NovelToon NovelToon

Pulau Kematian

Penculikan

Malam merayap berlahan seorang pria sedang tertidur dengan nyenyaknya, di sebuah kamar kostnya. Pria tampan yang bernama Kabir Harahap ia tidak mengetahui seseorang berpakaian ninja serba hitam sedang meniupkan sebuah pipa berasap yang mengandung obat bius, si pria tertidur dengan nyenyaknya tanpa menyadari dua orang pria memasukkannya ke dalam kantong mayat, mereka memasukkan dirinya ke dalam mobil dan membawanya pergi meninggalkan Kota Medan.

Di tempat lain ....

Di sebuah gang di depan rumah yang sedikit gelap, seorang wanita berkaca mata pantat botolnya yang bernama Kirana Khan sedang membawa kantongan belanjaannya baru kembali dari super market membeli keperluannya sehari-hari, ia langsung disergap seseorang dengan menutup mulutnya dengan sapu tangan yang sudah diberi obat bius hingga ia langsung pingsan. Kedua pria berbaju hitam langsung membawa si gadis ke dalam mobil van di seberang jalan, kemudian mobil membawa gadis tersebut meninggalkan Kota Bali.

Di tempat yang lain di waktu yang sama ...

Di Kota medan yang lain, seorang pria bernama Hendro Atmaja baru selesai ke luar dari gym. Ia baru saja selesai melakukan fitnes yang merupakan rutinitasnya setiap malam Sabtu, ia mengendarai sepeda motornya hingga di persimpangan empat  ia dipepet beberapa pria yang tidak dikenal, mengendarai sepeda motor. Para pria yang menyerangnya menembakkan sesuatu hingga ia terjatuh dari sepeda motornya ke jalanan.

Dua pengendara langsung memasukkan Hendro ke dalam mobil yang sudah mengikuti di belakang mereka, mereka membawa tubuh Hendro meninggalkan Kota Medan.

Di Bangkok ....

Di belahan lain Kota Thailand seorang model wanita berkebangsaan Thailand, ia wanita yang cantik hasil pernikahan Thailand-Indonesia ia merupakan seorang model dan artis yang sedang naik daun.

Semua orang di dunia memujanya selain ia baru saja selesai menyelesaikan shooting filmnya, ia merasa kelelahan hingga ia memasuki rungan pribadinya untuk istirahat, akan tetapi baru saja ia menduduki sebuah kursi sebuah tangan sudah membekap mulutnya dan ia pun pingsan, dua orang pria membawa tubuhnya ke dalam mobil dan meninggalkan Kota Thailand.

Dan banyak lagi korban penculikan malam itu di berbagai belahan negara yang memiliki kelebihan dan keahlian di bidang masing-masing dikeseharian mereka.

Para penculik membawa mereka ke sebuah pulau menggunakan jalur laut maupun udara, mereka diangkut dengan menggunakan kapal pesiar maupun jet pribadi Tuan Alberto Kuro sang konglomerat yang memiliki bejibun aset kekayaan, ia memiliki sebuah pulau terpencil di salah satu pulau di Indonesia yang tidak masuk di dalam daftar peta.

Alberto Kuro sengaja melakukan hal ini, karena ia memiliki suatu bisnis di pulau terpencil itu, ia menamai pulaunya  dengan Pulau Kematian.

Ia membuat suatu permainan yang sangat berbahaya dan untuk sebuah kesenangannya saja, yang langsung ia siarkan secara on line dan ia melakukan perjudian dengan pertarungan manusia antar manusia, mereka yang menonton mengira itu hanyalah rekayasa komputer akan tetapi semua itu adalah nyata.

Selain itu siapa pun yang ia pilih menjadi kandidat di Pulau Kematiannya, itu artinya garis kehidupannya sudah ditakdirkan olehnya baik kehidupan maupun kematiannya 

Ia merasa bagaikan Tuhan yang memiliki segalaNya, para korban yang diculik di bawa ke suatu laboratorium untuk di pasang sejenis chip. Untuk mempermudah Alberto Kuro menjadikan mereka budaknya sesuai dengan keinginan yang ia mau. Apa pun itu!

