Bab 1
Tak terasa sudah enam bulan aku bekerja disini sebagai ART sepasang suami istri yang sudah agak berumur lanjut. Rumah mewah dan besar ini milik tuan besar Victorio Adiwijaya dan istrinya nyonya Elisabeth Adiwijaya.
Tuan dan nyonya Adiwijaya ini adalah salah satu pengusaha tersukses, dan paling berpengaruh di setiap negara bagian asia tenggara.
Harta mereka pasti tak akan habis selama tujuh turunan.
Cabang perusahaan mereka tersebar di mana-mana. Sehingga kemana pun mereka pergi mereka akan selalu mendapatkan kemudahan.
Kedua majikanku, tak seperti orang-orang kaya pada umumnya. Yang begitu sombong akan kekayaan mereka.
Walau pun mereka kaya raya, mereka tak pernah berlaku tak adil pada para pengurus rumah tangga ini.
Tapi sayangnya, mereka hanya tinggal berdua di rumah mewah ini.
Rumah mewah dan sebesar ini bukan hanya aku saja disini tapi ada beberapa juga pekerja yang melakukan pekerjaannya masing-masing. Terlalu besar untuk mengerjakan pekerjaan rumah ini sendirian.
Tapi anehnya setiap enam bulan sekali, majikan kami mengganti salah satu pekerja disini. Entah aku tidak tau apa alasan pastinya. Dan semuanya adalah pekerja perempuan.
Yang jelas ini sudah terjadi bertahun-tahun sebelum aku datang dan bekerja dalam rumah ini.
Inilah yang menjadi pikiranku belakangan ini, sudah enam bulan aku bekerja disini apakah aku juga akan dipecat?
Mengingat aku sudah betah bekerja disini. Dan aku hanya mempunyai kemampuan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Selain itu gaji ku disini yang semuanya ku kirimkan pada bapak dan ibu di kampung. Aku rutin mengirimkan uang hasil keringatku pada mereka setiap bulan.
Dengan uang itu bapak tidak usah bekerja serabutan lagi. Uang yang ku kirim cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Dan aku berharap suatu hari nanti aku dapat mengumpulkan uang yang lebih banyak lagi. Agar aku dapat membuka usaha kecil-kecilan di rumah.
Apalagi bapak sudah tua dan sering sakit-sakitan, membuat mereka benar -benar bergantung pada hasil pekerjaanku.
Bapak juga butuh uang lebih untuk sering mengontrol penyakitnya ke puskesmas terdekat di kampung kami.
Ibu pun sudah tua, tak mungkin untuk bekerja keras lagi. Sehingga aku meminta mereka untuk diam di dalam rumah saja.
Sedang kebutuhan makan dan tidur kami semua pekerja dalam rumah ini yang berjumlah enam belas orang disediakan oleh majikan kami ini yang sungguh sangat baik.
Mereka tidak menganggap kami sebagai pekerjanya, namun menjadikan kami sebagai bagian dari keluarganya.
Pekerjaanku di rumah ini sungguh sangat menyenangkan. Kedua majikanku sangat memperhatikan keadaan kami. Membuat kami semakin betah bekerja di sini.
Apalagi kalau salah satu pekerja disini sakit, pasti segera akan dipanggil dokter keluarga ini. Sehingga kami merasa diistimewakan.
"Mala, kamu dipanggil sama nyonya besar di kamar utama, tolong secepatnya kamu temui yah". Temanku mbak Ningsih datang membuyarkan lamunanku.
"Iya mbak Ningsih aku akan segera ke atas."
Karena umurnya lebih tua dariku aku memanggilnya dengan sebutan mbak Ningsih agar terdengar sopan padanya.
Selain lebih tua dariku, mbak Ningsih parasnya juga sangat cantik.
Kulit wajah dan tubuhnya yang putih mulus. Kadang membuatku berpikir kalau mbak Ningsih cocoknya jadi pemain sinetron yang di tv-tv itu.
Bukan pada mbak Ningsih tapi juga pada teman- temanku yang lebih tua aku akan memanggilnya dengan sopan.
Selama aku bekerja disini aku sungguh sangat senang berteman dengan mbak Ningsih, selain menjadi teman sekamarku ia selalu mendukungku dalam keadaan apapun.
