NovelToon NovelToon

Anak Genius : Ayah Possessive

Malam Yang Tak di Inginkan

Seorang gadis dengan paras cantik sedang berdiri menatap cermin, memerhatikan penampilannya yang jauh dari kata modis. Tangannya meraih tas selempang miliknya, lalu keluar dari kamar.

Alula Sadewa, itulah namanya. Gadis cantik dan manis yang selalu tampil sederhana. Berbeda jauh dengan kakak-nya, Elisabeth Sadewa. Penampilannya yang cantik dan elegan bak model internasional itu, membuatnya selalu merasa sombong dan merendahkan Alula.

Malam ini, dengan penampilan sederhananya, Alula akan menemui pacarnya yang memang keduanya sudah berjanji untuk bertemu. Alula menuruni tangga menuju lantai bawah.

Disana sudah ada ayah dan juga ibunya. Kedua orang itu menatapnya penuh tanda tanya.

"Mau kemana kamu Lula malam-malam begini?" tanya Ibunya, Disa. Wanita itu menatap Alula dari atas hingga keujung kakinya.

"Cih. Apa-apaan anak ini? Dres selutut, rambut digerai, apa dia mau menyaingi anakku Elisa?" decih wanita itu dalam hati.

"Maaf Bu, Ayah. Alula mau minta izin untuk ketemu Rendra."

Mendengar nama Rendra, bu Disa berdecih kesal dalam hati. Bisa-bisa nya Alula ingin bertemu Rendra, yang nota benenya adalah lelaki yang juga disukai Elisa.

"Huh, kamu pikir, kamu akan mendapatkan Rendra? Itu tidak akan mungkin. Anakku Elisa-lah yang akan menjadi istri Rendra Tayudha." Batin Bu Disa, sambil memandang sinis pada Alula.

Menangkap pandangan sinis dari ibunya, Alula hanya bisa tediam. Dia tidak tahu apa kesalahannya, sampai ibu kendungnya sendiri membencinya. Dibandingkan dirinya, Bu Disa lebih menyangi Elisa.

Setelah mendapat persetujuan dari sang Ayah, Zarfan. Alula segera menuju tempat yang sudah ia janjikan bersama Rendra. Padatnya lalu lintas tak membuat semangat Alula turun.

Dengan langkah lebar dan senyuman yang tak pernah pudar, Alula memasuki sebuah caffe.

Caffe tersebut sedikit tertutup dan mungkin, memang dikhususkan untuk berpasangan.

Alula mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan Rendra. Seketika tubuhnya membeku, matanya berkaca-kaca. Orang yang selama ini ia percaya ternyata hanya seorang pembohong.

Dengan matanya sendiri, ia melihat Rendra sedang berciuman dengan seorang wanita. Dengan langkah pongah Alula mendekati keduanya.

"Rendra." panggil Alula dengan suara lembutnya.

Seketika kedua sejoli itu menghentikan ciuman mereka dan bersamaan menatap Alula.

Bagai disambar petir, hati Alula mencelos. Pertahanannya yang tersisa setengah kini benar-benar runtuh saat mengetahui, siapa wanita yang menjadi lawan cium Rendra.

"K-kak Elisa?"

"Hai, Alula." Sapa Elisa tanpa sedikit pun rasa bersalah.

"Apa? Kamu kaget? Inilah yang aku lakukan bersama Rendra di belakang kamu. Iyakan sayang?" Sambung Elisa, menatap intens mata Rendra seakan menunjukkan pada Alula jika Rendra adalah miliknya.

Lelaki tampan itu hanya mengangguk seraya menatap intens wajah Elisa, lalu mengecup bibirnya singkat tepat di depan Alula.

"Ren, apa yang kamu lakukan? Aku ini pacar kamu. Kenapa kamu berubah?"

"Huh, pacar? Apa kamu pikir aku suka berpacaran dengan mu? Penampilan aneh, kucel dan... tak enak dipandang itu, membuat ku bosan. Apalagi kau selalu menolak untuk ku cium. Kau tidak pantas buat ku." Ujar Rendra dengan mata yang menilai Alula dari atas sampai bawah.

Alula semkin hancur mendengar ucapan Rendra yang begitu merendahkannya. Ia patah dan remuk. Sekuat mungkin ia menahan air matanya untuk tidak keluar. Itu hanya akan membuatnya terlihat sangat menyedihkan di depan Rendra dan Elisa.

Setenang mungkin Alula mengulas senyum di bibirnya. "Jika itu mau mu, aku akan pergi. Kita cukup sampai disini. Semoga kau bahagia dengan kak Elisa." Ujar Alula tanpa meruntuhkan senyumannya.

"Tentu. Aku dan Rendra akan bahagia, tanpa harus kamu yang mendoakannya." Sombong Elisa.

Alula kembali mengulas senyum tipis, lalu bergegas pergi menjauhi keduanya.

"Dasar gadis aneh. Ayo sayang, kita lanjutkan." Ujar Rendra, melanjutkan kembali kegiatannya bersama Elisa yang terganggu oleh Alula.

***

Alula menyetopkan sebuah taksi dan menaikinya. Entah kemana tujuannya saat ini, ia juga tidak tahu. Otaknya saat ini tak mampu berpikir. Meskipun ia berusaha terliht kuat, tetap saja ia seorang wanita lemah. Air matanya luruh seiring dengan putaran roda taksi yang ia tumpangi.

