Kea tak dapat menahan senyumnya sesaat begitu ia keluar dari ruang kantor kepala sekolah, mata minus yang terlindung kaca mata itu berbinar cerah, sedangkan kakinya berjingkrak ringan memberi tanda bahwa ia sedang dalam suasana hati yang sangat bagus. Ia bahkan tak merasa lelah setelah menaiki tangga menuju kantin sekolah yang agak jauh dari ruang kepala sekolah. seperti bukan kea sama sekali.
"Sheril! Nana!"
"Tebak, gue bawa apa?"Teriak Kea heboh tak memperdulikan banyaknya pengunjung kantin yang bahkan beberapa diantaranya melirik tak suka karena suara kencang gadis itu. Walaupun begitu tak ada yang berniat menegur walaupun jika diliat dari respon mereka yang mendengus dan berdecak sudah pasti merasa terganggu.
"Gue tebak," kata Sheril, salah satu teman Kea itu mengangkat tangannya.
"Apa?" tanya Kea penuh harap. Gadis cantik itu membenahi letak alat bantu dengar ditelinganya agar dapat mendengar suara Sheril dengan jelas.
"Lo pasti direkomendasiin pak Sohibi buat ambil beasiswa kuliah ke Jepang." Sahut Sheril gamlang, gadis bergaya modis itu menjawab sambil memasukkan sebuah cilok kemulutnya.
Kea berjingkat, merasa senang dengan tebakan Sheril, "Yeay, bener, gila gue gak nyangka banget. Aaaaa. gue gak sabar buat pulang terus kasih tau nyokap-bokap gue!"
"Uda ketebak sih, nggak kaget banget gue mah, uda ketara banget si pak Sohibi bakal ngerekomendasiin lo, lo kan murid kesayangannya ya nggak Di?" kata Sheril pada Nindi.
Nindi, gadis yang masih sibuk dengan ponselnya itu mendongak, lalu mengangguk yakin. "Kea kan yang juara, yakin gue mah."
"Ah, kalian kok sweet banget sih, jadi makin sayang." kata Kea cengengesan.
"Sama akunya nggak?" pertanyaan dengan nada ringan disertai rangkulan dileher Kea itu membuat Kea tersentak senang.
"Eh, kok kamu disini? kamu uda taukan kalau aku dapet rekomendasi dari pak Sohibi?" tanya Kea tersenyum cerah.
Yuda, kekasih Kea sejak jaman SMP itu mengangguk pelan sambil menarik salah satu kursi untuk ia duduk.
"Tau lah, betul yang dibilang Sheril sama Nindi sih, kamu kan yang terbaik." kata Yuda mrnarik hidung mungil Kea yang membuat kedua pipi yang empuhnya memerah.
Baru saja Kea merasa berbunga-bunga, suara derit kursi dibelakangnya dan disertai kalimat merendahkan itu menghancurkan kebahagiaan Kea dalam sekejab mata.
"Direkomendasiin karena belas kasihan aja bangga."
Tanpa perlu menoleh pun, Kea tau siapa orang yang berbicara seperti itu padanya. Siapa lagi kalau bukan Sandi, cowok berperawakan tinggi itu memang memiliki dendam pribadi padanya. Kea bahkan membenci suara itu dengan sangat, suara itu jugalah yang membuatnya enggan memakai alat bantu dengarnya dengan full dan lebih memilih berkomunikasi dengan bahasa isyarat dengan orang-orang.
"Jaga mulut lo!" tegur Yuda tak terima kekasihnya direndahkan. Begitupun Sheril dan Nindi yang menatap jengah Sandi.
"Iya, lo cowok kan San? mulut kok nyinyir banget." ketus Sheril menggebu.
"Tau, cowok tapi mulut kayak cabe." tambah Nindi santai.
"Duh, duh, Boss, kelakian lo sedang diragukan ini" tawa pecah salah satu teman Sandi itu membuat mereka semua menatap orang yang sama. Martin.
"Tunjukin boss, tunjukin, jangan mau kalah sama gengnya situli." tambah Wahyu terkekeh.