Ia sudah ku anggap seperti saudaraku sendiri. Segera aku beranjak, menaiki tangga dan menuju lantai atas, ada kamar utama dimana nyonya besar sedang menungguku.
"Mala, tolong kamu bereskan semua barang-barang di kamar ini, ada banyak barang yang sudah tak terpakai aku ingin membuangnya, dan rencananya barang-barang yang masih bagus aku ingin memindahkannya di gudang belakang saja. Dan pakaian yang masih layak bisa kita sumbangkan ke panti asuhan saja.
"Dan tolong perhatikan baik-baik juga barang-barang terkecilnya pun jangan kau lewatkan."
Ada penekanan dalam kata-kata nyonya besar pada kalimat terakhirnya itu.
"Baik nyonya, akan saya bereskan."
Meskipun umurnya sudah lanjut, akan tetapi nyoya besar tidak pernah berkata kasar pada kami pekerja dalam rumahnya.
Menurut pekerjanya yang dahulu tuan dan nyonya besar mempunyai anak tunggal pewaris harta kekayaan mereka.
Mereka memiliki perusahaan terbesar di asia tenggara yang bergerak di bidang di otomotif.
Namun sayang anak tunggalnya tewas bersama istri tercintanya dalam sebuah kecelakaan tunggal. Meninggalkan dua anaknya yang seorang perempuan dan seorang lagi adiknya laki-laki.
Sampai sekarang cucu-cucu nyonya besar sedang berada diluar negri melanjutkan studi nya.Dan menurut nyonya besar aman bagi cucu-cucunya berada di luar negri, karena sepertinya ada pihak lain yang ingin menghancurkan keluarganya.
Sambil ku bereskan kamar yang berantakan ini, aku mulai memilah barang-barang yang masih bisa terpakai dan tidak terpakai.
Dimulai dari lemari pakaian yang besar ini, aku mengeluarkan semua isinya dan mengelap semua debu-debu di dalamnya. Sementara pakaian yang tak terpakai di dalamnya kumasukkan dalam kardus besar yang sudah disiapkan.
Setelah itu ada beberapa koper yang harus aku keluarkan dari dalam lemari ini, aku ingat kata nyonya besar tadi jangan sampai terlewatkan bahkan pada barang-barang sekecil apapun itu.
Tidak ada yang menarik, dalam semua koper yang aku periksa semuanya hanya berisikan pakaian- pakaian lama yang sudah tak terpakai lagi.
Tapi, tunggu dulu...apa ini aku merogoh dalam saku tas kecil yang teronggok dalam tas ada banyak kertas -kertas di dalamnya.
Sayangnya aku tidak bisa membaca apa isinya. Iyah namaku Mala Kurniati walaupun umurku sudah 19 tahun saat ini aku tidak bisa membaca dan menulis.
Bukan karena aku bodoh tapi keadaan lah yang membuat kedua orang tuaku tak bisa memasukkan aku ke sekolah dulu di kampung halamanku.
Jangankan mempunyai biaya untuk bersekolah untuk makan sehari-hari pun kami mengandalkan bapak yang bekerja.
Maka dari itu aku lebih memilih mencari pekerjaan di kota sekalipun harus menjadi pembantu, asalkan pekerjaannya halal dan tidak membebani siapapun, aku akan melakukannya.
Dan buku kecil di tanganku, buku apa ini aku tidak mengerti seingatku buku mirip sekali dengan buku tabungan punya mbak Ningsih.
Karena mbak Ningsih pernah menunjukkan padaku kalau ia sedang menabung uang di bank dan ada diberikan buku seperti ini dan di dalam bukunya juga ada kartu berbentuk seperti KTP punyaku.
"Mungkin saja buku ini penting, nanti aku akan menyerahkannya pada nyonya siapa tahu ini juga miliknya yang tak boleh dibuang" Gumam ku dalam hati.
"Sekali pun akan dibuang oleh nyonya toh apa salahnya kalau aku menunjukkan padanya."
"Biarkan nyonya besar melihat-lihat dulu semua barang-barang ini.
Sehingga aku tidak gegabah untuk membuang sesuatu dari tempat ini, pikirku.
