NovelToon NovelToon

Hubbak Ghali, Ya Habibi Qolbi

Kabar Duka

Hari kelulusan, bagi semua siswa-siswi adalah hari yang paling mengesankan. Sekolah ternama di kota besar itu nampak sekali iringan mobil mewah dan beberapa sepeda motor orang tua murid yang hendak menghadiri acara kelulusan sekolah menengah atas. 

Hari itu juga, suana memang sedang tidak baik. Mendung menandakan hari akan hujan membuat beberapa siswa menunggu orang tuanya di dalam kelas. Namun, tidak bagi gadis bawel bernama Qianzy Tabitha. Pagi itu, ia terus menanti kedatangan orang tuanya ke sekolah. Dengan hati kesal dan kecewa, ia pun terus saja menyalahkan asisten rumah tangganya yang bernama Mbak Lia. 

"Mbak, Mami dan Papi ini sebenarnya kemana, sih?" tanya Qianzy. "Mereka ini sayang nggak sih sama aku? Kenapa juga harus telat. Selalu aja begini!" kesalnya. 

"Sabar, Non. Ibu dan Bapak pasti datang, kok. Non, sebaiknya duduk dan nikmati acara perpisahan ini," Mbak Lia memberikan sebotol air putih untuk Qianzy. 

"Heleh, selalu aja begitu. Tapi tidak pernah menjadi kenyataan. Andai saja, aku tidak punya orang tua sekalian. Mungkin saja, aku akan terbiasa seperti ini," sulut Qianzy tanpa sadar dia telah bicara buruk.

"Non, jangan bilang seperti itu, em… mungkin bapak dan ibu memang sedang sibuk. Jadi, Non Qianzy sama Mbak Lia saja, yo." ucap Mbak Lia dengan sabar. 

Mbak Lia adalah asisten rumah tangga yang sudah mengabdi selama 10 tahun di keluarga Qianzy. Dia masih muda saat pertama kali bekerja di keluarga keturunan Tianghoa itu. Itu sebabnya Qianzy memanggilnya dengan sebutan Mbak karena jarak usia mereka juga tidak sangat jauh. Jika Qianzy berusia 19 tahun, Mbak Lia baru berusia 25 tahun. Ia bekerja di usianya yang baru menginjak 15 tahun. 

Foto keluarga lainnya ada orang tua bersama mereka. Tidak dengan Qianzy yang akan foto sendirian saat itu. Ia terus merenungi, mengapa dirinya tidak seperti teman-temannya yang bisa berkumpul dengan orang tuanya di saat momen penting seperti itu. 

"Anak yatim aja masih ada Ibu yang menemaninya. Aku yang masih memiliki keluarga lengkap … malah seperti yatim piatu," gumam Qianzy dalam hati. "Masa iya, setiap kelulusan … aku selalu foto dengan Mbak Lia aja. 3 kali kelulusan dengan Mbak Lia mulu!" sambungnya. 

"Qianzy Tabitha--"

Mendengar namanya di sebut, Qianzy berjalan perlahan maju ke depan dan bersiap berfoto. Ia juga memanggil Mbak Lia, agar bisa menemaninya memenuhi frame bersejarah. 

Qianzy adalah murid yang paling cerdas. Ia mampu meraih nilai tertinggi mengalahkan ratusan siswa di sekolah tersebut. Sembari makan tahu bulat yang ada di depan sekolah, Qianzy merenungi nasibnya yang baginya kurang beruntung. 

"Non, masih ngambek aja nih? Kenapa? Karena bapak dan ibu ndak datang, kah?"

"Siapa bapak ibuku? Jangan-jangan … aku ini adalah anak angkat lagi." celetuk Qianzy menjilati jarinya karena terkena bumbu tahu bulat. 

Setelah kelulusan itu, Qianzy berencana mengajak Mbak Lia makan dulu di tempat favorit mereka. Namun, hal itu gagal karena orang rumah terus saja menelpon ke ponsel Mbak Lia. 

"Ada apa? Siapa yang telpon?" tanya Qianzy. 

"Bi Rahma dan Pak Tono. Ada apa, ya? Kenapa meraka telpon terus?" Mbak Lia juga rupanya tidak mengetahui mengapa orang rumah menelponnya. 

"Yo wis, bagaimana kalau kita sebaiknya pulang saja, Non.  Kok, perasaan Mbak Lia ndak enak, yo?" lanjut Mbak Lia mulai gelisah. 

