(Bithari. Bulan Wehu)
Suasana hening. Tanah di tengah area gelanggang bergeser. Pintu cakra terselimuti tanah dan pasir tebal, perlahan terbuka lebar. Muncul empat algojo dari balik kedalaman tanah, derap langkah berat dan kekar tubuh mereka sambil menyeret rantai-rantai membelit seorang pemuda belasan tahun. Ia menggeliat di tanah. Kedua tangan dan kaki terbelenggu. Penuh memar dan bilur di sekujur tubuhnya. Sementara para algojo tak berhenti memecut pemuda itu.
”Bocah Neraka!” seru lantang seorang pengendali eksekusi, berdiri di sisi serambi menara yang menghadap arena gelanggang eksekusi. Ia berjirah perak seraya mengangkat tongkat.
”Pemberontak. Pembunuh. Pembawa musibah!” teriak lantang si pengendali itu lagi. Suaranya menggema sampai ke telinga semua orang yang menyaksikan eksekusi hari itu.
Sangkakala menggema angkasa. Genta-genta raksasa turut ditabuh. Hingar bingar alunan suara benda-benda itu bertalu-talu. Pasukan penjaga berbaris ketat di sepanjang benteng menjulang tinggi. Kerumunan rakyat jelata berjejal di balik jalan masuk pintu berpalang. Dari menara-menara empat penjuru bangunan megah, tempat arena gelanggang biasanya diadakan adu tarung, tampak orang-orang penting turut hadir menyaksikan peristiwa hendak dilaksanakan sebuah ekseskusi mati seorang pemuda.
”Eksekusi penggal kepala hukumannya!!!” seru pengendali.
Siksaan sejenak dihentikan. Gerbang utama area gelanggang dibuka, kemudian muncul pria berjubah hitam, menuntun kuda yang ditunggangi seorang lelaki dengan wibawa. Seluruh penjuru negeri menyebutnya,
"Paduka Jayasinggih hadir!!!" pria berjubah hitam menyerukan kedatangan junjungan negeri Sekte Kakilangit.
Jayasinggih, Penguasa Sekte Kakilangit di atas kudanya, memasuki arena eksekusi, diikuti belasan prajurit menyertai sisi depan dan belakang. Sementara itu, pria berjubah hitam, lebih menyita perhatian orang-orang yang menyaksikan kedatangan Paduka Jayasinggih. Mereka bergerak hingga ke tengah gelanggang, lalu berhenti tepat di hadapan tiang jagal sebagai tempat eksukusi pemuda yang diseret-seret para algojo. Tubuh pemuda itu diikat dan ditarik dengan tali temali di tiang jagal.
Pria berjubah hitam membuka tudung wajahnya. Sebuah wajah tersingkap, tampak asing bagi siapapun yang melihatnya pertama kali. Wajat memutih pucat, sepasang mata sipit tanpa alis. Urat biru merayap sekitar kening dan batas rahangnya. Seluruh tubuhnya tertutup jubah hitam panjang sampai menyapu tanah. Pria berjubah hitam itu mendekati bocah lelaki yang tergeletak, hingga jarak beberapa selangkah. Pria berjubah hitam tersenyum sinis, ditatapnya bocah yang hendak dieksekusi itu, tampaknya sangat menderita. Tepat di depan bocah itu, tiang jagal dan algojo siap siaga dengan sebilah golok besar di tangan masing-masing.
”Hari ini, wujud kekuasaan Paduka Jayasinggih yang Agung!” teriak lantang pria berjubah hitam, sekali itu melempar senyum anyir, diiringi rentangan tangan lebar-lebar dan mengarah pada Paduka Jayasinggih di atas pelana kudanya.
Penguasa Kakilangit itu melempar pandang ke arah semua orang yang hadir mengelilingi area eksekusi. Kemudian tatapan matanya jatuh pada pemuda yang terikat di tiang jagal.
Satu alasan, seseorang paling berkuasa di Kakilangit, sedekat itu dengan pemuda yang sebentar lagi akan dieksekusi mati. Wajah Paduka Jayasinggih menampilkan raut dingin di balik senyum pahit, menandakan kemenangan luar biasa di atas dendam. Tergenggam pedang di tangannya.