"Stt uda jangan dibuli, ada cowoknya tuh." Sandi ikut terkekeh kecil, dan kekehan mereka itu persis preman jalanan yang senang memalak pejalan kaki.
Kea benci itu, jika dulu ia akan menangis dan takut saat Sandi dan teman-temannya mengejeknya, kali ini Kea sudah mulai terbiasa. Setidaknya itulah yang ia coba lakukan.
"Maksud lo apa ngomongin Kea depan gue bangsat!" marah Yuda.
"Weh, kan, apa gue bilang, cowoknya marah nanti." kekeh Sandi.
Yuda sudah akan bangkit untuk menghampiri ketiga laki-laki sok berkuasa itu tapi
Kea langsung menangkap tangan Yuda dengan kencang, "Biarin aja," kata Kea pelan.
Yuda sudah hendak protes begitupun dengan kedua temannya. menurut mereka Sandi dan teman-temannya itu sudah terlalu berlebihan. Tapi Kea tetap menggelengkan kepalanya. ia tau dengan sangat seperti apa watak Sandi. Semakin diladeni semakin menjadi.
"Lo apa-an sih Ke, aturnya biarin aja Yuda ngehajar mulut nyinyir cowok-cowok gak guna itu, biar kapok." protes Sheril menggebu.
Kea tersenyum kecil, "Udah lah, biarin aja. orang kayak mereka itu cuma sampah-sampah yang iri sama nasib permata kayak gue aja. ya kan? anggap aja angin lalu. oya, Tong kosong kan lebih nyaring bunyinya." kata Kea menyindir.
"Ah, iya juga ya.. huu" kata Sheril dan Nindi kompak, sedangkan Yuda terkekeh pelan, ia mengacak rambut panjang Kea bangga.
"Samperin gak nih boss?" tanya Martin memanasi.
Kea melirik Sandi yang saat ini menatapnya tajam, wajah laki-laki itu sudah memerah dan sekilas Kea dapat melihat raut kebencian itu dengan jelas dimatanya. Sudah pasti laki-laki mendendam dan tersentil oleh ucapannya. karena faktanya Sandi adalah sang juara kelas yang kalah saing dengan Kea yang notabenya adalah juara kedua dikelas dan merupakan gadis tunga rungu.
Sandi tersenyum, mungkin jika Kea tak mengenal Sandi sejak kecil ia juga akan terpesona oleh senyuman laki-laki itu sama seperti beberapa para siswa perempuan angkatan mereka dan adik kelas yang sejak tadi menguping perseteruan mereka secara diam-diam.
Sandi bangkit dari duduknya. ia lalu berjalan menghampiri Kea yang langsung dihadang Yuda.
"Ups, santai bro, gue gak bakal nyentuh cewek tuli lo kok. Ekhem, gue cuma mau nasehatin dia buat hati-hati aja kalau ngomong. Takutnya, nyesel diakhirkan. Ups Okee. " Sandi mengangkat tangan saat Yuda hendak mencengkram kemejanya.
"Hati-hati Boss, awas ntar ada yang nangis." tawa Wahyu sambil memakan kuacinya. Jelas sekali teman-teman Sandi itu sedang menyindir Yuda.
"Dan buat lo si tuli, hati-hati lo. kita liat apa satu jam kedepan nanti, lo masih bisa natap mata gue tanpa nangis." ancam Sandi terkekeh, laki-laki itu lalu melangkah pergi sambil melambaikan tangan dan langsung dikejar oleh kedua antek-anteknya.
Kea tertegun, kali ini apalagi yang akan dilakukan Sandi padanya. Biasanya ancaman gila dari Sandi yang juga gila itu benar-benar dibatas kesabaran.
"Ke, kamu gak papakan?" tanya Yuda itu membuat Kea tersentak.
"Ah, nggak papa." sahutnya tersenyum.
"Gak papa tapi kok ngelamun, jangan bilang Kamu mikirin ancaman Sandi itu?" tuding Yuda.
"Iya Ke, jangan bilang iya, ck, kayak yang lo bilanh tadi Ke, tong kosong nyaring bunyinya. palingan si Sandi tadi cuma ngancem karena kalah malu ajanya dia itu." tambah Sheril.
