Pamit dari kisah manis bersimfoni hangat, family multimedia yang telah jadi alumni dalam catatan seorang gadis cuek.
Ada bulir-bulir sesal yang selalu bersemuka dengan sepi, sembari tertawa getir, kenapa dulu tidak gabung saja? Selalu berdebat dengan pemikiran ini.
Dan, terbitlah sesal yang takkan mengembalikan potret hangat mereka lagi kan?
Sekarang hanya bisa beri kado terbaik, 'Aksara Tersembunyi' semoga mereka bisa mengerti isi hatinya, kalau secuil harap ingin merasakan ayunan hangat perhatian mereka.
Dulu .. Sejak mengumandangkan pergi dari dua puluh empat januari, semua berubah, tidak seperti kali pertama mambangun kidung itu, kaku dan datar.
Ternyata hanya batas perasaan doang, mereka masih care kok. Terlalu memendam sesak seorang diri, mengakibatkan terpisah oleh kesalahpahaman dalam ruang multimedia.
Mungkin dengan sedikit goresan diksi lewat imaji, bisa mengantarkan ayunan itu ke mereka, menikmati keharmonisan kekeluargaan dari Multimedia, yang telah lama ini hilang dari dekapan, tak terasa lagi sejak pisah dengan kidung dua puluh empat januari. Semoga.
"Coba eh, sa bisa suruh kam kembali, impossibel sekali." Avita berbicara sendiri.
Hanya ingin mencicipi rasa kekeluargaan nyata bersama teman semasa smk dulu, yang selalu memproduksi iri dari teman beda jurusan.
Avita begitu penasaran. Sangat.
Ada satu teman yang selalu mendobrak dingin ekspresi diberi gadis itu dalam kelas.
Lagi. Tak tergubris, sembari membuang wajah lalu berteman dunia sendiri.
Sekarang? Menyesal menyergapi diri, kan?
Terlalu keliru dalam menyamakan mereka dengan ruang bernamakan Sistem Informasi.
Yup. Avita sukses menjemput label mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di papua, jayapura.
Padahal sangat keras kepala tidak menginginkan lanjut studi, kok takdir beri detak kesempatan buat dia yang bodoh itu mengenyam bangku perkuliahan? Bruntung, sekiranya begitu.
Tertawa getir.
Seangkatan masih samar-samar diketahui hingga menguak fakta, Nifa menampilkan sikap pongah lalu menindas teman hanya kepuasaan diri.
Lucu sih, meninggalkan teman karena bosan trus membolak-balik fakta.
Huf.
Avita pun kembali pada sunyi. Tetiba destinasi puisi menginginkan diri menyampaikan rasa selama ini tersembunyi, teralamat pada alumni family multimedia. []
.
.
Guys jangan lupa mampir ke karyaku yang lain yak, bdw ini karya baru tapi sebenarnya lama, baru di ambil dalam laptop awokawok.
.
Bantu promosi ke teman lainnya yak!
Jangan hanya numpang like dan komen tapi tidak dukung dengan baca, autors sad :')
Yok .. Saling dukung dengan vote, koment dan baca.
Oh yah ada cerita yang sudah finissing. Sepotong Nada yang Hilang. Bisa mampir ke sana.
Ada sekuelnya juga Simfoni Tersembunyi.
Be the way cerita ini mengenai teman palsu yang berbungkus dengan label kepercayaan.
Kalian kalau memiliki pengalaman yang sama seperti autors dan tetap bertahan tanpa perlawanan, kalian hebat dan kuat!
Sebab .. Diam bukan berarti lemah. Melainkan menang dalam pergelutan.
Mereka memang sangat menawari kebahagiaan tapi itu tidak lama, sementara sejak salah satu teman buat prahara dalam kelas angkatan.
Juga menggunakan otak teman sebagai wadah mencari ipk tertinggi.
Apakah kalian tahu? Dia bisa apa setelah lulus kuliah? Copy paste otak teman sembari dapat camlaude.
Sangat licik tapi yang membekas adalah dia melulu menjadikan sekitarnya bahan manfaatan saja.
Ada satu teman kepercayaan, tenyata menyimpan ketaksukaan.
Menjadikan ruang dalam kelas semakin panas.
Jangan melibatkan masalah perasaan dengan teman sekelas. Karena karma akan datang~
"Indah. Bukan berarti tidak memiliki sisi buruk, toxic friends ternyata berselimut dari kepercayaan seorang teman yang disalagunakan dan gemar lihat teman sendiri jatuh di lingkar gagal dengan sengaja." -Adinda Shintya Dewi-
🥇🥇🥇
2016,
Aneh...
Sudah mengambil selembar formulir bahkan telah duduk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi.
Berbanding terbalik saat dua tahun lalu, ketika dua sahabatnya maksa buat ikut isi formulir, selalu menentang keras; menolak.