Hingga tiada satu pun yang mampu meloloskan diri darinya secara hidup-hidup, ia benar-benar jenius merencanakan segalanya.

Seorang Ilmuan gila dari Moskow ia gandeng untuk memperlancar semua keinginannya, apa lagi Tuan Crabs dengan tampang bodohnya namun memiliki kegilaan yang luar biasa ia dengan suka rela melakukan semua eksperimen kepada semua korbannya. Ia dengan semangatnya menerima semua pria dan wanita korban penculikan.

Tuan Crabs menghidupkan musik klasik sebagai latar belakang penyemangat kerjanya, menanamkan chip di atas sayatan kecil di dada kiri si korban kemudian melasernya hingga rapat kembali hanya meninggalkan sedikit luka bekas namun tidak terasa sakit.

Ia begitu cepatnya melakukan operasi penanaman chip dengan sebuah alat yang sudah ia ciptakan hingga ia hanya mengontrolnya melalui sebuah layar monitor, hanya menekan beberapa kata sandi hingga semua alat itu bekerja sendiri di atas para tubuh yang di baringkan di brankarnya.

Bagi korban yang sudah ditanami chip di bawa pengawal dan diletakkan menyebar di seluruh pulau, mereka meletakkan tubuh korban dengan asal hingga mereka sadar dengan sendirinya sesuai waktu yang sudah ia targetkan. 

Mereka dibiarkan hidup dengan kemampuan mereka masing-masing dan bertahan dari segala kemungkinan yang menyerang mereka bahkan nyawa mereka taruhannya selain itu bagi mereka yang kalah akan diambil organ tubuhnya yang penting untuk diperdagangkan di dunia bisnis bawah tanah Alberto Kuro.

Selama berpuluh tahun bisnisnya belum pernah tercium oleh pemerintah maupun dunia, ia begitu lihainya menyembunyikan bisnisnya yang juga didukung oleh oknum-oknum pemerintahan yang rakus akan uang dan ketenaran.

Tiada satu pun yang pernah berhasil selamat dari Pulau Kematiannya, karena pulaunya benar-benar dijaga oleh pengawalnya yang memiliki ilmu bela diri yang tinggi juga perlengkapan senjata yang lengkap melebihi pasukan tentara.

Pulaunya juga terpencil dan dibangun seperti penjara Alcatraz di salah satu Pulau di San Fransisco juga mirip dengan hutan di Rutan Nusa Kambangan di Indonesia yang menyeramkan.

Di kelilingi tembok setinggi 5 meter dan kawat berduri yang dialiri listrik dengan daya tinggi, hingga membuat sulit para korban untuk kabur dan melarikan diri.

Kabir diletakkan di sebuah sungai yang berbatu, arus air membasahi setengah tubuh bawah Kabir, hingga sayup-sayup gemercik air membasahi tubuhnya semangkin dingin dan suara berbagai burung dan gemercik aliran air menyentuh tubuh dan telinganya.

"Haisshh!" Ia tersedak jiwanya berkumpul hingga ia merasa kembali terlahir, ia langsung duduk berdiri mencoba menyadari keadaannya di mana ia sedang berada. Ia memperhatikan tubuhnya kini ia memakai sepatu PDL tentara, celana loreng dan juga sebuah kaus tanpa lengan berwarna hitam dan di dadanya ada sedikit luka sayatan kecil berwarna merah, "Luka apa ini?" ia meraba lukanya dan sebuah sinar seperti memogram muncul sebuah layar muncul dari lukanya menggambarkan identitas dirinya tertulis,

Nama: Kabir Harahap

Pekerjaan: satpam bank xxx

Karakteristik: pendiam, setia kawan dan jujur

Kelebihan: Memiliki ilmu diri yang tinggi, keahlian di bidang senjata, baik dan setia kawan. 

Kabir membaca identitas dirinya dan foto dirinya tertera di sebuah monitor. Ia menyentuh lukanya dan layar monitor itu pun hilang.

