NovelToon NovelToon

Hasil Tes DNA

Hutang

Aisyah berjalan tergesa-gesa setelah ia dijemput oleh Nia--adiknya dari tempat ia bekerja, rumah juragan Yanto. Aisyah setiap hari bekerja memasak dan membersihkan rumah di rumah juragan tersebut.

"Ayuk, Kak! Buruan!" Nia menarik tangan Aisyah agar Aisyah mempercepat langkahnya.

"Emang Bapak bikin ulah apa lagi?" tanya Aisya kesal.

"Bikin hutang lagi, lah, Kak," ucap Nia.

Aisyah hanya bisa menghembus nafas berat. Baru saja dua bulan lalu, Aisyah melunasi hutang yang dibikin ayah tirinya kepada Juragan Yanto. Sekarang sudah berhutang lagi kepada Tuan Ramdan.

"Kenapa Ibu tidak pisah saja dari laki-laki parasit itu," upat Nia sepanjang perjalanan.

"Husttt, kamu nggak boleh bicara begitu, Ni! Entar ada yang dengar dan mengadu lagi ke Ibu dan kita yang bahkan disalahkan lagi."

"Aku heran, Kak. Kenapa Ibu sebucin itu. Cakep juga nggak."

Aisyah hanya tertawa mendengar omelan Nia. Sifat Nia bertolak belakang dengan Aisyah yang penurut dan penyabar. Nia lebih ceplas-ceplos dalam berbicara.

Tidak terasa mereka sudah berjalan kaki sejauh satu kilo meter dari rumah juragan Yanto ke rumah mereka.

Tampak di depan rumah, dua orang lelaki berbadan besar, tubuhnya di penuhi banyak tato. Mereka preman kampung yang bekerja dengan Tuan Ramdan, mungkin dikerjakan untuk menakut-nakuti para peminjam yang sulit membayar.

Terlihat dari kejauhan dua orang preman itu berdiri berkacak pinggang, sedangkan Tuan Ramdan duduk sambil mengipas-ngipas sebuah buku, mungkin itu buku catatan para penghutang.

"Buruan bayar!" Terdengar bentakan Pak Alwi.

"Maaf, Pak. Saya belum ada uang sebanyak itu," Burhan, ayah tiri Aisyah berucap tepatnya memohon.

"Belum ada uang apa tidak punyak uang sebanyak itu?" ucap Tuan Ramdan berbisik tetapi penuh tekanan.

Mata Tuan Ramdan tertuju kepada Aisyah dan Nia yang baru saja tiba. Ibu mereka hanya terduduk di depan pintu sambil memeluk Andra, adiknya Aisyah dari pernikahan ibu dan ayah tirinya.

"Kenapa lihat-lihat?" sergah Nia.

"Berani juga kamu," gumam Pak Alwi. "Bikin aku tertarik." Sambungnya, tangan kanannya memainkan dagunya yang di tumbuhi jenggot halus.

"Jangan, Tuan. Dia masih sekolah. Jangan ganggu anak-anak saya!" Ibu memohon sambil memegang kaki Tuan Ramdan.

"Apa-apan, sih, Bu?" Aisyah tidak sudi melihat ibunya merendahkan diri seperti itu. Ia langsung mendekat dan melepaskan tangan ibu Hanum dari kaki Tuan Ramdan.

Kalau begini Ibu Hanum hanya bisa menangis sambil menatapi Andra yang masih berusia enam tahun.

"Emang berapa hutang Bapak?" tanya Aisyah kepada Tuan Ramdan.

"50 juta."

Bukan angka yang sedikit bagi Aisyah yang mendapatkan gaji hanya delapan ratus ribu setiap bulannya.

"Hutang apa lagi ini, Pak?" Suara Aisyah melemah.

"Hmmm, wa-waktu Andra sakit, untuk biaya Andra berobat," jawab Pak Burhan gugup.

"Emang berapa banyak biaya berobat Andra? Baru kemarin saya selesai mengansur hutang dengan Juragan Yanto, Bapak minjam juga alasannya untuk berobat Andra. Sekarang ada lagi," gumam Aisyah kesal.

Pak Alwi terkekeh mendengar ucapan Aisyah. "Kalian dibodihi lelaki ini saja."

"Maksud Tuan apa?" Kali ini Bu Hanum angkat bicara.