Sekarang? Setelah hilang kabar dan pergelutan terjadi lagi. Kenapa mendadak ada rasa penasaran ingin ikut seleksi?
Hoam. Membuang napas pasrah dan bodoh amat.
Gadis itu pun hanya menunggu pengawas masuk, beri selembar kertas ujian ke calon maba.
Tunggu. Rejeki sekali, dapat kertas yang sudah diisi jawaban.
Tiba-tiba saja ada semangat dalam diri, tertawa geli di tempat. Ingin mengulur waktu, supaya tidak terkesan nyontek teman sebangku.
Menit-menit terbuang sekitar lima belas menit, Avita pun berdiri setelah ada dua calon maba berjalan ke depan kelas, mengumpulkan kertas ujian itu di atas meja dan di persilahkan keluar oleh pengawas.
Esok hari ..
Datang melihat hasil, masuk di jurusan mana. Avita sengaja ambil dua jurusan, Teknik Informatika dan Sistem Informasi.
Agak sedikit bingung di mana papan pengumuman, setelah bertanya di salah satu kakting yang lewat sekitar lapangan kampus, “oh, ade cek di sana.. Papan pengumuman dalam aula.” Jari itu mengarah ke ruangan yang luas.
Mengangguk paham dan berterima kasih, lalu menggerakkan kaki dengan cepat. Setelah masuk ke dalam, ramai sekali.
“Permisi..” Avita mencoba membela kerumunan, dan berhasil sampai di depan pengumuman.
Kedua bola mata mencari-cari mulai dari deret pertama, sudah mulai lesu, tidak tertera sama sekali namanya di jurusan Teknik Informatika.
Tapi, tunggu, ada peluang kedua, Sistem Informasi.
Hamdalah. Kalimat pertama yang muncul dalam batin, lalu diikuti.. “Yes, lulus!” Penuh kegirangan.
Spontan menjadi sorot perhatian dalam keramaian.
Hanya tertawa geli sambil berusaha keluar dari kerumunan dengan permisi. Sudah tidak sabar buat bawa pulang keberhasilan bisa masuk ke perguruan tinggi ke Mama.
Sampai di atas motor, menyumpal headset dulu di telinga. Perjalanan ke rumah sangat bahagia sekali.
Tapi.. Ada sesuatu yang mengusik isi kepala. Namun, berusaha sekuat mungkin buat tidak memikirkan hal-hal mematahkan mental asa ingin duduk menjadi mahasiswi.
Di rumah, tidak menemukan Mama.
“Mama di kiosnya om.” Kata Adiknya, Silla.
Seperti tahu apa yang kakak-nya cari, langsung memberitahuikan secara point. Avita gerakan cepat ke depan, melihat mama lagi sibuk dengan catatan pelanggan di tangan.
“Ma..” Avita memanggil, dengan sedikit rasa ragu.
Tidak ada respon sama sekali, selain masih sibuk dengan catatan itu.
Dia berusaha mengalihkan perhatian beliau, yang langsung.. “Apa kah, Avita?!” Di muntahkan kekesalan dari Mama.
Sedikit menciut nyali itu untuk menyampaikan keberhasilannya bisa tembus di salah satu perguruan tinggi. Jikalau sudah mendapati intonasi pelik.
Wajar. Hal lumrah, setiap kali ingin bicara, selalu di anggap tidak terlalu penting oleh keluarga atau pun mama sekali pun; dianggap anak kecil di mata mereka.
Berdesir dalam hati, bermain-main begitu sakit.
Avita mengupayakan untuk membuang pikiran kalut tersebut, karena ada hal penting harus di kabarkan. Pun, tahu diri juga, kalau mama sebatas penjual kue seribuan yang di titipkan ke etalase orang lain. Itu pun tidak menentu pendapatan yang di dapatkan, kadang ada kue yang rusak. Tapi, boleh kah merajut asa dalam menjemput label mahasiswi?
Karena ingin mengejar ilmu tertinggal semasa putih abu-abu, hanya di pikirkan dalam kepala adalah bermain, bukan belajar serius.
Avita juga tahu, kalau mama pasti tidak sanggup bayar uang spp per-semester nanti, kan? Apalagi nanti di patahkan oleh mulut pedis keluarga, atas dasar otak tak setara dengan orang pintar di luar sana, seringkali memborong prestasi di sekolah.
“Vit.. Trada anak yang bodoh, hanya malas. Dan, ko bisa kuliah sampai pakai toga!” Seru Flora.
Di ingatkan lagi mengenai motivasi dari sang sahabat sewaktu sekolah, yang selalu mengatakan diri memiliki otak di bawah rata-rata.
Ada senyum mengembang, ralat.. Sedikit terukir di wajah Avita.