"Aneh, apa maksud semua ini?" ucapnya 

Ia berusaha memahami keadaanya ia merasa haus ia mengendap-endap ke balik batu besar berjongkok, menciduk dan mencium aroma air, setelah ia merasa aman ia pun meminum air tersebut. Setelah ia rasa cukup kenyang ia pergi meninggalkan daerah itu. Ia mengamati pohon-pohon tinggi daerah tropis.

"Aku rasa aku di sebuah salah satu hutan di Asia Tenggara atau mungkin masih berada di Indonesia," batinnya.

Suara-suara burung dan binatang hutan yang selalu ia dengar dikala ia masih berada di desanya di salah satu desa terpencil di Berastagi.

Ia melompati semak belukar ia menemukan beberapa tengkorak manusia yang sudah lama membusuk, ia mengambil sebilah sangkurnya yang masih terletak di samping tengkorak manusia tersebut, "Maaf siapa pun dirimu, aku ambil sangkurmu!" ucap Kabir permisi. Ia menyelipkan sangkurnya ke balik bajunya, "ini pasti berguna!" ucapnya.

Ia pun terus melanjutkan perjalanannya, ia hanya mengandalkan insting dan nalurinya.

Kabir melalui semak-semak ilalang dan beberapa kayu kecil dan juga pohon-pohon tinggi dan berbagai jenis pisang yang bisa dimakan manusia.

"Mengapa tiada satu binatang pun di hutan luas ini?" tanya Kabir pada diri sendiri.

Semangkin ia berjalan membelah semak-semak yang sepertinya sering dilalui orang, namun ia tidak melihat seorang pun ada di sana.

Beberapa depa di depannya tepat di bawah pohon rindang, ia melihat seseorang terbaring tengkurap rambut panjang ikalnya menutupi hampir seluruh wajahnya, Kabir mengambil sebuah tongkat kayu ia menyodokkannya ke sosok tubuh yang ia belum tahu apakah wanita atau pria.

Karena sodokan kayu di tubuhnya sesosok wanita itu pun mengangkat wajahnya, ia membetulkan letak kaca matanya wajahnya yang cantik begitu terkejutnya melihat seorang pria tampan yang tidak ia kenal di depan matanya, "Aaaaaa" teriaknya ia berlari ke sana kemari dengan gugupnya, hingga ia menginjak sebuah plat besi di bawah kakinya ia langsung menyadari sesuatu.

"Jangan bergerak itu sebuah ranjau darat!" Ucap Kabir mengingatkan si wanita.

Si wanita begitu terkejutnya mendengar perkataan si pria, "A-apa?! Ra-ranjau darat?" ulangnya sekali lagi tidak mempercayai semua pendengarannya.

Ia memperhatikan plat pipih yang tertanam di bawah kakinya.

Kabir mendekat ia mencoba mencari sesuatu batu yang memiliki daya berat yang sama dengan si wanita.

Pertemuan

Kabir meletakkan batu ke kaki si wanita, "Siapa namamu?" tanya Kabir ia ingin mengurangi rasa gugupnya juga wanita cantik tersebut, "Ki-kirana Khan" Balasnya.

"Kirana, dengar! Aku akan meletakkan batu ini tepat di kakimu setelah itu kita akan melompat bersamaan. Bila tidak kita akan mati." Ucap Kabir berusaha senyaman mungkin seperti memberi instruksi kepada anak kecil tentang permen lolipop.

"Baiklah!" Ucap Kirana pasrah.

Benar saja, Kabir meletakkan batu di bawah kaki Kirana dan secepat kilat menarik tubuh Kirana menjauhi ranjau. Mereka bergulingan di semak-semak dan

Duarr! 

Sebuah ledakan dari ranjau memecah batu menjadi pasir, keduanya masih saling berpelukan dan mengangkat sedikit kepala mereka melihat ledakan, kemudian mereka menyadari jika mereka masih berpelukan hingga keduanya saling melepaskan diri menjauh.

"Apakah engkau tahu ini di mana?" tanya Kirana kepada Kabir ia memperhatikan ke sekelilingnya yang teramat asing.

"Aku tidak tahu! Begitu aku bangun aku berada di salah satu sungai di sebelah sana." Ucap Kabir menunjuk arah asal ia bangun.