"Berhenti disini pak!" tutur Alula pada supir taksi.

"Maaf, nona yakin akan turun disini? Tempat ini tidak baik untuk anda nona." sela supir taksi itu seraya menatap bangunan yang dituju Alula.

"Tenang saja pak, saya hanya menjemput teman saya."

"Apa saya tunggu saja nona?"

"Tidak perlu. Teman saya membawa mobilnya." Tolak Alula dengan senyum khasnya.

Setelah membayar, Alula melangkahkan kakinya memasuki bangunan tersebut. Sebuah bangunan bertuliskan club xx. Seumur hidup, ini adalah pertama kalinya Alula kesini.

Menurut informasi yang ia dengar dari teman-temannya, alkohol bisa membuatnya lupa akan masalahnya. Dan ia ingin mencobanya sekarang.

"Apa yang ingin anda pesan nona?"

"Apa saja."

Mendengar jawaban perempuan didepannya itu membuat sang bartender memicingkan mata. Ia yakin jika perempuan di depannya ini baru pertama kali datang ke tempat itu.

Bartender yang merupakan seorang lelaki tersebut menyodorkan segelas minuman dengan kadar alkohol yang rendah. Lalu ia berlalu meninggalkan Alula menuju orang yang memesan minuman.

"Hai, cantik, sendirian aja?!" sapa seorang lelaki, yang jelas bukan bartender tadi.

Alula tak menjawab dan mulai menyesap minumannya. Pertama kali yang ia rasakan tenggorokannya panas. Namun, ia tetap berusaha untuk meminumnya. Hal itu tidak luput dari pandangan lelaki tersebut.

"Ternyata masih pemula." batinnya sambil tersenyum licik ke arah Alula.

Baru beberapa kali tegukkan, Alula mulai merasa pusing dan merancau tak jelas. Hal ini merupakan kesempatan emas bagi lelaki disampingnya. Segera lelaki tersebut memasukkan sesuatu pada minuman Alula dan meminumkannya pada Alula.

"Tuan Edo, apa yang anda lakukan?"

"Hai, Gio, saya hanya memberi minuman untuk pacar saya. Kami sedang berengkar, dia berlari meninggalkan saya kemari."

Gio selaku bartender hanya menatap curiga. Ia kenal Edo, lelaki yang suka mempermainkan wanita. Tapi, itu bukan urusannya. Edo bebas melakukan apa yang ia inginkan selama tidak mengancam pekerjaannya.

Setelah membayar minuman Alula, Edo membawa Alula menuju lantai dua, dimana tempat ternyaman untuk setiap pasangan yang datang ke tempat tersebut.

Setelah menidurkan Alula diatas ranjang, Edo bergegas keluar untuk mengambil kunci mobilnya yang ketinggalan di meja bartender. Ia yakin efek obat itu akan segera terlihat. Dan ia harus cepat-cepat menemukan kuncinya dan kembali menemui Alula.

Sementara di lantai bawah, semua pengunjung wanita dibuat kagum dan tak berhenti memuji seseorang yang mengunjungi tempat tersebut. Seorang lelaki tampan dengan tubuh atletis yang mampu menghipnotis setiap wanita yang melihatnya.

"Hai tampan, mau kutemani malam ini?" ujar seorang wanita dengan pakaian seksi yang melekat ditubuhnya.

Lelaki tampan itu hanya terdiam dan menatap sekretarisnya. Mengerti dengan arti tatapan sang tuan, si sekretaris yang diketahui bernama Kenan itu segera menyeret wanita tersebut menjauh dari sang tuan.

"Cih, kenapa tua bangka itu melakukan kesepakatan di tempat ini?" ujar si lelaki dalam hati.

"Maaf tuan Gara, tuan Ginanjar meminta anda untuk menunggu bebrapa saat lagi." Mendengar ucapan Kenan, Gara mengepalkan kedua tangannya. Ia tidak suka menunggu. Dan sekarang ia dipaksa untuk menunggu oleh pria tua yang tak lain adalah Ayahnya sendiri.

"kau ingin bermain-bermain dengan ku Ginanjar Grisam?" batin Gara.

Ya, dia adalah Gara Emanuel Grisam. Seorang CEO muda yang terkenal dengan sifat kejam dan dinginnya. Ia tak tersentuh, dan selalu bertindak sesuai keinginannya.

Gara bangkit dari duduknya dan berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Kali ini ia akan mencoba bersabar dan akan menunggu ayahnya di kamar. Sebelumbya, ia meminta Kenan untuk mengabarinya atau membangunkannya. Ia yakin, ia akan tertidur karena tubuhnya begitu lelah setelah mengurus perusahaan seharian.

Saat sampai di tangga terakhir lantai dua, ia berpapasan dengan seorang lelaki yang begitu ia kenal.

"Hai, bos. Sedang apa kau disini? Apa kau menyewa wanita untuk menemanimu? Aku pikir kau tidak tertarik pada wanita, hahaha." Sapa lelaki tersebut dengan tawa dan sifat kurang ajarnya.

"Diam kau Edo!" Sontak tawa lelaki yang tak lain adalah Edo tersebut terhenti, digantikan cengiran tak bersalahnya.

"Tenanglah kawan, kau ini selalu bersikap dingin pada sahabat mu yang tampan ini."

"Pergi gak!" ancam Gara dengan garangnya.

