NovelToon NovelToon

MOVE ON

PENGENALAN TOKOH

.

.

.

MALIKA SHARNAZ

Wanita cantik semampai dengan tinggi badan 160 cm itu adalah single mother dari dua jagoan kecil berumur 3 tahun yang ia beri nama Leo Punggiana dan Reo Punggiana.

Diusianya yang baru dua puluh empat tahun, Malika bercerai dari suaminya—Haris Amiadi. Beruntung bagi Malika karena hak asuh kedua anaknya jatuh ke tangannya. Padahal demi menikah dengan mantan suaminya itu, Malika rela hanya mengenyam pendidika hanya di jenjang D1 Manajemen.

Semua karena Haris tidak mengizinkannya untuk sekolah lagi setelah mereka menikah. Meskipun Malika termasuk wanita dengan otak encer, terbukti saat SMA ia pernah mengikuti program akselerasi dan berhasil lompat kelas satu tingkat.

Namun ketika kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan di penghujung sekolah menengah atasnya. Malika yang kesepian akhirnya bertemu dan terjebak pada pria yang salah.

Sejak kedua orang tuanya meninggal, Malika menjadi yatim piatu tanpa saudara kandung karena ia adalah anak tunggal. Namun Malika masih memiliki Rima Nadya serta suaminya—Satria Aji sebagai sanak saudara. Meski hanya sepupu, tapi hubungan mereka cukup dekat, karena Malika dan Rima sama-sama anak tunggal dalam keluarga mereka.

Setelah bercerai dengan mantan suaminya, Malika kembali ke rumah warisan kedua orang tuanya yang selama ini ditempati dan dirawat oleh Rima dan suaminya.

.

.

.

.

.

TAKI SAHARA

Pria lajang blasteran Jepang - Indonesia. Penerus usaha keluarga yang bergerak di bidang kuliner, lebih tepatnya sebuah Bakery legendaris yang sudah dikelola secara turun temurun selama tiga generasi, bernama PANKEKI BAKERY.

Kedua orang tua Taki masih utuh, tapi Tn. dan Ny. Sahara lebih sering berada di Jepang ketimbang di Indonesia untuk menemani kakek Taki di usia tuanya. Begitu pula dengan kakaknya yang lebih sering di Jepang menemani orang tua mereka. Taki adalah anak bungsu dari dua bersaudara.

Kakak perempuannya bernama Hana Sahara, seorang janda tanpa anak yang memilih berpisah dari suaminya karena tidak ingin menjadi penghalang bagi pria bernama Hajime Sakuraba itu untuk menggapai mimpinya sebagai fotografer alam.

Dengan tinggi 185cm dan wajah menawan khas pria Asia, Taki Sahara tidak pernah gagal membuat banyak wanita yang terpesona dan tergila-gila. Secara kasat mata ia tampak bagai lelaki sempurna. Hingga sebuah kecelakaan yang parah mengubah kehidupan Taki.

.

.

.

.

.

❤️CUPLIKAN❤️

"Kamu benci saya?"

"Iya Pak."

"..."

Beberapa detik kemudian barulah Malika menyadari jawabannya yang keliru, dan segera mengklarifikasinya.

"Eh, maksud saya, tidak Pak," imbuhnya.

"Lalu kenapa kamu menghindari saya?" tanya Taki to the point.

DEG!!! Seketika jantung Malika bagai dihujam palu. Ia memilih diam saja. Kepalanya menunduk.

"Kenapa kamu menghindari saya?" Taki mengulang pertanyaannya.

Malika masih diam. Ia menggigit bibir bawahnya. Taki melirik pada Malika. Masih bersabar menunggu jawaban dari bibir wanita itu.

"Enggak bisa jawab atau enggak mau jawab?" Taki mengubah pertanyaannya setelah merasa pertanyaan sebelumnya terabaikan.

Malika menggeleng, tapi bibirnya tetap terkunci rapat.

Ketika melintas di jalanan yang nampak sepi, Taki menghentikan kendaraannya dipinggir jalan. Ia mematikan mesin mobilnya lalu memutar badan hingga menghadap ke arah Malika.

"Maksudnya apa menggeleng begitu? Saya enggak ngerti. Tolong kamu jelaskan!" pinta Taki dengan nada dan ekspresi serius.

Matanya yang menatap lekat ke arah Malika membuat Malika salah tingkah.

Ya Ampuunn, gimana ini??? Gue mesti jawab apa, Tuhaaannn??? batin Malika panik. Kaki dan tangannya mulai gemetaran. Lagian ini laki orang kenapa kepo banget sih ama perasaan gue??? rutuknya dalam hati.

"Oke, kalo kamu enggak jawab, saya enggak akan nyalakan mobilnya," ancam Taki sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Lho, kok gitu? Terus saya gimana pulangnya?" protes Malika.

