Halo semuanya, jumpa lagi dikarya baruku. Karya ini akan jarang update dikarenakan kesibukanku, aku usahakan jeda waktu updatenya tidak terlalu lama.
Untuk pembaca yang baru bergabung aku ucapkan selamat datang, dan untuk pembaca yang sudah pernah membaca karyaku selamat datang kembali.
Karya ini masih jauh dari sempurnya, dan aku masih terus berusaha dan belajar untuk jadi lebih baik lagi.
Terima kasih.
Selamat membaca.
“Satu kali lagi, iya smash!” Mia sedang menyaksikan olimpiade Tokyo yang tayang di salah satu stasiun televisi.
Sayang sekali smash yang dilakukan jorji keluar dari area pertandingan, dan dinyatakan out oleh wasit garis. Satu angka untuk Ratchanok Intanon.
Mia menghembuskan nafas, mendengar komentar pertandingan bulu tangkis tunggal putri Indonesia melawan Thailand.
Tut! Televisi dimatikan.
“Sudah berapa kali mama bilang, jangan nonton pertandingan olahraga!” hardik Regata kesal.
“Sekarang masuk kamar dan belajar!”
Mia ketakutan, dia segera meninggalkan ruang televisi dan menuju kamarnya.
Regata meletakan remot televisi yang dipegangnya,dan terkulai di sofa. Kedua tangan menangkup wajahnya.
Delapan tahun lalu...
“Ata, aku dapat surat panggilan lagi dari pelatnas” Lintang menunjukan surat yang dimaksud pada Regata.
Tahun 2008 Lintang terpilih menjadi salah satu atlet level pratama pelatanas. Selama dua tahun di pelatnas, Lintang tidak menunjukan kemajuan seperti yang diharapkan pelatih dan pengurus.Hal itu membuat Lintang beserta beberapa atlit lain didegradasi dari pelatnas.
“Kamu kenapa?” tanya Lintang melihat Regata tertegun membaca surat tersebut.
“Kamu akan berangkat?” tanya Regata memastikan jawaban Lintang.
“Tentu saja, kesempatan tidak datang dua kali. Lusa aku ke pelatnas”.
Regata menatap binar kebahagian di mata Lintang, kekasihnya. Tahun ini 2012, genap tiga tahun mereka berpacaran. Hubungan mereka tidak diketahui publik karena Lintang khawatir,kabar percintaan mereka menjadi sasaran empuk media dan badminton lovers, sebutan untuk pecinta bulu tangkis.
Regata menahan tangis mendengar keputusan Lintang. Dia berusaha sekuat tenaga agar terlihat baik-baik saja. Saat ini dirinya tengah mengandung. Usia kehamilannya memasuki empat minggu.
Regata baru saja memantapkan hati dan batinya untuk jujur pada Lintang, mumpung kehamilannya baru seumur jagung. Dengan berat hati dia mengurungkan niat tersebut.
Setelah pertemuannya dengan Lintang, Regata terpaksa jujur pada kedua orangtuanya tentang kondisi kehamilannya. Ayahnya marah besar mengetahui Regata hamil di luar nikah. Anak semata wayangnya, tega mencoreng namanya sebagai pengusaha sekaligus salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan i**bunya hanya bisa menanggis meratapi nasib putrinya.
Masa-masa kehamilan Regata adalah masa terberat dalam hidupnya. Mual, mutah, sakit kepala, perubahan mood yang ekstrim semua telah dia alami. Setiap kali bercermin Regata hanya menatap nanar pantulan dirinya. Kebodohannya telah membawa petaka dan menyeret orang-orang terdekatnya. Bagimana mungkin dirinya yang baru saja menyatakan sumpah sebagai seorang Dokter justru melakukan pergaulan bebas dan berujung kehamilan? Apa yang akan pasien-pasiennya katakan jika tahu Dokter Regata yang gencar melakukan sosialisasi bahaya pergaulan bebas malah menjadi salah satu pelakunya?
Regata malu bahkan sampai berpikir untuk mengugurkan kandungannya, janin tanpa dosa yang kian bertumbuh.
Regata menitihkan air mata saat kisah masa lalunya berputar dalam ingatannya. Beberapa kali dia mengusap air mata dengan telapak tangannya. Dia pernah melalui perjuangan yang sangat berat, dia tidak mau putrinya Mia melakukan hal bodoh dan merasakan hal yang sama dengan dirinya. Apapun akan dia lakukan agar putrinya tidak memilih jalan yang salah, terutama memilih jalan yang sama seperti ayahnya.
...----------------...