Qianzy diam sejenak. Tak lama kemudian, ia pun memutuskan untuk kembali ke rumah secepatnya. Perasaan Mbak Lia dan Qianzy semakin tak karuan. 

"Mbak, kok jantungku deg degan gini, ya?" tanya Qianzy. 

"Sama, Mbak juga, Non. Ndak tenang gini, eh!" seru Mbak Lia masih dengan fokus menyetir. 

"Kalau begitu … cepat gas banter, Mbak. Aku semakin nggak tenang ini!" perintah Qianzy kepada Mbak Lia supaya menambah kecepatan motornya. 

Meski anak orang yang cukup mampu, Qianzy ini selalu hidup sederhana berkat Mbak Lia. Setiap berangkat dan pulang sekolah, Qianzy selalu diantar oleh Mbak Lia mengendarai motor sederhana milik Pak Tono. 

---

Sesampainya di gang kompleksnya, Qianzy dan Mbak Lia melihat ada bendera kuning di depan rumahnya. Beberapa orang juga ada di luaran rumah memakai baju serba hitam. 

Langkah Qianzy semakin melambat. Masih bingung mengapa orang yang seperti pelayat itu berada di depan rumahnya. 

"Mbak, tadi Bi Rahma bilang apa? Ada sms ke Mbak Lia tidak?" bisik Qianzy masih dengan langkah pelannya. Mbak Lia juga hanya bisa menggeleng kepala. 

Rupanya, Mbak Lia juga tidak mengetahui jika orang tua Qianzy meninggal karena kecelakaan di perjalanan pulang. Orang-orang berbaju hitam itu adalah tetangga dekat Qianzy. Mereka mulai mendekatinya serta memeluk Qianzy dengan lembut.

"Qian, kamu yang sabar, ya …,"

"Mami dan Papimu pasti sudah tenang di surga sana,"

Kata bela sungkawa terus terlontar dari mulut tetangga siang itu. Membuat air mata Qianzy menetes dan segera berlari ke dalam. PIkirannya sudah kacau saat itu, tubuhnya kaku ketika melihat dua peti mati di depan matanya menyambut kepulangannya selepas wisuda di sekolahnya. 

"Non, Mami dan Papi--" ucapan Bi Rahma sempat terputus, ia tak tega akan mengatakannya. 

Pandangan Qianzy masih tertuju kosong menatap kedepan. Bahunya seperti berat dan tubuhnya mulai keluar keringat dingin. Air mata yang sebelumnya menetes terus menerus, kini air mata itu terhenti, seolah air mata itu kering tak bisa mengalir lagi. 

Tak lama kemudian, Qianzy pingsan dan semua orang menjadi heboh. Segera mungkin Pak Tono mengangkat tubuh Qianzy dan memindahkannya ke kamarnya. Dalam alam bawah sadarnya, Qianzy berada di sebuah tempat yang hanya gelap tanpa cahaya sedikitpun. 

"Di mana ini?"

"Kenapa sangat gelap?"

"Tempat apa ini?"

Qianzy terus berjalan, memberanikan diri melangkah serta terus memanggil-manggil orang tuanya. Qianzy sendiri takut akan kegelapan, karena ketakutan, ia pun menangis dan teringat saat kecil ketika dirinya pernah terkunci di dalam ruangan yang sangat gelap saat berada di taman kanak-kanak dulu. 

"Mami, tolong …,"

"Aku takut sekali, di sini sangat gelap, Mi. Papi, tolong aku …."

Qianzy terus menangis, sampai akhirnya ada seseorang yang membelai kepalanya dengan lembut. Qianzy yang kaget langsung mendongak, melihat dengan jelas siapa orang yang telah membelainya. 

Orang itu adalah sepasang pria dan wanita yang cantik berbalut busana putih. Mereka terus tersenyum kepada Qianzy dan mengusap pipinya. Disusullah oleh orang tua Qianzy yang baru saja meninggal di sana. 

"Mami, Papi!"

"Aku bermimpi, kalian telah meninggalkan aku sendirian di dunia. Lalu, kalian ada di sini bersa--" ucapan Qianzy terpotong saat ia melihat ada cahaya yang sangat terang dari sisi belakang kedua orang tuanya. 

"Kalian mau kemana? Mami, Papi, jangan tinggalin aku!"

"Kalian berdua juga akan pergi bersama Mami dan Papiku? Kalian mau kemana? Jangan tinggalkan aku. Tolong, aku takut kegelapan!" 