"Makanya buruan jawab! Kenapa kamu menghindari saya? Setelah itu baru saya antar kamu pulang." Taki mendorong wajahnya mendekat ke arah Malika, terus mendekat dan semakin dekat seolah ia akan mencium wanita itu.

Malika yang terus memundurkan wajahnya mulai panik. Lalu saat belakang kepalanya sudah tersudut pada pintu mobil, Malika akhirnya membuka suaranya sambil memejamkan mata erat-erat.

"Saya menghindari Bapak karena saya enggak tahan melihat wajah Bapak lama-lama. Saya bukannya benci sama Bapak tapi justru saya takut naksir Bapak. Saya enggak mau naksir sama suami orang, saya enggak mau jadi PELAKOR!" jawab Malika cepat dan lantang.

***

From Author:

Welcome to my new Novel gaeesss 😆😆😆

sesuai permintaan beberapa dari kalian, cerita pendek yang berjudul MOVE ON aku bikinin versi Novelnya niihh, tapii jangan lupa dukung terus dengan kasih like dan komennya yaa 😉

Ketik 'Next' atau 'Lanjut' doang gapapa kok, asal tetep komen...tapi yg paling disuka siihh klo ada kritik saran yang membangun, mau bangeettt doongg!!! 😘

Anyway...Happy Reading All 🤓✌️

TALAK

'Kasih sayang tulus tak harus datang dari darah yang sama, terkadang ketulusan yang nyata bisa kita dapatkan dari orang lain yang justru bukan siapa-siapa.'

—MOVE ON, by: Mrs Caffeine.

💗

💗

💗

"Mulai detik ini, aku haramkan tubuhmu dari tubuhku." Haris berkata dengan lantang, dengan tegas, dan tanpa ragu di depan seluruh keluarga besarnya. Dan tentu saja di depan Malika—perempuan yang telah menjadi istrinya selama lima tahun belakangan ini.

Malika termangu. Ia shock tentu saja, tapi anehnya ia tidak merasa sedih. Malah lega. Luar biasa lega sampai-sampai air matanya luruh begitu saja.

Sudah hampir empat tahun ia menunggu saat ini. Saat Haris—suaminya, menjatuhkan talak kepadanya, yang artinya keluarga Amiadi pada akhirnya bermaksud untuk melepaskannya.

Sebuah senyuman sinis tersungging dari bibir seorang wanita tua yang duduk di sebuah sofa tunggal di ruangan itu dengan tongkat di tangannya.

"Ngapain pake mewek segala, nggak ngefek! Haris nggak mungkin mencabut lagi ucapan talaknya ke kamu! Dia udah bosen sama kamu! Perempuan yang bisanya cuman membawa sial!" ucap wanita tua itu dengan lantang.

"Bu, jangan bilang begitu!" sahut seorang gadis muda yang duduk tak jauh di samping wanita tua tadi.

"DIAM KAMU, Vi! Gara-gara kamu baik sama perempuan bodoh ini kamu jadi ketularan bodoh seperti dia!" bentak wanita tua itu.

Wanita muda itu adalah Vivi—adik perempuan Haris, terdiam setelah dibentak ibunya. Tapi dalam hati kecilnya ia masih tidak setuju atas ucapan sang ibu terhadap kakak iparnya—Malika.

Mungkin saat ini Malika bukan lagi kakak iparnya, sejak Haris menjatuhkan talaknya beberapa saat lalu. Namun bagi Vivi, Malika yang usianya terpaut dua tahun diatasnya itu akan selalu menjadi kakak iparnya.

Vivi adalah saksi hidup bagaimana keluarga Amiadi, kecuali dirinya, menyiksa Malika. Bagaimana mereka memperlakukan menantu pertama dalam keluarga itu layaknya pembantu yang harus bekerja dari pagi hingga malam. Bahkan tak jarang hingga dini hari ketika begitu banyak yang harus dikerjakan Malika untuk keluarga itu. Meski begitu, Vivi tidak mampu menolong Malika dari kekejaman orang tua dan kakak lelakinya.

Apalagi sejak ia menikah karena dijodohkan dengan seorang lelaki kaya dan harus tinggal bersama suaminya, Vivi secara otomatis kehilangan kesempatan untuk paling tidak membantu meringankan tugas Malika di rumah itu secara sembunyi-sembunyi.

Dan kini, entah apa yang harus Vivi rasakan. Sedihkah? Senangkah? Vivi sendiri merasa tak yakin. Disatu sisi ia sedih atas talak yang dijatuhkan Haris pada Malika begitu saja. Apalagi itu artinya ia harus berpisah dengan si kembar keponakannya—anak kembar hasil pernikahan Malika dengan Haris.

Tapi di sisi lainnya ia juga merasa lega karena Malika akhirnya terbebas dari penjara yang menyiksa perempuan itu selama hampir lima tahun pernikahannya dengan Haris Amiadi—kakak lelakinya.