“Ini kotak bekalmu, mama taruh di tas yang satunya. Bekalnya dihabisin” Regata memasukan kotak bekal di tas putrinya yang lain,agar bekalnya tidak tumpah. Meskipun tupperware yang digunakan untuk mengisi bekal diklaim anti tumpah, Regata tetap khawatir isi bekal yang dibuatnya tercecer kemana-mana.
“Bi, tolong anterin Mia ke sekolah, hari ini saya dinas pagi di IGD”
Regata meminta Bibi Nina, asisten rumah tangganya mengantarkan putrinya ke sekolah.
“Baik mbak”
“Hati-hati” ujar Regata mengantarkan putrinya dan Bi Nina ke depan pintu gerbang rumahnya.
“Papa gak mau tahu suami kamu harus tanggung jawab! Persetan dengan karirnya!” Danu Atmaja, Ayah Regata mengeram marah saat Regata menceritakan bahwa Lintang dipanggil kembali ke pelatnas.
“Papa, tolong pa. Jangan bilang ke lintang atau keluarganya” pinta Regata bersimpuh di kaki Ayahnya.
“Mau taruh di mana harga diri papa? Lawan-lawan politik papa pasti senang mendengar berita ini” Danu menunjuk –nunjuk wajah putrinya, kasar.
“Pa sudah pa, sudah! Ata sudah mengaku. Sekarang bukan waktunya saling menyalahkan. Kita pikirkan jalan keluar untuk anak kita” Arimbi Sukoco, Ibu Regata menarik lengan suaminya agar berhenti menunjuk purinya. Arimbi tak tega melihat putrinya menanggis histeris di hadapan mereka. Sebagai seorang wanita dan seorang ibu nalurinya tergerak untuk tidak berlarut-larut menyalahkan putrinya.
“Lihat ini! Kamu terlalu percaya dengan anak kamu, sampai kelakuannya jadi bablas begini! Papa gak mau tahu mami urus dia, jangan sampai masalah ini menjatuhkan karir politik papa!”
Danu meninggalkan Arimbi dan Regata yang saling berpelukan di ruang keluarga.
“Halo Bi, Mia sudah sampai di rumah?” tanya Regata pada Bi Nina melalui sambungan telepon seluler.
“Sudah mbak. Sekarang lagi makan” ujar Bi Nina
“Hari ini jadwal les bahasa Inggris. Bibi jangan lupa anterin”
“Baik mbak”
Regata mengakhiri sambungan teleponnya. Dia sedang makan siang di kantin rumah sakit dan menyempatkan menelepon Bi Nina mengingatkan jadwal les putrinya.
Regata menatap layar ponselnya. Terpampangwajah putrinya yang sedang tersenyum memperlihatkan lesung pipi, di pipi sebelah kiri. Persis seperti ayahnya.
“Ayo dok, sedikit lagi. Tarik nafas!”
“Bokongnya jangan digeser dok, ngedan biasa aja jangan dipaksakan” Bidan menginstruksikan Regata untuk mengedan.
“Dorong lagi dok, kepala bayinya sudah kelihatan” Bidan kembali menginstruksikan Regata agar tidak putus mengedan.
“Arrgggghhhhh” Regata berteriak menahan sakit saat bayinya akan keluar. Kepalanya serasa ingin pecah, dan badannya seolah terkoyak menjadi dua. Regata merasa dirinya berada diambang kematian.
“Jangan sambil teriak! makin sakit nanti ngedannya” Bidan yang lainnya mengingatkan Regata agar tidak mengedan sambil mengerang.
Setelah perjuangan panjang, lahirlah seorang bayi perempuan yang cantik. Tangisan pertama bayi itu membuat Regata melupakan semua sakit dan perjuangan selama proses persalinan.
Mia Sastria Bhanurasmi,nama yang disepakati antara Regata dan Arimbi.
Ayah Regata menolak datang dari Jakarta ke Yogyakarta untuk melihat persalinan putrinya. Arimbi menyembunyikan Regata di Yogyakarta tempat asalnya, untuk mencegah berita kehamilan putrinya menyebar.
“Ata, sekarang kamu udah jadi Ibu dan mama udah jadi oma. Jaga baik-baik cucu mama. Apapun yang akan terjadi ke depannya, kamu harus ingat, sekarang kamu tidak sendirian” Arimbi memeluk Regata yang sedang menyusui Mia, menyalurkan seluruh kasih yang dia miliki untuk putri dan juga cucunya.
“Dok, ada pasien rujukan dokter bedah. Rencana operasi siang ini” seorang perawat IGD menemui Regata di kantin.
