekerja di sebuah bank milik negara, memutuskan mengundurkan diri dan berwirausaha.
Walaupun sempat mengalami kegagalan, Andra tidak pernah putus asa. Ia yang mendapat dukungan dari keluarga, memutuskan untuk bangkit dan berjuang kembali.
Setelah perjuangan yang cukup lama, kini Andra mempunyai brand baju sendiri khusus buat baju cowo, ia kini memiliki sebuah toko baju yang ada di sebuah ruko dekat dengan Mall. Ia juga telah membuka lapangan pekerjaan buat para orang yang membutuhkan.
Tiba-tiba, aroma kopi menyeruak masuk ke dalam kamar Andra hingga membuat mereka saling menatap.
"Kayaknya, Ibu punya banyak cemilan, Bang?" Indri menyeringai sambil menaik turunkan kedua alisnya.
Andra menghela napas keras. "Jangan bilang lagi!" Ia langsung memijit pelipisnya.
“Daripada penasaran, kita cek langsung, Bang!” katanya antusias. Indri langsung beringsut keluar kamar, disusul Andra di belakang. Kakak-beradik itu tampak memiliki ekspresi yang berbeda. Si adik yang semangat, bahkan sangat antusias, sementara sang kakak pasrah.
“Bu,” tegur Indri saat mereka tiba di ruang makan.
Ratu yang sedang menyeduh teh sambil membaca pesan WhatsApp dari ibu-ibu arisan segera menoleh. Bibirnya melengkung indah melihat kedua anaknya datang menghampiri. “Morning, Sayang,” sapanya.
Indri dan Andra saling bergantian memeluk dan mencium pipi Ratu. Raut penuh kasih jelas tergambar di mata mereka.
“Ibu lagi ngapain?” tanya Indri. Namun, matanya melihat meja makan yang kini sudah berisi beberapa kotak kue, bahkan bingkisan yang masih ada namanya.
Andra melengos saat melihat tatapan serta seringai padanya.
“Dra,” ucap Ratu sambil mengangkat kotak kue ke arah Andra, “Ada perempuan yang datang tadi pagi, terus nganterin kue ini. Katanya, buat kamu.”
Andra duduk di kursi, lalu memijat pelipis. “Kenapa Ibu terima?”
“Ibu udah nolak, tapi dia tetap maksa, Nak.”
Andra menatap adik serta ibunya, memelas. “Bilangin, jangan datang lagi! Udah berapa kali sih aku ngomong?”
Indri yang sedari tadi duduk di dekat kulkas sambil ngemil pastel, langsung berseru, “Kamu itu ya, Bang. Harusnya bersyukur punya muka ganteng, banyak disukai cewek-cewek. Jadi, jangan songong, kek, botol kecap kosong!”
Andra melirik sinis. “Astaga! Sejak kapan botol kecap kosong jadi songong. Lagian, muka cakep Abang kan bukan dosa.”
Indri terkekeh. “Nah, itu tau. Tapi, sikapmu bisa bikin cewek-cewek nyesel lahir ke dunia, Bang, kalau terus ditolak.”
Ratu ikut tertawa kecil. “Mama tuh heran, Nak. Itu cewek-cewek yang suka sama kamu, kalau ditolak bukannya mundur, malah makin semangat datang bawa makanan. Mereka pikir kamu tuh pangeran kutukan yang bakal luluh kalau dikasih donat isi selai kali, yah?”
Andra menyandarkan tubuhnya. “Mereka pikir ini sinetron mungkin. Padahal, aku tuh beneran gak suka sama mereka, bukan lagi jual mahal.”
Ratu mengangkat satu alis. “Kadang, sikap cowok yang kayak kamu itu yang bikin mereka merasa tertantang dan balik lagi buat deketin kamu.”
Indri menambahkan dengan mulut penuh pastel, “Kayak si Citra dulu, tuh. Inget nggak, Bu, Bang? Dia sampai bawa kucing dan bilang namanya Wijaya Junior. Mana kucingnya dikalungin liontin tulisan ‘calon mantu Ibu Ratu’.”
Ratu terkekeh geli. “Ya ampun, iya! Ibu sampai takut kucingnya dikasih surat cinta juga.”
Andra menutup wajah dengan tangan. “Makanya aku ogah pacaran. Drama semua. Belum nemu yang waras.”
Indri menatapnya tajam. “Apa jangan-jangan, standar Abang tuh terlalu tinggi? Atau, Abang terlalu takut baper?”
“Bukan takut baper.” Andra menatap adiknya. “Aku cuma belum ketemu yang bisa bikin aku berhenti pengen pulang cepat dari setiap obrolan.”
Ratu mengangguk-angguk setuju. “Jadi, maumu cewek yang diem, kalem, bajunya sopan, nggak cerewet, gak ngedip-ngedipin mata, dan gak pakai dress ketat?”
Andra terdiam sejenak. “Idealnya, ya. Minimal bukan tipe yang muncul di tengah keramaian dengan niat menarik semua mata.”
Indri langsung duduk tegak, matanya menyipit. “Bang, kamu habis liat siapa?”
Andra berdiri sambil mengambil cangkir kopi. “Nggak. Cuma teori aja.”
Ratu dan Indri saling pandang, keduanya tersenyum penuh curiga. Mereka hafal betul Andra seperti apa.
“Fix,” gumam Indri. “Ada cewek yang udah mulai masuk radar, tapi si robot dingin belum mau ngaku.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!