NovelToon NovelToon

CEO Belok Kesayangan Ibu Dokter

Juwita

Dari baris ke tiga belas, deret ke empat seorang gadis dengan baju serba putih, di lengkapi dengan kerudung putih juga. Gadis itu mengusap lembut batu nisan dengan menitikan air mata.

Wanita itu menumpahkan lelahnya, dan keluh kesahnya. Serta kerinduan kepada orang yang telah bersemayam di sana.

"Ayah ini Juwita, Juwita rindu dengan ayah. Ayah ingat janji kita? Kalau Juwita sudah sukses kita akan ke India, melihat pemandangan bersejarah."

Gadis itu terus bermonolog, sembari membingkai salah sudut batu nisan tersebut. Hari ini adalah hari di mana hari berkabung untuknya, sudah genap delapan tahun semenjak ayah nya meninggal dunia.

Saat itu dunia Juwita hancur, luluh lanta, ketika dirinya mendengar kabar tersebut. Dirinya seakan hidup sebatang kara. Ibunya? Wanita itu telah bahagia dengan keluarga nya. Wanita yang tak pernah memberi kasih sayang, wanita yang mengukir luka sejak ia masih berumur enam tahun.

Wanita yang harusnya menjadi guru pertama untuknya, memberikan sekelebat rasa kecewa. Wanita itu berselingkuh dengan mantan kekasihnya, ketika usaha ayahnya menurun akibat kebakaran.

Ibunya meninggalkan mereka dan memilih hidup bergelimang harta dengan mantan pacarnya. Ayahnya adalah laki laki sejati, yang memiliki cinta luar biasa. Rela melepaskan wanita yang di cintai nya, agar wanita itu bahagia.

Ibunya pergi meninggalkannya dan ayahnya di Manado. Ibunya pergi ke kota kelahirannya, hanya demi untuk hidup bahagia dengan mantan kekasihnya. Saat mereka merantau ke Jakarta, Juwita bertemu ibunya. Saat itu umurnya menginjak sepuluh tahun.

Gadis kecil yang sangat merindukan ibunya, berlari dengan mata yang berbinar, saat itu ayah Juwita masih menjadi supir pribadi dari kakek Rio. Juwita berlari menuju ke arah wanita yang, tengah menggendong seorang anak kecil yang tampaknya berusia tiga tahun. Ya itu adalah anak dari ibunya.

"Ibu," teriak Juwita dari sebrang jalan, mengejar wanita yang tengah akan menaiki sedan mewah.

Wanita itu hanya melihat sekilas ke arah Juwita, kemudian kembali membuka pintu mobil tersebut.

"Ibu ini Juwita, anak ibu," Juwita masih mengira ibunya lupa, karena lama tak bertemu. Gadis lugu itu masih mengharapkan kasih sayang dari ibunya yang egois. Demi harta, dan kedudukan rela meninggalkan dirinya dan suaminya.

"Hei kau siapa?" Tanya wanita itu, segera memasukkan anak kecil tersebut ke dalam mobil.

"Ibu ini Juwita, ini kita. Juwita selalu bawa foto ibu sama Juwita," gadis kecil itu memberikan selembaran foto ke arah wanita itu.

Seketika wanita itu menegang, raut wajahnya tak terbaca, namun sikapnya tenang seolah tak mengenal anak yang telah ia lahikan sepuluh tahun lalu.

"Sayang, Weni dia siapa?" Wanita itu seketika menoleh memandang ke arah sumber suara.

"Entahlah, aku tak mengenalinya," katanya merogoh dompetnya, dan mengambil beberapa lembar uang dan menghamburkannya di hadapan Juwita. "Ini yang kau mau kan?"

Juwita terbelalak dengan keangkuhan wanita itu, air mata Juwita terjatuh. Ibunya berubah, tidak ibunya pasti lupa dengan dirinya. Iya, pasti begitu. Batin gadis polos tersebut. Namun kata berikutnya berhasil membuat hati Juwita teriris.

"Dengarkan aku baik baik, aku hanya punya satu anak, kita tidak saling mengenal, ingat sekalipun kau anak 'ku, aku akan membuang mu, aku tak sudi memiliki anak seperti mu, lusuh dan jelek," telak kata kata itu menghunus langsung bersarang di relung hati Juwita.