"Iya-iya, aku pergi. Tapi aku akan kembali. Gadisku sudah menunggu. Kalau begitu selamat bersenang-senang sahabat." ujar Edo, kemudian berlalu dengan kekehan yang masih terdengar.

"Sahabat sialan!" umpat Gara, geram dengan tingkah sahabatnya sejak SMP itu.

Gara melanjutkan langkah dan memasuki salah satu kamar di tempat itu. Tubuhnya yang lelah membuatnya tak peduli dengan keadaan kamar yang terlihat gelap. Ia mengunci pintu dan membaringkan tubuhnya di sisi ranjang bagian kanan.

Gara merentangkan tangan, dan seketika terkejut saat merasakan seseorang di sampingnya. Segera ia bangun dan menyalakan lampu. Lagi-lagi ia terkejut melihat seorang gadis yang terbaring di sisinya.

Rasa penasaran membuat Gara mendekat dan menyingkirkan anak rambut yang menutup wajah gadis itu. Ia sedikit terpana melihat wajah cantik gadis itu, gadis yang tak lain adalah Alula.

Merasa ada pergerakan, Gara menarik tangannya dari wajah Alula. Namun ia kalah cepat. Alula lebih gesit dan menggenggam tangan Gara.

"Eh, apa-apaan ini?" sentak Gara, berusaha melepaskan genggaman Alula.

"Panas. Tolong aku!" Alula merancau seperti orang yang sedang bermimpi buruk. Tapi, Gara yakin gadis tersebut sedang tidak bermimpi. Itu terlihat dari matanya yang menatap memohon ke arah Gara.

Gara memerhatikan wajah gadis itu dengan saksama, ia sedikit terpesona melihat mata indah Alula. Sedetik kemudian ia tersadar saat Alula menariknya agar lebih dekat. Dan ia tahu betul apa yang sedang terjadi dengan gadis di depannya.

"Huh, gadis malang. Siapa yang menjebak mu dengan obat perangsang sialan itu? Atau kau sendiri yang menyerahkan dirimu untukku?" Ujar Gara dengan seringai khasnya, mengingat kembali wanita-wanita yang merelakan diri mereka, namun ditolak begitu saja olehnya.

"Aku mohon tolong aku!" Alula lagi-lagi memohon, dirinya sudah tidak mampu menahan efek dari obat tersebut.

Gara yang merasa gadis itu benar-benar membutuhkan pertolongannya pun memenuhi permintaannya. Tidak ada sedikitpun niat untuknya menolak. Entahlah, apa dia juga menginginkannya atau hanya sebatas rasa kasihan, dia juga tidak tahu.

"Kamu yang memintanya, dan aku akan memenuhinya." Ujar Gara, mulai mencium bibir Alula, dan memulai tugasnya.

***

Gara mengerjabkan mata saat handphone miliknya terus berdering sejak tadi. Ia meraih handphonenya dan menempelkan pada telinga.

"Katakan!" perintah Gara, pada si penelpon.

"Maaf tuan, tuan Ginanjar sudah menunggu sejak sejam lalu."

Gara mendengus kesal. Ia memerhatikan jam tangan yang ia lepaskan di atas meja. Sudah pukul satu pagi, dan ayahnya baru datang sejam lalu. Sementara dia menunggu sejak pukul sembilan malam.

Gara mengehembuskan nafasnya gusar. Kenan benar-benar mengganggunya. Tanpa membalas, Gara memutuskan panggilan sepihak. Ia meletakkan handphone dan beralih menatap Alula yang tertidur disampingnya.

Setelah puas, Gara meraih pakaiannya yang berserakan dan mengenakannya kembali, kemudian keluar dari tempat itu, menemui ayah-nya.

Alula yang sudah bangun sebelum Gara, pura-pura memejamkan kembali matanya. Setelah Gara keluar, ia bergegas berpakaian dan keluar dari tempat itu. Tempat dimana ia merasakan kehancuran untuk yang kedua kalinya.

Ia tidak pernah mengharapkan malam ini. Bahkan membayangkan saja, ia tidak berani. Entah apa yang harus ia lakukan. Kini ia kehilangan keduanya, kehilangan Rendra dan juga kehormatannya.

Hamil

Gara duduk dikursi kebesarannya sambil mengamati beberapa dokumen ditangannya. Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Ayahnya. Tapi, ia juga tidak peduli dengan keputusan yang Ayahnya ambil. Yang harus ia lakukan sekarang adalah berpikir bagaimana mengurus perusahaan Ibunya yang sudah diserahkan Ayahnya semalam.

Lama bergelut dengan pikirannya, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Gara abai dan terus fokus pada dokumen ditangannya. Dia sudah tahu siapa yang mengunjunginya. Jika bukan sahabatnya Edo, siapa lagi. Tidak ada yang berani bertemu dengannya jika bukan urusan kantor.

"Hai bos. Gimana semalam, nyenyak?"

Gara tak menjawab, ia hanya menatap sebentar dan kembali fokus pada dokumennya.

"Kau tidak kelihatan setelah bertemu dengan ku semalam. Apa yang kau lakukan?" Tanya Edo dengan menaik turunkan alisnya, berusaha menggoda Gara.

"Diamlah Edo!" balas Gara masih fokus pada dokumennya.

"Aku hanya ingin tahu, di kamar mana kau tidur semalam? Sepertinya kau begitu nyenyak sampai Ayah mu harus menunggu."

