"Dia itu bocah nyebelin yang tiba-tiba merusak duniaku, berondong aneh yang gak tau aturan." Kesya Almora Nurinda.
"Pertama kali ketemu dia itu perempuan judes yang hobi marah-marah, mirip mamah yang tuperwarnya gue pecahkan." Arsya Kevano Putra.
"Kalau lihat dia bahagia gue bahagia, tapi bahagianya harus sama gue. Karena munafik jika lihat dia bahagia bukan sama gue, terus gue bahagia. Sebab cinta itu emang harus egois, kan." Biandra Arya Wijaya.
###
Ia mendorong tubuhku dengan pelan hingga jatuh keatas kasur, lalu menghimpit bagian leherku dengan kedua tangan kecilnya. Wajah teduhnya yang manis menutup wajahku dari sorot lampu langit-langit. Matanya menatapku dengan tajam, sambil sesekali ia membasahi bibirnya yang sudah nampak tak kering lagi. Sebagai tanda yang aku pahami.
Aku tak ingin menebak adegan berikutnya, tapi ini diluar kendaliku. Aku pernah menonton adegan seperti ini, disalah satu website penyedia jasa gratis. Tapi ini bukan tontonan, ini akan terjadi padaku. Diranjang ini, melakukannya dengan dia, sekarang. No! Ini terlalu dini untukku.
Aku belum berpengalaman melakukan hal seperti ini, meskipun semua orang tahu aku nakal, tapi ini terlalu jauh.
Semili, secenti, seinci, hingga kurasakan deru nafasnya yang memburu saat bibirnya sudah berjarak dua jari dari bibirku. Sangat dekat. Adegan pembuka. Batinku. Aku belum siap! Tapi, aku harus melakukan dengannya.
Jantungku berdetak lebih cepat, nafasku tak beraturan, aku yakin ia mendengarnya, Keringat panas dingin menyelimuti tubuhku, bulirnya jatuh dari dahi, seakan AC yang terpasang di sudut ruangan tak berfungsi. Tapi, aku tak merasakan atau mendengar suara itu dijantungnya. Apa ia sudah terbiasa melakukan ini, sampai ia terlihat begitu santai.
Sampai, Hap!
Bibirnya menyentuh pipiku, saat dengan refleks aku menutup mata dan menoleh ke samping.
"Kenapa, bukankah kita sudah menjadi suami-istri?"
"Aku belum siap, sayang. Aku belum pernah melakukanya."
"Lakukan, seperti saat kita melakukannya di bus beberapa waktu lalu."
"Hal itu tak sengaja, bukan? Meskipun aku nakal tak mungkin aku melakukannya ditempat umum." Aku menyentuh pipi mungilnya, lalu mengelusnya dengan perlahan. Benar-benar kulit terawat sempurna. Pantas saja ia selalu terlihat memesona setiap kali kita bertemu.
"Jadi?"
"Jadi, apa?"
Ia malah tersenyum lagi, kini dengan senyuman puas. Kemudian berlalu pergi dari atas tubuhku, berbaring disampingku sambil menarik selimut untuk menutupi tubuh setengah telanjangnya, terutama dibagian dada. Lalu memunggungi tubuhku, ia tak terlihat kecewa.
Ini malam pertamaku yang mendebarkan.
"Kamu sayang sama aku, kan?" Tanyanya, tidak itu lebih sepeti sebuah pernyataan, seakan tak membuatku untuk menjawabnya.
"Pasti, jika tidak mana mungkin kita menikah. Tapi, aku belum berjanji bisa jadi pasangan yang baik untuk...."
Belum sempat aku meneruskan, ia memotong ucapkan. "Sudah, kamu sudah menjadi yang terbaik untukku."
"Kamu milikku dan aku milikmu sekarang, tidak ada yang bisa memisahkan kita. Bahkan semestapun akan cemburu dengan kisah cinta dalam ikatan Sah ini." Ucapku lalu menyusulnya masuk kedalam selimut, setelah sebelumnya aku melepas baju. Kupeluk tubuh mungilnya dari belakang, agar aku bisa menjaganya dari siapapun yang ingin menyakitinya.
Kesya menghembuskan nafas berat sambil menyesap maca pahit yang selalu menemani paginya. Kata orang, maca bisa menghilangkan racun dan toksin yang artinya baik untuk kesehatan dan kulit.
Bagus sekali bukan, diusianya yang sebentar lagi dipanggil tante, ia memang harus merawat kekencangan kulit, jika tidak mungkin tiga tahun lagi kulit dipinggir mata dan diatas senyum akan terlihat keriput.