Sempat ada pemikiran apa kelulusan ini sebagai hiasan saja kah? Di kepala gadis itu. Namun, setelah ingatan tentang ucapan Flora, membangkitkan lagi semangat dalam diri.
Cukup lama dia berdiri, menunggu mama selesai dengan catatan kecil, namun melihat orang semakin banyak. Sedikit risi dalam menyampaikan kabar itu ke telinga beliau.
“Ma..” Lagi, Avita memanggil.
Dan, di balas dengan dehaman saja, tidak minat untuk mendengarkan ucapan selanjutnya.
“Ini,” langsung memperlihatkan sesuatu di benda pipih-nya itu.
Setelah melihatkannya, penuh asa dalam hati. Menunggu respon mama untuk diberikan lampu hijau buat lanjutkan pendidikan di bangku kuliah.
“Kenapa?” Penuh tak minat, setelah itu mengalihkan ke aktifitas sebelumnya.
Fiuh, membuang napas pelan, sedikit gusar. Tapi.. Usaha itu harus bisa mendapatkan restu, Avita mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga, “Avita mau kuliah, Ma.” Merengek.
“Kuliah sudah toh.” Mendapatkan balas yang begitu ketus.
Melongo, suara retak berasal dari dalam dada. Sudah bisa di lihat, kalau mama tidak memperbolehkan ananda lanjut kuliah.
Avita pun memilih buat pulang, membawa kabar nestapa buat menimang-nimang luka cita, tak mendapati harap lebih selain meringis dalam batin.
Sudah berhari-hari memungut harap, tak berhenti dalam menyakinkan mama, bisa kuliah tanpa harus membebankan orang lain. Melainkan usaha sendiri, mendapatkan nilai memuaskan.
“Ma.. Janji, saya tidak bakal beli buku-buku sembarang.” Kata Avita, berusaha menyakinkan beliau.
Ada sebuah sorot meragu namun di susuli dengan helaan napas pasrah dari beliau, lelah berdebat persoalan permintaan yang sama tiap hari dengan ananda.
“Tapi, ingat eh? Jangan beli buku-buku sembarang. Sudah.. Nanti uang pembayaran masuk kuliahmu mama kasih hari Senin. Tapi.. Kapan kah terakhir di bayar?” Kata mama akhirnya di susuli pertanyaan penasaran soal pembayaran awal spp-nya.
Asyik!! Avita berseru sangat senang dalam batin. Sesenang ini kah, bisa mendapati restu bisa melanjutkan kuliah?
“Siap, Ma! Hari rabu besok.” Jawab Avita sangat gembira.
“Hm. Nanti mama kasih sudah.” Putus beliau akhirnya.
Dalam batin, bertekad kuat buat menghasilkan rupiah sampingan; menjadi novelis. Supaya bisa bantu bayar spp kuliah juga, insyaallah.
Seminggu ini berjalan, namun belum percaya dengan keindahan telah di dapatkan dari beliau. Avita menghirup udara sebagai mahasiswi, duduk dalam aula, mengikuti kuliah umum.
Di tengah-tengah materi di berikan, sedikit curhat mengenai kesehatan diri dengan teman seangkatan, “saya itu, kalau jongkok trus berdiri, sering pusing, itu kenapa eh?” Kata Avita.
“Sudah periksa ke dokter?” Balas Lify.
Hanya menggelengkan kepala sebagai jawabannya. Sudah pernah periksa di tantenya, yang bidan, darah normal. Menjadi pertanyaan, penyakit apa yang buat dia sering sakit kepala?
Nyesal sih, kenapa bertanya ke salah satu teman seangkatannya itu, terkesan mengejek.
Pernah juga, bercerita tentang teman semasa sekolah di Clari, “kita itu kalau berteman tidak cuek bebek. Saling welcome tanpa lihat dari segi otak.”
Sembari berbisik, apakah pantas mereka di berikan sebagai kepercayaan sebagai teman? Sebab, terlalu cepat Avita mengambil langkah, terbuka, oversharing ke orang baru.
Sisi lain, berharap bisa saling bergandeng sampai mengenakan toga tanpa perdebatan unfaedah.
🎟🎟🎟
Lagi cuaca tidak bersahabat, hujan. Sambil menunggu dosen datang, pasti telat karena cuaca seperti ini.
Yang membuat Avita bermain-main di pintu nostalgia dan menemukan dua sosok menyebalkan, selalu mendorong semangat malas belajar buat bisa duduk menyandang lavel mahasiswi.
Yah. Mereka bertiga duduk dalam kamar, saat sore hari sepulang sekolah.
“Kuliah eh?” Kata Avita, tak ada minat sama sekali.
Perkataan itu tercetus cuma-cuma saat selalu di tawari perulangan tanpa mengenal bosan dan lelah mengenai perkuliahan yang katanya sangat indah, dari dua sahabatnya.