"Sudah kamu kerjakan perintah nyonya besar yah?" Mbak Ningsih yang lagi menyetrika pakaian bertanya padaku yang baru saja turun dari lantai atas.
"Sudah mbak, tinggal memindahkan barang barang yang sudah tak bisa terpakai lagi ke gudang, dan mengantar kardus-kardus berisikan pakaian yang tak terpakai untuk disumbangkan ke panti asuhan."
Biar nanti Pak Parman yang akan mengantarkan barang-barangnya ke panti asuhan.
Begitu perintah nyonya besar tadi padaku. Pakaian-pakaian yang ada di dalam lemari tadi masih bagus-bagus dan layak di pakai. Mungkin pakaian bekas dari anak kedua majikan ku ini.
Hati mereka yang sungguh sangat baik, selalu rutin memberikan sumbangan ke panti asuhan atau tempat-tempat yang membutuhkan bantuan dan semacamnya itu. Iya nyonya besar sering juga menjadi donatur di beberapa panti asuhan di kota ini.
Pak Parman adalah orang kepercayaan kedua majikan ku. Dialah yang akan mengantarkan semua barang-barang bekas ini ke panti asuhan.
Selain menjadi sopir pribadi, pak Parman juga yang mengurus segala urusan para pekerja di rumah mewah ini. Segala kebutuhan dan keluhan para karyawan selalu melalui pak Parman. Dan dengan senang hati dia mau membantu menyelesaikan masalah kami.
"Aku pikir pekerjaanmu sudah selesai. Kamu dapat menyelesaikan pekerjaanmu dengan baik kan?" Mbak Ningsih juga menjadi kepercayaan nyonya besar dalam menjalani tugas rumah tangga disini. Memastikan kalau setiap pekerjaan yang dilakukan benar-benar tuntas di bersihkan.
Keliatannya raut wajah mbak Ningsih sedang menyelidiki sesuatu dengan pertanyaannya padaku.
" Aku harus menyelesaikan pekerjaanku dulu ya mbak." Aku bergegas kembali ke lantai atas, dan berniat menyelesaikan semua pekerjaanku yang belum beres.
Mbak Ningsih hanya menganggukkan kepalanya dan meneruskan pekerjaannya. Aku berpikir sepertinya aku harus menceritakan pada mbak Ningsih tentang buku kecil ini, siapa tahu dia bisa memberikan jalan keluar padaku.
Tapi aku harus segera menyelesaikan tugasku sampai beres, baru aku akan bertanya pada mbak Ningsih. Tepat satu jam baru pekerjaanku selesai.Aku lalu beranjak masuk kamar dan membersihkan diri, dan kemudian melanjutkan pekerjaanku ke dapur membantu mbak Ningsih memasak makan malam buat kedua majikan kami.
Hanya aku dan mbak Ningsih yang dipercaya kedua majikan ku untuk mengurus dapur dan membuat makanan bagi mereka. Sedangkan pekerja lainnya lebih dikhususkan untuk membersihkan rumah mewah ini luar dan dalam.
Kedua majikan kami tidak pernah mengatur menu apa yang harus mereka makan.Apa pun yang kami sajikan pasti mereka akan menghabiskannya. Dari cerita kedua majikan kami katanya mereka pernah hidup susah dahulu sewaktu mereka masih muda.
Bahkan untuk makan pun kadang mereka harus menghabiskan sepiring nasi berdua, tanpa lauk. Hanya nasi yang dicampur garam. Mereka dahulu, tinggal di desa. Mengelola peternakan sapi perah. Seiring berjalannya waktu, peternakan mereka berkembang pesat.
Suatu ketika, mereka ditawarkan bekerja sama dengan perusahaan sahabatnya di kota. Mereka pun meninggalkan peternakan sapi di desa. Saat mereka bersama memilih menetap di kota. Mengembangkan bisnis dengan bekerja sama dengan sahabatnya.
Dan sekarang, perusahaan mereka berkembang pesat. Sudah banyak anak cabang perusahaan yang mereka bangun, tersebar di seluruh kota besar di negri ini. Peternakan itu saat ini dibiarkan kosong, tak terawat. Aku pernah mendengar mereka berniat untuk kembali ke peternakan. Dan memulai kembali usaha peternakan mereka itu.