"Iya, kalian bodoh. Mau saja dibodohi lelaki penjudi ini," jawab Tuan Ramdan di sela tawanya yang terdengar menyebalkan itu.

"Jadi Bapak main judi? Ya Allah, Pak. Sudah hidup kita susah, dan anak kita seperti ini, masih juga buat dosa. Ya Allah ...." Bu Hanum meraung sambil memeluk Andra.

"Berisik kalian!?" bentak Tuan Ramdan. "Mana uang untuk bayar hutangnya? Cepat!? Kalau tidak kau akan aku bunuh." Kembali Tuan Ramdan membentak sambil mengancam dengan mendorongkan senjata api yang dia punya ke perut bapak.

Pak Burhan bersujud dan mencium kaki Tuan Ramdan. Ia memohon agar Tuan Ramdan tidak serius dengan ucapannya. Aisyah membuang mukanya, tidak sampai hati ia melihat orang tuanya harus kehilangan harga diri seperti itu walaupun ini memang kesalahan ayah tirinya.

"Saya kasih waktu satu bulan. Jika tidak. Rumah kalian saya sita," ancam Tuan Ramdan- sambil berlalu pergi.

"Enak aja, main sita-sita," teriak Nia.

Bug!

Sendal yang Nia lemparkan mengenai kepala salah satu preman tersebut.

"Berani kau, ya?" gertak mereka dan berjalan kearah Aisyah dan Nia.

"Maaf, Bang. Maafkan adik saya!" Aisyah menyatukan kedua telapak tangannya di dada.

Pria itu ingin memukul Nia tetapi tangannya langsung ditangkap oleh Aisyah. Melindungi Nia merupakan tugasnya saat ini karena tidak ada lagi yang bisa mereka andalkan. Ibu hanya bisa menangis. Tidak berani melawan ayah tiri yang sudah semena-mena.

Menikah lagi hanya menambah beban bagi keluarga mereka. Dulu setelah ayah kandung Aisyah meninggal, ibulah yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Waktu itu Aisyah berusia delapan tahun dan nia berusia dua tahun. Tidak jarang Aisyah membatu ibu bekerja mencetak batut milik Juragan Yanto.

Kalau sudah begitu Nia ikut ke pabrik dan sibuk bermain tanah adonan untuk membuat batu bata. Mereka terpaksa membiarkan asal Nia diam.

Walaupun mereka sulit dalam ekonomi tetapi hati mereka bahagia. Jauh berbeda semenjak ibu memutuskan menikah lagi tujuh tahun yang lalu. Ibu terlihat semakin uzur, ternyata ia dinikahi oleh orang yang salah. Lelaki itu hanya bermodal cinta dan gombalan. Untuk hidup sehari-hari tetap ibu yang memenuhi.

Sepulang sekolah, Aisyah membantu tetanganya memetik sayuran dengan upah seratus rupiah dalam satu ikat. Upah itu yang Aisyah kumpulkan untuk membiayai sekolah dia dan Nia.

Jika meminta kepada ibu, ayah tiri mereka akan marah besar. Entah takut atau apa lah, Ibu Hanum lebih mementingkan uang untuk membeli rokok Pak Basri dari pada untuk anak-anaknya.

Ditambah lagi Andra lahir dengan membawa sakit bawaan, tambah tidak diperhatikan lagi Aisyah dan Nia.

Untung saja rumah yang mereka tempati adalah rumah peninggalan ayah kandung mereka. Jika tidak, mungkin mereka telah diusir dari rumah itu.

Seperti biasa, kegaduhan dan suara tangisan Ibu Hanum mengisi rumah berukuran 6 kali 6 itu setiap kali ada orang yang datang untuk menagih hutang.

Aisyah menggendong Andra, dan menyuapinya makan dengan lauk telur dadar dan kecap manis. Andra memiliki kelaian pada tulang kakinya sehingga membuat ia belum bisa berjalan sampai saat ini. Rangkaian pengobatan terapi panjang harus Andra jalani tetapi Andra tidak mendapatkan itu karena mereka tidak memiliki uang untuk itu.

"Nia kesal, Kak," gumam Nia sambil menghepaskan pantatnya di kursi panjang yang berada di belakang rumah di bawah pohon rambutan.

"Kakak kemarin nanya kerjaan sama Ayu, Ni," gumam Aisyah.

"Mbak Ayu yang kerja di kota itu?"

Aisyah mengangguk.