Gara berdecak kesal dalam hati. Mungkin dengan menjawab pertanyaannya, pria itu akan segera pergi.

"Di kamar 005. Sekarang pergilah dari sini!"

Bukannya pergi, Edo malah semakin mendekati Gara. Matanya membulat, seakan tidak percaya dengan jawaban Gara.

"Kamu serius Gar?"

Gara mengalihkan atensinya dan menatap tajam Edo. Sementara yang ditatap, semakin penasaran dengan kebenaran ucapan Gara.

Gara melepaskan dokumen yang ia pegang, dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. "Apa mau mu?" tanya Gara mulai jengah dengan sahabatnya itu.

"Aku tidak mau apa-apa. Aku hanya ingin tahu, jika benar kamu dikamar itu, apa kau melakukan sesuatu pada gadis itu?"

Mendengar ucapan Edo mengenai gadis, Gara kembali teringat gadis semalam, yang hilang entah kemana setelah ia usai bertemu Ayahnya. Namun setelah itu, Gara tersadar dan menatap tajam Edo.

"Katakan! Apa yang kau lakukan pada gadis itu? Apa kau yang memberinya obat perangsang sialan itu, hah?" teriak Gara sembari mencengkeram kerah kemeja yang Edo kenakan.

Membayangkan perbuatan Edo pada gadis itu membuat emosinya naik begitu saja.

"Ya, aku yang melakukannya. Tapi..." belum sempat Edo menyelesaikan ucapannya, tubuhnya sudah terhuyung kesamping akibat pukulan Gara.

Edo bangun dan mengusap sudut bibirnya yang berdarah. "Apa yang kau lakukan?" seru Edo tak terima.

Gara tak menjawab. Ia kembali mencengkram kerah kemeja Edo. Bahkan kemeja dan jas Edo sudah tidak beraturan.

"Apa yang aku lakukan, hah? Kau tanya apa yang aku lakukan? Apa kau tidak berpikir sebelum melakukannya? Gara-gara kamu, aku membuatnya menderita. Aku mengambil kehormatanya. Aku merenggut kesuciannya." Teriak Gara tepat di wajah Edo.

Edo tercengang, selama ia bersahabat dengan Gara, ini kali pertama Gara marah besar padanya. Edo meraih tangan Gara dan melepaskannya dari kemeja yang ia kenakan.

"Aku minta maaf. Aku benar-benar khilaf semalam. Aku akan berusaha menemukannya untuk mu."

"Pergilah! Temukan dia dan bawa padaku."

"Baiklah. Tapi ingat, hilangkan sisi iblis mu itu, jangan sampai ia takut dan kabur." ujar Edo, berusaha mencairkan suasana lalu melengang begitu saja. Benar-benar tidak ada takutnya sama sekali.

***

Sejak kejadian malam itu, sudah hampir tiga hari Alula tidak kembali ke rumah. Entahlah, ia merasa sangat malu dan bersalah untuk kembali ke rumah.

Hujan turun semakin deras. Dengan langkah gontai Alula menuju rumah dan mengetuk pintu. Tiga kali ketukan, pintu rumah terbuka dan menampilkan wajah kakak-nya, Elisa.

"Pulang juga kamu?" kata Elisa dengan senyum mengejeknya.

Alula tak membalasnya. Ia menerobos masuk begitu saja tanpa menjawab apapun. "Heh! Kamu dengar gak aku ngomong, Lula?" teriak Elisa, namun di abaikan begitu saja. Dia tidak peduli dengan semua ocehan kakak-nya atau siapapun itu. Yang jelas, dia ingin segera ke kamar, menyembunyikan dirinya.

Mendengar kabar jika Alula sudah kembali, Zarfan Ayah Alula, segera menemui putrinya.

"Kemana saja kamu tiga hari ini, nak? Ayah khawatir sama kamu." Suara lembut itu membuat Alula segera menghapus air matanya dan menoleh. Senyum tulus terpancar dari wajahnya. Gadis itu memeluk sang ayah dan mengajaknya duduk.

"Lula gak kemana-mana. Lula hanya bantuin ibu panti. Handphone Lula, Lula matiin biar gak ada yang ganggu waktu Lula sama anak-anak panti." Alibi Lula, menampakkan senyum palsunya yang terlihat begitu tulus di mata Ayah-nya.

Zarfan tersenyum dan mengusap lembut kepala putrinya. "Syukurlah. Ayah pikir terjadi apa-apa sama kamu. Untung Elisa mencegah ayah lapor polisi."

"O ya nak, dua hari lalu ada yang datang mencari mu. Tapi mereka kembali setelah tahu kamu tidak ada di rumah." Sambungnya.

Alula mengernyit heran dan berpikir keras. Ia tidak memiliki masalah apapun selain kejadian malam itu. Tidak mungkin itu Rendra atau sahabatnya, Uli. Jika benar mereka, kenapa ayahnya tak mengenali mereka.

"Sudah, tidak perlu berpikir. Jika mereka benar-benar ingin bertemu dengan mu, mereka akan kembali." ucap ayahnya menenangkan.

Setelah obrolan panjang tersebut, pak Zarfan meninggalkan Alula, kembali ke kamarnya. Sementara Alula, ia berusaha memejamkan mata, berusaha melupakan semua yang menimpa dirinya.

***

Dua bulan berlalu. Alula sudah menyelesaikan sekolahnya, tinggal mendaftar kuliah dan mencari pekerjaan sampingan.