Namun peternakan itu jaraknya sangat jauh dari kota. Yang membuat mereka dengan kesibukannya saat ini, belum bisa untuk kembali ke peternakan itu. Kisah mereka selalu mereka ceritakan pada kami para pekerja di rumah ini, dengan maksud kami masih bisa selalu mensyukuri setiap berkat Tuhan setiap harinya. Kami asyik mengobrol hingga masakan untuk majikan kami sudah siap untuk dihidangkan.
"Mala,aku pamit ke kamar duluan yah, sebentar setelah tuan dan nyonya selesai makan malam tolong kamu bereskan sampai selesai, kepalaku sedikit pusing aku ingin beristirahat duluan."
"Iya mbak,tenang saja aku akan membereskan semuanya,mbak istirahat saja dulu."
Pukul 19.00 kedua majikan ku selesai makan, dan beranjak ke kamar atas. Gegas aku menyelesaikan sisa pekerjaanku dan kembali ke kamar tidur.
Ternyata sampai didalam kamar mbak Ningsih belum tidur.
"Mbak Ning,.."
"Hmmm,ada apa Mala?"
"Kepalanya masih sakit yah?"
"Udah agak baikan Mala, abis minum obat tadi."
Sambil mengeluarkan buku kecil dari saku bajuku yang kutemukan tadi, aku menyodorkan pada mbak Ningsih.
"Tadi kutemukan ini, saat aku sedang beres-beres di kamar atas, aku tidak tahu buku apa ini mbak kayaknya penting deh.
Mbak kan tahu aku tidak bisa membaca, aku pikir ini sama kayak buku tabungan punya mbak, jadi aku ingin tanyakan pada mbak Ning, buku ini penting atau tidak."
"Kalau tidak penting biar aku bisa membuangnya juga dengan barang-barang yang tak terpakai lainnya, tapi kalau penting biar bisa aku kembalikan pada Nyonya besar, mbak."
Mbak Ning yang dari tadi mengamati buku kecil itu, tak aku sangka dia membelalakkan matanya..
"Ada apa mbak, apa ada yang salah yah dengan buku itu?" Aku semakin penasaran meminta mbak Ning menjelaskan buku apa itu.
"Mala, ini kayaknya buku tabungan milik nyonya muda dulu, tertulis disini buku ini atas nama Anggraini Adiwijaya, nama anak mantu dari nyonya besar dahulu." Dengan mata berbinar mbak Ningsih menjelaskannya.
"Disini juga ada Kartu ATM nya juga pin nya tertulis di bukunya, dan besar tabungan ini sebesar tiga milyar, kamu bisa kaya mendadak Mala.
"Kalau aku jadi kamu malam ini juga aku akan pergi lalu mencairkan tabungan ini. Pergi menjauh dari rumah ini. Dan hidup bahagia dengan uang sebanyak ini, yang pastinya nggak akan habis tujuh turunan."
"Lagian tuan dan nyonya besar tak akan tahu tentang buku tabungan ini." Lanjutnya antusias berharap aku mau melakukan sesuatu perbuatan yang tidak terpuji menurutku.
"Kenapa tuan dan nyonya nggak tahu, kalau ada uang sebanyak ini di dalam ATM milik nyonya muda dahulu ya mbak?"
"Mala, jelas-jelas nyonya besar tadi memintamu untuk membuang semua barang-barang yang nggak terpakai dari kamar itu. Aku yakin pasti tuan dan nyonya nggak akan tahu akan keberadaan barang-barang itu."
Aku hanya diam tak ingin menanggapi kata-kata mbak Ningsih.
"Bagaimana kalau kita cairkan bersama-sama uang itu, lalu kita bagi dua uangnya. Setelah itu kita akan pergi sejauh mungkin, bahkan sampai nggak ada satu pun yang mengenal kita."
"Aku akan membantumu, Mala."
Tapi bagiku kata-katanya mbak Ningsih yang sungguh menggiurkan tidak akan membuatku tergoda akan sesuatu yang tidak seharusnya aku miliki. Aku tahu dan sadar kalau aku pergi dan menguras semua uang yang ada dalam tabungan ini. Pasti kehidupanku akan berubah total.