"Jadi kakak mau kerja di kota? Lalu Nia bagaimana, Kak?" Suara Nia bergetar.

"Baru juga nanya, belum juga pasti ada. Udah mewek aja." Aisyah menoyor kepala Nia. "Kakak kasihan lihat Andra, kalau kerja di kota, dapat gaji lumayan, kan, bisa untuk berobat Andra."

Tanpa mereka sadari ibu menguping pembicaraan mereka. Aisyah memang tidak menyukai ayah tirinya tetapi dia begitu menyayangi ibu dan Andra.

Tiba-tiba bapak menyusul ke halaman belakang. Ia berjalan mendekati Aisyah yang sedang asik menyuapi Andra.

"Aisyah."

"Iya, Pak ada apa?"

"Berapa umur kamu sekarang?"

"22 tahun. Ada apa, Pak?" tanya Aisyah heran kenapa Pak Hasan tiba-tiba menanyakan hal itu.

"Sudah pantas untuk menikah. Apa kamu tidak mau menikah?"

Aisyah mengerenyitkan keningnya. "Nikah sama siapa, Pak? Pacar aja nggak punya."

"Ada yang mau sama kamu, Bapak yakin hidup kamu akan senang ...."

"Hidup Kak Aisyah atau hidup Bapak?" potong Nia. "Biar hutang Bapak juga lunas, kan?"

Ibu muncul dari balik pintu, ia tidak setuju atas niat Pak Basri. Pak Basri ingin menjadikan Aisyah alat untuk melunasi hutang-hutangnya. Sejak Aisyah sekolah Tuan Ramdan telah mengincar Aisyah untuk dijadikan istri ke tiga nya. Oleh karena itu, ia begitu mudah memberikan Pak Basri pinjaman. Ada Aisyah sebagai jaminan.

Aisyah tidak berkata lagi, ia menyerahkan Andra kepada Bu Hanum lalu pergi. Ia masuk kamar dengan perut yang masih kosong, tanpa sadar ia tertidur hingga adzan Ashar berkumandang.

Suasana rumah begitu sepi, ia keluar dari kamar dan mencari keberadaan penghuni rumah yang lain. Ternyata Nia sedang memebersihkan halaman. Dari Nia, Aisyah mengetahui ibu, Andra, dan bapak pergi. Begitulah ibu, marah kepada bapak hanya sesaat.

"Assalamualaikum, Aisyah," sapa Ayu.

"Waalaikum Salam, Ayu. Mari masuk!" sahut Aisyah lalu mengajak Ayu duduk di teras rumahnya.

Ayu mengatakan, bahwa majikannya menelepon minta tolong dicarikan orang untuk merawat orang lumpuh. Ayu teringat akan Aisyah yang kemarin menanyakan pekerjaan kepadanya.

"Gajinya besar, Ais. Lima juta," ucap Ayu bersemangat.

Mendengar kata lima juta sangat membuat Aisyah tergoda. Berbanding sangat jauh dengan gajinya di rumah juragan Yanto.

"Saya mau, tapi ... saya tanya Ibu dulu, ya?"

"Kabari segera, ya, Ais. Kalau kamu setuju, lusa kita berangkat." Ayu memegang pundak Aisyah. "lusa aku balik ke kota. Cuti aku sudah habis."

Setelah Ayu pamit pulang, Nia duduk di samping Aisyah dengan wajah sendu ia menantap kakaknya.

"Nia gimana, Kak?"

"Kamu sabar, ya! Nanti setelah tamat sekolah, kamu susul kakak ke kota! Kakak juga tidak mau dinikahkan sama Tuan Ramdan. Kamu tau, kan, Ni. Ibu tidak akan membela kita." Air mata Aisya jatuh. Sebenarnya ia tidak tega meninggalkan Nia sendiri.

Satu semester lagi sekolah Nia selesai. Ia bisa membawa Nia ke kota jika gajinya sebesar itu, tentu ia bisa mengontrakkan rumah dan membiayai kuliah Nia.

Dia sudah berjanji pada dirinya, dia akan memberikan pendidikan terbaik untuk Nia.

Hari Keberangkatan

Nia masih menangis di kamar, wajahnya ia benamkan di bantal. Ini pertama kali dia jauh dari Aisyah.

"Ternyata Nia bisa nangis juga," ledek Aisyah saat ia memasukkan beberapa potong pakaiannya ke dalam tas ransel semasa ia sekolah dulu.