Dirinya lusuh, jelek, dan ibunya tidak mengakuinya. Bahkan akan membuangnya. Bukankah ini merupakan luka yang teramat berat untuk seorang anak berusia sepuluh tahun? Bahkan ibunya yang mengatakannya.

Juwita tersadar ketika mobil tersebut telah beranjak menjauh dari tempatnya, Juwita mencoba mengejar. Namun kaki mungilnya tak mampu mengejar mobil sedan mewah tersebut. Juwita terjatuh, beberapa orang memandangnya iba.

"Ibu, ini Juwita, ibu Juwita rindu, ibu Juwita sayang ibu," itulah kata kata yang keluar dari bibir gadis mungil tersebut, sendalnya tertinggal entah di mana, kakinya lecet terdapat dara di beberapa tempat. Beberapa wanita menghampirinya, hendak menolongnya, Juwita segera di bawa ke pinggir jalan, untuk di obati lukanya.

Beberapa orang mengeluarkan sumpah serapah kepada ibu yang meninggalkan gadis tersebut, beberapa berdoa agar gadis mungil tersebut mendapat mendapatkan kebahagiaan, di kemudian hari.

Sebuah mobil berhenti tepat di tempat kerumunan, itu adalah ayah dari Juwita, laki laki itu turun dari mobil yang tak kalah mewah. Ya, itu adalah mobil dari kakek Rio, tuannya.

Kakek Rio turun bersamaan dengan ayah Juwita. Mereka menghampiri Juwita, gadis itu menangis tersedu sedu meratapi nasibnya, yang tak memiliki ibu. Ayah Juwita teriris melihat hal itu, lagi lagi laki laki itu menyalahkan ketidak mempan dirinya menjaga keluarga. Kakek Rio yang tahu tentang masa lalu ayah Juwita, segera memegang pundaknya.

"Ayo bawa cucuku, kita harus pulang ke rumah," kakek Rio membuat ayah Juwita terharu dengan pengakuan tersebut, secara langsung kakek Rio mengakui bahwa Juwita adalah cucu darinya.

Semua orang terkejut, ternyata gadis yang mengejar ibunya adalah anak dari konglom rat, yang bisnisnya telah menjulang tinggi. Mereka hanya mampu berbisik, tentang wanita yang tak tahu malu, sehingga meninggalkan anaknya sendiri, yang ternyata cucu dari seorang Rio Winata.

"Ayah, tadi Juwita lihat ibu, tapi dia malah melemparkan uang pada Juwita," Juwita mengadu membuat hati ayahnya semakin terkikis, seandainya dulu usahanya tidak terbakar mungkin Juwita tidak akan semenderita ini. "Ibu bilang Juwita lusuh, jelek, kalau ibu punya anak seperti Juwita, Juwita akan di buang."

Lagi lagi keluhannya membuat sudut mata ayahnya mengalir, kakek Rio geram mendengarkannya, kakek Rio tak suka cucunya di permalukan. Meskipun baru bertemu Juwita kakek Rio sudah menyayangi Juwita seperti cucunya sendiri, Aliya. Usia mereka hanya selisih satu tahun, namun tumbuh kembang Aliya yang memang lebih baik, membuatnya lebih tinggi dari Juwita.

Juwita terus menangis menceritakan rasa perih di hatinya, hingga luka fisiknya saja tak iya rasakan, lama Juwita menangis hingga tertidur.

"Ayah lihatlah putri kecil ayah, Juwita sudah berhasil, Juwita sudah menjadi sukses yah, sudah menjadi dokter, sudah banyak menyembuhkan penyakit pasiennya," Juwita kembali bermonolok memandang pusara ayahnya. "Kata Al, Juwita cantik, cuman jutek sama cerewet, apa dia tidak sadar diri ya? Kalau dia juga cerewet."

"Yah, Juwita bangga jadi anak dari superhero seperti ayah, yang di Marvel lewat yah. Nanti kalau uang Juwita terkumpul, Juwita mau mewujudkan impian kita. Ayah katanya di India sekarang ada fasilitas naik kereta, Maharaja’s Express dari India, katanya sekarang kereta itu merupakan kereta terbaik."