"Kirana, maaf apakah engkau memiliki sayatan luka seperti aku?" tanya Kabir menunjukkan lukanya.

Wajah Kirana memerah ingin rasanya ia menampar wajah pria mesum di depannya namun ia urungkan ia juga penasaran, ia memunggungi Kabir ia baru menyadari bahwa ia sudah mengenakan pakaian yang sama dengan Kabir hanya bedanya ia masih diberi kemeja menutupi tank top-nya, Ia melihat luka yang sama dengan Kabir.

Ia menyentuhnya dan sebuah monogram keluar dari lukanya seperti monitor menampilkan identitasnya dan juga foto profilnya seperti salah satu facebook yang sering ia unggah di medsosnya.

Nama: Kirana Khan

Pekerjaaan: Pustakawati di Perpustakaan Nasional Bali

Karekteristik: penggugup, baik, penyayang dan sabar

Kelebihan: Mudah belajar dan beradaptasi dengan situasi apa pun.

"Apa maksud semua ini?" tanya Kirana bingung, Kabir menekan lukanya dan benar saja muncul monogram dari lukanya dan menampilkan profil pribadinya.

Karena keduanya menekan luka yang sama ataupun semua korban penculikan mungkin melakukan hal yang sama hingga di langit pulau muncul monogram lain yang menunjukkan seorang pria setengah tua yang berumur sekitar 50 tahun lebih, tersenyum dengan lembutnya seperti seorang ayah penuh kasih kepada anak-anaknya.

"Selamat datang anak-anakku, tentara hebatku di masa depan! Di sini kalian akan aku latih untuk memperkuat jiwa dan raga kalian. Bertarunglah dan mempertahankan nyawa kalian atau apa pun yang berharga menurut kalian. Hanya pemenanglah yang mampu lolos dari semua rangkaian latihan ini." Ucap Monogram Alberto Kuro dengan bangganya di salah satu kursi kebesarannya di sebuah ruangan di kastilnya di suatu tempat di Pulau Kematian.

"Aku akan memberikan peraturan demi peraturan setiap 1 jam sekali!" ucapnya lagi dan lenyap.

"Apakah semua orang di sini melihat monogram itu? Atau jangan-jangan di daerah ini bukan hanya kita berdua saja?" ucap Kirana menganalisa setiap detilnya kelebihannya yang luar biasa.

"Tidak percuma kamu seorang pustakawati" balas Kabir salut.

"Kamu berasal dari Bali?" tanya Kabir mengingat profil monogram yang jelas tergambar di memori monogram.

"Iya dan kamu?" tanya Kirana mereka berjalan bersisian mengikuti langkah kaki mereka. Mereka sendiri pun belum tahu ke mana arah kaki mereka melangkah. Mereka hanya mengikuti naluri saja sambil mereka berkenalan. Kabir dan Kirana sedikit senang mereka mengetahui bukan hanya mereka saja terdampar di pulau aneh ini.

"Aku dari Medan, aku ... Maksudku tadi malam aku hanya tertidur di kostku dan terbangun sudah berada di sini dengan luka ini. Apa maksud dari semua ini?" tanya Kabir kepada diri sendiri atau kepada Kirana ia pun sudah tidak tahu lagi.

"Oh, aku juga tadi malam baru pulang dari super market dekat dengan rumahku. Dan ya ampun! Bagaimana dengan Naniku?" tanya Kirana dengan seketika berhenti di depan Kabir.

"Nani?!" tanya Kabir heran.

"Maksudku Nenek, bahasa Pakistan Nani itu artinya Nenek." Jelas Kirana.

"Ooo, begitu." Ucap Kabir.

"Pantesan kamu cantik!" Ucap Kabir.

"Namamu sendiri seperti orang India atau Pakistan?" tanya Kirana.

"Bukan! Aku orang batak. Ibuku sangat menyukai film India jadi ya begitulah ia mengabadikan salah satu nama aktor Indianya kepadaku." Terang Kabir merasa lucu juga malu

Mereka terus berbicara dan berjalan menyusuri jalan-jalan semak berduri dan setinggi pinggang mereka.