Orang yang dikatakan Ayahnya tempo hari pun, tak pernah datang lagi menemuinya. Ia tak ambil pusing dan fokus dengan tujuannya.

Pagi ini mereka makan bersama. Hubungannya dengan Elisa dan ibunya masih sama, kurang baik. Dan hubungan Elisa dan Rendra, terlihat semakin mesra. Ada setitik rasa sakit dalam hati Alula, namun ia berusaha untuk menerima.

"Ini nak, Ayah ambilkan ayam mentega kesukaan mu." ujar pak Zarfan, memindahkan ayam mentega ke piring Alula.

Bukannya senang, reaksi Alula membuat ketiga pasang mata itu menatap heran. Alula merasakan mual yang teramat sangat. Tanpa pikir panjang, gadis itu berlari ke toilet dekat dapur dan menumpahkan isi perutnya disana.

"Lula! Lula! Buka pintunya, ini Ibu." panggil Bu Disa, menggedor-gedor pintu toilet.

Dengan tubuh lemas dan wajah yang terlihat pucat, Alula membuka pintu dan berdiri tepat di hadapan Ibu-nya dan Elisa.

"Kenapa kau muntah-muntah? Apa masakan ku tidak... Apa kau hamil?" Bu Disa menjeda ucapannya, kemudian terpekik mengucapkan kalimat terakhirnya.

Elisa dan Alula sama kagetnya mendengar praduga Bu Disa.

"H-hamil?" ujar Alula terbata. Ia memegang perutnya dan seketika, kilas balik mengenai kejadian malam itu terputar di otaknya. Setetes air matanya jatuh mengenai pipi. Hal itu semakin menguatkan dugaan ibunya.

"Kapan kau berhenti datang bulan?" pertanyaan bu Disa menyadarkan Alula dari lamunannya.

"Dat... datang bulan? Bulan lalu, dan ak–aku belum datang bulan bulan ini. Tang–tanggalnya sudah lewat."

Tanpa pikir panjang, bu Disa menarik tangan Alula dan menyeretnya ke ruang keluarga, dimana sudah ada Zarfan disana.

"Ada apa ini bu?" tanya pak Zarfan, diabaikan begitu saja oleh Bu Disa.

"Elisa, belikan tespack!" tanpa banyak bicara, Elisa segera mengendarai mobilnya ke apotik.

"Bu, sebenarnya ada apa ini?"

"Ayah tidak perlu ikut campur! Cukup diam dan lihat hasilnya nanti." jawab Bu Disa, menatap tajam Alula.

Tak butuh waktu lama, Elisa kembali dengan tespack di tangannya. Bu Disa kembali menarik Alula ke toilet, di ekori Elisa.

Wajah Alula pucat pasi mengetahui hasil tesnya. Dua garis yang mendakan kebenaran atas dugaan ibunya. Air matanya kembali luruh. Entah apa yang harus ia jelaskan pada Ibu dan Ayahnya.

Dengan tangan gemetar, Alula menyerahkan taspack tersebut pada Ibunya. Tak lama, wajah Alula terlempar ke kiri karena tamparan Ibunya.

"Dasar anak tidak tahu diri. Apa aku menyuruhmu menjual kehormatan mu? Hah?" geram Bu Disa, menarik kasar tangan Alula.

"Aku pikir, kau gadis polos. Ternyata, kau lebih murah dari seorang ******." Cibir Elisa sambil terus mengekori Alula dan ibunya.

Pak Zarfan yang melihat Alula ditarik kasar oleh istrinya pun berdiri. Ia bingung, kenapa istrinya terlihat begitu kejam pada Alula.

"Sebenarnya ada apa ini?"

"Ayah mau tau? Ini yang dilakukan anak kesayangan ayah." Geram Bu Disa, memberikan tespack ke pak Zarfan.

Bagai disambar petir, tubuh pak Zarfan terpaku dengan alat tersebut yang masih digenggamannya. Ia mendongak dan Plak...

Satu tamparan mengenai pipi Alula. Gadis itu hanya bisa menerima dan menangis.

"Keluar dari rumah ini!" ucap pak Zarfan dingin, sontak membuat ketiganya menatap kearahnya.

"A-ayah," lirih Alula dengan air mata yang terus membanjiri, namun di abaikan begitu saja.

Zarfan tak peduli dan berjalan melewati mereka menuju kamarnya.

"Ayah, maafin Lula yah!" teriak Alula, membuat ayahnya berhenti.

"Silahkan pergi dari sini! Saya tidak suka serumah dengan orang asing."

Tubuh Alula menegang. Dadanya seakan terhimpit batu besar, membuat ia sulit bernafas. Hatinya terluka. Ayahnya sendiri mengusirnya, menganggap dirinya orang asing. Benar yang pepatah katakan, panas setahun dihapuskan oleh hujan sehari.

Tanpa paksaan Kakak dan Ibunya, Alula berjalan keluar, meninggalkan rumah yang penuh kenangannya bersama keluarga. Berharap dalam hati agar Ayah kembali memanggil dan merengkuhnya dalam pelukan hangat. Tapi semua hanya hayalannya saja. Bahkan sampai ia melewati pagar rumah pun, tidak ada seorang pun yang memanggilnya untuk kembali

***

Sudah beberapa hari Alula luntang-lantung di jalanan. Dan beberapa hari itu juga, Alula berusaha untuk menggugurkan kandungannya. Namun usahanya sia-sia. Bayi yang dikandungnya seakan tidak terpengaruh dengan segala usahanya itu. Dan hari ini, Alula akan mencoba lagi, bahkan berniat untuk mengakhiri hidupnya.