"Segera bereskan barang-barangmu dan juga barang-barang si kembar, lalu cepat angkat kaki dari rumah ini!" titah Haris tanpa menoleh pada Malika. Pria itu berdiri di dekat jendela. Berkacak pinggang dan memunggungi semua orang yang ada di ruangan itu.

Malika mengusap air matanya. Ia yang awalnya duduk di kursi paling ujung lalu berdiri perlahan. "Bagaimana dengan surat cerai? Dan hak asuh?" tanya Malika dengan suara parau.

"Surat-surat biar aku yang urus dan hak asuh si kembar pasti akan kuberikan padamu. Apa kau puas?" Haris berbalik. Kali ini menatap wajah Malika lekat sambil masih berkacak pinggang.

Air mata Malika seketika mengering. Ia sekuat tenaga menyembunyikan senyumnya. Rasanya Malika ingin bersorak kegirangan, tapi tentu saja itu tidak mungkin dilakukannya sekarang. Tidak di depan Haris dan kedua mertuanya. Ia tidak boleh terlihat lega ataupun senang, jika tidak... Suami dan mertuanya pasti tidak akan puas dan akan mencari cara untuk menyiksanya lagi.

Ia harus kelihatan sedih dan terpuruk agar mereka merasa yakin bahwa apa yang ia alami saat ini benar-benar membuatnya terpuruk. Agar mereka merasa mereka telah menang, dan ia bisa segera pergi dari neraka ini.

"Tapi kalau aku dan anak-anak pergi dari sini, lalu kemana kami akan tinggal?" Malika berpura-pura menderita dengan membungkukkan badan dan mengaitkan kedua tangannya di depan dada seolah ia begitu kebingungan dan merana. Padahal ia berusaha meredam detak jantungnya yang berdebar karena kegirangan.

Dan benar saja, ibu mertuanya adalah orang yang paling bahagia melihat Malika menderita, wanita tua itu berdiri lalu berjalan mendekati Malika yang nampak terguncang di matanya. Ia menunjuk ke arah Malika menggunakan tongkat kayu yang selama ini digunakannya untuk menopang tubuhnya saat berjalan.

"MASA BODOH! Cepat pergi dari sini, aku sudah muak melihat tampang bodohmu itu! Perempuan pembawa sial sepertimu memang lebih baik dibuang jauh-jauh. Menyesal aku tidak membuangmu dari dulu, gara-gara kesialan yang kau bawa, usaha keluarga kami yang turun termurun jadi koleps." ocehnya berapi-api.

Meski sakit hati mendengar tuduhan tak berdasar yang keluar dari mulut mantan ibu mertuanya, Malika menggigit bibir bawahnya. Namun ia tetap diam dan menahan diri untuk tidak membalas. Ia bahkan tak mengangkat kepalanya untuk menatap wanita tua itu.

Ny. Amiadi menurunkan tongkatnya, lalu berjalan menghampiri sang anak. Ditepuk-tepuknya punggung anak lelakinya itu dengan bangga sembari berujar, "Beruntung ada keluarga kaya yang mau menerima Haris sebagai menantu mereka dan berjanji untuk membantu finansial CV. AMIADI. Karena itu kami sudah tidak butuh perempuan seperti kamu lagi. Pergi sana! MINGGAT DARI RUMAHKU!" teriak Ny.Amiadi pada Malika dengan menggebu-gebu.

Merasa kasihan, dan tak tahan lagi melihat Malika dimaki-maki oleh ibunya, Vivi langsung berlari ke sisi Malika yang masih membungkuk lalu membimbingnya masuk ke dalam kamar Malika.

Sesampainya di dalam kamar Malika, di mana kedua anak kembarnya sedang tertidur lelap, Vivi segera mengunci pintu dan menutup jendela, berharap tidak akan ada orang yang akan mendengarkan percakapannya dengan Malika di dalam kamar itu.

"Cepat berkemas, kak! Sebelum mereka berubah pikiran!" pinta Vivi dengan cemas. Suaranya dibuat berbisik demi berhati-hati.

Malika mengusap air matanya yang sempat jatuh lagi. Ia sedikit takjub dengan reaksi tubuhnya, meski tak bersedih atas kejadian yang dialaminya ini, tapi kemampuannya menangis di momen-momen penting seperti tadi ternyata sangat berguna.

"Tenang, Vi! Tenang...!" jawab Malika dengan suara yang tak kalah lirih. "Sejak aku tahu Mas Haris akan menceraikanku, aku sudah membereskan barang-barangku sedikit demi sedikit. Aku hanya akan membawa yang benar-benar kubutuhkan kok, kamu tenang saja!" Malika mengusap kepala adik iparnya itu dengan lembut.