"Kak ...." Nia kembali merengek.

"Ini demi kamu, demi ibu, demi Andra juga. Kamu mau lihat kakak dipaksa nikah sama Tuan Ramdan apa izinkan kakak pergi?" ujar Aisyah lembut sambil mengelus rambut lurus Nia.

Nia bangun dan langsung memeluk Aisyah erat. Aisyah meneteskan air mata tetapi segera di hapusnya, jangan sampai Nia melihatnya menangis juga. Walau berat, ini semua harus ia jalani.

Aisyah melepaskan pelukan Nia, lalu merogoh saku celananya. Ia memberikan beberapa lembar uang kepada Nia.

"Simpan, jangan sampai tau bapak!" bisik Aisyah.

Tadi pagi-pagi Aisyah berangkat ke rumah juragan Yanto untuk mengerjakan pekerjaan seperti biasa. Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, ia izin berhenti bekerja dan berpamitan kepada istri juragan Yanto

Istri juragan Yanto yang terkenal sangat dermawan itu memberikan Aisyah gaji satu bulan penuh dan menambahnya dengan uang untuk pegangan Aisyah di jalan.

Beliau sangat mendukung keputusan Aisyah, karena kalau masih tetap bertahan di kampung nasib Aisyah pasti berakhir menjadi istri ke tiga Tuan Ramdan.

Suara ketukkan pintu membuat Aisyah dan Nia bangkit, ternyata Ibu Hanum ingin gabung di antara ke dua anak gadisnya.

"Ais, kenapa kamu tidak bertanya apa Ibu setuju atau tidak?" gumam Ibu Hanum.

"Maafin Ais, Bu. Tapi, apa ada gunanya? Ibu pasti melarang."

"Kasihan bapakmu ...."

"Ibu kasihan sama Bapak, tapi dengan kami? Ais, sudah tidak mengenal Ibu lagi. Ibu mementingkan lelaki itu dari pada kami. Kenapa Ais harus kasihan sama laki-laki pengangguran dan penjudi itu ...."

Plak!

Belum selesai ia berkata, satu tamparan mendarat di pipi Aisyah.

"Ibu!" teriak Nia.

Aisyah meraba pipinya yang terasa panas. "Terima kasih, Bu. Aisyah sekarang lebih paham. Besok Aisyah berangkat, Bu. Doakan Aisyah baik-baik di rantau."

Ibu Hanum memandangi tangan kanannya. Dulu saat ayah Aisyah masih hidup hingga menjanda. Ibu Hanum tidak pernah memukul atau mencubit anak-anaknya. Namun, semua berubah setelah Ibu Hanum menikah lagi. Ibu Hanum menjadi tempramental. Memukul Aisyah dan Nia kecil sudah tidak bisa dihitung lagi. Mengupat menjadi kebiasaan baru Ibu Hanum. Aisyah dan Nia benar-benar kehilangan sosok ibunya yang dulu.

***

Aisyah mencium tangan Ibu Hanum dan Bapak Basri dengan takzim. Ia berpamitan, hari ini ia akan berangkat ke kota bersama Ayu.

"Kak Ais," panggil Andra.

Aisyah lalu berlutut di hadapan Andra. "Kakak pergi sebentar, ya. Doain Kakak punya banyak uang, kita berobat, ya. Biar Andra bisa jalan seperti teman-teman. Andra mau, kan?"

"Iya, Kak. Andra mau." Anak laki-laki itu memeluk Aisyah erat seolah tidak sudi ditinggal air matanya mengalir deras membasahi pipi.

Nia mengantar Aisyah dan Ayu sampai ke terminal bus. Lambaian tangan Nia mengantar kepergian Aisyah. Di dalam pikiran gadis berkulit putih bersih ini hanya uang. Ia sudah membayangkan menerima gaji lima juta perbulan seperti yang dikatakan Ayu di awal.

Bus mulai meninggalkan terminal, menyusuri jalan lintas. Akhirnya meninggalkan kabupaten tempat Aisyah dan Ayu di besarkan. Menuju ibu kota yang katanya sangat kejam.

"Yu, siapa yang akan aku urus?" tanya Aisyah.

"Orang lumpuh."

"Iya, maksudnya, laki-laki atau perempuan?"