Alula bejalan pelan di tengah jalan, berharap agar ada mobil yang menabraknya. Saat sebuah mobil melaju cepat dan hendak menabraknya, tiba-tiba tangan Alula ditarik seseorang sehingga keduanya jatuh ke sisi jalan.

"Hei, nak! Apa yang kau lakukan? Apa kau ingin melenyapkan nyawamu sendiri?" tanya seorang wanita paruh baya.

"A-aku tidak ingin hidup lagi. Aku tidak sanggup jika dibenci keluarga ku." jawab Alula, masih sesenggukan.

Wanita itu bangkit dan menarik Alula menuju tempat yang lebih nyaman.

"Ayo ceritakan sama Ibu." ujar wanita tersebut saat mereka sudah duduk di kursi panjang halte.

Mendapati raut tak siap Alula, ibu tersebut pun tersenyum. "Sudah, kalau belum siap cerita sama Ibu, gak apa-apa."

Alula yang merasakan ketulusan dari senyum yang Ibu tersebut terbitkan, Alula pun menceritakan semua kejadian yang menimpanya.

"Nak, setiap masalah pasti ada akhirnya. Tidak perlu kamu takut, apalagi sampai berusaha untuk bunuh diri? Itu tidak baik."

"Tapi bu, keluarga Alula udah benci sama Alula."

Ibu tersebut tersenyum.

"ingat nak! Tidak semua orang itu sama. Jika ada yang membenci mu, pasti ada yang menyayangi mu juga."

Alula menarik nafas panjang dan menghembuskannya. "Lula udah buat kesalahan bu. Lula udah merusak semuanya."

"Nak! Setiap manusia punya kesalahan. Dan setiap manusia juga memiliki kesempatan kedua. Jika kesempatan kedua tidak diberi oleh manusia, ada kesempatan kedua yang dikasih Tuhan."

"Kamu tau kenapa kamu selalu gagal untuk menggugurkan janin mu?" Alula menggeleng.

"Itulah kesempatan kedua yang diberikan Tuhan. Keluargamu tidak memberikan kesempatan kedua buat kamu memperbaiki kesalahan. Tapi tuhan memberikannya pada mu, dengan cara kamu merawat anak-anak mu. Tuhan tak mengindahkan kamu untuk melenyapkan mereka, karena tuhan tidak ingin kamu membuat kesalahan untuk kedua kalinya."

Mendengarnya, hati Alula tertohok. Perkataan ibu itu benar-benar menampar hatinya. Sekarang ia sadar, ia sudah salah kerena berusaha melenyapkan janinnya. Ia berjanji akan selalu menjaga anaknya dengan baik.

"Maafkan ibu nak!" batin Alula sembari mengelus perutnya yang rata.

Semenjak hari itu, Alula mulai menjalani hidupnya dengan baik. Ia mencari kontrakan yang cukup untuknya dan anaknya nanti. Uang sisa tabungannya juga, ia gunakan mendaftar kuliah. Ia juga mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuban hidup.

Sampai suatu saat, di sebuah rumah sakit, terdengarlah suara tangis bayi yang begitu nyaring. Membuat air mata dan senyuman terbit bersamaan di wajah Alula yang penuh peluh setelah melahirkan bayi kembarnya.

"Anak Ibu, Derren Alvaro," ujar Alula, mencium pipi anak yang ada dalam gendongannya. Lalu, beralih pada bayi satunya yang di gendong suster, "Anak Ibu, Darrel Alvero." Sambunya, lalu mencium pipi bayi tersebut.

Darren dan Darrel

Enam tahun berlalu. Kini, kedua putra Alula, Darren dan Darrel sudah tumbuh menjadi anak yang cerdas. Darren dengan sikap dingin dan segala kecerdasannya, dan Darrel dengan sikapnya yang mudah berbaur dan segala bakat yang dimilikinya.

"Bu! Coba lihat deh, gambalan Dallel bagus gak?" ucap Darrel, anak berusia enam tahun itu pada ibunya sambil memperlihatkan hasil gambarnya.

Alula tidak merasa terkejut lagi melihat gambaran Darrel yang begitu bagus dan indah. Baginya pemandangan itu sudah biasa. Namun, kali ini ia dibuat membeku saat melihat gambaran Darrel.

"Gimana Bu? Baguskan?" tanya anak itu semangat.

"Ini Ibu, aku, Dallen dan Ayah. Baguskan?" sambungnya, membuat setitik perih dalam hati Alula kembali muncul.

"Bu, Bu. Ibu kenapa bengong?" Alula terkesiap dan menatap Darrel lembut. "Ibu gak kena..."

"Makanya, pagi-pagi jangan ngerusuh!" ujar seorang anak laki dengan ekspresi dinginnya.

Bukannya merasa tidak suka, Darrel malah menghampiri anak yang berwajah sama dengannya.

"Dallen! Coba lihat! Bagus gak?"

Ya, anak lelaki tersebut adalah Darren, kembaran Darrel. Sudah menjadi kebiasaan sifatnya yang dingin dan agak irit bicara tersebut.

