"Ya ampuun, gue gak ngerti lagi deh!" Aku kembali ke kubikel dengan emosi tingkat dewa. Ingin rasanya kubakar tumpukan kertas print - print-nan desain yang bolak balik direvisi ini.
"Ada apa lagi sih?" tanya Indra sambil melirik dari balik dinding kubikel yang pendek, yang pernah kuhitung tingginya enggak sampai tiga jengkal telapak tanganku. Eh tapi kubikel ini berfungsi juga untuk menyembunyikan makanan yang selalu tersaji di meja kerjanya Indra, yang kerap menjadi penyelamat saat kelaparan ketika tim kita lembur.
"Kenapa sih, kemaren waktu nyuruh gue revisi enggak dijelasin mau konsepnya seperti apa dan di catet sama dia, terus diinget sama dia sendiri? Ini mau berapa kali revisi? Udah tujuh kali revisi, terus tugas gue yang lain terbengkalai gitu!" Aku ngomel sambil menyalakan komputer kantor.
"Ssstt sabar Chel. Namanya juga atasan," kata Indra sambil cengengesan.
"Gimana mau sabar, belum lagi mulutnya kalau ngomong setajam silet, kayak infotaiment gosipin artis terus artisnya enggak terima, jadi artisnya kesel." Mohon maaf, aku kalau kesel larinya kemana - mana, termasuk ke infotaiment yang gak ada hubungannya.
"Dulu waktu masih di pegang sama Mas Ricky enggak gini - gini amat." Aku ngedumel sambil mulai mengganti desain yang tadi di revisi sama si bos, Mas Malik.
Mas Malik ini berjiwa seniman, tapi gila kerja. Yee gimana gak gila kerja, jam delapan pagi sudah duduk tenang di kursi kebangsaannya. Anak buahnya malah datengnya jam sembilan dong. Tapi tim desain juga rajin pulang malam alias lembur dong. Termasuk si Tuan Muda ini yang hobinya lembur, keseringan lemburnya sampai tengah malam pula.
Tapi memang harus kuakui, Mas Malik ini memang pintar. Hobinya kuliah. Lah kita kuliah sampai S1 aja kadang dah senang begitu lulus. Kalau mau naik jabatan baru deh mikir buat S2. Nah si Tuan Muda Malik ini, karena otaknya encer, S2 nya ngambil dua jurusan dong, desain sama management. Dari kampus mana aku enggak tahu, tapi keduanya dia ngambil di Jerman. Aku sih enggak tertarikjuga kepo sama kampusnya si Mas Malik, percuma kalau kerjaan aku harus di revisi mulu. Eh tapi ngapain ya, ngambil dua jurusan master? Kenapa gak sekalian S3 gitu? Yiiihaaa jadi kepo juga kan.
"Ya udah, elo minta ganti divisi aja sama Mas Ricky. Biar enggak kesel terus sama bos." Indra kasih ide sambil tetap menatap layar komputernya.
"Boleh juga tuh. Nanti deh gue minta permohonan resmi via email ke Mas Ricky," jawabku sambil membuat desain sesuai yang dimauin sama Mas Malik.
"Lama-lama gue bisa nangis karena panik terjebak sama Mas Malik!"
"Iya sih, dari semua anak buah Mas Malik, kayaknya memang elo yang paling sering kena," kata Indra sambil tertawa. Menertawakan kesialan aku, lebih tepatnya.
Aku menatap Indra sinis. "Makasih ya. Sebelum ngelamar kerja disini gue sempat nanya, dan elo bilang kerja di sini enak. Kecewa gue sama teman kayak elo."
Indra tertawa lagi. "Yeee, kan lo nanya tentang gaji dan atasan. Kalau gaji memang enak, kan? Terus waktu itu atasan kita masih Mas Ricky."
Kemudian dengan berbisik Indra menambahkan, "Lagian mana gue tahu ternyata tiga bulan setelah elo masuk bosnya diganti sama Mas Malik."
"Lama - lama gue capek juga, hasil karya gue kayaknya enggak pernah sempurna dimata Tuan Muda Malik. Karya gue yang enggak perlu di revisi bisa dihitung loh," kataku sambil memijit jidat jenongku biar sedikit rileks.