Jauhkan semua itu dariku Tuhan. Batinnya. Ia belum ingin benar-benar tua seperti tetangga sebelahnya yang cerewetnya minta ampun. Yang selalu menatapnya aneh dan tak suka, seakan Kesya merebut suaminya.
Sesekali ia melirik jam yang melingkar ditangan kanannya, ia memastikan agar tak terlambat untuk datang kekantor. Kesya tidak mau ditegur Bos yang super galak, jika terlambat absen. Anehnya dia selalu punya cara untuk membuatnya merasa bersalah. Menyebalkan bukan.
Kesya terus menyesap minuman berwarna hijau pekat itu dengan tenang, sambil menikmati udara pagi dari jendela apartemen yang aku buka. Ia sengaja membeli apartemen ini bukannya rumah, Karena sebagai pekerja design aku butuh ketenangan untuk mengerjakan pekerjaanku yang membutuhkan pikiran tenang, bukan untuk yang lainnya. Meskipun sang Mama berpikir aneh saat ia memutuskan untuk mengambil apartement.
Macanya sudah habis, ia berjalan menaruhnya ditumpukan piring kotor, mengambil tas kerjanya, lalu menuju rak untuk mengambil sepatu pantofel dengan hak beberapa centi. Sebenarnya aku tidak suka menggunakannya, tapi ini peraturan aneh dari kantor.
Dikunci pintu apartemennya, lalu kembali berjalan dilorong, menyusurinya sebentar, menekan tombol lift, turun lantai dasar dan keluar kawasan apartement. Kemudian, menunggu Bus yang tak jauh dari sana.
Ia berasa seperti Sailor Moon, yang gesit. "Dengan kekuatan bulan." (Jangan ikuti gerakannya)
Bus biasa berhenti pukul tujuh pagi, berarti lima menit lagi, mungkin ia bisa selfie cantik dulu untuk mengabarkan pada penggemarnya bahwa Kesya si Ratu alam semesta masih hidup.
1
2
3
Cekrek!
Ada duapuluh lima foto dalam sekali cekrek dan banyak pose, semua cantik seperti biasa, saat nya upload disemua sosial media yang dimilikinya. Pengikutnya pun sudah banyak. 200 orang.
Cukup. Bus sudah datang, masukkan ponsel dalam tas mungilnya yang berisi semua urusan wanita. Melangkah santai memasuki bus. Bus pagi ini cukup sepi ia bisa duduk dengan tenang sekarang hingga nanti sampai Kantor tiga puluh menit lagi. Tapi, supir bus ini keluaran fast farious, kadang lima belas menit sampai.
Sembari menunggu sampai dikantor, ia ingin tidur sebentar, karena tadi malam ia sempat bergadang.
*Begadang jangan begadang
Kalau tiada artinya
Bergadang boleh saja
Kalau ada perlunya.*
"Maaf tante disini kosong?"
Hah? Kesya menajamkan telinganya, ia belum sempat memejamkan mata, sepertinya seseorang ada yang berbicara didekatnya tapi pastinya tidak denganya. Sama ia dipanggil, tante.
"Tante!"
"Eh bocah, kamu ngomong sama saya?"
"Disini kan cuma ada tante doang."
"Gak sopan, saya masih muda, enak aja panggil tante. Panggil, mbak."
"Eh iya, mbak tante." Ucap lelaki muda itu yang mengenakan baju hitam putih rapi. Tanpa peduli raut wajah Kesya, ia langsung duduk senyaman mungkin.
Kesya masih berpikir keras apa mukanya setua itu sampai ada yang memanggilnya tante, ia rasa tidak. Ia masih dua puluh tujuh tahun, cantik dan menggoda setidaknya itu yang dilihatnya dicermin.
Ia menoleh kearah lelaki disampingnya, muda dan tampan. Sepertinya usianya masih belasan, anak kuliah atau malah masih SMA. Berondong sekali.
Merasa dipandang lelaki itu menoleh, dan tersenyum memamerkan bibir putihnya yang ditumbuhi satu gingsul disebelah kiri. Setelah ia sadar Kesya membuang muka dan menutup mata.
%%%
"Yuyun!" Seru sang Boss dengan wajahnya yang terlihat bingung.
"Ih pak bos, nama saya Yunda kali. Bapak lagian kenapa pagi pagi udah teriak?" Kata Yunda dengan gayanya yang centil dan tak peduli bahwa yang diajaknya berbicara itu Bossnya.