Darren berdecak mendengar panggilan adik kembarnya itu. "Ck. udah enam tahun, masih gak bisa sebut R." Dumel Darren, membuat Darrel menyengir lebar.

Darren meraih gambar yang diberikan Darrel padanya. Ia mengamati gambar tersebut, lalu mengembalikannya pada Darrel. "Kamu jagonya. Ayo ke sekolah!" kata Derren yang langsung meninggalkan Darrel.

Anak itu memasukkan gambarannya kedalam tas, lalu berlari menyusul Darren. Di depan, sudah ada Alula dan Darren yang menunggunya. Setelah Darrel sampai, ketiganya berjalan menuju depan gang untuk memperoleh taksi.

Setelah mendapatkan taksi, ibu dan anak tersebut langsung menaikinya. Sekitar lima belas menit perjalanan, Alula bersama Darren dan Darrel tiba di taman kanak-kanak, tempat Darren dan Darrel bersekolah.

TK tempat Darren dan Darrel belajar bukan TK elit. Hanya taman kanak-kanak biasa yang berada satu lingkungan dengan sekolah dasar.

"Kalian hati-hati ya?! Ibu pulang dulu. Nanti ibu jemput lagi kalau udah pulang." tutur Alula sambil menyodorkan tangannya untuk di cium kedua putranya.

"Iya bu," balas Darrel

"Ok." balas Darren.

Alula tersenyum dan mengelus pucuk kepala kedua anaknya. "Ren, jagain adik kamu ya? Ibu pulang dulu." Anak itu tidak menjawab, hanya gerakan kepala yang mengangguk saja yang ia tunjukan.

Alula kembali memasuki taksi dan melambaikan tangannya. Hanya Darrel yang membalas melambai dengan senyum yang merekah. Sementara Darren, ia hanya memandang Ibunya dengan sedikit senyum di wajah.

"Eh, itu mama kalian?" tanya seorang gadis kecil, yang entah datang dari mana.

Mendengar sapaan itu, keduanya berbalik. Darrel tesenyum padanya. "iy..."

"Bukan urusan kamu!" jawab Darren dingin, kemudian menarik tangan Darrel menuju kelas.

"Len, kenapa di talik tangan ku?" Bocah lelaki itu berusaha melepaskan tangannya dari Darren, dan berhasil.

"Kenapa Asya gak boleh tau Ibu kita?" Tanya Darrel, menyebut nama anak gadis yang bertanya pada keduanya tadi.

Darren mendengus kesal. Kenapa kembarannya ini sangat cerwet. Tanpa menjawab, Darren meninggalkan Darrel, berjalan melewati halaman sekolah dasar karena tempat mereka berada paling ujung kelas tersebut.

Darrel berlari menghampiri Darren yang semakin menjauh. Ia menghembuskan nafas lega saat Darren berhenti dan malah memperhatikan papan informasi.

"Hah... hah... Jahat kamu Len!" ucap Darrel dengan nafas tersengal.

"Lihat!" suruh Darren tanpa mengalihkan pandangan dari papan informasi.

Darrel mendongak, mencoba membaca tulisan di papan informasi. Jika anak-anak seusia mereka akan mengeja, Darren dan Darrel tidak. Keduanya membaca dengan sangat lancar.

"Lomba melukis tanggal 28 dengan total hadiah 50 juta. Batas akhir pendaftaran tanggal 27."

Darrel mengalihkan pandangan menatap Darren yang juga menatapnya.

"Ikut Len?" Darren mengangguk.

"Pulang nanti daftar!"

Setelah membaca pengumuman di papan informasi tersebut, keduanya menuju kelas.

***

Tepat pukul sepuluh, murid taman kanak-kanak di pulangkan. Darren dan Darrel berjalan santai menuju gerbang, menanti jemputan.

"Berapa 267 dikali 23?" tanya seorang Bu guru pada murid sekolah dasar kelas 4 yang sedang di ajarkannya.

"6.141," Bu guru tersebut menoleh. Bukan. Bukan siswanya yang menjawab, melainkan Darren yang sedang berdiri di ambang pintu dengan Darrel di sebelahnya.

"287 dikali 54?" Tanyanya sembari mendekat pada keduanya.

"15.498," jawab keduanya serentak. Sontak, Bu guru tersebut melongo tak percaya. Dua anak 6 tahun menjawab dengan mudah pertanyaannya tanpa meleset.

Sebelum ibu itu semakin dekat, Darren menarik tangan Darrel, sama-sama berlari menjauh menghindari pertanyaan-pertanyaan lain dari Ibu tersebut.

"Len, itu paman Gio." ucap Darrel menunjuk seorang lelaki yang terlihat bingung.

Darren mengikuti pandangan kembarannya. "Paman Gio!" panggil Darren.

Lelaki itu menghampiri mereka. "ya ampun, paman pikir kalian hilang." ucap Gio seraya tersenyum pada keduanya.

"Anterin kita ke tempat XX!" ucap Darren datar, membuat kening Gio mengerut.

"Ngapain ke sana?"

"Kita mau daftal lomba melukis paman." Gio mengulas senyum. Entahlah, ia tidak tega menolak permintaan kedua anak tersebut.

"Baiklah tuan-tuan, saya akan mengantarkan kalian kemana pun kalian inginkan." Kata Gio, berhasil membuat Darrel terkekeh kecil, sedangkan Darren hanya tersenyum tipis.