Saat sedang ngutak ngatik desain di komputer sambil ngemil kacang sukro, aku melihat pintu ruangan Mas Malik dibuka, kemudian dia berjalan ke kubikelku sambil membawa tas. Ooh Tuhan, pasti tugasku ditambahin lagi deh.
"Rachel," panggil Tuan Muda Malik ketika dia sudah berdiri di depan kubikelku, sambil menatap aku yang ngerjain tugasnya sambil ngunyah kacang sukro.
"Kamu ikut saya, kita rapat dengan klien dulu. Nanti proyek yang kita rapatkan ini kamu yang pegang."
"Mas, tadi katanya revisi harus masuk sore ini." Aku melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 11.50. Menit - menit terakhir menjelang makan siang. Yang direvisi pun lumayan bikin lu manyun sob. 14 halaman bo. Keren kan, bos gue? Keren lah, bikin emosi gue gitu.
"Astaga! Dari tadi belum selesai?" Dia bertanya dengan nada menyalahkan aku dan intonasi suara yang tinggi. Ampuuuun Ferguso. Aku duduk disini setelah dari ruangan dia aja baru sepuluh menit.
"Mas, komputer saya saja baru nyala setelah ditinggal keruangan Mas Malik selama dua jam. Coba pegang Mas komputer saya, belum panas. Boro - boro panas, anget juga belum." Suaraku sedikit meninggi dan terdengar emosi, ditambah tatapan sinisku.
Sopan santun yang diajarkan orang tuaku dan guru TK-ku lenyap perlahan-lahan setelah Tuan Muda Malik menjadi bosku. Awal aku masih sopan, sopan banget malah. Tapi lama - lama Tuan Muda ini semakin ngeselin.
Samar - samar aku mendengar Indra terbatuk. Aku yakin niat dia sebenarnya mentertawakanku. Tepatnya mentertawakan kesialanku hari ini.
"Ya bawa saja laptop kantor, kamu pindahin yang sedang kamu kerjakan via flashdisk. Kamu bisa kerjakan di jalan," ujar Mas Malik dengan tenang dan wajah datar tanpa dosa.
"Hah? Saya harus mendesain di jalan gitu? Apa kabar kalau goyang goyang seperti kalau ada polisi tidur, Mas? Garis lurus yang saya inginkan bisa jadi liukan kayak Kelok Sembilan, di Sumatra Barat." Walaupun mulutku membantah, tanganku mulai bersiap menuruti perintah si bos. Kumasukkan file ke flashdisk, mematikan komputer kantor, dan menyiapkan laptop.
"Kita sebentar doang kok. Paling jam empat sudah sampai kantor lagi," jawab Mas Malik sambil melihat ponsel dan mengetik sesuatu.
"Mas, bukannya tadi Mas Malik bilang kalau desain ini harus dikirim lewat email paling lambat jam tiga? Mas Ricky dan Bang Ben mau periksa sebelum dipresentasikan ke klien besok."
"Oh iya ya. Saya tadi bilang gitu," kata Mas Malik dengan nada nyebelin, masih fokus pada ponsel android-nya yang rasanya ingin kubuang keluar jendela. "It's okay, santai saja. Sebenarnya Mas Ricky dan Bang Ben mintanya besok kok desain kamu ditangannya, bukan sore ini."
Demi upin ipin yang botak, tolong sihir manusia yang ada di depan mataku ini, pleaseeee.
Indra yang masih mendengar obrolan kami sampai membekap mulutnya.
"Saya tunggu di teras ya," katanya sambil balik badan meninggalkan kubikelku. Saat itu juga tawa Indra pecah. "Hahahaha kacau, tampang elo sudah kayak mau noyor kepala dia!"
"Gue mau ketemu Mas Ricky! Mau minta pindah divisi." seruku dengan suara lantang, kemudian menyusul si bos turun tangga.
Mas Malik berdiri di teras di dekat air mancur, masih belum lepas dari ponsel android-nya yang selalu ia tatap mesra.
"Loh, kenapa bawa laptop? Kamu cuma nemenin saya saja kok," ujar Mas Malik.
Dih! Tadi kan dia yang nyuruh.