Kedua orang tuaku pasti hidupnya akan penuh dengan kelimpahan harta. Tetap tidak, aku tidak ingin mengambil sesuatu yang bukan menjadi hak miliku.
Penjelasan mbak Ning dari tadi dan bujukanya tidak sedikit pun membuat hatiku goyah. Sewaktu di kampung dulu bapak banyak menasehati aku dengan ajaran-ajaran kebaikan.
"Nak, walaupun kita bodoh dan miskin tapi iman kita kepada Tuhan tidak boleh runtuh. Tuhan tidak menginginkan kita berbuat curang maupun mencuri dalam bentuk apapun."
"Sekali milik orang tetap menjadi milik orang. Jangan mengambil sesuatu yang bukan milik kita."
Nasehat bapak padaku, yang selalu aku simpan dalam hati. Setiap ajaran-ajaran kebaikan yang bisa bapak dan ibu berikan padaku, dapat membawa ketenangan dalam hati. Yah aku masih sadar apa yang salah dan apa yang benar untuk saat ini.
Aku langsung berdiri dan segera beranjak ke lantai atas meninggalkan mbak Ning yang sedang bingung menatapku seakan tidak percaya apa yang akan aku lakukan. Dan aku percaya mbak Ning tahu kemana arah langkah yang sedang kuambil. Sambil menggelengkan kepalanya. Aku tidak peduli.
Tok tok tok tok
"Siapa?" Suara nyonya dari dalam untunglah sepertinya mereka belum tidur.
"Saya nyonya, Mala,"....
Terdengar pintu dibuka dari dalam.
"Maaf nyonya saya mengganggu waktu istirahat tuan dan nyonya. Emm saya ingin bicara ..."
"Masuklah" Nyonya mempersilahkan aku masuk ke kamarnya. Sedang tuan besar sedang duduk di sebuah kursi dekat jendela kamar ini..
"Ada apa malam-malam kamu kemari Mala," Tuan besar ingin tahu tujuanku kemari yang aku sadari aku sedang mengganggu waktu istirahat mereka.
"Mmm....Tuan....Nyonya....."
"Begini tadi sore nyonya meminta saya membersihkan kamar utama."
"Lalu,,,,?"
"Sss sa saya...menemukan ini di dalam koper yang terletak paling dalam pada lemari yang saya bersihkan tuan." Sedikit gugup aku menyampaikan segalanya pada tuan dan nyonya majikan aku ini.
Tampak wajah tuan benar-benar mau mendengar penjelasan ku, namun wajah nyonya terlihat biasa saja dan menyimak perkataan ku walaupun aku masih gugup berhadapan dengan dua majikan ku ini.
"Saya sebenarnya tidak bisa membaca tuan, tapi sepertinya isi tas kecil yang saya temukan dalam koper ini sangat penting, dan juga saya sudah berniat untuk membuangnya karena saya pikir isi dalam tas ini sungguh tidak penting.
Tapi melihat buku kecil ini saya teringat kalau ini mirip sekali dengan buku tabungan milik mbak Ning."
"Setelah saya tanyakan pada mbak Ning ternyata benar ini buku tabungan, dan saya pikir ada baiknya saya kembalikan pada nyonya dahulu. Apakah buku ini penting buat nyonya dan tuan." Jelasku panjang lebar sambil menyerahkan buku tabungan ini pada nyonya besar.
Dan nyonya pun langsung membuka isi buku tabungan itu. Mungkin dia sedang membaca dan melihat dengan teliti isinya, dugaku dalam hati.
"Kamu tahu isi buku tabungan ini berapa nominalnya, Mala?"
"Emm." Ragu aku menjawab pertanyaan nyonya." Kata mba Ning isinya ada tiga miliar nyonya.." Jujur aku sangat gugup aku sungguh takut kalau aku salah menjawab.
Tapi bukankah benar tadi mbak Ning mengatakan isi tabungannya tiga miliar
" Apa benar kamu cuma menemukan buku tabungan ini saja, Mala?"