Percuma saja Qianzy terus berteriak, keempat dari mereka sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Qianzy terus berteriak, sampai pada akhirnya ia tersadar dari pingsannya. 

"Mami!"

Semua orang mengucap syukur, karena Qianzy pingsan sampai lebih dari 5 jam lamanya. Mbak Lia segera membuatkan minuman hangat. Sementara Bi Rahma memijat kakinya dengan kasih sayang.

Siapa Qianzy?

"Non, akhirnya Non sadar juga. Bibi sudah panik dari tadi. Lihatlah, Bibi sampai menyiapkan baju untuk membawa Non ke rumah sakit," ucap Bi Rahma panik. 

"Bi, Mami dan Papi …? Bi, aku melihat mereka pergi ke cahaya yang sangat terang, bersama dengan dua orang yang cantik dan ganteng, Bi,"

"Aku teriakin terus. Tapi mereka nggak noleh-noleh juga. Sekarang, Mami dan Papi kemana?" 

Rupanya, Qianzy masih belum terima jika orang tuanya telah tiada. Ia sempat menanyakan dimana orang tuanya. Qianzy begitu terpukul sampai ia tak tahu mana kenyataan dan mana khayalannya saja. 

"Ibu dan Bapak sudah meninggal, Non. Non Qiqi yang sabar, ya." Bi Rahma terus mencoba membuat Qianzy mengerti. 

Sampai pada akhirnya, Qianzy saat jika orang tuanya memang sudah tiada. Kepergian kedua orang tuanya meninggalkan luka mendalam pada hatinya. 

Dua hari setelah kepergian orang tua Qianzy, kembali lagi Qianzy diharapkan kenyataan bahwa dirinya bukanlah anak kandung dari orang tuanya yang selama ini merawatnya. 

"Apa? Aku bukan anak kandung Mami dan Papi? Lalu, aku anak siapa?" tanya Qianzy dengan nada suara yang tinggi. 

"Nona Qianzy, anda bisa duduk dan tenang. Saya mohon, anda jangan berpikiran negatif dulu," ucap sang pengacara. 

"Nona, seperti yang akan kita ketahui pada malam ini bahwa Nona Qianzy Tabitha bukanlah putri kandung dari Tuan dan Nyonya Zuan," ungkap sang pengacara. 

Lebih tepatnya, ia diadopsi ketika dirinya masih bayi berusia 1 jam. Sang Ayah telah meninggal sepatu Ibunya mengandung usia 2 bulan. Lalu, di susul lah oleh sang Ibu, meninggal pasca melahirkan. Ia memiliki kakak kandung bernama Rasyiqul Abid Abdullah, atau selalu dipanggil dengan nama Abid.

Abid ini di asuh oleh keluarga pihak Ayah yang memiliki pesantren di salah satu kota. Pemilik pesantren tersebut tidak memiliki keturunan, akhirnya merawat Abid setelah orang tuanya meninggal.

Ketika itu, Abid berusia 11 tahun. Orang tua angkat Qianzy seorang keturunan Tionghoa. Meski begitu, mereka tetap tidak mengekang Qianzy harus menganut keyakinan yang sama. Sejak mengerti dengan keagamaan, orang tua angkatnya malah selalu meminta Qianzy belajar ilmu agama yang ia bawa sejak lahir, yakni islam. 

Setelah mengetahui kebenaran itu, Qianzy dikirim kepada kakaknya yang masih hidup selama ini. Sang pengacara keluarga Ayah angkatnya memiliki surat kuasa atas masa depan Qianzy jika orang tua angkatnya meninggal. 

Di surat itu, tertulis jika Qianzy harus diperkenalkan dengan keluarga kandungnya dan harta yang dimiliki orang tua angkatnya, akan diberikan ketika Qianzy menikah nanti. Sementara, akan di urus oleh negera, dan beberapa usaha akan di urus oleh yayasan yang dimiliki orang tua angkatnya. 

Pada dasarnya, Qianzy adalah gadis penurut dengan orang tua. Maka dari itu, ia mengiyakan apa yang tertulis dalam surat wasiat dan kuasa tersebut. 

Di malam yang gelap dan sunyi, Qianzy duduk termenung disudut kamarnya. Ia terus melamun meratapi nasibnya, dengan kenyataan bahwa dirinya bukanlah anak kandung dari orang tua yang merawatnya selama ia hidup.

"Aku masih memiliki seorang kakak dan dia adalah pemilik Pesantren. Sedangkan aku, bukan seorang muslim yang taat. Tuhan, aku harus bagaimana?" gumamnya. 