“Bocah Neraka ...," ujar Paduka Jayasinggih, ”Ternyata Roh Biru tidak ada dalam dirimu. Sangat disesalkan, bahwa aku terkecoh selama ini!” sekilas Paduka Jayasinggih mengamati wajah pemuda itu meregang kesakitan.
Suara pedang keluar dari sarungnya. Dingin menyayat tulang. Bersamaan dengan itu, pria berjubah hitam dan pasukan pengawal membungkuk pertanda tunduk dan takut.
”Tetapi, aku akan mengampunimu jika kamu menyerahkan Dunia Bawah kepadaku,” lanjut Paduka. Cukup terdengar sekitar pasukan berjaga-jaga di dekatnya.
Dengan sisa tenaga, pemuda itu mengangkat wajahnya. Getir namun tangguh, menatap ke arah Paduka Jayasinggih yang tinggi besar, duduk di atas kudanya. Bibirnya sedikit gemetar berbicara.
”Turunlah, jika kau menginginkan Dunia Bawah!” kata pemuda itu menahan sakit, ”Kau tidak akan bisa mendapatkannya! Bahkan kau tidak bisa membunuhku!”
Paduka naik pitam. Pria berjubah hitam melotot. Para algojo pun terpancing amarah mendengar pemuda itu. Ingin sekali segera melibaskan golok sekiranya tanpa menunggu perintah. Paduka Jayasinggih lebih dulu mengangat lengannya untuk menahan eksekusi. Paduks yang gagah turun dari kudanya kemudian mendekati pemuda itu terikat di tiang jagal.
Paduka Jayasinggih menarik kunciran rambut bocah itu hingga tergerai panjang.
“Yakinkah kau lebih memilih mati di ujung pedangku?” suara Paduka Jayasinggih terdengar datar tetapi sangat mengancam. Sambil memamerkan kengerian pedangnya, mengacungkannya tinggi-tinggi ke hadapan semua orang yang menyaksikan.
Pemuda itu tampak tenang. Kilau pedang di tangan Paduka, menyilaukan mata. Belum pernah ia gentar pada apapun, tetapi di bawah bayangan pedang itu, dapat dirasakan betapa dingin dan menyayat. Pemuda itu menundukkan wajah untuk menghindari kilau yang menyakitkan. Punggungnya penuh memar sampai tampak gemetar.
“Bocah Neraka! Aku akan mengakhiri hidupmu ...,” ujar Paduka Jayasinggih menyentuh kulit bocah itu dengan ujung pedang di tangannya.
”Terakhir kali, aku memberimu satu kesempatan untuk menyerahkan Dunia Bawah. Maka aku akan mengampunimu!”
Pemuda itu meringkuk dalam bisu dan rantai-rantai membelit tubuhnya. Guratan merah membekas di sekujur punggung.
”Ambil kesempatan terakhirmu! Ini semata-mata wujud Paduka yang pengampun!” Pria berjubah hitam berteriak tegas. Sementara empat algojo kekar, siap siaga dengan perintah Paduka.
Perlahan pemuda itu mengangkat wajahnya lagi. Senyum tipis sekali lagi menghiasi wajahnya yang letih kesakitan.
”Jaya Wening sangat cantik,” jawaban pemuda itu di luar sangka semua orang.
Paduka Jayasinggih beralih pandang ke arah salah satu menara di sisi arena eksekusi. Tampak seorang putri, Jaya Wening namanya. Gadis belia nan cantik jelita, ia menyaksikan dari sisi tribun menara. Namun kebencian terpancar dari caranya menatap ke arah pemuda itu. Putri berwajah cantik, terpaksa menyaksikan eksekusi hari itu.
Paduka Jayasinggih habis kesabaran. Alisnya naik, menatap kesal pada pemuda itu menatap ke arah putri di sana.
”Pasukanku akan datang. Hahaha!!!"
"Khaaarg!!!"
Tiba-tiba pemuda itu menyeringai lebar, suaranya mendesis seperti ular. Terkejut sekali, tampaklah gigi taring bocah itu muncul. Paduka Jayasinggih dan para penjaga di dekatnya seketika mengambil langkah mundur.
“Tidak ada ....
Tidak ada sesuatu pun di dunia ini ....
Yang kekal ….”
Mendesis suara pemuda itu, perlahan melantunkan patahan kalimat aneh, menyerupai lagu-lagu pelantun tidur panjang. Sesekali ia tersedak karena muntahan darah kental keluar dari mulutnya, kemudian ia melanjutkan kembali syair-syair yang aneh.