Sangat tipis sampai orang yang melihatnya tak akan berpikir jika ia tersenyum. Gio melajukan mobilnya menjauh dari sekolah. Lelaki itu tak mampu mengabaikan kedua anak tersebut. Ada ikatan lain antara mereka. Ikatan yang tak mampu ia jelaskan meski pada Alula, sahabatnya selama lima tahun ini.

Mobil Gio melesat cepat. Beberapa menit kemudian mobil hitam itu berhenti tepat di tempat yang dimaksudkan Darren dan Darrel. Mereka masuk menuju ruangan pendaftaran.

"Maaf nona, apa pendaftaran lomba melukis masih dibuka?"

"Iy-iya. Pendaftarannya masih dibuka. Silahkan isi formulir ini." Kata perempuan itu gelagapan. Ia gugup saat berhadapan dengan lelaki tampan seperti yang ada di depannya.

"Darren! Darrel! Siapa yang akan daftar? Ayo isi formulirnya." Ujar Gio sembari menyodorkan formulir yang diberikan.

Hah? Anak kecil? Duda tampan. Batin perempuan tersebut.

Darrel meraih formulir dan mulai mengisinya. Darren memperhatikan Darrel dan sesekali matanya melirik perempuan di depannya, yang diam-diam mencuri pandang pada Gio.

Gio berdiri dengan wajah menahan sesuatu. Tak tahan, ia berjongkok dan membisikkan sesuatu pada Darren. Anak itu mengangguk mengiyakan. Segera, ia menjauh dari kedua anak itu.

Perempuan tersebut terus memperhatikan Gio sampai lelaki tersebut menghilang dari pandangannya.

"Kamu anak kecil ingin mendaftar?" tanya perempuan tersebut dengan senyuman meremehkan.

"Kenapa? Tidak ada batas usia di pengumuman itu." ujar Darren dingin. Dan jangan lupakan tatapan tajamnya, seakan menghunus lawan bicaranya.

Perempuan tersebut terdiam. Ucapan merendahkannya tak mempan pada seorang bocah kecil.

"Ini tante folmulilnya!" perempuan itu meraih formulir dari tangan Darrel dengan wajah kusut.

Tanpa banyak bicara, kedua anak itu segera menjauh. Langkah mereka berhenti saat tak sengaja melihat seorang lelaki.

"Ya Tuhan, wajahnya milip aku dan Dallen," batin Darrel.

"Dia mirip aku dan Darrel." Batin Darren.

Keduanya saling bertatap. Tanpa ada yang memerintah, keduanya dengan kompak menghampiri lelaki tersebut. Namun keduanya harus menelan rasa kecewa. Lelaki tersebut lebih dulu masuk mobil dan melaju meninggalkan mereka.

"Hei! Sedang apa kalian di perkiran sendirian?" Suara bas seseorang membuat Darren dan Darrel menoleh. Lelaki yang tertangkap penglihatan Darren dan Darrel itu terkejut melihat keduanya.

"Ya Tuhan! Kenapa wajah kedua bocah ini sangat mirip dengan Gara? Jangan-jangan mereka anak Gara dengan gadis malam itu?!" Batin lelaki tersebut yang tak lain adalah Edo.

"Kenapa paman?" tanya Darren, risih dengan tatapan Edo.

"Hah? Enggak. Gak kenapa-kenapa." Edo menjeda ucapannya. "Emm... kalian lagi tungguin siapa? Mama kalian?"

"Bukan mama, tapi Ibu! Kita lagi nungguin paman. Ibu gak jemput, Ibu kelja."

"Kerja apa? Dimana?"

"Ish, paman kepo! Ibu kelja di... hmmppphh" ucapan Darrel terpotong oleh telapak tangan Darren yang membekap mulut nya.

Darren sudah berada di ambang batas kekesalan, melihat mulut cerewet adiknya yang asal ceplos pada orang asing di depan mereka. Dan dengan tak berbedosanya Darren membekap mulut Darrel.

"Kamu bisa diam gak?" bisik Darren, mengeraskan rahangnya.

Dengan susah payah Darrel menarik tangan Darren dari mulutnya. Kekuatan kakak kembarnya itu tak bisa diremehkan.

"Hah... Hah... Kamu mau bunuh aku?" tanya Darrel dengan nafas tersengal, setelah berhasil melepaskan tangan Darren.

Darren tak menjawab. Hanya wajah datar tak bersalahnya yang ia tunjukkan. "Sudah! Kalian jangan berantem!" lerai Edo. Lelaki itu merogoh saku celananya, mengeluarkan selembar kartu dari dompetnya.

"Kalian lihat paman tadi yang masuk mobil warna putih?" Darren dan Darrel mengangguk.

"Nah, itu bos paman. Ini kartu nama paman. Kalau ibu kalian butuh kerja, langsung ke alamat ini. Atau kalian boleh daftar melalui link ini. Di tempat paman sedang mencari tenaga kerja baru." ujar Edo panjang lebar, memberikan kartu namanya pada Darren.

Kedua anak itu hanya mengangguk. Darren menyimpannya dengan baik. Terlintas sebuah ide dalam otaknya. Ide dengan memanfaatkan kartu nama orang asing itu.

Setelah kepergian orang asing tersebut, paman Gio kembali dari urusannya. Darrel tak bertanya lagi, ia sudah mengetahui alasan paman Gio pergi dari Darren. Tak berapa lama, mobil mereka melesat meninggalkan tempat itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!