Seluruh siswa dan siswi yang mengikuti pengetesan sekolah tentara berkumpul. Adel Munaya ikut berbaris, pada barisan yang merupakan laki-laki semua. Karena itu sekolah tentara, maka tidak ada perempuan.
"Adel Munaya!" panggil instruktur.
"Eh nama kamu dipanggil." Seorang pria menepuk pundak Adel.
Adel maju ke depan kelas, instruktur memberi arahan untuk duduk. Alasannya singkat, ingin bertanya tentang tekad Adel yang kuat.
"Adel, apa alasan kamu masuk ke sini? Bukankah di sini khusus untuk orang yang kuat." ucap instruktur.
"Sudah aku katakan sejak awal, saat mengambil formulir pendaftaran. Instruktur harus menguji coba seseorang, baru tahu kemampuan yang dimilikinya. Alasan aku masuk sekolah ini, sama saja seperti yang lain ingin menjadi tentara." tutur Adel, dengan panjang dan lebar.
"Baiklah, kamu akan mengikuti tes kesehatan fisik setelah ini." ujarnya.
"Baik instruktur." jawab Adel.
Adel hendak kembali ke tempat duduknya, seseorang menjulurkan kaki ke arah Adel. Gadis itu tersenyum, lalu menendang kaki pria itu hingga kesakitan.
"Aduh sakit." Mengangkat kakinya sebelah, sambil memegangnya.
"Kenapa kamu Ashan?" tanya temannya.
"Aku tidak apa-apa." jawab Ashan.
"Awas kamu, akan aku beri pelajaran. Berani-beraninya, melawan sang Casanova." batin Ashan.
Pengetesan pertama telah selesai, kini giliran pengetesan kesehatan fisik. Dokter memeriksa tubuh mereka satu persatu, berdasarkan nomor antrian. Adel tetap santai, menunggu giliran namanya dipanggil.
Ashan masuk ke ruangan pemeriksaan, dia ternyata kondisi tubuhnya baik. Sehingga Ashan berkemungkinan lulus, dan masuk ke sekolah tentara.
Setelah semuanya selesai, instruktur menyuruh mereka berkumpul di lapangan.
"Aku beritahukan pada kalian, bahwa semuanya lulus untuk sekolah tentara. Kecuali dua orang, dengan kondisi kesehatan yang tidak bagus." ujar instruktur.
"Terimakasih instruktur." Semuanya menjawab dengan gembira.
"Nama kamu siapa?" tanya seorang pria, bernama Anar.
"Nama aku Adel." jawabnya.
"Perkenalkan nama aku Anar." ujarnya.
"Iya, salam kenal." jawab Adel ramah.
"Apa kamu tahu, semua yang lulus harus tinggal di asrama militer ini." ucap Anar, memberikan informasi.
"Iya Anar, aku sudah mengetahuinya." jawab Adel.
"Bahkan makan juga diberi gratis." ujar Anar.
"Aku paham hhe." jawab Adel dengan terkekeh.
Mereka semua melangkahkan kaki masing-masing, memasuki asrama yang telah ditentukan instruktur. Hanya Adel yang tinggal sendiri, di dalam kamarnya.
"Ayah, aku pasti akan mewujudkan impianmu. Aku tahu kamu sayang padaku, meski waktu kecil kamu selalu memukul tubuhku. Sekarang tubuhku jauh lebih kebal, bila terkena pukulan." Adel berdiri di depan cermin.
Adel adalah anak pertama dikeluarganya. Ibunya menderita kanker rahim, setelah adik perempuannya lahir ke dunia. Harapan ayahnya pupus, untuk memiliki seorang penerus menjadi tentara. Demi mewujudkan mimpi sang ayah, Adel merelakan dirinya menjadi tentara wanita.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu, Adel membukanya. Ternyata dia adalah si Ashan, sambil menebar senyuman jail.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Adel.
"Aku mau numpang mandi, kamarku tidak ada air." jawab Ashan.
Adel mendorong tubuh Ashan keluar dari kamar, secara paksa. Ashan terus menahan kakinya, agar bertumpu pada lantai.
"Ternyata, kamu tidak tahu diri iya." Adel mengejeknya.
"Aku tidak peduli." jawab Ashan.
Dia segera masuk ke kamar, lalu menutup pintu kamar mandi. Adel mengepalkan kedua tangannya, tidak menyangka bahwa kamar mereka akan berdekatan.
"Ini ujian Adel, kamu harus menghadapi dia." monolognya.
Ashan sudah selesai mandi, dia tersenyum mengejek ke arah Adel. Ashan melemparkan handuknya, lalu Adel menangkapnya.
"Kamu kurang ajar sekali iya." ujar Adel.
"Namanya juga Casanova, tidak segan pada perempuan." jawab Ashan, dengan santai.
Adel menarik paksa tangan Ashan, supaya dia cepat keluar dari kamarnya. Tidak lupa melemparkan handuknya kembali, sebelum menutup pintu dengan cemberut.
"Bisa-bisanya, Casanova masuk ke dalam sekolah tentara." Adel mengomel.
Keesokan harinya, semua murid berdiri di lapangan. Instruktur akan memberikan tugas pada mereka.
"Kalian angkat batu-batuan besar itu. Setelahnya masukkan ke dalam lubang, hingga tersusun rapi." titah instruktur.
"Baik instruktur." jawab semuanya.
Adel tersenyum, baru dia sadari kegunaan didikan kasar dari ayahnya. Sebuah kayu balok kecil, yang selalu menghantam kedua tangan dan punggungnya.