"Hu'um, iri, lagian dia bilang apa tadi, satu jam kedepan? hellow, satu jam kedepan kita juga masih belajar dalam kelas. Apa coba yang berani tuh bocah lakuin." kata Nindi juga.
"Tuh, dengerin temen-temen kamu, sekarang senyum dong Keanya aku." rayu Yuda yang mendapat sorakan dan kekesalan kedua teman Kea.
***
Hai semua, Aku atmosfera. salam kenal ya.
Kea berusaha melupakan ancaman sampah Sandi padanya beberapa menit yang lalu. Tapi, untuk Kea yang tau betapa bencinya Sandi dan bagaimana sifat dan tingkah teman semasa TK nya itu, hal itu justeru terasa sangat sulit.
Jujur saja, Kea sekarang merasa was-was dengan apa yang akan dilakukan Sandi padanya. Laki-laki itu sejak dulu, sejak mereka masih jaman TK, selalu menjahilinya, mengejeknya dan selalu mengatainya. Dulu, Kea tak seberani sekarang. Ia akan menangis takut atau mengamuk dirumah dan meluapkan emosinya kebarang-barang dikamarnya.
Pernah suatu hari ketika mereka TK, semua teman-temannya menjauhi Kea dan memberikan gadis kecil itu tekanan non-verbal yang berat. Mereka menjauhi Kea kecil karena Sandi menghasut mereka, mengatakan kalau siapapun yang berteman dengan Kea sigadis kaca mata besar dan tebal yang punya alat-alat yang ditempelkan disekitar telinganya itu berarti bukanlah temannya lagi. Dengan kata lain Sandi mengancam siapapun yang berteman dengan Kea berarti adalah musuhnya.
Saat itu, Sandi adalah siswa yang paling pintar, paling tampan, paling tinggi dan paling kaya, semua orang tentu saja takut dimusuhi oleh Sandi maka sudah pasti masa-masa TK Menjadi suatu hal yang kelam untuk Kea.
Sandi kecil saja mampu membuat Kea saat itu mengutuk takdirnya, membenci semua perawatan dan pengobatan yang diberikan orang tuanya, Kea bahkan membenci suara yang didengarnya, Kea tak suka suara, ia lebih memilih menghabiskan hari-harinya dikamar dengan keterdiaman, berkomunikasi seadanya dengan gerakan tangannya.
Lalu sekarang, Sandi tiba-tiba mengancamnya dengan penuh kebencian dan terang-terangan . Biasanya mana sudi Sandi berkomunikasi dengannya, Sandi lebih senang membullinya secara halus, seperti mendengus saat Kea berbicara, pura-pura tak melihat ketika berpapasan, dan mengambaikan Kea ketika kebetulan gadis itu bicara padanya. Selama ini, selama hampir tiga tahun mereka belajar dikelas yang sama, kebencian Sandi hanya sebatas itu, atau yang paling parah mungkin Sandi sering mencoret nama Kea dalam data kelas saat ada sesuatu acara atau saat mereka dikelompokkan pada kelompok yang sama, Sandi akan mengangkat tangannya dan mengatakan dengan lantang bahwa ia tak menerima gadis tuli dikelompoknya.
Hanya sebatas itu, tapi, Kea sekarang tak yakin kalau batasan itu hanya sampai disitu. Kea merasa mungkin Sandi akan terang-terangan membencinya.
Kea melirik Sandi yang duduk dibarisan paling belakang, itu karena postur tubuhnya yang terlalu tinggi untuk duduk didepan ataupun ditengah barisan. Sandi tampak memainkan ponselnya, sesekali kedapatan tersenyum, mungkin sedang berchat ria dengan Lusi, pacarnya. Namun seperti terasa dipandangi, Sandipun menoleh dan tatapannyapun langsung jatuh tepat kemanik mata Kea.
Kea terkejut, ia memalingkan wajahnya dan Sandi tersenyum culas untuk menanggapinya.
Kea merasakan tangannya agak bergetar, mungkin ia terlalu berlebihan. Tapi percayalah, walaupun sekarang Kea sudah berani, tetap saja Sandi adalah sumber dari segala sumber ketraumaannya. Dan Kea tak dapat melupakan hal itu.