"Apakah kakakku akan menerimaku? Apakah aku akan menjadi orang muslim? Kenapa pertanyaan dan keraguan ini selalu muncul dibenakku?"

"Apakah karena ini, Mami dan Papi tak pernah memanjakan aku? Apa mereka memiliki firasat bahwa hari ini akan tiba?"

"Tuhan, kenapa Engkau ambil kedua orang tuaku. Jika memang aku harus mengetahui kenyataan ini, aku akan terima dengan ikhlas hati, asalkan aku tak kehilangan nyawa kedua orang tuaku." 

Air matanya telah membuat kantung matanya tebal. Matanya menjadi lelah dan akhirnya Qianzy tertidur di sofa kamarnya. Kembali bermimpi bertemu dengan dua pasangan muda berbalut kain putih yang menemuinya kala Qianzy kehilangan orang tua angkatnya. Kedua pasangan itu rupanya orang tua kandungnya yang telah tiada, mereka terlihat tersenyum melambaikan tangan kepada Qianzy. 

Pagi telah tiba, Mbak Lia membangunkan Qianzy dengan lembut. Membelai kepalanya, dan menunjukkan kasih sayang lebihnya kepada Qianzy. Selama ini, ia telah menganggap Qianzy seperti adiknya sendiri, begitu juga dengan Qianzy yang telah menganggap Mbak Lia seperti kakak kandungnya. 

"Non, bangun, yuk. Sudah hampir siang, kita akan berangkat ke kampung halaman orang tua kandung Nona, bukan?" bisiknya

"Kita?" 

Suara Qianz terdengar serak. Dia heran karena Mbak Lia mengatakan 'kita'. Ternyata, Mbak Lia tidak tega melepas Qianzy sendirian datang ke Kota itu. Mbak Lia juga membantu Qianzy mengemas barang-barangnya. 

Setelah bersiap, Qianzy berpamitan dengan semua orang yang ada di rumah. Bukan itu saja, Qianzy juga berpamitan dengan tetangga dekat yang selalu ada untuknya. 

"Non, dengarkan Bibik. Selamanya, Non tetap Nona Qianzy. Jadi, jangan pernah merasa Non ini tidak--" belum juga Bi Rahma mengungkapkan isi hatinya. Qianzy sudah memotongnya. 

"Bi Rahma, aku akan baik-baik saja, kok. Bibik tunggu aku kembali, ya. Suatu saat nanti, aku tetap boleh kan pulang ke rumah ini lagi?" tanya Qianzy masih dengan suara lemahnya. 

Bik Rahma tak kuasa menahan tangisannya. Ia tak rela melepas Qianzy yang sudah ia rawat dari lahir sampai 19 tahun pergi jauh darinya. Namun, di kampung sana, keluarga Qianzy sudah menunggunya, tak ada alasan lain untuk Qianzy tetap berlama-lama di rumah itu. 

  ~Selamat tinggal semua kenangan. Aku akan kembali dalam waktu yang tak bisa ditentukan. Mami, Papi, kusimpan semua kenangan bersama kalian di rumah itu dengan Bik Rahma. Terima kasih, selama 19 tahun ini, kalian berdua telah ikhlas merawatku dan tak pernah mengatakan kalau aku ini adalah anak angkat kalian. Aku akan selalu merindukan kalian, Mi, Pi. Tunggu aku pulang dan menabur bunga lagi ke peristirahatan kalian yang terakhir~ Qianzy. 

"Non, maaf Mbak Lia hanya bisa mengantarkan Non sampai di sini," ucap Mbak Lia terdengar dengan nada penyesalan. 

"*Take easy. Thank you for the 10 years that Mbak Lia spent with me. I will always miss you, Mbak Lia. see you next time. Bye*!" Qianzy pergi dengan senyuman. 

"Non,"

Qianzy menoleh. 

"Cepat pulang, ya, Non. Mbak Lia pasti akan merindukanmu. Andai saja,  Mbak Lia diizinkan untuk pergi bersama Non. Pasti akan tenang ini pikiran Mbak Lia," celetuk Mbak Lia dengan serai air mata. 

"Sudahlah, jangan menangis. Aku akan segera kembali dalam waktu yang cepat. Kita masih bisa komunikasi, bukan?" Qianzy mencoba tetap tabah meninggalkan semuanya yang sudah menjadi miliknya sejak kecil. 