Selama ini, hanya Vivi yang baik padanya di rumah ini. Meski Vivi tidak bisa banyak membantunya tapi wanita muda itu akan selalu membelanya jika sang ibu mertua sudah keterlaluan menyiksa dirinya.

"Tapi kemana kamu akan tinggal setelah ini, kak? Kemana kamu akan membawa anak-anak?" Vivi merasa khawatir.

Malika tersenyum, "Jangan cemas, Vi! Aku punya tempat tinggal yang layak untuk kami, rumahku sendiri, warisan dari mendiang kedua orang tuaku yang tidak diketahui oleh Mas Haris maupun orang tuamu!" beber Malika sambil mengeluarkan sebuah koper yang telah terisi penuh.

Kedua manik mata Vivi Amiadi berbinar seketika, "Benarkah? Syukurlah kalau begitu! Aku benar-benar lega mendengarnya!" jawab gadis itu dengan tulus sambil berhambur memeluk Malika.

Keduanya lantas berpelukan erat layaknya dua saudara kandung yang akan berpisah dan takkan bertemu lagi. Baik Malika maupun Vivi sama-sama menangis, mereka sadar mereka memang tidak akan bertemu lagi jika takdir tidak mengizinkan keduanya untuk bertemu.

"HEEIIII, PEREMPUAN SIAL!!! CEPAT PERGI SEBELUM KEBERADAANMU DI RUMAH INI SEMAKIN MEMBUAT KAMI LEBIH SIAL LAGI!!!" teriak Ny.Amiadi dari ruang tamu rumahnya.

Vivi dan Malika tersentak dan segera melepaskan pelukan mereka, "Ayo, Kak! Cepat! Biar aku yang gendong Leo!" Vivi menawarkan bantuan terakhir yang bisa ia berikan pada mantan kakak iparnya itu.

Malika mengangguk dengan cepat dan langsung menyambar Reo ke dalam gendongan. Malika menggendong Reo dengan sebelah tangan sementara tangan satunya menyeret sebuah koper besar yang berisi barang-barangnya dan juga barang-barang si kembar.

"Apa keinginan terakhirmu sebelum pergi dari sini?" tanya Haris dengan suara sedingin es.

"Aku minta segera selesaikan surat-suratnya karena mungkin aku akan kembali ke kampung halamanku. Tapi untuk sementara, aku akan menumpang di rumah saudaraku sebelum surat cerainya keluar, jadi kuminta kau bereskan dengan cepat!" jawab Malika dengan wajah sendu.

"Baiklah, itu gampang! Karena aku juga ingin segera meresmikan perceraian kita!" jawab Haris.

"Aku akan menemani Kak Malika untuk mencari taksi di ujung jalan! Si kembar sama-sama tidur, dia tidak mungkin bisa membawa keduanya bersamaan!" pamit Vivi pada keluarganya.

"Terserah kau saja!" Haris yang menjawab, masih tanpa ekspresi, sedangkan Ny.Amiadi hanya mendengus keras karena kesal dengan kebaikan Vivi terhadap Malika.

Ketika Malika dan Vivi keluar dari pintu rumah kediaman Amiadi, Haris langsung berbalik dan berlalu ke arah sebaliknya. Pria itu bahkan tidak melirik wajah anak kembarnya untuk yang terakhir kali.

Dengan tenang ia masuk ke dalam kamarnya yang sudah hampir tiga tahun ini ditempatinya seorang diri sejak anak kembarnya lahir. Haris dan Malika memang sudah pisah ranjang sejak Malika melahirkan, bahkan sejak perut Malika membesar karena mengandung bayi kembar.

Penampilan Malika yang hamil besar dan tak lagi nampak menarik baginya membuat Haris enggan menyentuh wanita yang saat itu masih menjadi istrinya itu.

Apalagi ketika Malika malah lebih sibuk mengurus bayi kembarnya ketimbang mengurusnya, Haris semakin kesal dibuatnya. Seolah-olah fungsi Malika sebagai istrinya sudah tak ada. Malika seolah sudah tak berguna lagi baginya.

Di ujung jalan, Vivi masih setia menunggui Malika sampai mendapat taksi. Saat sebuah taksi kosong kemudian berhenti di depan mereka dan menawarkan armadanya, tanpa ragu Malika segera mengangguk mengiyakan.

Sopir taksi turun untuk membantu Malika memasukkan kopernya ke dalam bagasi, dan setelah menidurkan Reo lebih dulu di kursi penumpang, Malika lantas meraih Leo yang masih ada dalam gendongan Vivi.

Ketika Malika dan kedua anaknya sudah duduk di dalam taksi, Vivi dengan cepat menyelipkan sebuah amplop ke dalam telapak tangan Malika. Membuat Malika terkesiap dan memekik, "Apa ini, Vi?" tanyanya kaget.