"Ke, Kea.."
"Kea!" Panggil Sheril mengguncang lengan Kea. Kea menoleh, ia agak terkejut karena Sheril yang menggoyangkan lengannya agak kuat.
"Kenapa?" tanya Kea bingung.
Sheril menyentuh telinganya, memberi tanda agar Kea segera mengaktifkan alat bantu dengarnya.
Kea menghela nafas, ia lalu mengaktifkan alat bantu dengarnya walaupun enggan. "Kenapa?"
"Lo dari tadi ngelamun mulu, kenapa sih?" bisik Sheril pelan.
Kea terdiam, ia tak mungkin mengatakan ia ketakutan karena ancaman sampah Sandi kan?
"Gak papa, gue cuma lagi hapal rumus, emang gue keliatan kayak orang ngelamun apa?" tanya Kea sepelan mungkin, sekarang kelas mereka sedang mempersiapkan ulangan harian matematika sebelum pak Sohibi datang. Guru yang terkenal killer itu memang mewajibkan siswanya lulus disegala jenis ulangan dan ujiannya.Tradisi mencontek dan saling berbagi jawaban bukanlah suatu hal yang bisa ditemukan dikelas mereka, setidaknya jika pelajaran pak Sohibi, semua orang takut akan ancaman nilai ketidak lulusan. Dan sudah pasti tak ada nilai perbaikan ataupun sejenisnya, maka, tak ayal dibeberapa menit sebelum ulangan dimulai, kelas 12 MIPA 1 sudah sibuk dengan rumitnya hapalan rumus dikepala mereka.
"Tuh kan lo ngelamun lagi," tuding Sheril memukul lengan Kea.
Kea meringis, "Gue gak ngelamhn Sher, gue lagi ngapal udah ah."
Sheril mengerucutkan bibirnya, "Lagak lo kayak lo manusia dengan IQ pas-pasan aja. Gue yakin bahkan buat materi bab depan lo uda bisa."
"Sher, ih" kesal Kea.
"Iya-iya, lo kan rajin bagus itu mah mempertahankan nilai, gak kayak sigila itu, hp mulu. Memang yah, dunia itu kadang gak adil." keluh Sheril melirik kursi belakang, tempat dimana Sandi duduk.
Tapi jika dilihat-lihat, tampaknya memang tak ada yang santai dikelas mereka kecuali Sandi, yah hanya Sandi, hanya Sandi satu-satunya orang yang tampak sibuk dengan ponselnya sendiri tanpa memikirkan ulangan matematika yang akan dimulai beberapa menit lagi.
"Kea!"
"Apa lagi?" tanya Kea gemas.
Sheril berdecak, "Pak Sohibi itu didepan, gitu bilangnya gak ngelamun." dumel Sheril merapikan buku-buku paketnya.
Kea menatap kedepan dan disana sudah ada pak Sohibi yang berdiri didepan kelas.
"Okee, simpan semua buku didalam tas dan kumpulkan kedepan. Hanya tinggalkan alat tulis dan keperluan menulis diatas meja. Kumpulkan mulai dari barisan Sifa, " suara pak Sohibi menggema diruang kelas.
"Tidak ada acara mencontek, berbagi jawaban ataupun hal lainnya, jika ada yang ketahuan berbuat curang baik itu mencontek, menyalin, atau bertukar jawaban, nilai ulangan akan saya beri nol. paham!"
"Paham pak!" seru kelas 12 MIPA kompak.
"Ketua kelas, Sandi, bagikan soalnya." perintah pak Sohibi menunjuk Sandi.
Sandi bangkit dari duduknya, laki-laki itu membagi kertas soal ulangan dengan raut dingin. Ciri khas Sandi sekali, angkuh, kaku dan, Egois, dan keras kepala.
Saat Sandi sampai dibangkunya, Kea secara otomatis menahan napas. Apalagi ketika Sandi menjulurkan tangannya untuk memberikan kertas soal ulangan pada Sheril yang berada disebelah Kea. aroma parfum laki-laki itu memenuhi rongga hidungnya. padahal Kea sudah berusaha tak menghirup udara sedikitpun tapi ia gagal dan aroma citrus yang terasa cool terhirup olehnya.