"Tidak nyonya, di dalam tas ini sambil ku serahkan pada tangan nyonya terdapat juga kertas-kertas yang tidak bisa saya baca.
Dan juga, ada sebuah kotak perhiasan di dalamnya, juga ada beberapa lembar uang merah dalam dompet semuanya masih lengkap seperti semula. Saya hanya memeriksa barang-barangnya yang masih bisa terpakai atau tidak."
"Kenapa tidak kamu ambil saja barang-barangnya dan jadikan itu sebagai milikmu, toh kamu tahu kalau barang-barang bekas itu sudah tidak terpakai lagi.
Uangnya bisa kamu pergunakan untuk mengubah hidupmu kan."
"Tidak nyonya, saya tidak mempunyai hak untuk mengambil hak orang lain, kedua orang tua saya di kampung tidak mengijinkan saya untuk melakukan kecurangan apalagi mencuri."
Nyonya hanya tersenyum kecil mendengar jawabanku, dan aku tidak bisa mengartikan apa arti senyumannya itu.
"Baiklah Mala, terima kasih. Silahkan kamu kembali ke kamarmu. Besok adalah hari terpanjang buatmu, siapkan dirimu."
Nyonya seperti membuat teka-teki padaku. Apa yang akan terjadi besok dengan rencana nyonya besar, aku bingung.
"Baik nyonya".
Sambil keluar dari kamar ini aku menuruni anak tangga menuju kamarku yang terletak di belakang, dekat dengan dapur. Dan aku masih sangat bingung dengan perkataan nyonya tadi.
Apa maksudnya menyuruhku mempersiapkan diri untuk esok adalah hari terpanjang buatku.
Apakah nyonya besar akan memecat aku? Oh tidak, jangan sampai itu terjadi. Habislah hidupku jika itu yang akan terjadi.
"Bagaimana Mala, apa kata nyonya besar tadi saat kau kembalikan barang-barang itu?" Tanya mbak Ning. Sepertinya dia kecewa dengan perbuatanku. Dan penasaran apa reaksi nyonya besar saat aku kembalikan barang-barang berharga milik anak mantunya.
"Entahlah mbak Ning, aku disuruh mempersiapkan diri, mungkin aku akan dipecat." Hatiku terasa sesak memikirkannya.
"Masa dipecat Mala, kamu kan tidak melakukan kesalahan apapun."
Benar juga kata mbak Ning, aku tidak melakukan kesalahan apapun. Apa yang harus aku takutkan. Lalu untuk apa tujuan kata-kata nyonya tadi padaku?
"Udah kamu istirahat aja Mala, jangan terlalu dipikirkan yah." Lagi mbak Ning menguatkan aku meski tak aku pungkiri aku merasa sedih kalau memang akan dipecat dan akan segera disuruh pulang kampung.
Di kamar nyonya besar.
Ceklek
Suara pintu terbuka dari luar.
"Kakek dan nenek belum tidur?"
"Belum sayang."
"Apakah Mala sudah tertidur?"
"Sudah nek, jangan khawatir."
"Aku tidak meragukan ketulusan hati Mala, nek."
"Dia pantas mendapatkan apa yang harus dia dapatkan nanti. Semoga dia suka.."
"Iya Nenek yakin dengan pilihanmu pasti yang terbaik,dan rencana kita pasti akan berjalan baik kedepannya.
Jangan sampai dia tahu identitasmu dulu, sampai kita mencapai tujuan kita. Tunggu sampai adikmu datang dari New York dan melengkapi rencana kita."
"Aku yakin kita tidak salah merencanakan ini, semoga adikmu menerima keinginan kakek dan nenek dan mengubah gaya hidupnya."
Sepertinya nenek bersemangat dengan rencananya.
"Lalu apa rencana nenek besok?"
"Sudah nenek rencanakan dengan baik, turuti saja aturannya. Kembalilah ke kamarmu nanti malah Mala curiga denganmu."
Siapakah yang masuk ke kamar tuan dan nyonya dan menyapa mereka dengan sebutan kakek dan nenek?
Jangan lupa tekan jempolnya sayang❤️
Bab 4
Pagi menyapa, setelah tuan dan nyonya besar selesai sarapan.