"Maaf, Kak! Mungkin isinya enggak banyak, tapi moga aja cukup untuk biaya hidup kak Malika dan anak-anak selama sebulan. Aku tahu Kak Haris nggak ngasih apa-apa, makanya aku nyiapin ini untuk kalian!" ucap Vivi dengan mata berkaca-kaca.

"Ya ampun, Vi, tapi kamu harusnya enggak perlu repot-repot begini!" Malika pun jadi terharu.

"Tolong terima, Kak! Dan tolong maafin keluargaku!" pinta gadis itu dengan air mata yang sudah berlinang.

Saat itu hati Malika terasa perih, dan kali ini, linangan air yang tumpah dari kedua matanya benar-benar hasil dari emosi kesedihannya. Malika menyadari, satu-satunya hal yang membuatnya sedih atas perceraiannya dengan Haris adalah perpisahannya dengan Vivi. Wanita muda yang selalu tulus padanya selama ini.

Malika mengangguk kuat-kuat di hadapan Vivi, "Makasi, Vi! Makasi banyak atas bantuanmu selama ini!" ucap Malika tak kalah tulusnya.

Vivi balas mengangguk, dadanya naik turun akibat sesak yang ia rasakan. Wanita muda itu sesenggukan dengan keras. Membuat Malika semakin trenyuh melihatnya.

"Sudah bisa berangkat, Bu?" tanya pak sopir dengan hati-hati.

"Iya, Pak!" jawab Malika lirih saat Vivi sudah melepaskan tautan tangan mereka.

Dengan pasti, taksi yang ditumpangi Malika dan kedua anaknya melaju pergi dari hadapan Vivi—wanita muda yang masih terdiam mematung dipinggir jalan menatap kepergian taksi yang membawa Malika dan si kembar pergi dari neraka bernama keluarga Amiadi.

.

.

.

To be Continue....

GOOD BYE HELL

'TOMORROW could be the someday you've been waiting for !'

('Bisa saja BESOK adalah sebuah hari yang telah kau nanti-nantikan !')

—MOVE ON, by: Mrs Caffeine.

💗

💗

💗

Tak lama setelah Taksi yang ditumpanginya melaju, Pak sopir bertanya arah tujuan Malika pergi.

"Ke jalan Merbabu nomor dua, Pak!" jawab Malika.

"Jalan Merbabu yang masuknya dari depan SMA 6 itu, Bu?" tanya Pak sopir memastikan.

"Betul, Pak!" balas Malika cepat.

Malika bermaksud menidurkan Leo yang masih ada di atas pangkuannya, ke sisi Reo yang sejak awal ia tidurkan di sisinya—kursi penumpang.

"Pak, pelan-pelan saja ya mengemudinya! Anak-anak saya lagi tidur. Saya tidak buru-buru kok," pinta Malika sopan pada sang sopir.

"Baik, Bu!" jawab Pak sopir dengan ramah.

Setelah menjejerkan anak-anaknya di kursi penumpang, lalu mengganjal tubuh Leo dengan sebelah kakinya agar tidak terjatuh. Malika segera mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Rima—sepupunya. Rimalah yang selama ini menjaga rumah peninggalan orang tuanya sejak ia menikah. Jadi kunci rumah itu juga masih dipegang oleh Rima. Jelas Malika tidak bisa masuk ke rumah tanpa bantuan sepupunya itu.

Lebih dulu Malika melihat jam digital yang tertera di layar ponsel jadulnya. Masih jam setengah delapan malem, moga Rima belom tidur. Harap Malika.

Setelah menekan tombol calling, Malika lalu menempelkan ponselnya ke telinga. Untungnya harapannya terkabul, karena baru satu kali nada panggil terdengar, Rima langsung menerima panggilannya.

📱RIMA NADYA

Halo! Malika?

📱MALIKA SHARNAZ

Halo, Rim! Ini gue!

📱RIMA NADYA

Iya gue tahu, ini lo, Malika.

Ada kabar apa, Ka? Lo baik-baik aja kan?

📱MALIKA SHARNAZ

Gue lagi di jalan mau ke rumah Merbabu.

📱RIMA NADYA

Haaahhh?! Apaa?!

📱MALIKA SHARNAZ

Gue udah ditalak dan diusir sama Mas Haris. Ini gue lagi di dalem taksi sama anak-anak.

📱RIMA NADYA

Serius lo, Ka? Sialan tuh si Haris!

📱MALIKA SHARNAZ

Udah... nggak usah maki-maki dia sekarang! Ini gue udah setengah jalan. Lo bisa kan bukain pintu buat gue?

📱RIMA NADYA

Ooh, bisa-bisa! Gue sama Mas Satria ke rumah lo sekarang, gue bukain pintunya.

📱MALIKA SHARNAZ

Oke, Rim. Trims. Sampe ketemu disono!

📱RIMA NADYA

Oke-oke!

