Enam tahun telah berlalu, pernikahan Farhan dan Marla terbilang sudah berlangsung lama. Otomatis menjadi pertanyaan, kenapa mereka tak kunjung dibuahi momongan?
Tentu yang ‘kan pertama kena imbas yakni Marla, sang istri. Yang mulai dituduh mandul, oleh keluarga suaminya dan tetangga sekitar. Marla pasrah jika memang itu kekurangannya. Lelah menjadi bahan sungutan dan sindiran keluarga suaminya, Marla ikhlas jika Farhan ingin menceraikannya atau menikah lagi untuk menutupi kekurangannya.
Namun Marla dibuat salut dan terharu, karna Farhan bersikeras untuk mempertahankannya dan tidak mau menduakannya. Sambil mengusap lembut wajah istrinya, Farhan sangat yakin saat mengatakan kalau istrinya adalah perempuan yang sempurna. Jadi selain istrinya, Farhan tidak membutuhkan apapun lagi.
Tapi, banding terbalik dengan ketulusan Farhan, keluarga dari pihaknya memiliki pemikiran yang berbeda. Untuk apa mempertahankan perempuan mandul? Itu sungutan mereka.
Farhan yang naik pitam, langsung meninggikan suara, “Istriku bukan perempuan mandul!”
“Lalu kenapa kalian tak kunjung memiliki anak?”
Andai bukan Ibunya yang berkata, mungkin Farhan sudah menghajarnya.
Dengan helaan napas lelah, Farhan berusaha menyela kalimat Ibunya dengan selembut mungkin, “Marla bukan perempuan mandul, Ma. Kami hanya belum dikaruniakan anugerah oleh Allah. Itu saja. Jika Allah sudah mempercayakan kebesarannya kepada kami, suatu saat nanti kami pasti akan memiliki anak.”
“Alah, alasanmu, Han.” Ibu Farhan yang norak dengan perhiasan, riasan dan pakaiannya berkacak pinggang. “Coba, deh periksa ke Dokter. Kita buktikan secara langsung. Istrimu itu, sempurna seperti yang kamu bilang, atau memang mandul!”
Rahang Farhan mengeras. Pandangannya yang menantang, menatap Ibunya yakin. “Baiklah.” Farhan menyanggupi dengan matang, “kami akan periksa ke Dokter sekarang juga. Tapi apapun hasilnya, keputusan hanya di tanganku. Dan satu-satunya keputusanku yang tak bisa diganggu gugat, aku takkan pernah meninggalkan Marla!”
Untuk meyakinkan sang Ibu, Farhan bersama Marla segera pergi ke Dokter yang menjanjikan fasilitas lengkap dan hasil yang akurat. Farhan terlihat tenang, sedangkan Marla tidak bisa menenangkan diri. Terus melafazkan doa di dalam hati, setidaknya predikat ‘perempuan mandul’ tidak akan pernah menjadi label abadi dalam hidupnya.
Setelah hasil keluar.
Wajah Farhan yang semulanya tanpa beban langsung berubah. Dilemparnya kertas hasil pemeriksaan ke atas meja, lalu meraung. “Tidak mungkin!”
Marla kaget melihat kekacauan suaminya, langsung memungut kertas yang dibanting ke meja. Sontak Marla tertegun. Memang, sebagian beban dalam hatinya lebur karna di sini bukan dia yang harus disalahkan.
Tapi beban lain segera menggantikan ruang lain yang tadinya luruh, saat mendapati kenyataan lain. Ternyata, di sini bukan Marla yang mandul. Melainkan Farhan, suami yang dia cintai, yang tulus balik mencintainya, dan berniat mempertahankannya jika mendapati kekurangan pada diri Marla tanpa keinginan melirik perempuan lain.
“Mas?” Marla menyentuh pundak tegap Farhan.
Sudut mata Farhan memerah, lalu menatap balik istrinya. Seketika, langsung menyambar tubuh sang istri dan meletakkan ujung dagu di satu bahunya, yang menjadi tempat ternyaman Farhan selama mereka menikah. “Kamu tidak akan meninggalkanku ‘kan?”
Marla menggeleng, menyisiri rambut belakang Farhan yang lebat nan halus. “Tidak, Mas. Tidak akan.”