”Kita yang hidup sebelum mati,
Berbekal kasih.
Sang Durjana sibuk menguasai masa.
Kalian semua tertipu daya.
Buah kerinduan tak terhapus
Walaupun dengan senyum seribu tahun.”
* * *
Paduka Jayasinggih terpaku di tempatnya berdiri. Sebait syair aneh dalam bahasa tak dimengerti sama sekali. Demikian empat algojo mematung, juga penjaga di kanan kiri Paduka. Semua orang mendengar lantunan syair itu seakan tersihir. Putri berdiri di tingkat menara beserta prajurit-prajurit di sana, semuanya terserap kesadarannya. Secepat itu, semua mata yang menyaksikan seolah tersengat kebisuan.
Nada-nada sedih dari lantunan bocah itu terdengar mengalir seiring angin menyeruak.
”Pasukanku akan datang!” teriak lantang Bocah Neraka mengucap kalimatnya berkali-kali.
”Pasukanku akan datang!”
Tiba-tiba suara mendesis muncul dari permukaan tanah berpasir, muncul gerakan melingkar dari mana-mana. Kaki-kaki penjaga di kanan kiri Paduka, sampai terjingkat-jingkat. Gerakan-gerakan di tanah semakin menunjukkan makhluk apa di baliknya.
”Ular!!!”
”Ular!!!”
Teriak penjaga-penjaga di dekat Paduka. Mereka sibuk menyabetkan pedang masing-masinh ke tanah di sana-sini. Tak terhitung ular-ular muncul dari tanah dan kian bertambah jumlahnya.
”Ular!!!”
Suara riuh di tengah arena, memancing penasaran orang-orang menyaksikan dari arah tribun dan menara.
”Ulaaar ...!!!”
Teriak mereka histeris. Seketika pecah para penonton berhamburan.
”Jangan biarkan dia melantunkan sihir ...!!!” teriak tegas Pria berjubah hitam, segera ambil tindakan. Namun sesuatu lebih menyita perhatiannya lebih dulu.
Tiba-tiba angkasa menjadi gelap. Bayang-bayang makhluk melesat dari langit dan berseliweran di atas arena gelanggang.
”Hentikan!!!” bentak Paduka Jayasinggih menggencat alunan dinyanyian bocah itu.
”Heaaah!!!” ia melayangkan pedangnya ke tanah. Bermaksud menggertak si Bocah meringkuk. Sepasang matanya mengintai ke angkasa.
Langit semula terik berubah mendung dalam waktu singkat. Senyumnya terulas harapan mengerikan dan segera berbalik menteror semua orang di tempat ini.
Paduka Jayasinggih merasa situasi mengancam dirinya. Semua usahanya terasa percuma hari itu. Bayang-bayang makhluk berseliweran di angkasa, menyingkap ingatan rahasia di balik mendung langit-langit Kakilangit. Suatu kejadian lampau diceritakan segelintir angin dan pohon.
Suara menggelegar mengejutkan semua orang menjadi panik. Suara-suara itu muncul bersamaan tanah berguncang dan retak, ular-ular besar keluar dari bumi.
Kaaaarghhhh ...! Ssshaaaa ...!
Desis dan jerit ular bergerak cepat ke tengah arena. Orang-orang di sekitar tribun dan menara berlarian tak tentu arah, menjauhi tempat itu sehingga menjadi sepi. Tertinggal sekelompok saja mereka di tengah area eksekusi.
Bocah Neraka melantangkan kalimatnya.
“Dunia Bawah dan Pasukan Ular milikku, tak akan pernah memilih tubuh dengan jiwa yang rusak, berdiri di balik tubuh Pengkhianat Bangsa!” tatap tajam bocah itu menjurus pada Paduka Jayasinggih beringsut mundur, bersembunyi di balik perlindungan lingkar barisan penjaganya.
”Seorang hamba yang lupa diri. Kamu pengkhianat. Seorang abdi yang merebut tahta Tuan-mu!” teriak lantang bocah itu menggema ke penjuru tempat itu. Disusul suara-suara menggelegar dari langit.
Roaaargh ...! Roaaargh ...!
Entah itu makhluk apa, tiba-tiba muncul bayang-bayang bersayap.