Mereka juga tahu sendiri, bagaimana porsi otak Avita, bodoh dan payah. Namun, kenapa selalu mendorong dirinya supaya ngambil selembar kertas pendaftaran masuk perguruan tinggi?
Biar pun di balas dengan kata pedis dari Avita, tidak menggoyahkan keinginan mereka lihat sahabat keras kepalanya masuk kuliah.
“Vit, kuliah tidak sama dengan sekolah. Cukup rajin masuk dan kerja tugas, nilaimu aman.” Sahut Flora, dengan menggebu.
“Ih, betul yang di katakan Flo. Tidak susah kok.” Tambah Rinta.
Dia pun membuang napas, begitu gusar. Bingung, cara apa lagi untuk menolak ajakan mereka berdua?
Memerhatikan dua sahabatnya, dengan tatapan penuh masa depan, cocok buat mereka, karena ada keinginan kuat. Apa kabar dengan Avita? Naik kelas saja, kudu terbantu oleh wali kelas, supaya tidak tahan kelas. Gimana mau lanjutin kuliah?
“Tidak tahu eh, tidak ada uang untuk kuliah.” Dan, Avita langsung menolak, begitu halus.
“Kuliah sudah, Vit. Kerja tuh gampang, kalau ko sudah lulus kuliah.” Flora selalu berikan kalimat optimis ke sahabat keras kepalanya itu, supaya mau kuliah.
Menggelengkan kepala dan sodorkan kembali formulir itu ke mereka.
Justru, “simpan saja sudah. Siapa tahu, besok ko berubah pikiran?” Rinta menampik halus dan menyimpan kertas itu diatas printer sahabatnya.
Yang di balas dengan wajah melongo dari Avita. Jadi.. Mereka simpan cercah jikalau dia bakal isi formulir itu, kah?
Di sekolah pun seperti itu, di buntuti yang menciptakan emosi berasal di mulut Avita.
“Cukup, Rin, Flo! Sa sudah muak. Kalian tahu sendiri, kalau otakku tidak mampu. Kalian saja yang kuliah.” Putus Avita, sangat muak.
Tidak sadar, mendengar suara guntur, sedikit terkejut. Ah.. Dia pun kembali ke pintu nyata, melihat hujan belum berhenti. Ada senyum tipis di tampilkan.
Lalu, lima belas menit kemudian, muncul sosok Clari berlari-larian dari lapangan dan berdiri depan pintu kelas, “Vit.. Dosen belum datang?” Serunya, sedikit menahan kakinya untuk tidak masuk dulu.
Karena melihat Avita lagi duduk di bawah tangga FIKOM.
“Belum. Masih hujan begini.” Avita pun menimpali santai.
Clari ngangguk paham, dan duduk di samping Avita sambil berbincang ringan.
“Vit.. Masuk kelas yok?! Dingin nih,” merasa sudah menggigil, perempuan itu pun ngajak Avita buat duduk dalam kelas saja.
Tanpa kata langsung berjalan pelan ke arah kelas, karena ada genangan air hujan.
“Hari ini coba libur kek. Duh.. Sa berharap sekali kalau hari ini dosen cuma kasih absen trus pulang.” Cetus Clari penuh harap.
“Amin..” Avita membalasnya dengan sedikit terkekeh.
Melihat Nifa lari tergopoh-gopoh, sambil mengibas jaketnya yang basah.
“We, dosen belum datang toh?” Sahut Nifa, masih di depan pintu kelas.
Kedua perempuan itu menjawab kompak, “belum.”
Setelah itu, “sebentar kumpul tugasnya Pak Murya toh?” NIfa bertanya, sangat penasaran.
Serius. Sangat mendadak, tidak tahu apa-apa soal tugas terbilang susah bagi porsi otak Avita.
Samar, bermain lagi sebuah nostalgia mengenai hubungan bersama teman smk, sangat humble penuh harmonis.
Namun, Avita tidak bisa menyamakan dengan mereka yang sudah pergi mencari masa depan masing-masing di luar sana.
Tetiba saja ada sesal dalam batin, sudah sia-siakan pertemanan itu dengan family multimedia.
Sistem informasi tidak bisa menyamakan posisi kehangatan alumni semasa sekolah dalam hati Avita.
Karena, tugas kuliah saja sangat pelit buat di informasikan dalam grup. Bagaimana mau menggambarkan sebuah solidaritas?
Pikiran buruk itu pun terhempas, ketika.. “Ah, itu cuma latihan. Tidak di kumpulkan.” Clari menimpali penuh kepastian.
Yang juga bisa menenangkan perasaan ketar-ketir kepunyaan Avita dalam diam. Hanya latihan, berarti dosen tidak bakal periksa semua tugas mahasiwa dalam kelas, bukan?