Juwita kembali menangis mengingat kisah masa kecilnya. Air matanya kembali menetes kala mengingat perlakuan ibunya. Tak ingin berlama lama larut dalam kesedihan, Juwita segera mengecup pusara terakhir dari ayahnya, dan melafalkan doa, kemudian berdiri dan meninggalkan pusara tersebut, dengan senyuman dan air mata.

Brayen

Brayen Lyansi, merupakan laki laki tampan asal Amerika, meski belum resmi menjadi warga negara Indonesia, namun dirinya menetap di Indonesia. Pekerjaannya berpusat di sini, dan ia cinta negara ini. Mencintai keramahan mereka, yang mudah tersenyum, dan budaya yang kaya. Lelaki itu mencintai perbedaan yang beragam, namun entah lah, perbedaan nya di anggap tabu. Lebih tepatnya cintanya.

Sebenarnya tak ada yang salah dari cinta, namun kepada siapa cinta itu berlabu, apakah kepada orang yang tepat atau bukan. Atau mungkin saja cinta itu berlabuh kepada si pembuat luka.

Disinah brayen berada saat ini, cintanya yang dulu membawa bahagia, kini memberinya luka. Entahlah, mungkin ini karenanya yang mencintai perbedaan, sehingga tak menyadari kesalahan dari perbedaannya. Laki laki itu berkali kali menghela nafasnya, memandang langit malam. Tampak begitu indah, di tambah dengan indahnya kota Jakarta ketika malam hari. Lampu lampu jalanan menyala dengan terang, seolah menunjukkan kemewahan dan keindahan, dari kota Jakarta yang disajikan.

Pemandangan indah itu tak mampu membuatnya tenang, padahal dulu ketika ia merasa gelisah, maka pemandangan malam lah yang membuatnya tenang. Namun kali ini berbeda, tak langit malam, dan tak lampu jalanan yang indah. Semua seolah hanya pemandangan hampa.

Pikiran Brayen terus mengawang mengingat semua perkataan dari Chandra. Bayangan laki laki itu terus melayang di pikirannya. Seolah berlari lari, dan tak akan pernah bisa keluar, laki laki tampan itu segera mengguyar rambutnya, seolah menghilangkan bayangan nakal di pikirannya. Namun bayangan itu semakin nyata, membentuk sebuah ingatan indah uang mereka bentuk, namun ingatan indah itu pun di ikuti dengan kenyataan pahit, yang membentang di hadapannya.

Flashback.

"Kamu sayang beneran sama dia, atau hanya sekedar agar kamu sembuh?" Brayen memandang Chandra dengan seksama, berharap apa yang akan di katakan oleh Chandra memberinya sedikit harapan. Hanya saja jika Chandra memang tak suka lagi kepadanya maka ia harus menerimanya dengan lapang dada, berharap ini lah yang terbaik, namun Brayen tetaplah Brayen, yang butuh kepastian.

"Kalau gue sudah berani melangkah sejauh ini perlukah di pertanyakan?" Chandra tersenyum ke arah Brayen.

Laki laki itu tersenyum kecut, panggilan yang di sematkan oleh Chandra kini berubah. Jika dulu aku kamu, namun kini lo gue. Seolah menegaskan bahwa Chandra telah melupakan hubungan mereka, dan siap menjalankan hubungannya dengan wanita yang di cintai nya, Aliya.

Ya, jawaban ini yang akan paling membuat Brayen sakit, namun juga akan membuat Brayen tegar bahwa cinta Chandra tak ada lagi untuknya. Bukankah Brayen telah berjanji pada dirinya sendiri untuk kuat? Apalagi jika harus menerima kenyataan ini.

Flashback end.

Brayen entah keberapa kalinya menghela nafas, ia tak tahu harus bagaiman, mengadu kepada siapa. Ia hidup sebatang kara di Indonesia, saudara angkatnya entah kemana, hingga kini menjadi buronan. Kedua laki laki yang telah di anggapnya menjadi orang tua juga telah meninggal. Hidupnya kini kembali sendiri, di liputi gemerlapnya kemewahan, dan harta tak mampu membuatnya bahagia.

Hanya senyum palsu yang ia jadikan topeng. Brayen kembali menyesap wine yang tersedia di lemari pendingin miliknya. Lagi lagi dirinya harus kembali di temani oleh wine ini di hari patah hatinya. Yah, wine sebagai teman sejatinya, yang tak akan meninggalkannya kala ia dalam keadaan sedih.