“Bocah Neraka! Tidak terampuni!” teri Paduka Jayasinggih geram, emosi tertahan di ujung gigi berapi-api.
”Matilah kamu!” teriak Paduka Jayasinggih menghentakkan kaki, berancang-ancang hendak mengerahkan pedang di tangannya. Pria berjubah hitam dan para algojo mundur sebentar sambil sibuk melindungi Paduka. Sementara ular-ular raksasa menyerbu sekeliling mereka. Sedangkan dari angkasa, pasukan burung-burung besar dan ganas, tak terkendali, menyambar orang-orang tengah berlarian untuk menyelamatkan diri dari menara. Jerit manusia dan burung-burung raksasa memekakkan telinga. Tubuh-tubuh manusia tersambar dan terlempar jauh.
“Hawaks ...!” teriak penjaga-penjaga benteng menyadari kehadiran burung-burung raksasa berbadan setengah ular. Terompet tanda bahaya menggema.
“Pasukan panah!” teriak masing-masing pimpinan penjaga, mengatur barisan yang kocar-kacir. Ratusan panah diluncurkan. Namun kulit Hawaks sekeras lempengan besi dengan cakar-cakar sangat kuat. Sekali menyambar manusia dan mencengkeram sulit terlepaskan. Paruhnya mampu menyemburkan hawa panas dan melepuhkan kulit manusia. Prajurit-prajurit itu kewalahan. Situasi kacau balau makin menggila. Pilar benteng diterjang Hawaks dan sebagian dinding roboh.
Secepat mungkin pasukan pemanah menggantikan barisan prajurit.
“Andoors ...!,” teriak pimpinan pasukan meneriakkan komando, kemudian ribuan panah besi menyerang angkasa bertebaran burung-burung raksasa.
Singkat saja, makhluk-makhluk Hawaks menjauh dari langit-langit sekitar. Namun cukup mengguncang pelataran gelanggang eksekusi. Rintik hujan berbaur angin dingin berhembus, penampakan sesosok Hawaks paling besar, hitam legam, menyambar sisi bangunan menara.
Kraaaaargh ...!
Suara Hawaks memekakkan telinga. Makhluk itu bertengger di ujung menara tertinggi, meraung panjang seakan menantang manusia. Sementara di bawah, ular-ular memporakporandakan dataran gelanggang.
Pria berjubah hitam bertahan, memungut pedang tergeletak sedapatnya dan menebas kepala-kepala ular membabi buta. Demikian orang-orang prajurit yang mengawal Paduka Jayasinggih.
”Mundur! Lindungi Paduka ...!!!” teriak pimpinan prajurit. Lelaki Penguasa Kakilangit itu segera naik ke kuda untuk menyelamatkan diri. Ia melesat kabur bersama kuda tunggangannya.
Angin berhembus. Hujan dalam pusaran badai angin melingkupi tempat itu.
Bocah Neraka. Dunia menyebutnya demikian.
Hari berganti, angkasa di Kakilangit seperti tak pernah berhenti mendung hingga beberapa tahun terakhir. Hujan terakhir pada dekade kalai itu menyisakan kisah turun-temurun. Pohon-pohon habis meranggas, daun-daun kering terhembus angin. Ketika malam menjelang, ngeri mencekam dan menghantui warga Kakilangit. Bocah Neraka penuh dendam. Dia belum mati, tetapi menjadi hantu yang menteror ketenangan semua orang.
Bocah Neraka. Pembantainya para pembantai. Pembawa petaka dari kegelapan Dunia Bawah.
* * *
Kabut tipis menyelimuti ombak. Gemercik riak air bertemu dinding perahu pohon melintasi kesunyian perairan. Tiga sosok manusia di atasnya. Hening suasana pagi buta, remang-remang, sang surya mulai menampakkan diri.
Angin dingin berhembus merasuk hingga tulang. Rintik hujan masih tersisa di antara kabut perlahan menipis dari pandangan mata. Perahu pohon melintas tenang terombang-ambing di atas permukaan air. Suasana sunyi sekitarnya, nyaris tanpa ombak. Terlalu hening setelah badai melanda semalam. Wajah letih lelah ketiga sosok manusia di atas perahu. Dua laki-laki, satu perempuan.
Sepasang mata sembab, perlahan melirik ke samping kanan dan kirinya.
"Sudah terbit ...," suara lirih salah seorang dari ketiga manusia di atas perahu, menggugah kebisuan di antara mereka.