"Oh, itu. Laki-laki. Anak dari teman majikan saya. Dia sudah enam bulam yang lalu mengalami kecelakaan. Sudah sepuluh orang yang bekerja, tapi tidak ada yang betah," jelas Ayu.

Aisyah terkejut mendengar penuturan Ayu. Segalak apa majikannya itu hingga berganti-ganti orang yang bekerja dalam waktu enam bulan.

"Bayangkan saja gajinya. Kamu ingin mengobati Andra dan menguliahkan Nia, 'kan?" Ayu membuyarkan lamunan Aisyah. Seolah ia paham apa yang sedang Aisyah pikirkan.

Perjalanan tiga hari telah mereka lalui, akhirnya mereka tiba di terminal tujuan. Sebuah mobil hitam mengkilap sudah menjemput mereka. Mobil yang akan membawa Aisyah ke rumah majikannya.

"Kita pisah di sini, ya, Ais. Itu kamu sudah dijemput," ujar Ayu.

"Aku takut, Yu. Aku tidak mengenal siapa-siapa di sini. Apa kamu tidak mau mengantarkan ku dulu?" Aisyah sedikit memohon.

Ayu menghelah nafas. "Baiklah. Yuk aku antar."

Dulu ia pernah bermimpi suatu saat duduk di dalam mobil mewah dengan jok empuk dan pendingin yang memanjakan diri. Memandang gedung-gedung menjulang. Kini mimpi itu menjadi nyata, walaupun hanya sebagai pembantu.

"Mobil untuk menjemput pembantu saja seperti ini, bagaimana mobil majikannya," gumam Aisyah dalam hati.

Mobil yang mereka kendarai memasuki rumah yang sangat mewah, kalah rumah Tuan Ramdan jika dibandingkan rumah ini.

"Waw, ini istana, Yu?" tanya Aisyah takjub.

Ayu dan supir yang mendengarnya tertawa melihat kepolosan Aisyah. Bagaimana ia berdecak kagum ketika melihat bangunan-bangunan megah.

"Semoga ini perawat terakhir untuk Tuan Ziyan," gumam Mas Dani--supir pribadi Ziyan Alfero.

"Kamu bisa, kamu pasti bisa, Ais." Ayu memberi semangat dan menepuk pelan bahu Aisyah.

"Bismillah ...," ucap Aisyah seraya turun dari mobil.

Pintu rumah dibuka oleh dua orang wanita paruh baya. Bak seorang putri masuk istana.

Di sebuah kursi jati berpahat mewah, seorang wanita cantik sedang duduk dengan gusar.

Aisyah terkejut saat mendengar suara piring terbanting di lantai. Nyonya rumah yang diketahui bernama Siska mendengkus. Tampak kekesalan di wajahnya.

"Saya lelah menghadapi tingkah dia. Sudah banyak yang bekerja mengurus dia tetapi tidak ada yang betah," cicit Nyonya Siska.

Setelah mendengarkan segala keluh kesah Nyonya Siska mengenai anaknya--Ziyan Alfero, Ayu pamit. Ia harus segera kembali ke rumah majikannya yang merupakan sahabat Nyonya Siska.

Ketua pelayan mengantar Aisyah menuju kamarnya. Kamar pembantu di rumah ini lebih bagus dari pada kamar Aisyah di kampung. Single bad terletak di sudut ruangan berukuran tiga kali empat. Sebuah lemari kecil dua pintu terletak di depannya. Jemuran handuk berada di samping lemari. Kipas angin terpasang di langit-langit kamar.

Setelah merapikan pakaian, Aisyah menuju dapur untuk mengisi perutnya. Di rumah ini ada empat orang pembantu, seorang tukang kebun, tiga orang supir dan empat satpam yang bekerja bergantian.

Meja makan yang terletak di dapur, tempat para pekerja di rumah ini makan.

Aisyah tertegun melihat lauk yang tersaji di meja itu.

"Apa ini boleh kita makan?" tanya Aisyah kepada Buk Yati-ketua pembantu di rumah ini.

"Tentu boleh,"

"Bahkan setahun sekali saya dan adik belum tentu bisa makan makanan ini," ujar Aisyah.

"Awalnya saya juga seperti kamu, heran dengan fasilitas yang kita terima di rumah ini."

"Bos kita itu orangnya baik. Yang tidak baik itu Tuan muda Ziyan. Dia arogan, suka marah-marah nggak jelas." Tiba-tiba seorang pelayan menyelutuk. "Nanti kamu yang bertugas mengurus Tuan Ziyan. Semoga kamu betah!"