Malika menghela napasnya lega setelah menutup sambungan telepon dengan Rima. Ia menoleh ke samping untuk menatap wajah-wajah mungil kedua anak lelakinya seraya bersyukur.

Terima kasih, Tuhan! Terima kasih atas jalan yang telah KAU berikan kepadaku dan anak-anakku. Semoga setelah ini, kami bisa hidup dengan damai, tenang, dan bahagia. Aamiin.

Malika berdo'a dengan khusyuk. Ia berpaling menatap keluar jendela taksi dan menempelkan keningnya di kaca jendela. Potongan-potongan kenangan selama ia tinggal di rumah Haris saling berkelebat di pelupuk matanya. Dan satu persatu potongan kenangan itu mulai pecah bagai buih sabun yang meletus di angkasa.

Malika tersenyum senang. Mulai besok tidak akan ada lagi drama, tidak akan ada lagi tekanan. Mulai besok semuanya akan baik-baik saja! Harus! Malika berjanji pada dirinya sendiri.

Beberapa saat kemudian, pak sopir menghentikan laju armadanya tepat di depan sebuah rumah berpagar biru muda yang tampak sepi dan gelap.

"Di sini, Bu, rumahnya?" tanya pak sopir.

"Maaf sebentar ya, Pak, saya lihat dulu, soalnya sudah lama saya tidak ke sini!" jawab Malika. "Saya titip anak saya, Pak!" tambahnya sebelum keluar dari taksi.

Karena pagar rumah itu sebagian ditutupi fiber, jadi Malika tidak bisa memastikannya begitu saja dari luar. Ia lantas berjalan menuju pintu pagar yang terbuka dan mulai melangkah masuk sambil memanggil nama sepupunya.

"Rim...!" panggil Malika dari dekat pagar.

"Ya...!" sahut sebuah suara dari dalam rumah dengan pintu utama yang terbuka itu.

Malika seketika terdiam. Teras rumah yang gelap membuatnya takut melangkah lebih jauh, meski ada sinar lampu yang tersorot dari dalam rumah lewat pintu yang terbuka tapi Malika takut jika ternyata salah masuk rumah orang.

Walaupun dalam hati ia cukup yakin ini adalah rumahnya. Rumah peninggalan orang tuanya. Namun, karena banyaknya perubahan pada jalan dan rumah-rumah para tetangga serta saking lamanya Malika tidak berkunjung membuatnya sedikit lupa hingga menjadi ragu.

Lalu tiba-tiba... Sekoyong-konyong seorang pria dan wanita dewasa keluar dari pintu yang terbuka itu dan langsung menatap ke arah Malika. Malika balas menatap mereka dengan canggung.

"Ya ampun, Malika!" teriak Rima sambil langsung berhambur memeluk tubuh sepupunya itu. "Gila! Kangen banget gue ama lo!" akunya sambil menangis.

Malika kaget luar biasa dengan sambutan Rima padanya, saking kagetnya ia hanya menepuk-nepuk punggung Rima yang masih memeluknya dengan erat.

"Kenapa enggak langsung masuk aja sih?" tanya Rima setelah melepaskan pelukannya dan mengusap air mata bahagianya.

"Gue takut salah masuk rumah orang, Rim!" jawab Malika. "Banyak yang berubah sih, jadi gue ragu mau masuk."

"Anak-anak kamu mana, Ka?" tanya Satria yang berdiri di belakang Rima. Suami Rima itu celingukan heran karena melihat Malika yang berdiri seorang diri.

"Itu mereka di dalam taksi, masih pada tidur semua!" jawab Malika sambil menunjuk ke arah taksi yang berhenti di depan pagar rumah itu.

"Oh, ya ampun, kesiannya!" sahut Rima. "Ayo buruan diambil, trus tidurin mereka di kamar!" ajak Rima sambil berjalan menuju taksi. Malika dan Satria mengikuti langkah Rima dibelakangnya.

"Kamu kesini enggak bawa apa-apa?" tanya Satria lagi.

"Aku cuman bawa satu koper besar di bagasi belakang." jawab Malika.

"Ya udah, kalo gitu aku yang bawa kopernya kalian gendong si kembar masuk!" titah Satria pada kedua saudara sepupu itu.

Malika dan Rima mengangguk lalu mulai mengambil anak-anak Malika satu persatu. Setelah masing-masing perempuan itu menggendong seorang anak balita laki-laki yang sama-sama masih tertidur lelap, Satria langsung menyuruh mereka untuk masuk.

"Udah, kalian langsung masuk aja, udah malem. Biar taksinya aku yang bayar!" ujar Satria.

"Makasih, Mas!" jawab Malika lalu mengikuti langkah Rima yang sudah memasuki rumah lebih dulu sambil menggendong Leo.