Mereka melintasi bebatuan dan bertemu seorang wanita cantik yang sedang memakan buah-buahan, "Mona Juita?!" ucap Kirana berlari menghampiri si artis.

Wanita bernama Mona Juita itu pun melihat ke arah Kabir dan Kirana, "Mengapa kamu di sini juga Mona?" tanya Kirana. Kabir hanya mengawasi Mona ia seperti mengingat sesuatu, "Oh seorang Artis ada di sini juga?" batin Kabir merasa heran.

"A-aku tidak tahu! Mengapa aku ada di sini? Begitu aku terbangun aku sudah berada di tempat asing ini, padahal tadi malam aku berada di Thailand sedang shooting film." Balas Mona.

"Kalian mau?" tawarnya.

Keduanya mengambil pisang dan memakannya,"Apakah kau memiliki luka seperti kami juga?" tanya Kabir.

"Iya! Dan luka itu memancarkan gambar digital bukan?" balas Mona.

"Berarti kita semua sudah diculik dan untuk apa mereka menculikku? Aku hanya seorang pustakawati?" ucap Kirana.

"Aku hanyalah seorang satpam, berbeda denganmu yang seorang artis terkenal" Balas Kabir

"Entahlah! Aku tidak bisa berpikir bila sedang lapar." Ucap Mona, ia makan dengan lahapnya.

Sebuah helikopter terbang di atas mereka, Mona berdiri melambaikan tangannya, "Tolong! Sebelah sini!" teriaknya dengan membuat sebuah tanda SOS akan tetapi,

Dor! Dor! Dor!

Berondongan suara senapan M-60 memberondong dari atas helikopter, Mona, Kirana dan Kabir berlarian berlindung ke arah semak-semak yang terlindung dengan pohon.

"Sialan! Mereka berniat membunuh kita. Apa maksud semua ini?" ucap Mona dengan berangnya. Untung saja tidak ada yang terluka. Mereka bersembunyi untuk waktu yang lama, mereka mendengar suara tembakan di tempat lain sebagai balasan dari hutan sebelah barat mereka.

"Bagaimana mungkin mereka bisa mendapatkan senjata?" ucap kabir bingung.

"Entahlah!" Ucap Mona. Kirana sudah menahan sesaknya karena gugup.

Kabir mendekatinya mengelus punggungnya dengan lembut.

"Bernafaslah dengan berlahan! Tarik dan buang!" instruksi Kabir ia merasa kasihan dengan Kirana. "Sepertinya wanita ini tidak pernah menghadapi tindak kekerasan" batin Kabir. 

Di sisinya Kirana mengikuti instruksinya dengan baik, hingga ia bisa bernapas dengan lega.

Hampir satu jam helikopter itu herputar-putar membuang pelurunya, tidak berapa lama helikopter lain menurunkan beberapa orang yang berlarian mengangkut beberapa yang terluka dan terbang menjauh.

"Apa maksud semua ini? Mereka menembaki dan mengambil yang terluka?" ucap Mona dari balik pepohonan mengamati semua perilaku orang-orang yang aneh.

Tidak berapa lama sebuah gambar monogram digital muncul di angkasa "Selamat datang di Pulau Kematianku! Di sini kalian harus pandai bertahan dan berjuang untuk menyelamatkan diri. Siapa pun pemenangnya akan diberikan sebuah hadiah dan kebebasan." ucapnya mengakhiri pidato singkatnya.

"Alberto Kuro?!" Ucap Kirana dan Mona, hanya Kabirlah yang tidak begitu mengenalnya.

"Kalian mengenalnya?" tanya Kabir dengan polosnya.

"What?! Kamu tidak mengenal seorang Alberto Kuro?" tanya Mona heran.

"Memang kamu tinggal di planet mana sih? Hingga tidak mengenal seorang Alberto Kuro salah satu konglomerat dunia?" ucapnya lagi.

"Aku dari pedalaman di Kota Medan," ucap Kabir tersipu malu.

"Seminggu yang lalu aku baru saja menghadiri pesta badan amalnya ia sangat terkenal dengan jutawannya, baik hati dan suka beramal. Tetapi mengapa ia melakukan semua ini? Apa maksud semua ini?" ucap Mona bingung.