"Mala, kamu dipanggil oleh tuan dan nyonya di ruang makan, segeralah ke sana." Ujar mbak Ningsih.
"Baik mbak."
Aku yang masih berada di taman belakang, hendak menyelesaikan pekerjaanku di datangi mbak Ningsih yang selesai mengurus sarapan buat tuan nyonya besar hari ini. Gegas aku masuk dalam rumah dan menuju ruangan makan dimana tuan nyonya besar sedang menungguku.
"Apa tuan dan nyonya memanggil saya?" Sedikit gugup aku bertanya pada kedua majikan ku. Takut apa yang kupikirkan akan benar terjadi hari ini.
"Bereskan semua pakaianmu ke dalam koper, kamu akan melakukan perjalanan jauh hari ini." Nyonya memberi perintahnya.
"Ampun nyonya, saya masih mau bekerja disini, kalau ada kata dan perbuatan saya yang salah tolong maafkan kesalahan saya."
"Saya masih ingin bekerja disini, orang tua saya mau makan apa di kampung kalau saya sudah tidak bisa mengirimkan uang pada mereka." Sambil bersimpuh di bawah lantai aku menangis meminta pengampunan dari tuan dan nyonya berharap mereka tidak memecat aku.
"Siapa yang mau memecat kamu Mala, saya dan tuanmu ini, ingin membawamu ke peternakan kami di desa. Kami berdua sudah tua dan sebentar lagi cucu kami akan kembali dari New York dan ia yang akan mengambil alih seluruh perusahaan kakeknya. Sedangkan kami ingin suasana baru di desa yang tenang dan jauh dari keramaian kota."
"Sebenarnya kemarin adalah ide istri saya untuk menguji kejujuran mu dengan menyuruhmu membersihkan kamar utama, kami sengaja menaruh barang berharga di dalamnya dan ingin melihat seberapa besar kejujuran mu, dan ternyata kamu lulus tes uji kejujuran.
Sudah bertahun tahun kami menguji pekerja disini. Sebelumnya kami akan amati tingkah laku dan kesopanan dari setiap orang yang akan kami uji. Dan setiap enam bulan sekali kami melakukannya. Dan kemarin adalah giliran kamu.
Yang kami butuhkan adalah orang sepertimu yang akan mengurus segala kebutuhan kami dalam mengurus peternakan kami di desa nanti." Lanjut tuan besar, yang membuatku kaget setengah mati, dan sedikit senang kalau aku tidak jadi dipecat.
Dan tenang saja soal gaji akan kami tambahkan bonus kamu mulai sekarang, asal kamu tetap rajin dan jujur seperti ini dan tidak mengecewakan kami tentunya." Tuan besar menambahkan kata kata nyonya tadi.
"Sekarang pergilah ke kamarmu, bereskan semua pakaianmu. Jangan ada yang sampai tertinggal. Kita akan menetap di desa peternakan milik keluarga ini."
Aku pun permisi ke kamarku membereskan barang barang yang akan kubawa nanti. Tuan dan nyonya sudah menungguku di halaman depan. Setelah melihatku keluar dari pintu rumah segera kami masuk ke dalam mobil.
Mobil yang membawa kami melaju cepat, menuju peternakan milik keluarga tuan dan nyonya besar di sebuah desa yang jarak tempuhnya memakan waktu delapan jam. Perjalanan sejauh ini membuatku mengantuk sekali dan aku pun tertidur karena kelelahan.
"Bangun nak Mala, kita udah sampai." Pak Parman sopir keluarga majikanku ini membangunkan aku yang duduk di sebelahnya dari tadi. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, ternyata hari sudah malam. Dan mobil kami berhenti di depan sebuah bangunan yang cukup besar di bagian tengah peternakan ini.
"Bawakan barang-barang tuan dan nyonya ke dalam, saya akan kembali ke kota." Setelah pak Parman membantuku menurunkan barang bawaan tadi ke teras mobilnya pun meluncur kembali meninggalkan peternakan ini.
Rumah ini cukup besar, ada dua lantai. Kamar tuan dan nyonya ada di lantai atas. Dan ruangan bawah cukup luas untuk keluarga berkumpul di dalamnya, sebuah dapur dan di pojok kanan ruangan ini ada sebuah ruangan besar yang difungsikan sebagai kantor.