"Dih ini anak. Nur mana kok belum datang. Saya butuh dia."
"Bapak suka ganti panggilan deh. Paling masih dijalan, ini belum jam absen juga, pak."
"Saya disini pak!" Teriak Kesya menghampiri sang Bos dengan wajah lelahnya. Ia sudah seperti pelari marathon yang menuju finis saat mengejar absen.
"Dari mana aja, Nur? Ikut saya ke ruangan."
"Siap, Pak" Kesya melebarkan tangannya, hormat sebagai tanda iya. Lalu mengekor dibelakang pak Boss. "Doakan gue, Yun."
Kesya mengendus sesuatu yang akan terjadi padanya, yang akan membuatnya berucap maaf pak-maaf pak berulang kali. Tapi, apa salahnya ia tidak datang terlambat.
Lelaki bertubuh tinggi besar dengan brewok tipis itu selalu saja mengganggu nya dengan banyak pekerjaan, lembur yang tak mengenal waktu hingga memajukan deadline seenaknya saja. Dan sepertinya itu akan terjadi padanya.
"Nur, mana desain yang saya minta minggu lalu?" Sang bos menagih sesuatu pada Kesya saat mereka sudah berada diruangan.
"Hah? Desain yang mana bos?" Tanya Kesya bodoh.
"Desain minuman gelas yang diminta untuk iklan, masa kamu lupa."
"Bukanya bos minta bulan depan, ya?"
"Masa saya bilang gitu. Yaudah dimajuin ya, besok harus selesai."
"Tapi, bos.."
"Huss, jangan bantah." Potong pak bos sambil menutup mulut Kesya dengan jari telunjuknya.
Kesya memasang wajah cengo'. Benar apa yang dikatakanya, si bos gembul itu suka memajukan deadline seenaknya. Alamat ia harus lembur lagi untuk mengerjakan desain itu yang segarispun belum dikerjakannya._
Kesya merentangkan kedua tangannya ke udara sambil menguap tanda lelah yang sengaja ditahan. Deadline yang tak rasional harus ia kerjakan dalam waktu singkat, dan sampai pukul sebelas malam ia belum meninggalkan kantor, padahal lampu-lampu sudah mati, ia hanya sempat berpesan pada Mang Didin si satpam untuk tidak mematikan lampu ruangan kerja dan lorong.
Beberapa gelas bekas Americano Coffe berhambur diatas meja kerjanya, untuk menemaninya kerja lembur. Sendirian. Padahal Ia sudah meminta Yuyun dan Ganda untuk membantunya, setidaknya sampai pukul delapan, tapi dua makhluk bertualang rawan itu malah berlagak sibuk dengan diri mereka sendiri.
Otot-otot tangan, kaki dan punggungnya terus berkontraksi, sarafnya ikut membeku karena AC yang terpasang pada angka delapan belas, dingin sekali malam ini di Ibukota, mungkin esok akan kabut. Kesya menarik blezernya dari laci yang masih terlipat rapi, lalu membungkusnya lagi dengan jaket mantel yang berada dipunggung kursi kerjanya.
"Gila!"
Prang!
Duk!
Ia berteriak, dan tak sengaja tangannya menyenggol botol minuman beling yang langsung jatuh kelantai dengan jarak tujuh puluh centimeter, untung saja tidak pecah. Jika terjadi, Mang Didin akan datang dengan wajah seriusnya dan menganggap itu pencurian.
Jarum jam terus bergerak, hampir menyentuh angka dua belas malam. Kesya men-shutdown laptopnya, menutupnya, lalu memasukannya kedalam tas kerja, ia akan menyambungnya nanti diapatement.
Sesaat ia mendengus perlahan, karena teringat bahwa semalam itu tidak akan ada bus yang menjemputnya, mungkin hanya taksi itupun jarang.
Dilangkahkan nya kaki keluar ruang kerja, menyusuri lorong kantor, setelah sebelumnya mematikan lampu. Sesampainya diluar, Mang Didin menyapa dengan ramah.
"Bu Kesya pulang sendiri?"
"Iya mang, sama siapa lagi. Mana malam begini pasti gak ada Bus."
"Tapi masih ada taksi, Bu."
"Iya mang. Yaudah saya pulang dulu, selamat malam."
Si Mamang mengangguk, Kesya berjalan keluar pagar mendekat kearah jalan raya, meskipun ia tidak yakin, akan ada taksi lewat.