"Tamma."
Seseorang yang dipanggil dengan nama itu, bergeming saja. Kecuali sedikit menoleh pada gadis di sebelahnya, Niratih. Ia menyentuh pundak Tamma. Duka mendalam masih tersirat di wajahnya, seakan ia tak ingin hidup lagi. Enggan bicara namun awas mata Tamma penuh siaga dalam kondisi pagi buta seperti saat itu.
"Tamma, kita semua kehilangan Alas Roban," kata Niratih di sebelah Tamma, berusaha menguatkan diri.
"Niratih, aku baik-baik saja," ujar Tamma lirih. Merogoh sebentar dari kedalaman dadanya, kristal berkilau tampak berkilatan menyala dan meredup lagi.
"Apakah kita sudah dekat dengan daratan?" Niratih di sebelahnya membuka suara. Ia menoleh sebentar ke segala arah meskipun yang tampak hanya lautan luas seakan tanpa tepi.
"Kandil-mu ragu menentukan arah kita!" kata seseorang lagi, semula ia berdiri di bagian depan perahu, bergerak ke sebelah Tamma.
Dia, Baiyan. Serius tatap matanya ikut memperhatikan kristal bintang di telapak Tamma. Sejak tadi digoyangkan-goyangkan, namun tak menunjukkan cahaya yang jelas.
"Apa mungkin kita semakin menjauh dari tujuan, padahal aku melihat sekilas cahaya Kandil mengarah ke sana," Niratih berkesimpulan lain. Suaranya terdengar gemetar dalam keadaan menggigil kedinginan. Belum lagi bibir dan sekitar bawah matanya yang berkelopak sipit, tampak membiru pucat.
"Celaka, kamu berubah wujud!" Baiyan menangkap keganjilan sepintas memperhatikan wajah Niratih yang aneh.
"Aku manusia! Wajahku saja yang tidak lazim, bukan berarti akan berubah wujud, ini karena aku kedinginan!" Niratih membela diri dan mukanya berubah masam.
"Manusia mana? Jawata? Mungkinkah selama ini, ada manusia Jawata yang tinggal di Alas Roban selain ...?" Baiyan membungkam mulutnya. Agak heran menurut pikirannya tetapi saat tanpa sadar telunjuknya mengarah pada Tamma, temannya itu pun sesaat melirik dari dinding haluan perahu sebelum ia kembali serius pada Kandil.
"Selama ini, aku mengira bahwa kamu penghuni asli Alas Roban," Baiyan canggung dan mengalihkan pembicaraan seolah tidak melihat Tamma. Namun justru Niratih tersindir.
"Mungkin saja kamu Manusia Kera!" lanjut Baiyan, dibalas Niratih melotot padanya.
"Aku ini manusia!" Niratih, gadis dengan wajah menyerupai kera, menghardik keras.
"Ssst, jangan berisik," Tamma menyela pembicaraan Baiyan dan Niratih. Caranya menatap seperti mengajak keduanya untuk menyusul ke haluan perahu. Seakan mendapatkan tanda-tanda situasi alam tak terduga.
"Lihatlah ke sana!" Tamma menunjukkan sesuatu di depan mata ketika perahu melintasi puing-puing kayu mengapung. Niratih dan Baiyan terperangah menyaksikan kondisi sekitar perairan porak poranda. Seperti bekas kapal hancur telah terjadi sebelum perahu mereka melintas di sekitar itu.
"Apa orang-orang laut yang telah menyebabkan semua ini ini?" Niratih merasa ngeri melintasi puing dan asap sisa kobaran api, mengapung di segala arah. Semakin perahu yang mereka tumpangi membelah pecahan kayu.
"Tidak mungkin orang-orang laut mencapai kawasan ini ...," Tamma mengingatkan itu sebagai jawaban, "Perairan yang kita lalui ini, jauh di luar kawasan Alas Roban."
"Lihatlah! Apa itu yang mengapung!" Baiyan menunjuk sesuatu. Tampak tubuh-tubuh kaku, terkatung-katung di permukaan air tenang. Cuaca menyisakan gejolak badai semalam, langit pun tampak sedikit mendung. Jasad-jasad mati tak terhitung jumlahnya, semakin banyak terlihat oleh mata, ketiga manusia di atas perahu melintasi perairan.
* * *
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!