Setelah meletakkan semua barang barang bawaan tuan dan nyonya ke dalam kamar, gegas aku aku turun ke bawah. Ternyata tuan dan nyonya sudah menungguku di dalam ruang kantornya dan aku menuju ke arahnya.
"Mala, perkenalkan ini bik Inah dan suaminya pak Eko, yang akan membantu kamu disini mengerjakan pekerjaan rumah." Nyonya besar memperkenalkanku kepada sepasang suami istri yang sudah lumayan berumur di hadapanku.
Sambil menyalami kedua orang tua itu, aku memperkenalkan diriku pada keduanya.
"Nama saya Mala, pak..bu.."
Mereka membalas salam ku dengan senyum yang begitu meneduhkan.
"Anggap saja seperti orang tua sendiri ya nak Mala, kami berdua siap membantu nak Mala dalam rumah ini." Sahut bik Inah sopan.
Bik Inah dan pak Eko yang selama ini mengurus peternakan ini. Selagi tuan nyonya pergi dan menetap di kota. Mereka hanya bertugas membersihkan rumah ini. Karena di peternakan ini sudah tidak ada lagi aktifitas peternakan.
"Dan juga Mala, kami ingin jika kamu sudah selesai membereskan pekerjaan rumah ini sebelum jam sepuluh pagi, sebab akan datang seorang guru kesini yang akan mengajarimu membaca dan menulis selanjutnya akan diajarkan cara mengelola peternakan ini, dan kamu hanya mempunyai waktu enam bulan mempelajari semuanya," Tuan besar sepertinya tidak main main dengan ucapannya.
" Saya berharap kamu benar benar serius mempelajari segala hal yang akan diajarkan padamu. Saya menaruh harapan besar padamu dan satu hal lagi saya tidak ingin dibantah, lakukan semua yang saya inginkan bila kamu masih ingin mengirimkan uang pada orang tuamu di desa." Sahut nyonya besar melanjutkan kata-kata suaminya.
Senang sekali rasanya tuan dan nyonya sedang memperhatikan pendidikan ku sekarang.
Walau pun sudah sangat terlambat aku bertekad bisa melakukannya sepenuh hati. Bik Inah mengantarku ke kamar belakang, dan sebelah kamarku terdapat kamar bik Inah dan juga suaminya pak Eko.
"Nak Mala, istirahat dulu yah. Besok baru boleh mulai beres beres rumah. Nak Mala pasti membutuhkan tenaga ekstra untuk bekerja dan belajar."
"Makasih bik, saya senang bik Inah mau membantu saya juga nanti,"
"Bibik permisi, mau istirahat juga ya."
"Baiklah bik." Karena kelelahan dengan perjalanan panjang hari ini aku pun terlelap, dan beranjak ke alam mimpi.
Setelah sarapan pagi, tuan dan nyonya memilih untuk berkeliling peternakan, ingin memulai fokus membangun kembali pabrik susu yang sudah lama ditinggalkan mereka. Sedangkan aku dan bik Inah, mulai mengerjakan pekerjaan rumah tangga ini.
"Nak Mala, udah hampir jam sepuluh ini, lekas bersiap nak, pasti gurunya sebentar lagi akan datang, sisa pekerjaannya biar bik Inah yang selesaikanya yah." Bik Inah mengingatkan, sungguh aku sangat senang bekerja bersamanya.
"Iya bik, saya ke kamar dulu untuk bersiap yah."
Tepat pukul sepuluh ternyata kedatanganku sudah di tunggu dari tadi di ruangan kantor tuan dan nyonya. Disini kami akan menghabiskan waktu untuk belajar bersama.
"Selamat pagi nama saya ibu Vania, saya yang akan mengajari semua yang diperintahkan tuan besar padamu." Sambutnya kepadaku dengan senyum manisnya. Selain masih muda dan cantik ibu Vania juga sangat ramah begitu sangat sabar menemaniku belajar.
Tidak satupun yang aku lewatkan dalam semua pelajaran yang diberikan. Pelajaran yang diberikan ibu Vania sangat menyenangkan dan mudah dipahami.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!