Pandnagan mata Brayen meneliti ke setiap sudut kota yang tampak di kaca besar miliknya. Pandangan ya tiba tiba tertuju kepada sebuah gedung yang cukup dekat dengan gedung apartemennya. Gedung bercat putih biru dengan lambang tambah di gedungnya. Tidak salah lagi itu rumah sakit mewah, rumah sakit tempatnya para orang orang yang sekelas dengannya.

Brayen tiba tiba teringat kartu nama yang di berikan Chandra, Brayen menghela nafas, wanita ini yang membuatnya seperti ini. Namun bukan kah hati bukan tergantung orang lain? Hati di atur oleh diri sendiri.

Ya, Brayen tak pernah percaya akan hati di atur oleh Tuhan. Ia tak memiliki tuhan, bahkan di catatan sipil warga negara Amerika saja dirinya tercatat tak beragama. Orang tuanya ateis, dirinya tak pernah di baptis, apalagi di sunat seperti hal nya yang orang muslim lakukan. Dirinya tak beragama, tak punya pegangan. Tiba tiba ada rasa ingin mengadu kepada orang atau apa saja, tapi ia tak tahu kepada siapa.

Hanya dirinya yang ia percaya, dulu Chandra namun lelaki yang di cintai nya juga telah memilih meninggalkan. Kini tak ada lagi yang bisa ia percaya, hanya dirinya. Ya, hanya dirinya yang tak akan pernah melukai dirinya sendiri.

Brayen segera mengeluarkan kartu nama yang di berikan Chandra, mungkin untuk terakhir kalinya, Brayen membolak baliknya. Brayen menghela nafas, Brayen membaca kembali nama dokter tersebut.

"Juwita," gumam Brayen meletakkan selembar kartu nama tersebut di atas meja samping botol wine yang telah habis.

Brayen kembali melangkah menuju lemari pendinginnya, demi kembali menyesap wine miliknya. Menenangkan pikiran, dan mengalihkan pikirannya sesaat. Meskipun besok akan mengingat nya kembali.

"Chandra," Brayen bergumam ketika botol ketiga telah habis. Lelaki itu terus memandang langit yang sudah tak ditaburi bintang. Cahaya bintang redup oleh temaram lampu malam kota, begitupun hatinya. Hatinya seolah kebas ketika mengingat semua kisahnya.

"Apa aku harus merelakan kalian bahagia? Agh... Aku tak rela," Brayen kembali mengguyur rambutnya yang sudah tak beraturan.

Ingatan Brayen terus melayang ke mengingat kata kata Chandra, yang kini hanya menganggap nya teman baik. Brayen berdecak frustasi, laki laki itu berjalan ke arah naklas, menarik laci kecil, di mana terdapat album fotonya bersama Chandra. Kebersamaan yang akan di rindukannya, namun jika tidak mengakhiri, maka dia sendiri yang akan tersiksa.

Brayen membuka setiap lembaran, kemudian mengusap setiap lembaran foto yang mereka ambil, saat bersama di beberapa tempat. Mereka memang tidak pernah berlibur bersama, namun beberapa hal kerja sama perusahaan mereka, membuat mereka memiliki banyak waktu bersama. Sebelum akhirnya hubungan mereka terhendus oleh tuan Omer dan nyonya Mona.

Kebersamaan mereka semakin berkurang, ketika tuan Omer memperketat segala aktivitas Chandra, hingga memaksa lelaki itu untuk berobat. Dan benar saja kini Chandra sudah menyukai seorang gadis.

Apa ini penyakit? Tapi kami di sana bukan penyakit, ini bukan kelainan, ini hanya perbedaan. Kenapa semua orang di sini mengatakan nya penyakit? Brayen bergumam memandangi foto Chandra dan dirinya.

Brayen memandang kembali lampu jalanan yang tampaknya perlahan redup, seredup hatinya yang kini telah nelangsa. "Cinta? Apa hanya untuk mereka yang normal?"

Brayen segera meraih tabung kecil dari besi, kemudian menghidupkan korek api, dan mulai membakar setiap foto kebersamaan mereka. "Selamat tinggal."