Di dalam rumah peninggalan mendiang orang tua Malika itu, perabotannya cukup lengkap. Meski tidak banyak barang tapi barang-barang yang dibutuhkan untuk sehari-hari kecuali televisi semuanya tersedia.

Setelah menidurkan si kembar ke atas tempat tidur di dalam kamar depan, Rima mengajak Malika berbincang di ruang tamu agar tidak mengganggu si kembar yang masih tidur.

Saat mereka keluar dari kamar, Satria yang baru masuk kembali ke dalam rumah langsung meletakkan koper Malika yang di bawanya ke depan pintu kamar tempat si kembar tertidur.

"Lampu terasnya mati, kayanya ada yang konslet. Aku benerin dulu selagi kalian ngobrol!" ujarnya sambil menarik salah satu kursi kayu dari ruang tamu menuju teras untuk pijakannya selama membetulkan lamph teras.

Rima mengangguk singkat menanggapi suaminya lalu sorot matanya nampak memindai raut wajah Malika. "Lo, enggak sedih udah ditalak sama diusir sampe kaya gini sama si Haris brengsek itu?" tanya Rima pada sepupunya.

Malika nampak berpikir sejenak, lalu akhirnya tersenyum tulus. "Enggak!" jawabnya dengan tegas.

Rima ikut tersenyum lega mendengar jawaban tegas dari mulut sepupunya itu.

"Mungkin bagi orang yang nggak tahu apa-apa, ngeliat gue diperlakukan kaya gini pasti ngira gue bakalan nyesek. Tapi bagi gue sendiri, lebih nyesek tetep tinggal di sana dalam ikatan semu berkedok pernikahan daripada diusir dan ditalak begini. Percaya deh, begini ja—uh lebih baik!"

Rima tidak tahan untuk mengusap-usap kepala Malika. Entah penderitaan macam apa yang telah sepupunya itu alami. Rima sampai enggan untuk membahasnya lagi, sebelum ia dan Malika mulai bertangis-tangisan yang sama sekali tidak perlu.

Demi mengalihkan perhatian, Rima akhirnya mulai menjelaskan tentang kondisi rumah peninggalan orang tua Malika yang selama ini ditinggalinya bersama suaminya, sebelum mereka berdua akhirnya mempunyai rejeki dan mampu membeli rumah sendiri.

"TV lama lo rusak setahun yang lalu gara-gara kebocoran jadi konslet deh, karena emang udah tua, aku sama mas Satria mutusin sengaja enggak diservis. Tapi kita juga enggak buang TVnya. Masih ada tuh di gudang belakang, kalo mau lo musiumin." ledek Rima pada Malika yang langsung manyun mendengarnya.

"Lho, rumah ini ada yang bocor, Rim?" tanya Malika berubah khawatir sambil melihat ke langit-langit ruang tamu.

"Tenang aja, sekarang udah enggak kok! Rumah lo ini kuat, cuman kemaren bocor karena ketimpa patahan cabang pohon tetangga yang udah lapuk terus bikin gentengnya pecah. Makanya bocor deh! Tapi langsung dibenerin kok sama Mas Satria. Jadi sekarang udah beres!" balas Rima sambil menepuk-nepuk paha Malika yang duduk disampingnya.

"Oh, gitu...!" Malika manggut-manggut sambil melihat sekeliling.

Ia jadi bernostalgia pada rumah yang sedari kecil ditinggalinya ini. Tak terasa sudah lima tahun ia tak mengujungi rumah ini. Semua itu karena kekangan dari keluarga Amiadi yang tidak mengizinkannya kemana-mana bahkan untuk berkunjung ke saudaranya sendiri pun ia tidak diperbolehkan.

Rima meraih tas tangannya yang tergeletak di sebuah kursi ruang tamu tak jauh dari duduknya, ia lalu mengeluarkan sebuah buku tabungan dari dalam tas itu dan sebuah kartu debit dari dalam dompetnya.

"Ini, Ka! Tabungan lo yang gue simpenin selama ini! Pin kartu ATMnya ada di buku tabungan halaman paling belakang. Lo ganti sendiri nanti biar gampang lo inget-inget!" ujar Rima sambil menyerahkan buku tabungan dan kartu debit itu kepada Malika.

"Hah? Tabungan apaan ini, Rim?" tanya Malika heran.

"Ini uang biaya sewa rumah ini yang gue simpenin buat lo, Ka! Tapi karena gue enggak bisa ngajak lo buat bikin rekening sendiri jadinya gue bikin atas nama gue!" beber Rima.

"Ya ampun, Rim! Kok lo pake bayar sewa rumah segala ke gue sih, lo udah bantu ngerawat rumah gue aja gue makasi banget!" Malika merasa tidak enak dibuatnya.