Sekilas informasi, seminggu ini sudah masuk kuliah tapi tidak secepat itu menciptakan obrolan. Walau sudah menjadi teman kepercayaan sekali pun. Yang di bahas hanya seputar tugas kuliah saja. []
.
.
Guys .. Jangan lupa dukung karyaku yak. Jangan lupa tinggalkan vote dan koment kalian.
Thank kyu.
Salam sayang online,
Dinn
"Kalian...selalu mengingatkanku tentang family Multimedia."
🥇🥇🥇
Belakangan ini, Avita tidak bisa mengelak kalau bergandeng pada sistem informasi selalu mendenyutkan rindu pada alumni family multimedia.
Mereka pergi. Tidak, bisa di ralatkan, kalau gadis itu sendiri yang melenggangkan kaki begitu santai tanpa pusing berpikir tentang kerinduan.
“Vit, suatu saat nanti ko bakal kangen sama mereka. Serius.” Pernah kok Rinta mengingatkan.
Namun, kala itu sangat menanggapi enteng peringatan sahabat sendiri. Yang sekarang, berdebat dengan kehilangan mereka dalam hati.
Walau batas melihat dari jauh, cukup menyenangkan jiwa tanpa perlu terlibat dalam obrolan semasa sekolah. Selalu tersimpan asa, bakal tersapa, nyatanya hanya terabaikan begitu saja, karena salah sendiri, tidak menggabungkan diri.
Dulu, terlalu mengedepankan ego pribadi di tambah minder dalam kepala, membatasi Avita buat cipta obrolan.
Sering mendapati amukan pedis dari dua sahabat, jangan terlalu mengemis perhatian, kalau sudah di abaikan. Ternyata, fakta tidak sepelik itu, kok. Avita saja minder terbuka dengan mereka.
Tanpa sepengetahuan mereka, diam-diam menyelipkan sesuatu dalam bait diksi. Dan ‘Aksara Tersembunyi’ karya perdana sudah berada dalam dekapan family multimedia.
Banyak harap tersirat di bola mata aksara kepunyaan Avita. Serius. Sedalam itu menerbangkan kembali sebuah denyut rindu, semoga bisa menangkap kembali sinyal dari mereka; dapat berkumpul, menikmati kehangatan mereka. Saat semasa sekolah tidak merasakannya.
Namun, tidak sesuai ekspektasi, mereka kadar kepekaan rendah yang buat Avita sempat patah semangat campur marah, ingin merobek karya perdana, memang khusus di buat untuk dedikasi ke mereka.
Sisi lain, berbisik sangat hati-hati tidak bisa segampang itu menceritakan rindu, kalau batas karya. Harus lewat tutur kata secara face bukan tulisan. Ah, menepuk jidat berulang kali. Sedalam itu kah menginginkan ruang mereka, yang telah lama di tinggal?
Jika berharap sesuatu dari feel lewat novel, mustahil sinyal tersebut sampai, jikalau dulu saja sangat tertutup, bukan? Jelas.. Mereka kesulitan menangkap arti rindu berdenyut pada tulisan di buat oleh Avita.
Ada satu teman sekelas sangat tak disukai Avita, memang diakui pandai nyinyir lewat sindirian lewat status dunia maya. Padahal, dia tidak pernah mengusik privasi perempuan itu sama sekali. Justru buat suasana kelas runyam, karena lebih memercayai omongannya. Lita, begitulah nama teman sekelas yang memiliki mulut sangat pedis semasa sekolah.
“Vit, tugas kalkulusmu, sudah?” Clari membangunkan dia dari lamunan.
Yang di balas dengan gelagapan, “belum. Kalau ko?” Membalas dengan lempar pertanyaan yang sama.
“Sama. Kita tunggu Lify saja sudah. Soalnya, tadi malam dia SMS, kalau dia sudah kerja tugasnya.” Sahut Clari dengan santai.
Serius nih, boleh jujur? Avita sangat keberatan, selalu numpang copas tugas teman seangkatan yang terbilang pintar, namun tak di permasalahkan kalau tugasnya di nebeng sama mereka.
Sedikit risi, jikalau terus-menerus minta tugas cuma-cuma. Tetapi, kenapa berbanding terbalik dengan Clari? Sangat senang mendapati hal instan.
Avita hanya menggeleng, setiap kali lihat kelakuan temannya yang satu itu.
Lify sudah datang memberikan senyum mengembang di wajah sembari duduk diantara kedua perempuan itu, “kalian sudah sampai nomor berapa?” Langsung melempari pertanyaan.
“Belum yah. Ini saja ada tunggu ko datang.” Clari membalas tanpa beban.
Tanpa berlama-lama, teman yang lain pada berbondong ikut nyontek. Tunggu, Avita mematung sekilas, melihat pemandangan mereka seperti ini cukup dalam membangkitkan ulang mengenai memoar tersemat pada family multimedia.