"Gue harap, lo gak mati duluan sebelum pertunjukan." bisikan Sandi itu membuat Kea mendongak. Dan senyuman culas Sandilah yang ia dapat.
Kea merasakan lehernya meremang karena ucapan Sandi, tapi ia menggelengkan kepala dan mulai bersikap biasa saja saat Sandi sudah kembali melanjutkan kegiatannya.
Setelah itu ulangan harian dilakukan dengan hening, beberapa kali pak Sohibi patroli dengan penggaris panjang ditangannya.
Kea masih sibuk mengerjakan soal terakhir ketika suara ketukan keras yang berasal dari penggaris dan mejanya berbunyi keras. Kea yang terkejut bahkan hampir mengumpat jika saja ia tak bisa mengendalikan dirinya.
Pak Sohibi menunduk untuk mengambil ntah apa dibawah mejanya. Kea hanya membeku kaku dengan semua pusat perhatian yang berpusat padanya.
"Kea Ankara Tan!"
"Y-ya pak?"
"Kamu menyalin semua rumus materi ulangan kita?" tanya pak Sohibi terdengar tak percaya dan juga kecewa.
Koor suara keterkejutan pun terdengar dari yang lainnya, termasuk Sheril yang membolakan matanya tak percaya. Kea mencontek?
Mustahil.
Wajah Kea pucat pasi, "Ng-nggak pak, saya nggak nyontek, i-itu bukan punya saya!" bela Kea takut dan juga bingung.
"Dan ada dimeja kamu?" tanya pak Sohibi retoris.
Kea tak dapat menjawab, ia kebingungan dan juga terkejut.
"Nilai ulangan kamu nol dan sekarang keluar kelas sampai jam saya habis."
"T-tapi pak-" mata Kea sudah memerah saat pak Sohibi menyuruhnya keluar.
"Saya harap saya tidak mengulang perkataan saya."
Kea mengerjapkan mata merahnya dibalik kaca mata minusnya, ia tak sengaja melirik Sandi dan saat ia mendapati Sandi berusaha menahan senyum kesenangannya.
Kea tak ingin menuduh, tapi apa itu ulah Sandi?
***
Ekhem, kenapa Sandi senyum?
Kea memejamkan matanya, sesekali suara isakan terdengar dari bibirnya. Ini sudah dua hari berlalu semenjak kejadian saat ulangan harian waktu itu dan Kea masih mengurung dirinya dikamar dengan dendam yang menumpuk.
Rasanya suara pak Sohibi terus terngiang dikepalanya, apalagi ketika akhirnya guru matematika favoritnya itu menarik rekomendasinya. Lalu menggantikan namanya dengan Sandi yang merupakan lawannya saat test beasiswa waktu itu.
Kea merasa terpuruk, ia tau dirinya sangat berambisi untuk beasiswa itu, tapi sungguh Kea tak pernah sekalipun berniatan untuk menyontek.
Kea tau dan Kea benar-benar yakin, Sandi adalah dalang dari semua hal ini. Laki-laki itu begitu membencinya.
Kea menatap ponselnya begitu benda pipih itu menampilkan cahaya. Kea tak begitu dapat melihatnya dengan jelas karena matanya yang buram, tapi dari penglihatannya yang begitu buruk itu ia masih dapat mengenali kalau itu adalah sebuah cahaya.
Gadis itu mengambil kaca mata tebalnya, membesarkan font ponselnya sambil mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya. Barulah ia dapat mengenali pesan itu, pesan yang berupa SMS karena ia mematikan semua data internet ponselnya itu menampilkan pesan sang mama.
'Ke, buka pintunya sayang, mama tau Kea gak tidur.'
'Ke, papa sama mama didepan pintu kamarmu'
'Ke, buka sayang.'
'Kea, mama tau kamu uda baca sms mama, pakai pendengarmu dan buka pintunya.'
'Kea!'