Buk Yati menyodorkan piring berisi nasi kepada Aisyah. Di saat seperti ini, Aisyah teringat akan Nia dan Andra. Betapa senangnya mereka jika dapat makan seenak ini juga.

"hei, jangan melamun depan makanan!" tegur Buk Yati.

"Nggak, Buk. Cuma lagi keingat sama adek-adek di kampung."

"Sebentar lagi mereka bisa makan enak juga, gaji kamu cukup untuk mereka makan enak setiap hari." Buk Yati berusaha menenangkan Aisyah.

Tidak lama setelah itu terdengar teriakkan dari arah kamar Ziyan.

"Tugas pertamamu sudah menanti," celetuk Buk Yati.

Aisyah mempercepat suapannya dan gegas meneguk segelas air. Setelah makanannya benar-benar habis ia segera berlari ke kamar Ziyan.

"A-a-ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Aisyah terbatah-batah.

Ziyan menatapnya tajam. "Siapa kamu?"

"Aisyah, Tuan."

"Bodoh. Apa peduli aku dengan nama kamu." bentak Ziyan.

Lelaki yang duduk di atas kursi roda tersebut menatap Aisyah seperti musuh. Ia memandangi Aisyah dari ujung kaki hingga ujung rambut.

"Kampungan," hina Ziyan setelah melihat penampilan Aisyah.

"Saya di sini melamar jadi pembantu, Tuan. Bukan jadi model." Aisyah menjawab ucapan Ziyan.

Ziyan terkejut karena ada yang berani membantah ucapannya.

"Aku pastikan, kau tidak akan betah kerja di sini." Ziyan menyilangkan ke dua tangannya di dada.

"Kita coba saja, Tuan!" ucap Aisyah pelan, tetapi berhasil membuat Ziyan kesal.

Hari Pertama Kerja

Ziyan merasa frustasi. Enam bulan setelah kecelakaan mobil itu dia belum juga bisa jalan seperti semula. Padahal segala pengobatan baik di dalam dan luar negeri telah ia jalani.

Satu persatu teman menjauhinya, tidak ada lagi dering telepon yang mengajaknya bergabung di club malam, traveling bersama pacar masing-masing. Waktu enam bulan telah membuka sifat asli mereka.

Pukul tujuh pagi, Aisyah masuk ke kamar Ziyan. Kain gorden masih tertutup rapat tanpa celah sedikitpun, pendingin ruangan masih menyala dengan suhu cukup dingin. Ziyan masih mendengkur halus sambil memeluk guling.

Aisyah mengutip kertas-kertas yang berserakkan di lantai. Entah apa yang dikerjakan Ziyan tadi malam. Saat Aisyah membuka gorden, cahaya matahari pagi menerobos jendela berkaca bening nyaris tanpa noda.

Ziyan terbangun karena sinar itu menyilaukan matanya.

"Apa-apaan kamu?" bentak Ziyan melihat ulah Aisyah yang membuka seluruh gorden jendela di kamar.

"Ma-maaf, Tuan. Menurut saya sinar matahari pagi sangat baik untuk kesehatan. Ayuk kita berjemur di taman!" ajak Aisyah walaupun sedikit ragu.

"Apa hak kamu ngatur-ngatur saya. Cepat keluar!" Suara Ziyan meninggi. Ia melemparkan bantal ke arah Aisyah tetapi tidak berhasil mengenai karena tenaga Ziyan tidak ada walau hanya melempar bantal.

"Ayuklah, Tuan!" Aisyah menarik tangan Ziyan, mencoba untuk membangkitkan nya.

Dengan kasar Ziyan menepis tangan Aisyah. "Jangan pegang! Jijik," maki Ziyan.

"Baik lah. Mungkin lain kali," gumam Aisyah sambil berlalu keluar kamar.

"Tidak akan pernah!?" Terdengar teriakkan Ziyan dari dalam kamar saat pintu ditutup.

Tugas Aisyah hanya mengurus Ziyan Alfero sehingga dia tidak boleh jauh dari kamar Ziyan takut sewaktu-waktu ia memerlukan bantuannya.

"Aisyah!" teriak Ziyan dari dalam kamar.

Aisyah tergopoh-gopoh lari menghampiri pria pemilik tinggi 175cm.