Kenangan family multimedia mengalir lewat mereka, yang sedikit menerbitkan sebuah senyum. Sangat getir. Tidak sempat menikmati keharmonisan teman semasa sekolah dulu.
Masih bergeming. Menelan slavina, lagi membuat orang lain terbebani dengan ukuran otak di bawah rata-rata.
Avita sangat pintar di pelajaran Penjaskes dan Bahasa Indonesia. Yah, sering kali suka bingung dan susah memahami di bagian materi majas dan prosa sih.
Ok. Tahu, kalau semasa sekolah sangat tidak bisa dihandalkan sama sekali. Namun, menjadi penyenang hati teruntuk nafsi adalah guru bahasa indonesia yang dulu tidak mengakui kemampuan otaknya, sekarang mengakui karena karya di kelas multimedia; adik-adik kelas Avita.
“Thanks?” Avita pun langsung terbangun dari ingatan masa lalu.
Mereka kembali ke tempat masing-masing, setelah sudah menyalin tugas itu dari Lify. Dan, dosen datang sebelum memergoki sekelas menyontek.
“Tugas di kumpulkan di depan. Yang tidak kerja.. Ibu harap mencatat yang ada di depan infokus. Bagi yang sudah kumpul tugasnya, silahkan kerja tugas yang akan ibu bagikan.” Kata Ibu Rena, dengan penegasan.
Yang lain masih di berikan kesempatan kerja dari beliau.
“We, bagi nomor tiga dulu?! Sa belum nih.” Nifa berbisik, dengan menampilkan wajah tak sabaran.
“Tunggu kah. Lify saja ada cakar cari jawabannya. Ko tulis sudah yang Lify kasih nih.” Clari menyodorkan secarik kertas jawaban itu.
Nifa sih paling banyak gerakan, “kamu?!” Suasana yang sunyi mendadak menegang, mendengar suara lantang dosen killer tersebut.
“S-saya, Bu?” Jawab Nifa, sambil menunjuk dirinya dengan gugup.
“Iya, kamu. Kenapa dari tadi ibu perhatikan, kamu seperti cacing kepanasan, hah?! Tugasmu sudah selesai? Mana.. Sini, ibu lihat?!” Cerocos Ibu Rena.
Perempuan itu membalas dengan cengir tak berdosa sama sekali.
“Kalau belum selesai, jangan banyak ulah dalam kelas! Mau ibu kasih kurangi nilaimu nanti, hah?!” Yang langsung kena skor ancaman.
Avita mengelus dada. Selama hening tadi, tidak ikut-ikutan minta jawaban. Selain duduk tenang, karena bakal tahu, nanti di kasih jawaban sama mereka.
Terus terang saja, dia sangat tidak suka dengan sikap semena-mena sih Nifa, pemaksa dan manja pula.
Hem. Belum ada berapa menit dapat teguran tegas, “yang di belakang, pakai kemeja merah. Kamu, bikin apa di situ?!” Kedua kali, Nifa buat beliau menahan geram.
Sudah tahu jelas kalau dosen satu ini, sangat pelit nilai dan senang melempar kekesalannya satu kelas, nilai mereka yang lain ikut terancam, masih saja mencari-cari keributan dan masalah.
Tapi, bisa di garis bawahi, kalau beli modul terbilang tak masuk akal, nilai aman kok.
“S-saya, Bu?” Ugh..apa kah?! Imbuh Nifa dalam batin.
“Iya. Dari tadi ibu hanya lihat kamu paling gelisah dalam kelas. Tugasmu sudah selesai?!”
“B-belum, Bu.” Di balas dengan cengengesan.
Avita yang menyaksikan hal itu, hanya menggeleng pelan. Heran, kok ada sikap mahasiswi seperti anak sekolahan yah?
“Trus, kenapa dari tadi seperti cacing kepanasan?! Sudah.. Kamu duduk di depan sini!” Jeda tiga detik, “nama kamu siapa?” Beliau bertanya dengan tegas.
“N-Nifa, Bu.” Balas Nifa dengan terbata-bata.
Sangat perdana, Avita melihat teman yang memiliki mulut sarkas mendadak nyali ciut saat berhadapan dengan dosen killer.
Angkuh, semena-mena, arogan, tersemat pada diri Nifa. Sangat kurang suka dengan kepribadian teman sekelasnya itu, serius.
“Oh. Tugasmu sudah sampai mana, Nifa?!” Ibu Rena bertanya, sedikit menekan setiap perkataannya.
“B-belum sama sekali, Bu.” Tergugu di tempat, cukup buat satu kelas ikut menegang.
“Dari tadi kamu bikin apa saja di belakang, hah?! Sudah. Kerjakan sekarang dan jangan menyontek!” Kesal beliau.