Kea menatap pintu kamarnya yang bergetar, seperti mendapat dobrakan dari luar. Itu pasti ulah papanya. Kea menghapus air matanya, ia lalu memilih mengetikkan sesuatu untuk mamanya.
'Kea buka pintunya tapi Kea gak mau ngomong, Kea gak mau cerita dan Kea gak mau ditanyain.boleh ma?'
Getaran dari dobrakan itu berhenti, lalu Kea menunduk kala melihat cahaya ponselnya. Pesan balasan dari mamanya.
'iya, mama sama papa janji gak bakal tanya-tanya, sekarang buka pintu ya sayang, kamu belum makan dari semalam.'
Kea menghapus air matanya, ia lalu berusaha bangkit dari duduknya, tapi kepalanya terasa sangat pusing. Mungkin efek dari banyaknya menangis dan ia yang belum makan dari semalam. Dengan tertatih akhirnya ia sampai didepan pintu kamarnya, menekan kunci dan akhirnya pintu kamar yang sejak semalam ia kunci itu terbuka. Menampilkan Mama dan papanya yang menatapnya khawatir.
"Kea hiks" Mamanya memanggil, Kea tak mendengarnya, tapi ia bisa membaca gerakan bibir mamanya yang bergetar. Mamanya pasti sangat khawatir.
"Mama" panggil Kea menghabur kepelukan Kelli, mamanya.
Kedua perempuan beda usia itu menangis bersama, seolah saling meluapkan kesakitan mereka masing-masing, sedangkan Kai, papa Kea yang begitu menyayangi Kea itu mengepalkan tangannya, ia merasa hatinya begitu teriris dengan keadaan kedua perempuan kesayangannya.
Tapi apalah daya, mereka sudah berjanji untuk tidak menanyai apa masalah Kea sampai gadis itu sendiri yang bercerita. Kai menatap putrinya yang menangis sesenggukan, ia lalu menarik lembut bahu Kea yang sudah lepas dari pelukan Kelli, membawa buah hati kesayangannya itu kedalam rengkuhannya.
Sudah lama sekali Kea tak seterpuruk ini, Kai ingat terakhir Kea mengurung diri bahkan sampai menyakiti dirinya sendiri itu adalah ketika Kea kelas 2 Sd dan itu karena ulah anak tetangga mereka sendiri, Sandi itu-
Sandi?
Kai semakin mengeratkan rengkuhannya kala wajah anak tetangga sebelah rumahnya itu menghantuinya.
Apa penyebab keterpurukan Kea-nya adalah orang yang sama?
***
Kea masih melamun sambil menatapi taman bunga mini miliki mamanya dibelakang rumah. selain kamar, taman adalah tempat favoritnya untuk melamun dan menenangkan diri.
setelah tadi pagi ia dipaksa keluar kamar oleh kedua orang tuanya karena ia terus mengurung diri, sekarang Kea sudah tak tampak lemas dan menangis lagi. Hatinya lebih tenang tapi tetap saja gadis itu masih tak ingin diganggu. Ia belum bercerita apa-apa pada orang tuanya. Kea juga tak memakai alat bantu dengarnya atau bahkan kaca mata minusnya. Gadis itu menyendiri seolah menikmati kesunyian rungu dan kegelapan netranya saja.
Sampai akhirnya, Kea tersentak ketika ia merasakan bahunya dirangkul dan wangi parfum mint yang sudah sangat ia hapal menusuk hidungnya. itu parfum Yuda. Kea hapal itu.
"Hai" Yuda menyapa, laki-laki itu tersenyum hangat walaupun ia tau sang kekasih tak akan bisa mendengar suaranya atau melihat senyumnya dengan jelas.
Kea mengerjap, ia tak dapat melihat Yuda dengan jelas karena pandangan matanya yang buram.
"Y-yuda?" panggil Kea serak, mungkin karena hampir dua hari tak banyak mengeluarkan suara tenggorokannya terasa sakit ketika ia mencoba berbicara.
Kea tak mendengar jawaban Yuda tapi ia dapat melihat dalam buram bahwa kekasihnya itu mengangguk.
Kea diam, Yuda pun begitu, atau setidaknya itulah yang Kea tau karena ia tak dapat mendengar suara kekasihnya.