"Siapa tahu nanti saya sempat merevisi desain yang harus segera saya setor," kataku dengan nada judes.
"Kan besok diserahin ke Mas Ricky dan Bang Ben," kata Mas Malik seakan mengingatkan.
Ya Tuhan, ampuni dosa hamba dimasa lalu. Kenapa begini amat sih dapet bos.
"Biar cepat selesai aja sih Mas." Aku menjawab dengan sedikit nyinyir.
"Enggak sia - sia Mas Ricky meng-hire anak baru lulus kuliah. Masih semangat empat lima." Dia berkata seperti itu sambil menatap wajahku.
"Maaf Mas, saya enggak baru lulus. Sebelum kerja disini saya sudah kerja ditempat lain selama tiga tahun. Sebelumnya lagi juga sudah kerja selama dua tahun." Umurku saja saat ini sudah 27 tahun. Apa karena mukaku yang imut ini, jadi kesannya aku terlihat masih baru lulus?
Kami pun jalan menuju mobil BMW biru metalik miliknya yang terparkir cantik di garasi kantor.
Setelah mobil berjalan dan keluar komplek Mas Malik membuka percakapan. "Kamu kemarin kenapa enggak masuk?"
"Sakit Mas," jawabku singkat. Sebenarnya kemarin aku menemani dua sahabat kuliahku yang sedang liburan di Jakarta, jalan - jalan. Yap, jawaban aku bahong.
"Sudah ke dokter? Atau cek gitu ke poli di rumah sakit?" tanyanya dengan nada menyelidik.
"Sudah kok Mas." Aku bohong lagi.
"Oh, dokternya di Pondok Indah Mall ya?" Dia tersenyum sambil melirikku.
Oh my god. Kemarin tandanya dia melihatku bersama kedua temanku. Enggak tahu deh apa yang akan terjadi. Aku sudah malu, ketahuan kalau bohong.
"Kalau mau santai, kan bisa weekend, kamunya juga akan tenang jalan - jalannya. By the way teman - teman kamu cantik ya. Saya suka dengan teman kamu yang matanya berwarna hazel."
Yiiihaaaa itu Samantha. Matanya memang berwarna hazel karena dia warga negara Belanda.
***
.
.
.
Bersambung
Pagi - pagi aku datang ke kantor untuk menyempurnakan desain yang harus aku laporkan ke Mas Malik, sebelum di serahkan ke Mas Ricky dan Bang Ben.
Jam sepuluhan ketika semua sudah rapi, aku setor ke Tuan Muda di ruangannya. Senyumnya mengembang bagaikan bunga mawar, begitu melihat hasilnya dari print - print-nan yang aku serahkan. Kami langsung diskusi di depan komputer sambil membuka aplikasi desain yang telah sempurna di mata Mas Malik.
Keluar dari ruang Mas Malik, aku mendapati Indra dan Kak Bertha yang sedang ngobrol di depan kubikel Kak Bertha.
Mas Malik pun ikut keluar. "Saya meeting dulu ya sama Bang Ben," katanya seakan memberikan laporan ke kita semua.
"Mas, nanti sore jadikan?" tanya Mas Kelana dari tempat duduknya, yang dijawab dengan jempol sama si bos.
"Wuiih keren! Elo ketahuan bolos dan jalan di mol?" Kak Bertha tertawa cekikikan sambil telapak tangannya menutup mulutnya. Tapi tetap saja, suara tawanya terdengar juga, ketika aku baru duduk setelah Mas Malik pergi dan enggak kelihatan jejaknya lagi.
Di sebelah ruangan Mas Malik sebenarnya ada ruangan kaca yang dilengkapi dengan karpet dan sofa untuk duduk serta televisi dengan fasilitas home theatre dan PS4 buat kita santai. Ruangan ini juga sebenarnya bisa kita gunakan untuk ngegosip dengan aman.
Nah, kubikel - kubikel kami berada di depan ruangan Mas Malik dan ruang santai itu. Enam kubikel saling berhadapan dengan jarak sekitar satu meter. Kata Mas Ricky waktu kita nanya kenapa enggak nempel saja dengan kubikel depannya, jawabannya biar butuh perjuangan kalau mau lirik - lirikkan. Iseng ya?