Farhan terlihat lega dan bersyukur, matanya terpejam dan tubuhnya merapat. “Terimakasih, La. Terimakasih, karena mau menerimaku. Dan maafkan aku juga atas semua celaan yang kamu terima selama ini, padahal yang ‘cacat’ disini aku.” Farhan sesegukan. Entah karena menyesali takdir, atau bersyukur memiliki Marla yang tetap mempertahankannya dan menerima semua kekurangannya.
Farhan menarik kepala dari bahu kanan istrinya, lalu mendaratkan kecupan di puncak kepala Marla. Berganti ke bibir, dan memeluknya sekali lagi.
>><<
Setelah dibawakan hasil akurat dari pemeriksaan dokter. Yang menampik semua tudingan mereka kepada Marla selama ini, keluarga dari pihak Farhan lebih banyak diam. Gangguan yang biasanya selalu Marla terima, kini tiada satupun dari mereka yang berani menyikut.
Tapi yang menjadi masalah, yakni keluarga dari pihak Marla. Marla anak gadis satu-satunya, setelah Kakak Sulung Marla meninggal sebelum sempat membangun rumah tangga. Awalnya keduaorangtuanya pasrah jika Marla memang mandul, tapi setelah mengetahui kenyataannya, mereka mulai menuntut Farhan untuk menceraikan Marla. Jika bukan lewat Marla, darimana mereka bisa mendapatkan cucu?
Farhan stres dibuatnya. Gangguan dari kedua mertuanya, membuatnya tertekan. Berusaha menolak dengan halus, tapi niat Farhan tak mau didengarkan. Terlebih Ayah Mertuanya, yang bersikap keras dan mendesak Farhan dan Marla untuk bercerai. Farhan bahkan tanpa sengaja membentaknya, sambil menolak.
Tentu, dia semakin buruk dimata keduaorangtua Marla.
Keesokannya saat Farhan pulang sehabis bekerja. Langsung gaduh, saat tidak menemukan Marla di rumah. Semua pelayan dia interogasi, salahsatu dari mereka menjawab takut-takut.
Menjelaskan, kalau Marla dibawa paksa keduaorangtuanya meninggalkan rumah suaminya. Farhan mengerang frustrasi. Berangsur tenang, saat terbersit sebuah ide. Dengan segera dia melangkah ke halaman, dan melajukan mobilnya menuju seseorang.
Setelah membicarakannya matang-matang, bernegosiasi dengan bayaran yang menggiurkan, akhirnya lelaki yang dituju mengangguk menyetujui. Setelah mendapat persetujuannya, lelaki muda itu ikut masuk ke dalam mobil Farhan dan melaju bersama ke rumah orangtua Marla.
Kehadiran Farhan, tidak disambut dengan baik. Datang-datang, Farhan langsung diusir. “Pergi kamu dari sini! Kami tidak membutuhkan mantu mandul seperti kamu!”
Farhan berusaha mengendalikan diri, memelankan suara dan mencoba mengambil hati mertuanya. “Pak, kali ini saja, bisa kita bicara baik-baik?” Farhan memasang wajah memelas, berusaha menarik simpatik sang Mertua.
“Apa yang perlu dibicarakan? Yang pastinya ceraikan Marla!” Bentakannya menggelegar.
Farhan menggeleng lambat, lalu menjelaskan kalimat awal, “saya memiliki solusi lain ....”
“Solusi apa, hah?” Lelaki tua berkeriput itu menoleh tajam.
Farhan menarik napas dan menghembuskannya dengan berat, setelah itu melanjutkan kalimatnya yang terdengar serak, “Baiklah ... aku dan Marla akan bercerai sementara ....”
Marla yang tertunduk di ruangan yang sama, langsung mengangkat kepala. Ingin segera membantah dan tidak setuju dengan keputusan itu, “Mas--”
Farhan mengangkat telapak tangan, menahan kalimatnya. “Hanya sementara.” Ulangnya, barangkali mereka melewatkan mencermati potongan kalimat tersebut. “Marla akan saya nikahkan dengan lelaki lain ....”
Farhan melirik lelaki muda yang duduk di sisinya, lalu kembali menghembuskan napas. “Yang akan membuahinya ... tapi setelah Marla hamil dan melahirkan cucu untuk kalian, mereka akan berpisah.”