Awal pertemuan

Alaram kencang membangunkan Brayen dari tidur nya, seketika Brayen terduduk, dan mendongakkan kepalanya ke sandaran kasur. Kepalanya masih saja berpura akibat dari sisa mabuknya semalam. Brayen segera berdiri, dan berjalan menuju kamar mandi.

Langkahnya terhenti, ketika melihat kartu nama yang di berikan Chandra kemarin, kartu itu terletak di antara botol botol yang ia minum semalam. Brayen segera berjalan ke arah botol tersebut. Kemudian mencomot kartu nama tersebut. Brayen meletakkannya ke atas naklas, dan melanjutkan niat awalnya ke kamar mandi.

Setelah mandi Brayen segera mengenakan stelan formal, dengan jas hitam yang melengkapi penampilannya. Sungguh mampu membuat para kaum hawa jatuh cinta, hanya dalam pandangan pertama. Laki laki bule itu melangkah meninggalkan unit apartemen nya, untuk kembali ke aktifitasnya. Memasang topeng senyum di wajah nya, dengan sebuah lesum pipi di sebelah kanan, semakin menambah kadar ketampanannya.

Brayen terburu buru ke kantornya, karena pagi ini ada rapat di kantornya, bersama kliennya. Namun karena terburu buru, dirinya hampir menabrak sebuah mobil putih, mobil itu cukup mewah untuk seorang dokter.

Ya, Brayen dapat menebak pengemudi itu adalah seorang dokter. Stelan jas putih, dengan lambang salah satu rumah sakit melekat di dada wanita itu. Chandra membunyikan klakson, dan menurunkan sedikit kaca mobilnya. Meminta maaf atas tindakannya.

Wanita itu tampak tak perduli, karena dirinya juga tampak terburu buru. Wanita itu hanya mengangguk, dan membunyikan klakson mobil, sama seperti yang dilakukan oleh Brayen.

"Uh untung tu mister bule ga marah," umpat wanita itu merutuki kebo*dohannya, karena bangun terlambat hari ini. "Agh... Juwita ayo cepat pasien mu sebentar lagi akan berdatangan."

Brayen baru saja melakukan meeting bersama seorang klien, segera kembali ke dalam ruangannya. "Saya tidak ingin di ganggu hari ini, kalau ada klien penting baru temui saya," ucap Brayen kepada sekertarisnya.

"Iya tuan," wanita itu mengangguk mengerti.

Brayen saat ini tengah termenung di kantornya melihat kartu nama Juwita, seseorang yang membuat mantan pacarnya itu berubah. Brayen menghela nafas panjang dan memandang secara seksama. Brayen sedikit penasaran bagaiman dokter itu dapat merubah Chandra secara drastis? Apa dokter itu semacam melakukan terapi atau apalah itu namanya? Brayen segera mengambil telfon di atas mejanya, dan menelfon seseorang.

"Kosongkan jadwalku hari ini," Brayen segera menutup telfonnya tampa menunggu jawaban dari sebrang sana. Brayen sudah tahu orang yang di sebrang sana pasti akan mematuhi keinginannya, karena di jaman sekarang ini pasti sangat sulit untuk menemukan pekerjaan.

"Enaka sekali jadi bos, perintah sana perintah sini. Kita yang hanya sebatas bawahan harus bersabar, mengatur ulang jadwal. Apa dia fikir berbicara sama klien sombong itu enak apa," gerutu asisten Brayen, kesal karena bosnya seenaknya saja mengosongkan jadwal.

Brayen kembali menghela nafasnya, memutuskan untuk mondar mandir di dalam ruangannya. Cukup lama Brayen berfikir, akhirnya Brayen memutuskan sesuatu, Brayen menyambar jasnya, dan kembali menelfon seseorang. Sedikit lama telfon itu berdering barulah di angkat oleh si penerima telfon.

"Halo apa benar ini dengan dokter Juwita?" Brayen segera berbicara setelah telfonnya di pastikan di angkat.

"Iya ada yang bisa saya bantu?" Juwita terdengar menjawabnya dengan santai namun sedikit tegas.

"Ah bisa saya membuat janji dengan anda?" Brayen sedikit harap harap cemas di buatnya.

"Kapan kira kira?" Juwita kembali bertanya di ujung sana, tak ada nada basa basi di ujung sana, tampak nya dokter tersebut tengah sibuk.