"Jangan gitu, Ka! Kalo gue dan mas Satria enggak bayar sewa, justru kitanya yang lebih enggak enak ke elo! Walaupun kita sepupuan, tapi kan ini rumah lo, warisan satu-satunya dari mendiang orang tua lo. Bukan rumah gue, dan lagi dengan adanya tabungan ini, lo bisa memulai hidup baru lo sama anak-anak, Ka!" jelas Rima.

Penjelasan Rima barusan memang masuk akal. Sebab saat ini, selain amplop yang diterimanya dari Vivi tadi. Malika memang sama sekali tidak punya uang tabungan lain untuk memulai hidupnya secara mandiri.

Dengan sungkan, Malika meraih buku tabungan itu lalu membukanya. Dan alangkah terkejutnya ia begitu tahu berapa nominal yang tertulis di dalamnya.

"Ya Tuhan, Rima! I-ini apa enggak kebanyakan?" Malika begitu terkejut ketika dilihatnya jumlah yang hampir mencapai lima puluh juta rupiah.

Rima terkikik geli sambil menggelengkan kepalanya. "Biasa aja napa, Buk? Lo kelamaan dipenjara ama Haris sampe ngeliat duit segitu doang aja udah shock!" godanya pada Malika.

Mau tak mau Malika terkekeh sambil tersipu karena apa yang diucapkan Rima barusan itu memang benar. Saking lamanya ia tidak memegang uang dalam jumlah besar, Malika sampai kaget begitu menyadari dirinya ternyata mempunyai tabungan sebanyak itu.

"Biaya sewa rumah yang gue simpenin tiap bulannya ini udah sesuai sama harga pasaran standar sewa rumah seukuran rumah lo ini, Ka! Dan selama kurang lebih empat tahun gue tinggalin, kekumpulnya ya segitu itu! Lumayan kan buat modal hidup!" tanya Rima dengan senyum menggoda.

"Tau gitu tadi gue enggak nerima amplop dari Vivi deh!" sesal Malika begitu teringat akan amplop yang diberikan mantan adik iparnya itu tadi.

"Hah? Vivi? Adeknya si Haris?" tanya Rima memastikan.

Malika mengangguk cepat sambil mengeluarkan amplop itu dari dalam tas selempangnya lalu membukanya di hadapan Rima. Setelah menghitung cepat dan mengetahui jumlah uang yang diberikan Vivi, lagi-lagi Malika dibuat terkejut.

"Ya Ampun, Rim. Vivi ngasih gue duit tiga juta! Padahal tadi dia bilangnya buat biaya hidup gue sebulan. Kalo segini mah, dua bulan juga cukup kali buat gue sama anak-anak!" Malika menepuk jidatnya sendiri.

"Wah, baik juga ya si Vivi itu. Kayanya dari semua keluarga Amiadi cuman dia yang otaknya waras!" balas Rima sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Malika mengangguk setuju. "Bener banget, omongan lo barusan. Cuman dia yang baek ama gue selama ini. Duh, gue jadi enggak enak nih make uangnya!" Malika memeluk amplop dari Vivi itu erat-erat seolah benda itu adalah harta pusakanya yang berharga.

"Ah, lebay lo! Anggep aja itu rejekinya si kembar dari tante mereka. Kalo lo enggak pake jadi mubadzir dong, jadi enggak dapet berkah juga kan si Vivi-nya. Kapan-kapan, kalo ada rejeki ketemu dia lagi. Lo bisa bales kebaikan dia! Gitu aja!" celoteh Rima panjang lebar.

"Iya juga, ya!" Malika nampak mengangguk dengan yakin.

"Bu-ibu! Lampu terasnya dah beres nih!" tiba-tiba Satria melongokkan kepalanya dari teras.

"Ya udah, yuk kita pulang, Mas! Biar Malika bisa istirahat sama anak-anak! Besok jangan bangun kesiangan ya, rencananya mau diajakin jalan-jalan sekalian dibeliin TV baru sama mas Satria, itung-itung buat hadiah kepulangan kalian di rumah ini! Mumpung Mas Satrianya besok bisa libur." beber Rima sambil mencangklong tas tangannya dengan mengedipkan sebelah mata.

Mata Malika langsung berbinar mendengarnya. Ia akan jalan-jalan setelah sekian lama. Ide itu benar-benar membangkitkan jiwa kurang pikniknya untuk bersorak sorai.

"Huwa, kalian baek banget sih!" Malika akhirnya malah memeluk Rima erat-erat dengan histeris. Membuat Rima hampir kehabisan napas karena tercekik rangkulan lengan Malika.

"Udah, woi! Gue kecekek ini!" Rima meronta-ronta.

Namun Malika tak menggubris penolakan sepupunya itu dan tetap memeluknya. Satria hanya tertawa-tawa melihat kehebohan dua wanita yang bersaudara sepupu tetapi sudah seperti saudara kandung itu.

.

.

.

To Be Continue...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!