Menyudahi kalimat penjelasannya, Farhan menatap wajah sang Ayah Mertua. Ragu dan terlihat cemas, takutnya mereka tidak setuju. Marla tertegun karena keputusan Farhan yang tidak dibicarakan kepadanya terlebih dahulu.
Apa katanya tadi? Mereka akan bercerai sementara dan Marla akan dinikahkan dengan lelaki lain sampai Marla hamil dan melahirkan?
Mungkin itu memang solusi. Tapi jika bukan Farhan, Marla tidak mau. Marla hanya ingin Farhan yang menjadi suaminya, dan menjadi Ayah dari anak-anaknya.
Meskipun harapan itu sudah mustahil. Tapi membayangkan akan menjadi istri orang lain, dan disentuh lelaki lain selain Farhan, membuat Marla keberatan. Hanya membayangkannya saja, sudah membuat Marla menangis.
Apalagi benar-benar terjadi.
“Baiklah.” Nyatanya Ayah Marla menyanggupi, setelah mempertimbangkan cinta Marla dan Farhan yang begitu besar. Tiada cara lain, selain mengambil solusi tersebut. Lagian, yang mereka perdebatkan hanya masalah cucu.
“Siapa orangnya? Sudah kamu pilihkan?” Lelaki tua tersebut melirik lelaki muda yang duduk tegap di sebelah Farhan. Tentu dugaan yang sama seperti yang kalian pikirkan, dan memang tepat sasaran.
Dengan berat, Farhan memperkenalkan lelaki muda disebelahnya. “Ini Agustin. Adik tiriku.”
Semua mata tertuju kepada Agustin. Termasuk Marla, yang merasa familier dengan wajah tampannya.
Lelaki berusia 23 tahun, wajah putih bersih dengan rambut hitam lebat dan wajah menawan bak model, memiliki bentuk tubuh berlekuk keras dan berotot. Dalam kemiripan, wajah Farhan dan Agustin memiliki keserupaan meskipun tidak terlalu menonjol.
“Kami sudah membicarakannya.” Farhan menghelakan napas gusar. “Dia menyetujuinya tanpa paksaan. Kami juga sudah membuat perjanjian, terutama melepaskan Marla setelah mengandung dan melahirkan.”
“Mas,” Marla menyahut, kepalanya menggeleng. “Aku tidak mau, Mas.”
Farhan terenyuh, bergerak mendekat lalu menyentuh pipi istrinya. “Sayang, aku juga nggak mau. Tapi kita harus.”
Marla meraih punggung tangan Farhan yang mendarat di wajahnya, kepalanya kembali menggeleng. “Tidak, Mas. Aku tidak mau diperistri orang lain, selain kamu.”
Farhan meraih badannya dan memeluknya. “Tapi kita harus, La.”
Farhan menarik kepalanya, lalu mendaratkan ciuman terakhir. “Aku talak kamu, La. Setelah tiga kali suci, menikahlah dengan Agustin. Setelah mengandung dan melahirkan, kembalilah padaku.”
>><<
Agustin Handika.
Tujuh tahun jauh lebih muda dari Farhan yang sudah berusia 30-an, dan lebih muda lima tahun dari Marla yang menginjak usia 27 tahun. Agustin terbilang masih muda, baru penyelesaian S2 dan bekerja sebagai karyawan pemula di sebuah perusahaan. Hidup Agustin tidak segemilang kehidupan Farhan yang serba lebih dan memiliki kekayaan yang disegani. Bisa dikatakan, Agustin cukup melarat.
Agustin memang selaku adik bagi Farhan, meskipun sekedar adik tiri.
Ada skandal yang terjadi di masa lalu akibat ulah Ayahnya. Jadinya, lahirlah Agustin dari rahim seorang perempuan muda tanpa ikatan pernikahan. Maaf dikatakan, jelas anak haram. Setelah Ayah mereka merenggang nyawa dan meninggal, Agustin yang selaku anak haram yang tidak bisa dinasabkan ke Ayahnya samasekali tidak mendapatkan warisan.
Jadinya, kehidupan Agustin yang serba kurang tetap tidak bisa diperbaiki untuk menjadi sejahtera. Tapi biaya makan dan sekolah, kehidupan sehari-hari Agustin selagi masih menjadi pelajar dan mahasiswa, semuanya ditanggung oleh Farhan. Setelah Ibunya lepas tanggungjawab atas Agustin saat Agustin tamat SMP, untuk menikah dengan lelaki lain yang tak mau menampung anak.