"Apakah ia memiliki maksud tertentu dengan semua ini?" tanya Kirana ia masih menerka-nerka segala hal yang sedang terjadi di sekitarnya.

Mereka mendengar langkah kaki terburu-buru ke arah mereka, ketiganya bersembunyi. Kabir bersembunyi di balik pohon yang lebih besar ia ingin menangkap orang yang mendekat.

Kabir menyergap orang tersebut dengan membekap mulut dan lehernya, akan tetapi si pria kembali melawan dengan cara menendangkan kakinya ke arah atas wajah Kabir hingga Kabir pun menghindari dan melepaskan cengkeraman di leher pria tersebuat saat mereka berhadapan, "Kabir?!" 

"Hendro?!" balas Kabir keduanya saling mendekat dan berpelukan.

"Mengapa kau ada di sini juga?" tanya Hendro keheranan.

"Aku pun tidak tahu Hen! Keluarlah dia kawanku," ucap Kabir.

Mona dan Kirana ke luar dari persembunyian mereka menuju ke arah kedua pria tersebut, Hendro begitu terpesonanya melihat kedua wanita cantik menuju ke arah mereka apa lagi salah satunya adalah seorang artis terkenal di dunia.

"Hendro, kenalkan Ini Kirana dan Ini-" ucap Kabir.

"-Mona Juita sang artis yang memiliki banyak skandal gosip," ucap Hendro memotong perkataan Kabir tanpa  perasaan mengutip semua rating gosip yang pernah ia baca dan tonton di medsos maupun TV.

Memahami

Mona hanya cuek saja menanggapi semua ocehan Hendro tanpa merasa sakit hati dan terbebani.

Ia melangkah dengan angkuh dan berwibawanya ia benar-benar seorang artis yang sangat profesional, ia tidak peduli dengan semua hinaan dan caci maki, Mona benar-benar bermental baja.

"Kirana ...," ucap Kirana mengulurkan tangannya.

"Hendro" balas Hendro. Namun tidak dengan Mona ia santai saja ia merasa tidak perlu lagi berkenalan dengan Hendro yang bermulut pedas.

"Ia tidak mengenalku tetapi dengan mudah termakan apa kata gosip" batin Mona sebal.

Keempatnya bercerita mengapa mereka berakhir di Pulau Kematian ini? Akan tetapi semua bernasib sama yaitu penculikan yang dilakukan oleh Alberto Kuro.

Mereka berempat mencoba mencari tempat perlindungan apa lagi malam sudah semangkin gelap, "Ke mana kira-kira kita akan mencari tempat bermalam untuk malam ini?" tanya Mona.

"Jangan berharap ada hotel mewah di sekitar sini Nona Artis!" ucap Hendro dengan pedasnya. Entah mengapa ia selalu bersikap ketus dengan Mona berbeda bila ia dengan Kirana.

"Aku tidak bertanya kepadamu! Semua orang juga tahu saat ini sedang berada di mana?" balas Mona tidak kalah pedasnya.

"Sudahlah jangan bertengkar, sebaiknya kita mencari tempat perlindungan. Selain itu kita tidak tahu daerah ini dan siapa saja musuh kita? Kapan pun nyawa kita bisa melayang." Ucap Kirana, ia lebih cepat memahami situasi dan kondisi keadaan mereka saat ini.

"Kirana benar sebaiknya sebelum hari gelap kita mencari suatu tempat," balas Kabir.

Mereka berempat berjalan ke arah utara, mereka menemukan sebuah gua kecil yang sedikit panjang keberuntungan berada di pihak mereka.

"Sebaiknya kita bermalam di sini saja." Ucap Kabir dan ketiganya menyetujuinya.

Di dalam gua tersebut, ada sebuah mata air yang jernih dan terdapat beberapa ikan berenang, Hendro dan Kabir menangkap ikan dengan cekatan, Kabir menyiangi ikan dengan sangkurnya dan Hendro membuat api untuk membakar ikan.

Kirana dan Mona memanggang ikan dengan sebaik mungkin, "Aku ga nyangka artis seperti kamu bisa memasak juga?" Tanya Kirana takjub Mona begitu cekatannya menusuk ikan untuk di panggang.