Kubikel Kak Bertha sejajar dengan aku. Sedangkan Indra di depanku, sampingnya Mas Kelana.
Sambil menunggu pesanan makan siang yang kami pesan lewat aplikasi online, Indra dan Kak Bertha membicarakan kejadian nahas yang kualami kemarin.
"Gue kalau jadi elo sih bakal langsung operasi plastik." Indra ngomong begitu sambil tertawa. Puas bener dia mentertawakan aku.
"Lah, elo pikir gue enggak stres? Ini aja gue masih bingung, kenapa gue masih bisa berdiri. Gue siap pingsan kemarin." Aku pun ikut tertawa.
OB datang membawakan pesanan makan siang kami dengan piring dan sendok - garpu. Kami pun langsung mengambilnya sesuai pesanan yang tadi sudah dicatat sama Mas Kelana dan duduk di kubikel masing - masing.
"Terus setelah dia ngomong gitu, gimana?" tanya Mas Kelana sambil membuka mika dan memindahkan lauknya di piring.
"Ya gue diam lah, mati kutu gue, nggak berani ngomong apa-apa," kataku.
"Terus dia nggak nyindir - nyindir lagi? Kayaknya enggak mungkin secara dia jago kalau nyinyir ke elo," tanya Kak Bertha dengan nada penasaran.
"Dia nyindir gue terus dong sepanjang perjalanan," kataku kesel.
"Sumpah deh, gue sampai bingung. Tuan Muda Malik masa ngomong, 'Sepi nih, kok kamu diam saja? Apa kamu masih sakit? Mau diantar sekalian nggak nih ke toko sepatu?' Wah, gue sampai lemes seketika!"
"Dan perlu kalian tahu, ini sepatu yang gue beli di PIM kemaren waktu bolos," kataku yang kemudian berdiri dan berjalan menuju perbatasan kubikel di depan mejaku kemudian mengangkat kaki memamerkan sepatu Nike yang aku pakai. Aku beli sepatu ini karena baru lihat iklannya minggu lalu.
Tiga senior itu tertawa terbahak-bahak disela - sela makan siang kami. Kami memang terbiasa saling curhat tentang kegilaan dan keajaiban si Tuan Muda itu.
"Lo jadi cuti panjang Kak?" tanyaku ke Kak Bertha ketika sudah mendaratkan pantat di bangku kerjaku.
Kak Bertha, seorang ibu dengan dua anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Usianya sudah mendekati kepala empat.
"Rencananya bulan depan. Belum ngajuin ke Mas Malik dan HRD," kata Kak Bertha sambil menyendok tongseng.
"Kalau elo Mas?" tanyaku ke Mas Kelana.
" Belum tahu gue. Bini gue belum jelas juga kapan bisa ambil cutinya. Susah nih, mau bulan madu ke seribu kalinya aja ribet banget."
"Halah cuti buat bulan madu. Cowok kayak elo mah, tiap hari bulan madu Mas," sahut Indra.
Mas Kelana ini sama seperti Mas Malik, lulusan desain komunikasi visual di Jerman, dia kenal Mas Malik waktu kuliah disana. Mereka hanya beda dua tahun. Mas Malik seniornya Mas Kelana.
Mas Kelana tuh kayak anak kesayangan Mas Malik. Idenya kebanyakan selalu di setujui. Beda banget sama aku. Kayak anak tiri.
Tapi tetep sih, Mas Kelana kadang suka gemes sama kemauan Mas Malik. Enggak jarang, Mas Kelana yang sudah lihai dalam membuat konsep desain web harus lembur untuk menyempurnakan karyanya. Yaaah, gitu deh. Manusia enggak ada yang pernah puas kan?
"Yaah Mas, enggak usah cuti kalau cuma buat bulan madu ke seribu kalinya. Kayak dikamar rumah enggak pernah ada kejadiannya aja," ucapku menimpali perkataan Indra.
"Ini nih junior kurang ajar!" kata Mas Kelana sambil menunjukkan telunjuk ke arahku.
"Chel, elo jangan kebanyakan lembur juga kali. Tadi malem pulang jam berapa lo?" tanya Indra.