Setelah perjalanan jauh, sampailah ia di sebuah pesantren yang cukup besar di salah satu Kota besar. Pengacara itu sudah menjalin komunikasi terlebih dahulu dengan kakaknya Qianzy yang bernama Abid.

Tiba Di Pesantren

"Apa ini pesantrennya? Luas banget ih," gumam Qianzy takjub.

Gerbang memang terbuka, tapi Qianzy tak melihat satupun santri yang berlalu lalang di sana. Qianzy mencoba menghubungi Bik Rahma, menanyakan kenapa kakaknya belum menyambut kedatangannya. Belum juga Qianzy memencet tombol panggil, seorang lelaki bertubuh tinggi, putih dan juga sangat mirip dengannya memanggil namanya. 

"Qianzy …?"  

Wajah mereka memang hampir mirip. Berbalut busana muslim, Abid tersenyum manis kepada Qianzy. Di sampingnya, berdirilah banyak santri putri maupun putra yang ikut andil menyambut kedatangan Qianzy. 

"Qianzy, itukah kamu? Ini Mas-mu, Qian," ucap Abid dengan nada yang membuat hati Qianzy bergetar. 

"Aku memiliki seorang kakak? Aku memiliki seorang kakak yang langsung mengulurkan tangan diwaktu pertama kali pertemuan?" hati Qianzy semakin bergejolak ketika Abid mengulurkan tangannya kepadanya. 

"Kak, em bukan. Mas Abid? Mas Abid, kakak kandungku?" suara Qianzy terdengar gemetar.

Abid mengangguk, Qianzy pun berlari memeluk Abid. Memang sangat aneh jika seusia itu mereka saling berpelukan di depan umum. Apalagi, selaku Kyai dan pemilik pesantren, itu tidak mungkin Abid lakukan. Namun, keduanya memiliki ikatan batin yang kuat, sehingga tidak ada timbulnya hawa ***** diantara mereka.

"Mas--"

"Stt, kita masuk dulu. Kamu juga pasti lelah, bukan? Ayo, kita masuk dan bercerita di dalam rumah," Abid begitu perhatian. 

"Tolong, bawa barang-barang Qianzy ke rumah, ya. Dan yang lainnya, lakukan aktivitas kalian. Assallamu'alaikum warahmatullahi wabbarokatuh," salam Abid. 

"Wa'alaikumsallam warahmatullahi wabbarokatuh."

Pertemuan antara Qianzy dan Abid memang masih baru. Namun, keduanya berusaha bisa menerima keadaan yang sangat tiba-tiba itu. Masih sangat membekas ingatan Abid saat menyambut lahirnya Qianzy 19 tahun lalu. 

Usianya masih 11 tahun, namun tak pernah melupakan bahwa dirinya memiliki seorang adik cantik yang diadopsi oleh sepasang suami istri berdarah Tionghoa. 

"Alhamdulillah, ini rumah Mas. Semoga kamu betah ya tinggal di sini," ucap Mas Abid menunjukkan rumah joglo yang sangat indah di pandangan mata Qianzy. 

"Wah, rumahnya unik banget, Mas. Asri juga suasananya. Bakal betah nih tinggal di sini!" seru Qianzy. 

Abid malah tertawa melihat jilbab Qianzy yang miring. Sangat jelas jika Qianzy belum terbiasa mengenakan jilbab. 

"Hey, kenapa Mas ngetawain aku? Hih, pasti jilbab ini, 'kan? Aaa aku belum terbiasa Mas, jangan ngetawain aku, dong!" kesal Qianzy dengan pipinya yang menggebu. Membuat Abid malah semakin keras menertawakan sang adik.

"Ihh … Mas jahat! Aku ngambek, aku nggak mau makan pokoknya, Mi!" keceplosan Qianzy memanggil sang Mami dalam emosinya. 

Abid langsung mengentikan tawanya. Kemudian meminta maaf karena sudah membuat Qianzy bersedih dan mengingat orang tuanya yang baru saja meninggal.

"Maafin Mas, ya … Mas sudah--" 

"Santai aja kali Mas. Aku baik-baik saja, kok. Tolong ajari aku dalam belajar agama, ya. Sejak kecil, aku belum pernah mengaji soalnya," potong Qianzy sebelum kakaknya merasa semakin bersalah.

Abid telah menyiapkan kamar yang rapi untuk Qianzy tinggali. Membiarkan Qianzy beristirahat dan menikmati suasana di pedesaan yang baru ia tinggali. Sementara Abid meminta izin ke masjid untuk salat jamaah, karena waktu sudah memasuki waktu dzuhur.