"Artis juga manusia Kirana, orang-orang hanya memandangku dari permukaan saja mereka tidak benar-benar mengenalku dengan baik." Balas Mona tersenyum. 

"Sepertinya ia menyimpan banyak luka dan derita di sepanjang hidupnya" batin Kirana.

Keempatnya makan ikan bakar dengan lahapnya, "Aku harap kamu tidak akan sakit perut meminum air pancuran Nona Artis!" ucap hendro.

"Biasanya aku lebih sakit perut bila minum dari gelas yang sama dengan fans  panatikku seperti kamu." Balas Mona tidak kalah ketusnya saat keduanya bersisian mengambil air minum dari pancuran untuk minum.

"Siapa juga yang fans panatikmu! Jangan ngimpi!" balas Hendro kesal ia tidak menyangka Mona bisa dengan mudah menebaknya.

Hendro sudah sangat ingin mencium bibir cerewet Mona namun ia urungkan, "Sialan! Kenapa denganku?" batinya bingung. 

Baru kali ini ia begitu sebal dan bencinya kepada makhluk Tuhan yang bernama wanita namun ia juga begitu mendambakannya.

Ia hanya kesal dengan berbagai skandal yang selalu menerpa wanita di sampingnya ini, ia selalu saja dikabarkan berpacaran dengan si A, si B dan entah siapa saja. Namun tiada pernah sampai ke pelamainan, semuanya kandas di tengah jalan.

Kirana dan Kabir hanya keheranan memandang keduanya yang selalu adu mulut, berbeda dengan mereka yang selalu malu-malu bila bertatap muka.

"Makanlah yang kenyang Kirana! Belum tentu besok kita bisa makan seenak ini lagi," ucap Kabir.

"Aku sudah kenyang Kabir, kita simpan saja! Mana tahu ada yang kelaparan tengah malam nanti." Ucap Kirana membungkus sisa beberapa ekor ikan dengan membungkusnya dengan daun berbentuk lebar yang mereka petik di mulut gua.

Malam merayap dengan pasti cahaya bulan sabit di langit menambah suasana angker Pulau Kematian belum lagi suara burung malam. Suara helikopter kembali bergema di angkasa, menembakkan selongsongan peluru M-60.

Mereka tidak ingin ke luar mereka diam saja, cahaya terang saling berputar di angkasa seperti blitz lampu-lampu besar yang memberikan sorotan sinarnya saling berkesinambungan tanpa jeda. Hingga apa pun yang melintas dan bergerak akan secepat kilat terlihat di bawahnya.

Sinar lampu sorot itu benar-benar menerangi seluruh pulau seperti siang hari, tiada yang dapat lolos dari cahayanya.

Suara adu senapan kembali saling bersahutan, keempatnya terdiam dengan keheningan. Jauh di dalam hati mereka masing-masing mereka bertanya-tanya "Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa seperti ini? Apa mau mereka?" batin masing-masing bicara.

Namun karena kelelahan keempatnya mencari tempat tidur yang nyaman, mereka sudah mematikan kobaran api. Mereka takut memancing seseorang datang dan membunuh mereka.

Mereka memilih ke dalam gua yang lebih dalam dan mencoba tidur di antara ceruk-ceruk batu yang melindungi mereka dari musuh maupun binatang melata.

Kirana dan Mona tidur berdampingan, Kabir tidak begitu jauh dari kedua wanita sedangkan Hendro ia memilih sedikit lebih jauh dari ketiganya.

Mereka berusaha memejamkan mata dan menikmati setiap momen, hingga mereka pun benar-benar tertidur, akan tetapi baru saja mereka tertidur. Seseorang menerobos masuk.

Keempat sekawan tadi langsung bangun dan menghadang seorang pria sedikit kerempeng, pria tersebut berusaha untuk mengambil bungkusan ikan bakar yang disimpan Kirana di balik bebatuan.

Kabir dan Henro ingin memukul pria yang sudah sedikit lebih tua dari mereka tampangnya kumal dan awut-awutan.

"Aku hanya ingin mengambil ikan bakarmu, aku lapar," ucap pria tersebut.