Saat Farhan menemuinya di apartemen kecil tempat Agustin tinggal. Farhan menawarkan sejumlah uang sebagai bayaran atas perjanjian mereka. Nominalnya luarbiasa, Agustin akan merugi jika menolaknya.
Akhirnya, demi uang tersebut sekaligus hitung-hitung balas budi terhadap Farhan, Agustin tanpa banyak protes menyanggupinya. Menikahi mantan Kakak Iparnya, menghamilinya, setelah sang Kakak Ipar melahirkan, maka Agustin harus mengembalikannya kepada sang Kakak.
“Baiklah, Kak.” Jawaban Agustin waktu ditanyai kesanggupannya.
Farhan tersenyum miris. Antara lega dan sedih. “Uangnya akan aku kirim ke rekeningmu. Kupercayakan semuanya kepada, Tin. Jangan kecewakan Kakakmu.”
“Oke.” Agustin mengiakan untuk keduakali, lalu ikut bersama Farhan menemui calon keluarga dan istrinya nanti, meskipun hanya untuk kurang dari setahun.
Seraya mendengarkan Farhan dan Ayah Marla yang adu berkata, Agustin memperhatikan seorang perempuan yang akan menjadi istrinya. Perempuan dewasa yang lebih tua, tentu cantik dan terlihat lembut.
Agustin merasa bersalah melihat perempuan tersebut menangis, tentunya jika tidak terpaksa, perempuan itu mana mau menikah dengannya. Agustin meremas jemari yang saling berpaut, diam-diam secara perlahan menghembuskan napas.
Di dalam hati, bertanya-tanya.
‘Keputusanku tidak salah ‘kan?’
“Aku talak kamu, La. Setelah tiga kali suci, menikahlah dengan Agustin. Setelah mengandung dan melahirkan, kembalilah padaku.”
Tangis Marla meledak, saat Farhan menalaknya. Farhan terlihat tidak tega, terlebih Agustin. Seketika, lelaki muda itu menelan saliva, merasa kasihan dan merasa bersalah.
“Berkemaslah dan kembalilah ke rumahku sekarang. Tuntaskan masa iddahmu selama tiga kali suci, setelah itu baru kamu bisa menikah dengan Agustin.”
Agustin menghembuskan napas dari mulut. Tiga kali suci? Setidaknya tiga bulan, waktunya untuk mempersiapkan diri. Menjadi suami sementara untuk perempuan tersebut. Sebagai lelaki perjaka, mungkin Agustin harus mempersiapkan tata-cara bercinta yang baik dan benar. Jika bisa, sekali mencoba, Marla langsung hamil tanpa perlu mengulang ronde ke berikutnya.
Lebih cepat lebihbaik, bukan?
>><<
Selepas tiga kali suci. Tiga bulan kurang-lebih sudah terlewat. Penghulu dipanggil ke rumah Farhan. Tak ada tamu penting yang diundang, hanya beberapa saksi pernikahan yang terdiri dari orang-orang rumah. Marla didandani seadanya, memakai kebaya yang sama saat pernikahannya dengan Farhan dahulu. Agustin meminjam kemeja Farhan, tidak butuh dipermak lebih.
Agustin dan Marla duduk bersebelahan, tudung dijatuhkan diatas kepala keduanya. Penghulu duduk menghadap Agustin, sedangkan Farhan duduk di antara barisan saksi, tangannya mengerat di atas paha, memejamkan mata rapat berusaha menahan air mata, dan melapangkan dada agar tidak membuat kekacauan. Orangtua Marla juga ada di antara saksi yang menyaksikan, termasuk adik-adik Farhan dan Ibunya. Hanya mereka yang terdiri mengelilingi calon pengantin.
Suara penghulu mulai terdengar, “saya nikahkan dan saya kawinkan, saudara Agustin Handika ….”
Seiring kalimat itu, Farhan menahan diri. Dadanya mulai sesak, lalu bangkit berdiri dan beranjak ke belakang. Marla menyorotnya sendu, lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Ingin menangis, tapi berusaha menahannya.
Agustin menjawab dengan tegas, “saya terima nikahnya saudari Marla Widyan binti Mario Arcel ....”