Regata mengakhiri makan siangnya dan segera menuju IGD.
...----------------...
“Bi, mama udah pulang?” tanya Mia yang baru tiba dari sekolah.
“Belum sayang, kamu ganti baju, cuci tangan terus makan. Kotak bekalmu taruh di atas meja, biar Bibi cucikan”.
“Makasih Bi” ujar Mia sambil meletakan kotak bekalnya di meja makan.
Mia melakukan perintah Bi Nina lalu duduk manis di meja makan. Siang ini menu favoritnya tempe orek, cah kangkung, nasi merah, telur balado dan buah semangka.
Melihat Mia makan dengan lahap, Bi Nina tersenyum sambil meletakankotak makan yang telah dicucinya di rak piring.
“Belajar apa hari ini di sekolah?” tanya Bi Nina.
“Matematika, Sejarah sama Kesenian” ujar Mia sambil makan.
“Gurunya siapa aja?”
“Matematika Ibu Rian, Sejarah Ibu Ina, Kesenian Pak Deri”
“Ibu Rian galak gak, mengajarnya?”
“Iya galak. Kalau ada yang gak bisa Matematika dimarahi. Nggak suka les matematika” ujar Mia dengan wajah cemberut.
“Kamu harus belajar, biar bisa jadi Dokter kayak mama”
“Gak mau jadi Dokter. Cita-citaku jadi atlet Badminton” ujar Mia bangga.
Bi Nina tidak melanjutkan pertanyaannya, Badminton dan olahraga lainnya haram dibicarakan di rumah ini. Entah apa alasannya, yang jelas Bi Nina tidak ingin majikannya murka jika ada yang mengungkit topik itu.
“Hari ini ada les Bahasa Inggris. Kamu tidur siang dulu nanti jam tiga Bibi bangunkan, siap untuk ke tempat les”
“Ok Bi” ujar Mia membereskan piring sisa
makannya, mencuci, tidur siang seperti perintah Bibinya.
“Nilai matematikamu kok Cuma enam?” tanya Regata sambil mengerutkan dahi melihat rapor kenaikan kelas putrinya.
Tahun ini putrinya genap berusia delapan tahun dan duduk di kelas tiga sekolah dasar. Sejak kelas satu hingga kenaikan kelas tiga, Regata selalu memantau nilai rapor putrinya. Semuanya bagus kecuali nilai matematika yang selalu berada di angka enam.
“Tapi kan rangking tiga mah” ujar Mia membela diri.
“Mia, mama nggak peduli kamu rangking berapa asalkan semua nilaimu diatas tujuh”
“Kalau nilai Matematikamu begini, mau jadi apa kamu?” ujar Regata memarahi putrinya.
“Jadi atlet Badminton, mah” Jawab Mia polos.
Regata menghembuskan nafas kasar.
“Mama nggak setuju kamu jadi atlet! Kamu pikir jadi atlet bisa selamanya, masa depan atlet itu tidak pasti. Kalau kamu gagal kamu akan menyesal seumur hidup, karena membuang waktu berharga kamu”
Mia tidak memahami apa yang disampaikan ibunya. Mia pernah membaca salah satu artikel di tabloid langganan Regata,bahwa salah satu atlet badminton nilai rapornya tidak bagus, dan dia memutuskan untuk mengejar cita-citanya dan telah mendapat banyak penghargaan.
“Dengerin mama, mulai sekarang kamu harus lebih giat belajar. Perbaiki semua nilaimu dan kamu boleh jadi apapun yang kamu mau,selain atlet”
“Kenapa mah?” Mia tidak merasa ada yang salah dengan cita-citanya.
“Pokoknya gak boleh. Gak boleh jadi atlit, gak boleh nonton apapun tentang olahraga, dan gak boleh simpan semua yang berhubungan dengan olahraga”
Mia tertunduk sedih mendengar ucapan mamanya. Dia tidak melakukan sesuatu yang buruk dengan cita-citanya, kenapa mamanya sampai semarah itu?”
“Mia, bangun sudah hampir jam tiga. Mandi terus siap-siap ke tempat les” ujar Bi Nina
membangunkan Mia sambil menguncang-guncangkan tubuhnya.
Mia duduk sebentar di tempat tidurnya mengumpulkan semua kesadarannya, lalu menuju kamar mandi.
Bi Nina menyiapkan baju, dan peralatan les Mia.
Setelah Mia siap, Bi Nina mengantarkan Mia ke tempat les dengan sepeda motor milik
majikannya, yang dikhususkan untuk memudahkan mobilitas asisten rumah
tangganya.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!