"Ambillah!" balas Kabir. Sedikit cahaya samar-sama dari lampu sorot menerangi hingga mereka bisa melihat dengan jelas wajah pria itu, tubuhnya kurus ceking, dan tubuhnya penuh luka.

"Kalau boleh tahu siapa nama Bapak?" tanya Hendro penasaran.

"Heru namaku Heru," ucapnya dengan lahapnya ia menyantap semua ikan ia begitu laparnya seperti tidak makan berminggu-minggu.

"Apakah kalian orang baru?" tanya Heru.

"Maksudnya orang baru Pak?" tanya Kabir.

"Orang yang baru datang dan diculik!" balas Heru. 

"Iya Pak!" ucap keempatnya.

"Apakah Bapak sudah lama di sini?" tanya Kirana penasaran.

"Sudah aku sudah lama di sini sudah 5 tahun" ucap Heru.

"Apa lima tahun?!" balas Mona membayangkan ia menghabiskan waktu dengan sebuah kesia-siaan.

"Mengapa Nona Artis? Jangan khawatir kamu tidak akan secepat itu menjadi tua dan jelek, karena di sini tidak ada salon" jawab Hendro.

Mona diam saja ia malas membalas perlakuan Hendro yang kasar terhadapnya.

"Kalau boleh tahu,  Apa sebenarnya yang terjadi Pak?" tanya Kabir begitu prnasarannya.

"Alberto Kuro mengumpulkan semua orang di sini untuk ia adu dengan sebuah kesenangannya, nanti akan ada pengawal yang ia latih yang berhasil selamat dari sini dan menyerah mengikutinya menjadi anak buahnya. Mereka adalah para korban yang berhasil selamat dari sini." Ucap Heru, ia menyeka sisa makanan di mulutnya dan membuka tutup minumannya yang terbuat dari bambu.

"Jadi mereka menjadi kaki tangan Alberto Kuro?" jawab Hendro.

"Mereka akan menyerang kita baik melalui udara dengan heli maupun dengan darat mereka dengan diam-diam menyerang kita. Di sini kita akan di jadikan pion catur untuk kesenangan. Dan semua ini akan di siarkan secara on line ke seluruh dunia." Ucap Heru.

"Apa?" keempatnya begitu terperanjatnya, mereka tidak menyangka nyawa mereka di ujung tanduk.

"Lalu bagaimana mereka yang tidak selamat?" tanya Kirana penasaran.

"Biasanya bagi mereka yang kalah atau mati, akan ada tim pembersih." Ucap Heru.

"Tim pembersih?" tanya Kabir

"Iya tim yang membersihkan kekacauan, biasanya mereka mengumpulkan semua mayat membawanya dengan heli dan membawa ke kastil Alberto Kuro. Setelah itu mereka membakar mayat di pembakaran yang ada di kastil, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang mereka lakukan?" balas Heru.

"Di sini ada kastil?" tanya Kirana tidak percaya.

"Ada! Tetapi tidak pernah ada satu orang pun yang pernah memasukinya. Kastil itu dijaga ketat oleh pengawal dan robot" ucap Heru.

"Tetapi Bapak Bisa selamat?" tanya Mona heran.

"Aku hanya ke luar bila aku ingin ke luar saja, dan aku membuang chipku yang ada di sayatan kecil ini." Balas Heru.

"Mereka menanam chip di sini?" tanya Kabir semangkin penasaran.

"Iya, bila engkau tidak membuangnya. Di mana pun engkau berada, Alberto Kuro dan anak buahnya akan mengetahui di mana pun engkau berada. Dan dengan mudahnya mereka menemukanmu dan membunuhmu." Ucap Heru.

"Selain itu mereka juga mengetahui setiap perkataan kita, jadi aku harap diamlah dan jangan berkata apa pun sebelum ...."  ucap Heru memberikan gerakan mengambil chip di dadanya.

Mereka semua akhirnya diam tanpa bicara. Mereka menunggu siang cepat datang agar mereka mengambil chip yang ada di dada mereka.

Mereka tidak ingin menjadi pion kesenangan seorang Alberto Kuro.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!