"Gue pulang jam sepuluh teng. Selesai gak selesai gue pulang. Makanya tadi pagi gue lanjutin lagi revisiannya."
"Kalau terus - terusan kayak gitu, kapan elo punya pacar Chel?" tanya Mas Kelana. "Padahal bulan madu tuh enak banget loh!" katanya menyambung kalimatnya tadi. Dan langsung disambut dengan sambitan pulpen dari Kak Bertha.
"Yaelah Mas Kel, harus banget ya gue selalu diingatkan betapa naasnya nasib gue saat ini karena belum bisa menikmati rasanya bulan madu?"jawabku kesal.
"Iya. Jangan sampai elo mencontoh Indra yang akhirnya untuk dapat pasangan harus dicomblangin orang tuanya. Itu enggak asyik. Kurang deg - degannya," kata Kak Bertha. Kami pun tertawa, kecuali Indra si korban bully kali ini.
"Dih, biarpun di jodohin, gue dapetin Yaya dengan kecantikan yang maha dahsyat," balas Indra dengan tampang sombongnya.
"Ooh nama panggilannya Yaya? Terus nama sebenarnya Raisa Andriana ya? Emang elo Hamish Daud ya? Berasa dapetin penyanyi deh," timpal Mas Kelana. Lagi - lagi kami mentertawakan Indra.
"Yaelah, gini banget sih nasib gue punya temen kayak elo - elo semua ini? Resek!" kata Indra manyun, menunjukkan kekalahan dalam beragumentasi.
"Terus kapan rencana pernikahannya Ndra?" tanyaku.
"Hehehe tiga bulan lagi. Nanti kalian minimal kasih angpaunya gopek ya!" Indra tersenyum penuh harap.
"Enak aja! Buat apaan elo dapet angpau banyak - banyak dari kita - kita?" tanyaku dengan intonasi suara yang meninggi.
"Astaga Rachel, ini temen elo yang tiap hari ketemu elo, yang mau nikah. Jangan tega gitu dong. Sekali seumur hidup bo!" kata Indra enggak mau kalah.
"Lagian nih ya, kalau Yaya tahu pas buka amplop - amplop, kan gue bisa dengan bangga bilang kalau itu dari sahabat - sahabat gue di kantor. Harga diri kalian tuh dah kayak dilangit ketujuh di mata Yaya," sambung Indra.
"Yaa Ndra, gue gak janji ya. Perlengkapan make up gue kalau pas tiga bulan lagi gak ada yang perlu gue beli lagi mungkin bisa. Tapi kalau pas lipstik atau eyeliner gue dah sekarat, mau enggak mau, suka enggak suka ya gue harus mengutamakan itu dulu dibandingin angpau buat elo," kataku yang disambut tertawa ngakak Mas Kelana dan Kak Bertha.
"Kalau enggak, di cicil aja kali Chel, angpau elo buat Indra tiap bulan," usul Kak Bertha.
"Wah benar itu Chel," sahut Mas Kelana sambil tangannya berjibaku dengan bebek goreng pesanannya.
"Mimpi apa sih gue, punya temen hobinya pada suka bully gue. Sampai mau nikah pun gue masih di bully, padahal dalam khayalan gue, bakalan di manja gitu sama elo - elo semua," kata Indra sambil bersungut - sungut.
"Hahaha segitu tragisnya ya nasib elo Ndra," kata Mas Kelana. Kami bertiga pun kembali tertawa terbahak - bahak.
Suara sepatu terdengar samar - samar mendekat. Siapa lagi kalau bukan Mas Malik.
"Cepet kok Mas?" tanya Mas Kelana. Hanya dia seorang yang bisa bertanya dengan kata - kata yang enggak sopan ke si bos.
"Eh, lagi pada makan siang di sini?" tanyanya sambil bersandar di dinding kubikelku. "Iya. Cuma diskusi sedikit. Bang Ben juga pas harus keluar," kata Tuan Muda Malik lagi menjawab pertanyaan dari Mas Kelana.
***
.
.
.
Bersambung
Sore ini tim desain rapat dengan Bang Ben. Nama lengkap Bang Ben tuh Benyamin Arief Einhard, jabatannya Direktur Pelaksana.