Di dapur, Farhan mengambil segelas air putih dan mendaratkan punggung ke dinding. Napasnya semakin sesak, diminumnya air untuk menenangkan diri. Jawaban ijab kabul Agustin dari ruang tamu masih terdengar samar sampai ke dapur, mau tak mau, Farhan secara tidak langsung tetap menyaksikannya.
“Sah?”
Suara penghulu diundang seruan saksi, “sah!”
Sedangkan Farhan yang tidak ada di antara barisan saksi di ruang tamu, dari ruang dapur di belakang, berbisik pelan. “Tidak sah!” Inginnya begitu, tapi Marla dan Agustin sudah resmi menjadi sepasang suami-istri.
Dengan tangan gemetar, Marla menyambut tangan Agustin dan mencium balik punggungnya.
Dengan ragu, Agustin mengecup puncak kepalanya. Nyaris tidak kena, bibir Agustin hanya menyentuh ujung kain tutup kepala. Tapi setelah menyadarkan diri kalau dirinya harus terbiasa dengan segala kontak fisik di ke depannya karena harus menghamili Marla, dengan tekanan kuat Agustin mencium kening Marla. Bertahan 10 detik, hingga melepaskan bibirnya. Sentuhan pertamanya, sebuah ciuman di kening istrinya. Agustin merasa bersalah jika membayangkan, bibirnya akan menjelajahi seluruh tubuh perempuan tersebut.
Ck, rasanya Agustin ingin membatalkan perjanjian dan mengembalikan semua uang Farhan.
Apalagi saat matanya mengitari ruangan, Farhan hilang di antara para saksi.
Farhan pasti susah menerimanya.
>><<
Siang sudah menjelang malam.
Masih di rumah Farhan, untuk malam pertama yang seharusnya mereka lalui, Agustin dan Marla terpaksa meminjam kamar Farhan yang dulunya ditempati oleh Farhan bersama Marla. Ruangan sekitar seakan kelam, tak ada aksesoris ataupun riasan yang menghiasi. Berbeda saat dulu Farhan menikahi Marla, ruangan banjir riasan menor dan di atas ranjang ditaburi kelopak-kelopak bunga.
Sama-sama duduk di tepi ranjang dengan saling membelakangi, pandangan Agustin mengitari sekeliling ruangan.
Dari ruangan tersebut, aroma parfum khas memanjakan hidung Agustin, diam-diam selagi Marla tidak menahu dan membelakanginya, Agustin merangkak dan mengendus pakaiannya. Ingin memastikan, dan ternyata memang sama dengan aroma tubuh Marla. Agustin merasa familier, karena selama ijab kabul duduk bersebelahan dengan Marla dan aroma lembut Marla memanjakan hidungnya sampai ijab kabul tersebut berakhir.
Setelah memastikan Agustin menarik diri dan kembali membelakangi Marla, meskipun matanya tidak bisa berhenti melirik perempuan tersebut. Yang saking terguncanganya, sudah tidak bisa menangis lagi dan terus diam sepanjang mereka di dalam kamar.
Agustin tahu dia harus memulainya. Yang harus dia lakukan adalah berhubungan intim dengan perempuan itu, membuahinya, dan membuat Marla melahirkan anaknya.
Lebih cepat lebih baik, malam ini mereka berhubungan, bisa jadi seminggu kemudian Marla sudah hamil. Dan Agustin tidak perlu mengulanginya untuk keduakali sampai Marla melahirkan, dan mereka resmi bercerai.
Tapi berfirasat Marla begitu enggan, dan sepertinya tidak akan siap, Agustin berusaha memahaminya. Mana mungkin Marla rela disentuh lelaki asing yang tak dicintainya? Hanya Farhan satu-satunya, Marla sudi dan bahagia jika Farhan yang menyentuhnya.
Tapi kesampingkan dulu perasaan Marla, Agustin harus. Semakin cepat Marla hamil, semakin cepat Marla akan dikeluarkan dari penjara batin itu. Memikirkannya membuat Agustin geram, kedua pihak di dalam hatinya saling berlawanan. Antara menundanya, atau menuntaskannya.
Kini tubuh Agustin berputar dan menghadap Marla. Ditatapnya punggung mungil tersebut.
Baiklah, Agustin akan mencobanya. Memulai duluan, jika Marla memberikan penolakan. Maka Agustin akan berhenti, jika Marla seakan pasrah karena tahu apa yang harus melakukan, maka Agustin akan mleanjutkannya, menuntaskannya, dan menunggu seminggu kemudian.