“Minta teman ajarkan, Bu.” Mengkilah sesaat.
“Hm. Sudah..sudah, kamu kerjakan sendiri dan jangan sampai ibu lihat kamu nyontek!” Penuh penegasan.
Deg. Mengusik daun telinga kepunyaan Avita, saat mendengar kalimat nyontek dari mulut dosen itu. Ah, padahal, kan, dia memang menunggu jawaban dari teman.
Hue..kalkulus oh kalkulus. Avita hanya merengek dalam batin.
Tapi, “Vit. Sstt.. Sudah belum?” Jella mengode sangat pelan.
Cukup tertegun. Terkejut campur senang.
“B-belum sama sekali. Tidak ngerti oey.” Avita meringis, sebagai jawabannya.
Sekilas Jella terkekeh dan menyodorkan kertas jawaban ke Avita, sudah di tulis sendiri tanpa nyontek di Lify.
“Heh. Buat sa?” Avita masih terheran-heran di bangkunya. Yang di balas anggukan mantap.
“Makasih banyak.” Seru gadis itu dan cepat-cepat menyalin jawaban itu.
Melirik miris ke arah Nifa dan memotret juga upaya Clari yang mencari-cari celah buat sodorkan jawaban, nihil, tidak bisa sama sekali. Terlalu dijaga ketat oleh dosen killer itu.
Terlihat Nifa berdecak, frustasi, belum sama sekali mengisi jawaban itu. Padahal kalau mau di bilang lagi tidak sedang ujian loh. Hanya mengerjakan tugas, memang yah dosen ini terlalu pelit untuk kasih kesempatan minta jawaban di teman.
🎟🎟🎟🎟
“Hm. Trapp sudah, tadi hanya jawab lima nomor.” Sahut Nifa dengan pasrah.
Sudah duduk dalam kantin.
“Haha, makanya, kalau Lify belum. Jangan tanya-tanya trus.” Jella tertawa puas, sebagai balasannya.
Nifa mendelik begitu sebal. “Ayo ah..pesan makanan, lapar.” Ketusnya.
“Ok.” Lify pun berdiri setelah catat pesanan mereka.
Ngobrol ringan sambil nunggu makanan diantar ke atas meja mereka.
“Eh, ada tugas Bahasa Inggris kah?” Cetus Nifa tiba-tiba.
Melihat mereka kompak menggeleng, tidak dengan Avita. Sangat emosi dalam diam, seriusan, sudah sejak dari kelas pagi memicu boomerang.
Apaan sih, tampang doang yang cantik, tapi hobi nebeng di otak teman.
Suka heran, kenapa banyak kakting kejar-kejar perempuan yang memiliki otak kosong? Miris, tertipu dengan wajah cantik tapi hati licik. Tidak segan-segan untuk memanfaatkan mereka, apalagi yang punya mobil dan banyak uang.
“Kalian tidak pengen kembali kah ke masa-masa SMA?” Kata Nifa.
Cukup buat dada Avita sakit, mendengar sebuah kisah manis semasa sekolah yang belum pernah di rasakan oleh gadis itu di ruang penuh harmonis kepunyaan family multimedia.
Kenyang hati. Duduk menjadi penonton, karena tidak ada hal menarik buat di bagikan selain terdiam di tempat.
“Aduh. Betul sekali, sa juga pengen loh kembali ke masa SMA. Anak-anaknya seru.. Apalagi teman-temanku sudah pada kuliah di luar. Susah untuk kumpul lagi.” Seru Jella.
“Iya. Benar, sa juga kangen teman-teman SMA-ku.” Nifa membalasnya dengan wajah lirih.
Oh, di balik kecentilan sosok Nifa, ada rasa sedih juga? Ingin sekali menyemburkan tawa.
Apakah Nifa menganggap teman kampusnya ini? Atau jangan bilang hanya sekedar menggunakan otak Lify yang pintar, memanfaatkan lagi kah.
Sepulang kampus, ingin memejamkan kedua bola mata. Tapi, mendadak dapat undangan buat nongki di kopi indonesia.
Melongo campur desir yang berbisik rindu, bisa duduk merasakan canda mereka setelah sekian lama tak bersua.
Sisi lain, ada rasa tak terima, kenapa baru sekarang baru menyadari kehadiran Avita? Sudahlah. Itu sudah lewat.
Melirik jam, masih ada tiga jam buat istirahat. Sudah buat janji pukul tujuh malam waktu indonesia timur, mereka bertemu di sana.
Setelah merasakan enakan, siap-siap buat mandi, mereka juga sudah pada nyariin dia. Ada cengir kuda terpancar begitu lepas selama ini menyembunyikan senyum palsu di kampus. Lega. Begitulah yang bisa Avita deskripsikan.