"A-a-ada apa, Tuan?"

"A-a-a, bicara yang baik!" hardik Ziyan.

"Maaf, Tuan. Ada apa, Tuan?" Aisyah mengulang pertanyaannya.

"Aku lapar. Ambilkan sarapan!" perintah Ziyan tanpa menoleh sedikit pun ke arah di mana Aisyah berdiri.

Aisyah segera menuju dapur mengambilkan sarapan. Di dapur sarapan dan segelas jus buah telah tersedia siap untuk diantar ke kamar Ziyan.

Aisyah membawanya menggunakan meja kecil yang bisa digunakan menjadi meja makan di atas tempat tidur.

"Lama banget. Lelet," upat Ziyan.

Aisyah hanya diam sambil mengucapkan istigfar di dalam hati. Baru hari pertama bekerja, sudah beberapa kali makian yang ia terima.

Tiba-tiba, meja kecil itu dibalikkan oleh Ziyan. Makanan dan minuman berserakan di tas tempat tidur.

Aisyah menarik nafas. Air matanya menetes saat membersihkan makanan yang berserakkan.

"Kanapa kamu menangis? Aku tidak menyakiti kamu," ucap ketus Ziyan.

"Saya hanya sedih melihat makanan dibuang-buang begini,Tuan. Di luar sana banyak orang yang harus puasa karena tidak ada yang mau dimakan," jawab Aisyah dengan suara parau.

"Lebay," sergah Ziyan saat itu juga.

Sebelum Aisyah keluar kamar membawa makanan kotor itu, ia bertanya kepada Ziyan apa ada yang dia inginkan lagi. Ziyan hanya menggeleng.

Setelah sendirian di kamar, Ziyan mencoba menghubungi Amanda--kekasihnya yang telah ia pacari selama lima tahun.

Namun, semenjak kecelakaan itu, Amanda hanya sekali mengunjunginya. Ini juga yang membuat Ziyan menjadi suka marah.

Kali ini, Ziyan juga gagal menghubungi Amanda. Nomor ponsel dan segala akun selebgram itu tidak bisa lagi di akses oleh Ziyan. Mungkin Ziyan telah di-blokir-nya.

Ziyan kembali berteriak memanggil Aisyah. Ucapan Aisyah tadi mungkin ada benarnya. Apa salahnya ia mencoba keluar dari kamar dan menikmati udara di taman belakang.

"Iya, Tuan. Ada apa?" tanya Aisyah yang berdiri di ambang pintu kamar.

"Saya ingin ketaman belakang," ujar Ziyan ketus.

Aisyah mengambil kursi roda dan mendekatkannya di tepi ranjang. Dengan telaten Aisyah menurunkan kaki Ziyan dari tempat tidur hingga menginjak lantai. Lalu ia mencoba merangkul Ziyan, membantu Ziyan berpindah tempat dari tempat tidur ke kursi roda.

Cukup sulit. Postur tubuh Aisyah yang tidak seimbang dengan postur tubuh Ziyan.

"Kau bisa kerja, nggak, sih?" Kembali suara keras Ziyan terdengar karena Aisyah kesulitan membantunya berpindah.

"Maaf, Tuan," jawab Aisyah pelan nyaris berbisik.

Aisyah mendorong Ziyan ke halaman belakang, aroma bunga yang sedang mekar menyeruak menembus indera penciuman.

Aisyah berlari kecil mengitari taman bunga, sesekali ia membungkukkan badannya melihat ke arah rimbunan bunga.

"Apa yang kamu lakukan?" teriak Ziyan.

"Mencari kupu-kupu. Kalau di kampung saya, nih, ya, Tuan, pasti banyak kupu-kupu di atas bunga-bunga mekar gini," gumam Aisyah

"Namanya juga kampung," sahut Ziyan ketus.

"Iya, Tuan. Kalau mau berenang, tinggal pergi ke sungai saja, Tuan. Airnya dingin, segar pokoknya."

"Pasti kotor."

"Tidak, Tuan. Airnya jernih--air gunung," sahut Aisyah sambil tersenyum. "Tapi kalau sudah hujan deras, air sungai meluap. Jangan coba-coba berenang, entar hanyut."

"Hanya orang bodoh yang mau berenang di kondisi seperti itu," sahut Ziyan.

Mendengar ucapan Tuan muda itu, Aisyah hanya menyengir kuda.

"Tuan," panggil Aisyah.