Untuk hasil akurat, mereka memang harus terus mengulanginya. Tapi ada kemungkinan lain, satu kali saja, sudah cukup. Lihat saja di ke depannya.
Agustin adalah lelaki perjaka yang tidak pernah pacaran ataupun jatuh cinta. Jadi, dia bingung harus bagaimana memulainya. Meminta izin terlebih dahulu? Atau ... merangsang Marla terlebih dahulu.
Mengingat Marla adalah perempuan yang pernah bersuami, yang tentunya lebih berpengalaman. Argh, Agustin menyesal memiliki pemikiran yang begitu ngelantur.
Agak ragu, Agustin akhirnya memilih untuk memakai rencana nomor dua. Tangan besarnya menyambar kepala Marla, langsung meraup bibir perempuan tersebut. Dihempaskannya tubuh perempuan itu di bawah tubuhnya, Marla seperti berusaha melepaskan kepalanya. Ngos-ngosan, Agustin menarik kepala ke atas. Menatap wajah Marla yang membelalak, tidak tahu Agustin akan begitu lancang.
“Aku juga tidak mau melakukan ini.” Agustin menjelaskan. Takutnya, dia berpikir Agustin adalah lelaki yang tidak bisa menahan diri.
“Aku sangat tidak mau melakukan ini!” Tegas Marla, membuang muka ke lain arah.
Agustin menghela napas, lalu menyambung frustrasi. “Tapi kita harus.”
“Sekalipun harus, aku tidak mau.” Marla ingin pergi dari bawah tubuh Agustin, secepat kilat Agustin menahan tubuhnya.
“Kamu harus hamil, dan setelah melahirkan secepatnya, kamu bisa kembali ke Farhan. Dan jika mau hamil, kamu tahu ‘kan apa yang harus kita lakukan?” Agustin membelai pelipis Marla.
Marla bungkam, seakan pasrah. Tubuhnya melunak seakan letih, matanya berembun sedih. Agustin mendekatkan wajahnya, kembali mencium Marla. Dia memberanikan diri untuk melakukan lebih, diliriknya wajah Marla yang tidak nyaman. Agustin melepaskan bibirnya, lalu menanggali tutup kepala Marla. Kembali ditahannya wajah Marla.
Marla tidak membalas, membiarkan Agustin bertindak sendiri. Tangan besar Agustin menyingkap bahu Marla, hendak memindahkan bibirnya ke sana.
Marla keburu menahan kepalanya, “J-jangan ... jangan disana.”
Agustin menarik kepalanya, lalu menatap Marla bingung. “Kamu tidak suka disentuh disini?”
“Itu tempat kesukaan Mas Farhan.” Marla mengakuinya, seketika membuat wajah Agustin masam.
“Oh begitu, baiklah.” Agustin sedikit menjauhkan badan, menghela napas lelah.
Ide terbersit, diliriknya perut Marla. Lalu menyingkapnya, mendaratkan bibir ke sana. “Kalau begitu, ini akan menjadi tempat favoritku.”
Tangannya meraih wajah Marla, lalu gerakan tangannya terhenti dan meringis. Marla menangis, dengan kedua lengan menutupi bagian depan tubuhnya. Jadinya Agustin tidak tega untuk melanjutkannya.
Mungkin bagi Agustin, biasa saja menuntaskannya. Namun berbeda bagi Marla. Dia mencintai Farhan, enggan dan benci disentuh lelaki lain sekalipun Agustin sudah menjadi suami untuk Marla.
Agustin rasa, tidak hari ini. Mereka harus menyiapkan diri terlebih dahulu, terlebih Marla. Agustin mencium kening Marla, berbisik, “maafkan aku, Marla.” Lalu menyempatkan diri mengecup sekilas bibir perempuan itu, entah kenapa Agustin mulai terbiasa dengan mulutnya.
Agustin memungut selimut, lalu menyelimuti Marla dan masuk ke dalam selimut yang sama. Diraihnya punggung Marla dan memeluknya erat dari belakang, Marla bergerak menjauh, dan bibir yang mendesis.
“Marla.” Agustin memanggil, membuat Marla menoleh, “jangan khawatir, aku takkan bertindak sampai kamu siap.”
Berita itu, membuat Marla dapat menghela napas lega.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!