"Siang ini bisa?" Brayen sedikit mengusap tengkuk lehernya.

"Baiklah atas dasar permasalah apa?" Brayen sedikit risih saat hendak menjawab pertanyaan ini, rasanya pertanyaan ini masih terlalu frontal untuknya.

"Hm, saya ingin berobat," dengan sudah payah Brayen menjawabnya, sejujurnya ada sedikit rasa malu saat mengatakan hal tersebut.

"Baik lah, langsung saja saya kirimkan alamat saya nanti, anda bisa langsung ke rumah saya," Juwita sepertinya tahu sesuatu dari nada bicara Brayen, sehingga menawarkan untuk bertemu saja di rumahnya. Hal tersebut membuat Brayen bernafas lega, karena ia tak perlu pusing pusing dalam hal sesi berbicara dan curhat kepada Juwita.

"Baiklah terimakasih, maaf mengganggu waktu anda," Brayen sedikit tersenyum ketika mengatakan hal tersebut.

"Baiklah sampai jumpa," Juwita segera menutup panggilan telfonnya di ujung sana, membuat Brayen menghembuskan nafas kasarnya.

"Terdengar tegas dan cuek juga tu dokter, to the point," gumam Brayen sedikit memijat kepalanya. "Aku penasaran bagaiman penjelasan dokter itu tentang diriku."

Sementara Juwita yang baru saja menutup telfonnya tersenyum, tampaknya dirinya tahun ini akan benar benar mengambil cutinya, karena tampaknya uang untuk berlibur di tempat impian dengan almarhum ayah nya hampir terkumpul. Dengan adanya pasien pribadi, akan menambah pemasukan lebih banyak, karena itu Juwita lebih suka membuka praktek pribadi, dengan menghadapi secara langsung tanpa perantara pihak rumah sakit.

Juwita segera meminta suster untuk memanggil pasien selanjutnya, kali ini Juwita sangat bersemangat. "Ayah Juwita akan ke tempat impian kita, tak lama lagi yah."

Kebetulan sekali hari ini Juwita hanya sampai siang hari, karena sore harinya Juwita memang akan menemui kakek Rio, untuk bertegur sapa. Sudah lama dirinya tidak menemui kakek kesayangannya itu. Namun tampaknya ia harus menunda dahulu, karena ada pasien yang ingin bertemu dengannya.

......................

Brayen saat ini telah datang ke tempat alamat yang telah di kirim oleh Juwita, Brayen segera memarkirkan kendaraannya, di dalam pagar Juwita. Di sambut oleh asisten rumah tangga Juwita.

"Selamat siang pak, silahkan duduk, apa yang di keluhkan?" Juwita segera mempersilahkan Brayen untuk duduk di sofa ruang tamu miliknya.

"Saya sebenarnya ingin bertanya, apakah penyimpangan seksual itu termasuk penyakit?" Brayen segera bertanya, tak ingin omongan mereka belok ke sana ke mari, karena terlalu banyak barbasa basi.

"Benar pak, karena pada nalurinya seseorang akan tertarik kepada lawan jenisnya," Juwita sedikit tersenyum, dari gelagatnya tampaknya laki laki ini penyandang penyimpanan seksual.

"Jadi?" Brayen ingin di perjelas lagi penjelasan dari Juwita. Menurutnya itu tidak mungkin, sejak kecil ia sudah terbiasa melihat hal seperti ini.

"Jadi itu termasuk penyakit yang bisa di sembuhkan jika pasiennya bersedia, sementara penyebabnya itu banyak, seperti pergaulan, lingkungan, trauma dan banyak lagi. Jadi bapak kenapa? Apa yang menyebabkan bapak seperti ini?" Juwita segera bertanya, meski Brayen tak memberitahunya secara gamblang, namun Juwita sudah cukup mengerti dengan hal tersebut, Juwita dapat melihatnya dari gerak gerik Brayen.

Brayen mengerutkan keningnya, dirinya kagum bahwa dokter di hadapannya ini dapat menebak keadaannya. Padahal sejak tadi dialah yang membentuk pembicaraan ke arah tersebut. Dan Juwita tentu saja dapat mengerti arah pembicaraan mereka, terlebih mereka baru kenal, dan tentu saja mereka tidak datang untuk bergosip.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!