Beberapa menit berlalu, sudah sampai di sana. Di sambut begitu manis pun di prilakukan istimewa. Ada apa? Bertanya dalam benak, sangat penasaran.
Namun, tak bisa menyangkal telah menyisipi sebuah haru dalam hati. Kenapa baru saat ini?
Ah.. Rinta, apa yang di katakan sewaktu sekolah benar. Nafsi lebih mementingkan bisikan minder dalam batin. Sangat humble dan care terdekap oleh obrolan malam ini.
Sangat menyesal, kenapa dulu terlalu asik mengikuti ayunan kaki di pintu bertuliskan bodoh yang menjadikan nafsi terjeruji oleh sunyi.
Avita tidak bisa mengendus sesuatu palsu di cerminkan oleh alumni family multimedia, sangat nyata dalam memancarkan ketulusan.
Apkah pantas menyamakan sifat hangat tersebut dengan siang tadi sepulang kampus..
“Nanti pulang, sa nebeng sama ko, eh, Vit?” Kata Clari.
Memang terkesan klasik, tetapi Avita tidak bisa merasakan arti tulus yang digambarkan sangat jelas di berikan oleh mereka saat ini berada di kopi indonesia.
“Oh, boleh.” Hanya ini sebagai balasan dari ucapan teman sekampusnya.
“Tapi, nanti kasih turun depan pangkalan ojek, dekat kampus saja. Biar sa cari taksi di situ.” Sahut Clari.
Berlebihan, nggak sih, hanya obrolan singkat yang di tawari pada nafsi sudah sangat cukup menyenangkan. Karena, tidak ada ucapan minta tolong bantuannya dari teman semasa sekolah dulu seperti apa yang sudah Clari tunjukkan siang tadi.
“Kenapa?” Avita langsung bertanya, apa yang buat mereka mengundangnya ke sini.
Jafar, selaku orang yang meminta gadis itu buat datang ke sana, dalam memenuhi keinginan yang mau di sampaikan ke seseorang di sukai, lewat prantara, dibuatkan buku.
Sebelum itu, mendiskusikan satu karya yang terbilang absurt ke Avita, membuka sesi workshop kepenulisan dadakan, kah? Mereka berbodong bertanya, untuk siapa buku itu? Sedikit menggoreskan senyum di wajah, begitu senang.
Saat memberitahui alasan hadirnya karya perdana, di terima sangat bagus pun tulus oleh mereka.
“Vit, kenapa ko menuliskan sesuatu yang bahkan ko tidak ada di dalamnya?” Sempat Jafar berkomentar, sedikit heran.
“Yah. Karna sa tidak ada di dalamnya itu, sa jadikan kado buat kalian.”
Penantian penuh harap lewat aksara, sudah berada di bingkai simfoni, saat mereka mengakui keberadaannya, tak lagi terabaikan.
Dan, “bantu sa jadian kah sama Laras?” Jafar pun kembali ke topik inti.
“Heh, maksudnya, sa buatkan dia buku gitu?” Yang di balas sangat heran dari Avita.
Sebentar, ada dentum berdecih sangat retak dalam batin. Salah satu mimpi Avita, bisa mendapati kado berupa buku.
Ah. Jafar bikin iri saja.
Mengambil napas panjang dan membuangnya sedikit gusar, setelah lihat anggukan mantap dari teman semasa sekolahnya itu.
“Yasudah. Apa yang harus sa lakukan? Karena sa tidak tahu apa yang ingin ko sampaikan ke dia.” Avita pun langsung memutuskan.
“Curhat boleh, Vit?” Pinta Jafar.
Tanpa kata panjang, mengambil HP dan buku kecil, sebagai catatan penting dari isi curahan Jafar nanti.
Berpacu sangat maraton, seperti memeluk impian di mana nafsi duduk sembari menunggu pertanyaan dari peserta workshop kepenulisan, mengupas isi karya Avita.
Membayangkan hal itu saja cukup buat dia senyam-senyum sendiri.
“Cukup. Em, sepertinya cuma ini saja yang sa bawa. Selebihnya nanti kalau ada kekurangan, sa hubung ko saja.” Kata Avita.
Sudah ada sedikit gambaran, apa yang bakal di tuangkan ke dalam tulisan di tambah rekaman suara, membantu dia mendapati ide.
Dari tadi isi kepalanya terusik dengan kalimat belum mau pacaran dulu selama mendengarkan curahan Jafar. Alasannya adalah tidak mau patah berulang lagi.
Berbincang sebentar dan berpamitan, mengingat ada tugas yang harus dikerjakan karena besok harus di kumpulkan.
Berat. Saat langkah itu pergi meninggalkan mereka yang telah menangkap sinyal rindu lewat karya absurt.
Lain waktu, semoga bisa sedekat ini lagi. Gumam Avita, lalu melambaikan tangan ke mereka. []
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!