"Hmmm." Ziyan hanya menggumam panggilan Aisyah.

"Kata pelayan di sini, dua minggu lagi Tuan akan nikah. Lalu saya nggak mengurus Tuan lagi?"

"Tentu tidak. Ada istriku yang akan mengurus," jawab Ziyan dengan jumawah.

"Lalu nasib saya bagaimana, Tuan?"

"Bukan urusanku. Paling kamu diantar ke kampung lagi."

Mendengar ucapan Ziyan, Aisyah merengut.

"Kenapa? Kamu tidak suka?"

"Kalau saya pulang kampung, pasti saya dipaksa nikah dengan Tuan Ramdan," ucap Aisyah lirih.

"Siapa dia?" Sepertinya Ziyan cukup tertarik atas jawaban Aisyah.

Aisyah menarik nafas sebelum menjawabnya. "Rentenir tempat bapak berhutang."

Mendengar jawaban Aisyah, Ziyan tertawa sangat besar.

"Dasar orang miskin, sudah tidak ada harta juga tidak ada harga diri," lontar Ziyan menyakitkan. "Kalau begitu kau bekerja saja di rumahku, menjadi pembantu kami." Sambung Ziyan.

Matahari bersinar terik, Aisyah mendorong Ziyan kembali ke dalam rumah.

Buk Siska sedang duduk di kursi ke besarannya.

"Kita ke kantor, Zi!" ajak Nyonya Siska.

"Tidak akan. Aku malu dengan kondisi seperti ini."

"Perusahaan kita menunggu kamu. Yang sakit itu hanya laki kamu. Bukan otak kamu."

"Urus saja pernikahan saya! Tinggal dua minggu lagi," Elak Ziyan

Sepertinya Ziyan lebih tertarik jika membahas tentang pernikahan itu daripada kerjaan kantor. Lelaki tiga puluh satu tahun ini, sudah melamar kekasihnya dengan cara yang cukup romantis. Untuk acara pernikahan ia telah menyiapkan sebuah pesta bertema internasional.

"Baiklah." Nyonya Siska mengalah.

"Semuanya sudah beres, kamu tenang saja Zi!" gumam Nyonya Siska.

"Tapi ...."

"Tapi kenapa, Zi?" Nyonya Siska menutup majalah bisnis yang ada di tangannya.

"Aku tidak bisa menghubungi Amanda beberapa hari ini."

"Mungkin dia sedang sibuk, endorse destinasi wisata yang tidak ada signal mungkin."

Nyonya Siska berusaha membuat alasan agar Ziyan tenang.

Mendengar itu, Aisyah merasa sangat aneh, di kampungnya, satu bulan sebelum menikah, anak perempuan tidak boleh lagi keluar rumah. Lah, ini malah tinggal dua minggu masih saja pergi-pergi.

"Kenapa kamu bengong?" Suara Ziyan mengejutkan Aisyah.

Ziyan minta diantar kembali ke kamarnya. Aisyah menuruti saja perintah tuan muda itu dari pada nanti ia mengamuk dan melontarkan kata-kata kasar.

***

Aisyah menerima selembar kertas dari Nyonya Siska, kertas tersebut berisi jadwal terapi dan jadwal kegiatan Ziyan yang lainnya. Hari ini Ziyan akan mengadakan meeting, meeting itu akan diadakan dengan cara telekomfren.

Seperti biasa, pukul tujuh pagi Aisyah masuk ke kamar Ziyan dan membuka seluruh gorden. Seperti biasa juga, Ziyan akan mengupat, memarahi Aisyah karena telah mengganggu tidurnya.

"Hari sudah siang. Pukul delapan pagi Tuan ada meeting," ujar Aisyah setelah Ziyan berhenti mengupat.

"Kalau begitu siapkan baju kerjaku!" perintah Ziyan.

Aisyah membantu Ziyan ke kamar mandi. Mendudukan ia di sebuah bangku yang diletakkan di bawah Shower. Setelah Aisyah mendekatkan perlengkapan mandi pria bertubuh atletis ini ia menunggu di luar kamar mandi sambil merapi-merapikan kamar yang selalu saja berantakkan serta menyiapkan pakaian yang diperintahkan Ziyan.

Ziyan berteriak melihat pakaian yang disiapkan oleh Aisyah.

"Dasar orang kampung, pakaian apa yang kau pilihkan."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!