"Hari ini uda makan belum?" tanya Yuda lembut, ia tersenyum ketika Kea hanya menatap taman bunga tanpa menjawab. "Kamu makin kurus Ke" kata Yuda lagi, dan kali ini laki-laki itu menyingkirkan poni panjang Kea yang menutupi mata untuk dibawa kebelakang telinga.
Kea menatapnya, dan Yuda tersenyum sampai matanya menyipit.
"Yuda, kamu ngomong sesuatu? aku gak pakai alat bantau dengarku, aku juga gak pakai kaca mata. Apa kamu ngomong-
ucapan Kea terpotong saat Yuda menarik Kea dalam pelukannya, "Aku tau Ke," katanya,
"Aku kangen sama kamu"
Kea mengerjap, ia tak tau apa yang Yuda katakan, tapi saat mendengar detak jantung berirama milik Yuda, Kea merasakan hatinya yang awalnya mencoba tegar kini mulai kembali rapuh.
Kea memegang sisi seragam Yuda, menangis tersedu tanpa diminta. Disaat-saat seperti ini Kea sangat mensyukuri ada Yuda disisinya, mau menerima dan menemaninya dalam segala situasi.
"Y-uda hiks" Tangis Kea meraung, ia tak lagi memperdulikan bagaimana seragam depan Yuda yang basah oleh air matanya, atau bagaiman seragam laki-laki itu kusut karena genggamannya. Saat ini Kea hanya ingin meluapkan kekesalannya.
"Sttt" Yuda berdesis pelan, ia menepuk-nepuk puncak kepala Kea dengan sayang, menciumi rambut panjang Kea yang memiliki wangi stroberi yang khas.
tepukan Sandi dikepalanya semakin membuat Kea tak terkendali, gadis itu kian tesedu, "Y-yuda, hiks, a-aku gak nyontek, t-tapi pak Sohibi hiks cabut beasiswa ku hiks, i-itu semua salah Sandi hiks, salah Sandi, Salah bajingan itu hiks. kamu percaya aku kan Yud, kamu percaya aku kan? A-aku gak nyontek hiks."
Yuda hanya diam, ia benar-benar diam, lelaki itu semakin merengkuh Keanya yang kecewa, ia merengkuh Keanya yang rapuh dan itu semua karena Sandi sialan yang akan Yuda ingat sepanjang hidupnya.
***
Kea tak tau berapa lama ia tertidur setelah meracau tak jelas pada Yuda beberapa waktu yang lalu. Tapi ketika ia membuka mata, Kea sudah mendapati dirinya didalam kamar. Kea dapat menyadari itu dari empuknya benda yang ia tiduri atau harum pengharum ruangan dikamarnya yang beraroma stroberi.
Kea meraba nakasnya dengan gerakan teratur, mencari letak kaca mata dan alat bantu dengarnya yang biasa ia letakkan disembarang tempat.
pada rabaan pertama, Kea tak mendapatkan barang apapun ditangannya, tapi pada gerakan keduanya akhirnya kea menemukan kaca matanya walaupun setelah itu ia merasa menyentuh sesutu. mungkin gelas atau apapun itu yang sekarang pecah dilantai.
Kea mengucek matanya pelan sebelum akhirnya pandangannya terasa fokus dan jelas. Gadis itu berdecak saat mendapati sebeuah gelas pecah didekat kakinya. Tapi saat Kea hendak membersihkan beling gelas kaca itu, pandangan Kea jatuh kekertas putih yang ada dikaca lemarinya. Ditempel dengan posisi yang tepat. mungkin agar cepat dibaca.
Perlahan senyum Kea terasa mengambang, disana dikertas itu ada kata-kata semangat dari Nindi dan Sheril juga Yuda. isinya hampir sama, kata-kata semangat dan motivasi, tapi ada satu kalimat panjang yang menguasiknya. itu dari Sheril.
'Eh, gue kasih tau elo ya Ke, gak ada yang istilahnya nyerah dikamus kita. Lo harus bales dendam pokoknya.'
Kea tertegun, balas dendam ya.
***
Nah, loh Kea mau bales dendam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!