Tampangnya? Wooow guanteng pakai banget. Dia blasteran Jawa Jerman. Iya Jawa Jerman, bukan Indonesia Jerman, karena kami sering dengar dia ngomong pakai bahasa Jawa ketika dia sedang telepon.
Coba deh bayangin, biasanya kan kita dengar orang ngomong pakai bahasa Inggris dengan logat Jawa medok, nah ini kebalikannya. Ngomong bahasa Jawa dengan logat bule gitu. Jarang - jarang kan yang kayak gitu?
Bang Ben ini orangnya tegas dan saklek. Kita enggak bisa main - main kalau soal kerjaan. Tapi karena sakleknya itu kita jadi males ngobrol, bahkan kalau diajak ngobrol bawaannya dah ketakutan duluan. So, enggak heran kalau sampai sekarang dia belum nikah, padahal umurnya sudah banyak. Maksudnya sudah 36 tahun, banyak kan?
Anyway, ganteng kalau saklek enggak asyik kan ya? Okay, saatnya kita rapat.
"Kenapa tampilan desainnya seperti ini?" tanya Bang Ben sambil menatap layar proyektor. "Apa istimewanya tampilan web ini dengan milik perusahaan lain? Kurang keren!" Suara Bang Ben keluar dengan penekanan intonasi.
Kami langsung menatap layar proyektor. Bingung mau ngomong apa. Kami semua sudah hafal intonasi mengerikan itu. Ruang rapat hening. Mas Malik menarik napas dalam. Saat ini kami sedang membahas tampilan desain baru untuk web Frozdav milik Pak David yang berupa aneka makanan siap saji dalam bentuk frozen.
"Yang gue tahu, elo kan selalu buat desain yang keren, yang tak terduga Lik. Kenapa cuma gini yang mau kita jual ke klien?" Pertanyaan Bang Ben yang ditujukan ke Mas Malik terdengar sinis.
Mendengar kalimat yang diucapkan Bang Ben membuat nyaliku untuk menatapnya semakin ciut. Aku menunduk sambil meremas ujung blus. Kulihat tangan Kak Bertha sedikit gemetar, sedangkan Mas Kelana terlihat memperbaiki posisi duduknya.
"Kami tidak merubah secara drastis tampilan desainnya, karena kami fikir itu bisa mengecoh pelanggan lama yang sudah terbiasa dengan desain lama, jadi ada beberapa yang kami pertahankan."
Terkadang, Mas Malik adalah bos yang nyebelin. Tapi dia akan selalu di depan dan membela kami, anak buahnya.
"Tapi elo liat dong, desainnya dimata gue ini biasa banget. Apa istimewanya? Kurang greget," kata Bang Ben sambil menunjuk proyektor dengan laser pointer.
"Yang elo lihat cuma bagian depannya saja, lihat dulu dong bagian dalamnya secara keseluruhan, jangan cuma sebagian. Kita garap ini kan secara keseluruhan." Mas Malik menyanggah omongan Bang Ben dengan gayanya yang tenang.
"Gue sudah illfeel. Bagusin dulu, baru nanti gue cek semuanya." Bang Ben terdengar semakin emosi karena suaranya semakin kencang. "Yang jadi leader proyek ini siapa?" Mata Bang Ben menatap kami satu persatu.
"Nggak penting siapa, yang pasti gue sudah review semua bagiannya,"jawab Mas Malik.
Mas Kelana terlihat ingin bicara, tetapi dicegah oleh Mas Malik yang duduk disampingnya dengan tepukan di punggung tangannya.
"Lik, kalau anak buah elo enggak boleh ngomong, ngapain dia ada di ruangan ini?" tanya Bang Ben yang masih dengan nada emosi.
"Lah, kan elo yang minta meeting full team!" Jawaban Mas Malik membuatku gemetaran. Kebayang dikepala kalau dua atasanku berantem.
Kak Bertha menggenggam tanganku yang masih meremas blus diatas pahaku. Kami saling lirik tanpa bisa berkata apa - apa. Kami sudah curiga kalau Mas Malik memiliki hubungan kekerabatan dengan para petinggi di perusahaan ini. Kalau enggak, mana mungkin dia berani membantah Bang Ben.