Qiazny sendiri sedang sibuk di kamarnya. Ia terlupa saat itu malah membawa dupa dan menyalakannya untuk mendoakan orang tua angkatnya. 

"Astaga, aku ini kenapa? Bisa-bisanya membawa dupa dan persembahan lainnya ke mari. Jika Mas Abid sampai tau--"

"Tapi, memang saat ini … aku belum menjadi seorang muslimah. Tak apa mungkin kali ya kalau aku doakan Mami dan Papi dengan cara seperti ini?" gumamnya.

Ketika Qianzy melakukan doa, ada seorang perempuan yang mencarinya. Dia adalah seorang ustadzah yang dimintai tolong Abid untuk menemani Qianzy sebentar. Namanya adalah Rani Astuti, atau sering dipanggil dengan sebutan Ustadzah Rani. Usianya sudah terbilang dewasa, 26 tahun dan belum menikah karena masih betah berbagi serta mencari ilmu di pesantren itu. 

"Assalamu'alaikum," salamnya. 

Sudah tiga kali ustadzah Rani memberi salam, namun tak kunjung dijawab oleh Qianzy. Akhirnya, ustadzah Rani memberanikan diri masuk dan terkejut melihat Qianzy sedang sembahyang. 

Penghormatan leluhur yang sering disebut dengan sembahyang ternyata memiliki makna tersendiri.

Mengutip buku “Hari-Hari Raya Tionghoa” yang ditulis oleh Marcus AS terbitan Suara Harapan Bangsa, orang Tionghoa memiliki sebuah pepatah yang berbunyi sebagai berikut:

“Jika kita minum air, maka kita harus selalu ingat kepada sumbernya,”

Berdasarkan pepatah tersebut, jika menyukai kehidupan manusia maka kehidupan yang kini dijalani tidak akan ada jika tidak berasal dari leluhur.

Oleh karena itu, manusia harus tetap mengingat dan bersyukur akan kehidupan yang dijalani dengan menghormati leluhur.

Leluhur tidak melulu tentang kakek dan nenek moyang. Leluhur dalam kepercayaan orang Tionghoa mencakup keturunan yang lahir sebelum orang tersebut, termasuk ayah dan ibu. Akan tetapi, sembahyang biasa dilakukan untuk menghormati mereka yang sudah meninggal.

Umat ​​Konghucu dan Buddha tidak percaya bahwa ada kehidupan lain setelah kematian. Inilah yang juga menjadi alasan mengapa adanya sembahyang leluhur. 

Ustadzah Rani tetap menunggu sampai Qianzy selesai melakukan sembahyang. Selesai sembahyang, Qianzy yang sedari tadi sudah tahu keberadaan Ustadzah Rani pun menyapanya. 

"Maaf, kamu siapa, ya?" tanya Qianzy memakai kembali jilbabnya sebagai bentuk penghormatan. 

"MasyaAllah, adiknya Ustadz ternyata sangat mirip dengan beliau. Tapi sayang, mereka memiliki keyakinan yang berbeda," batin Ustadzah Rani. 

"Hey, kakak ini siapa?" tanya Qianzy kembali, karena Ustadzah Rani terlihat tidak fokus. 

Ustadzah Rani memperkenalkan diri. Ia juga mengatakan bahwa dirinya diutus oleh Abid untuk membawanya keliling memperkenalkan diri kepada santriwati lainnya. 

"Um, sebenarnya aku ini kan agnostik. Aku percaya adanya Tuhan, tapi aku tidak menganut kepercayaan manapun," jelas Qianzy, takut Ustadzah Rani akan salah paham. 

"Kepercayaan orang ya hanya orang itu yang memutuskan. Jika tidak lelah, saya ingin mengajak kamu jalan-jalan sebentar di pesantren," tutur Ustadzah Rani. 

"Boleh, Kak. Gue, eh aku tak siap-siap dulu. Kalau boleh tau, kamar mandinya di mana, ya?" 

Ustadzah Rani tertawa dengan bahasa yang digunakan Qianzy. Ia juga belum tahu betul dimana letak kamar mandi di rumah itu, karena tidak pernah masuk lebih dalam. Ustadzah Rani membantu Qianzy menemukan kamar mandi dan menunggunya di ruang tamu. 

Pesantren itu bernama Pondok Pesantren Mamba'ul Hissan. Terpanjang jelas di depan gapura masuk. Memang tak besar, namun cukup banyak yang nyantri di sana.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!