Sesekali dibukanya ponsel yang sempat ia masukan dalam kantong blezer, ia mengulas senyum tipis, bukan bahagia tapi sesuatu yang tengah ia simpan yang membuatnya selalu bertanya dalam hati. "Apa ia benar sayang padaku?."
Saat ia berpikir begitu, taksi berhenti didepanya, mengklakson dengan nyaring dan membuat sedikit kaget.
Didalam taksi ia masih sempatnya berpikir, saat tubuhnya lelah pikirannya terus melayang. Ia mengingat teguran orangnya dulu untuk kuliah desain dan yang akhirnya mendapat pekerjaan sebagai seorang ahli desain di sebuah kantor yang lebih dar lima tahun ini.
Tahun kedua ia bekerja, ia mendapatkan proyek pembuatan iklan yang ternyata ilegal. Ia hampir terjerat masalah, jika tidak dibantu seorang Pengacara muda yang baik hati. Sejak hari itu mereka lebih dekat dari seorang teman.
Ponselnya berbunyi, sebuah chat online dengan ID yang lagi-lagi membuatnya tersenyum, kali ini senyumannya benar-benar manis, pesan yang ditunggunya sejak sore tadi.
"Kita kemana, Bu?" Tanya sang supir membuyarkan lamunan Kesya.
"Kejalan Turi, Apartement Griya Manis, Pak." jawab Kesya, lalu kembali mengarahkan pandangannya menatap ponsel, padahal ia belum membalas chat itu.
"Malam-malam begini kok baru pulang, Bu?"
"Lembur, Pak. Biasalah Bos ngedealinenya minta diburu."
"Kasihan si Ibu. Hati-hati lho malam seperti ini rawan kejahatan, apalagi Ibu perempuan."
"Saya sudah biasa, Pak. Bismillah saja, minta perlindungan yang diatas."
Sang supir mengangguk-angguk, tanda paham.
"Ibu sudah menikah?" Tanya supir lagi, sambil melirik Kesya dari balik kaca yang terpasang diatas kemudi.
"Belum, Pak. Masih pengen sendiri."
"Coba kalau ibu menikah, pasti gak lembur seperti ini."
Menikah?
Tiba-tiba kata itu mengudara dipikirkannya, padahal sudah sejak umurnya dua puluh lima tahun. Sang mamah bahkan berulang kali juga memaksanya menikah, meninggalkan pekerjaanya sebagai perempuan karier, tapi ia tak pernah mau.
Jika ingin menikahpun dengan siapa? Ia itu tak pernah serius saat membahas soal pernikahan, selalu mengalihkan pembicaraan kearah lain.
Pernah satu kali, sang mamah mengenalkannya pada seorang lelaki, malah lelaki itu dibuat malu oleh Kesya, sejak saat itu mamah tak pernah mau mengurusi kapan ia akan menikah lagi.
"Sampai, Bu."
"Terima kasih, Pak." Kesya membayar sesuatu yang tertera diargo, keluar dari taksi dan berjalan masuk kedalam apartement.
%%%
Baru saja ia membaringkan tubuhnya, setelah mandi dan membersihkan diri, ponselnya berbunyi, sebuah panggilan masuk.
"Hallo sayang, sudah pulang? Maaf aku gak bisa jemput ya." Ujar suara berat dari ujung telephone sana. Suara dari seseorang yang sudah dikenalnya cukup lama, yang selalu menemani dirinya, meskipun ia tak pernah apa yang ada di pikiran lelaki itu.
Kesya menghembuskan nafas sambil terdiam sesaat, ia berniat tak bersuara dan akan memutuskan percakapan itu. Tapi lelaki dengan suara berat itu berucap lagi. "Sayang, kok diam. Kamu marah, ya?"
"Enggak papa kok, tadi aku pakai taksi. Aku tau kamu juga sibuk, Ya sudah aku mau tidur, kamu juga. Besok aku kerja lagi."
"Besok kita dinner ya, ditempat biasa."
"Iya."
Tut.
Kesya memutuskan sambungan itu, lalu melempar ponselnya kesisi ranjang, sambil ia menggeser tubuhnya menemui bantal. Uratnya mengejang, beberapa keram sampai ia malas menggerakan badan sintalnya. Ia ingin tidur dengan tenang malam ini, ia akan tertidur hanya enam jam itupun jika ia benar- benar bisa nyenyak.
Ia tak berniat mengulang pekerjaannya kembali, mungkin besok bisa dikejar._
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!