Aku enggak bisa bayangin kalau yang bicara begitu Mas Kelana, bisa - bisa ketika baru buka mulut sudah ada sendal jepit swallow yang mendarat di pipi mulusnya.
Bang Ben membuang napas dengan kasar melalui mulutnya, ciri khasnya ketika dia sedang kesal tingkat dewa. "Gue mau ini dibenerin, lusa harus sudah sempurna!"
Bang Ben pun pergi meninggalkan ruang rapat. Ketika pintu ditutup, kami semua akhirnya bisa bernapas lega, kecuali Mas Malik yang cuek saja. Tapi kami tetap duduk diam di tempat masing - masing, menunggu pergerakan dari Mas Malik. Kami semua hanya saling tatap bertukar pandang.
Kalau Bang Ben minta di revisi, tandanya akan ada lembur. Ini adalah proyek yang ada sejak perusahaan Mas Ricky masih acak - acakan, dan web ini rutin di upgrade tiap tahunnya.
"Bertha, elo yang benar dong kalau kerja." Mas Malik mulai mentransfer kemarahannya.
"Iya, maaf," jawab Kak Bertha pelan sambil memainkan jari jemarinya diatas meja.
"Iya. Warnanya ada yang enggak matching, dan ini ada perbedaan jenis huruf di bagian penjualan ikan. Untung nggak kelihatan." Mas Malik duduk bersandar di kursi sekarang.
Aku, Kak Bertha, Mas Kelana, dan Indra melongo melihat Mas Malik membolak balik halaman web yang di presentasikan dengan santai. Meskipun dia melakukannya di laptop, kami bisa melihat apa yang dia lihat dari layar proyektor yang masih tersambung di laptop.
Tadinya, kupikir Mas Malik akan berdiri, bicara dengan suara keras dengan kalimat - kalimat nyinyirnya. Lalu dia akan meminta kami untuk membuat ulang desain yang kami presentasikan.
Tapi ternyata... Mas Malik cuma bicara soal jenis huruf yang beda sama beda warna yang sangat tipis.
"Jenis huruf dan perbedaan warna yang tipis Lik?" Kak Bertha bertanya sambil memasang tampang paling bloon sedunia.
"Iya, lain kali dicek berulang - ulang dulu." Mas Malik menutup aplikasi di laptop dan mematikannya.
"Ya sudah, biar gue saja yang sempurnain sesuai keinginan Bang Ben," kata Mas Kelana.
"Nggak usah, Lan. Elo janji pulang cepat kan sama bini elo? Elo balik saja," kata Mas Malik datar. "Elo juga Bertha, balik saja, bukannya besok anak elo ada ulangan?Elo harus dampingin dia belajar dan cek tugas sekolahnya," sambungnya dengan suara yang sedikit perhatian. "Oh ya, elo Ndra, besok gue minta elo temenin gue meeting diluar, jadi elo juga langsung balik saja. Gue enggak mau elo alasan kesiangan gara - gara ngerjain proyek ini."
Aku sedang membereskan perlengkapan lenong rapatku di meja ketika melihat Mas Malik berdiri. "Rachel, kamu saja yang ngerjain," perintah Mas Malik.
"What?!" Aku bengong sambil menatap Mas Malik.
Jam dinding ruang rapat menunjukkan pukul enam malam dan baru ada perintah. "Why? Enggak mau lembur? Biasanya juga suka lemburkan? Mau ikutan pulang seperti lainnya?" tanyanya sambil jalan menuju pintu.
Kami saling tatap mendengar ucapan Mas Malik yang kemudian dia keluar dari ruang rapat meninggalkan kami.
"Gue nggak nyangka kita bakal dibelain Mas Malik sampai kayak gitu." Mas Kelana bicara dengan ekspresi wajah yang serius.
"Sama, kirain tadi gue bakalan fighting sendiri. Padahal desain web itu ide gue. Gue jadi nggak enak," kata Kak Bertha sambil menatap meja dengan pandangan kosong.
"Gue sebel! Elo bertiga enak disuruh pulang. Nah gue?!" ucapku dengan nada kesal, kemudian ikutan Mas Malik, meninggalkan ruang rapat.
Ampuuuun aku laper.
***
.
.
.
.
.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!