"Ayah, bila nilai ujian aku buruk kamu selalu menghukum aku. Meski seperti itu, aku tidak marah. Bahkan aku merindukan kamu saat kamu telah tiada." batin Adel.
Adel mengangkat batu besar itu, berjalan perlahan mendahului Ashan yang masih berhenti sejenak. Adel mendengar nafas Ashan yang ngos-ngosan.
"Ternyata, seorang Casanova sangat lamban." Adel sengaja meledeknya.
Adel berhasil memasukkan batu, ke dalam lubang besar. Ashan melangkahkan kakinya, yang sebentar lagi sampai ke ujung. Matahari mulai bersinar cerah, membakar kalori dalam tubuh mereka.
Pukul 12.00. mereka istirahat, waktunya untuk makan. Koki memberikan mereka makanan, satu porsi untuk satu orang.
"Apa di sini tidak ada mie instan?" tanya Ashan.
"Mana ada di sini mie instan. Kamu pikir, boleh mengonsumsi makanan berpengawet setiap hari." jawab Ruben.
"Memangnya kenapa?" tanya Ashan.
"Masih bertanya lagi, memangnya tidak membaca peraturan asrama." jawab Ruben.
"Apa isi peraturan dari instruktur?" Masih penasaran, membuat Ashan bertanya lagi.
"Isinya adalah, harus menjaga pola makan. Boleh memakan mie instan, hanya 3 bungkus dalam sebulan." jawab Ruben.
Adel duduk di kursi, berhadapan langsung dengan Anar. Mereka saling melempar senyuman, karena sebelumnya sudah berkenalan.
"Kamu berasal dari mana?" tanya Anar.
"Aku berasal dari kota Pakuan Tinggi." jawab Adel.
"Wah, pasti banyak tumbuhan paku." Anar asal tebak.
"Hahah, kamu benar." Adel tertawa kecil.
Dia masih menyendok makanan, lalu menyuapkan pada mulut kecilnya. Semua siswa dan siswi menatap heran, kenapa Adel bisa lulus dalam sekolah tentara.
"Adel, kamu kenapa tidak masuk sekolah lain saja. Di sini hanya pria semua." ujar Anar.
"Tekad ku sudah bulat, tidak ada yang bisa menghentikannya." jawab Adel.
Ashan duduk di samping kursi Adel. Dia membawa rantang makanannya. Ruben juga duduk di sebelah Anar. Posisi mereka kini saling berhadapan.
"Hai, boleh bergabung." ujar Ashan.
"Silahkan, lagipula kami hanya berdua. Meja dan kursi juga masih kosong." jawab Anar.
"Terimakasih, ternyata kamu baik. Tidak seperti gadis di sampingku." Ashan melirik Adel.
"Kamu menyindir aku?" Adel tidak terima.
"Kamu pikir, di sini ada gadis selain kamu." jawab Ashan.
Ashan tersenyum mengejek, karena Adel hanya gadis sendirian. Dia akan menjadi mainan baru, yang menyenangkan bagi Ashan.
"Apa di sini tidak ada AC?" tanya Ashan.
"Kamu pikir di sini bangunan hotel. Ini hanya asrama dari sekolah." jawab Ruben.
"Sungguh menyebalkan, kenapa orangtuaku harus menyuruhku untuk tinggal di sini." batin Ashan.
Ashan menusuk kentang rebus, yang hanya dibalut sambal mentah. Terbiasa hidup mewah, membuatnya susah untuk menikmati.
Keesokan harinya, Ashan tertidur nyenyak. Dia tidak menghiraukan bunyi alarm milik Ruben.
"Bangun Ashan, kamu bisa terlambat baris berbaris." ujar Ruben.
"Apaan sih, mengganggu saja." Memeluk bantal guling kembali.
Ruben segera keluar kamar, dia tidak mempedulikan si Ashan. Pria itu begitu nyenyak tertidur, susah dibangunkan.
"Mana temanmu?" tanya Anar.
"Dia sedang tidur." jawab Ruben.
"Dia menyebalkan, biarkan saja tidur. Kalau Casanova itu bangun, sungguh mengganggu konsentrasi ku." batin Adel bergumam-gumam.
Semua siswa dan siswi telah diabsen, hanya Ashan yang tidak terlihat. Instruktur benar-benar heran, pada pria pemalas itu.
"Prajurit, tolong bangunkan si Ashan. Bila dia tidak mau juga, siram menggunakan air." titah Kevin.
"Baik instruktur." jawab dua prajurit bersamaan.
Mereka membuka kamar Ashan, dengan membawa ember berisi air. Awalnya dibangunkan baik-baik, tapi malah Ashan marah.
Byurr!
Air seember disiramkan ke wajah dan tubuhnya. Ashan terkejut, karena dua prajurit yang menghampiri. Ashan menatap sekeliling, ternyata Ruben tidak ada.
"Ah sial, dia tidak membangunkan aku. Benar-benar membuatku naik pitam." batin Ashan.
Ashan ditarik keluar kamar, oleh dua prajurit. Dia masih mengenakan baju tidur.
"Ternyata, ada yang suka warna merah muda." Teman sekelasnya tertawa.
"Hahah... memang benar-benar iya. Jangan-jangan dalamnya merah muda juga." Teman sebelahnya, ikut tertawa juga.
Terdengar suara riuh di lapangan dimana banyak siswa dan siswi latihan berlari, membawa senjata busur panah. Ashan diikat disebuah tiang dibiarkan berjemur, dan tidak boleh makan siang bersama.
Adel tersenyum mengejek, sambil melirik ke arah Ashan. Di dalam hatinya ingin tertawa terbahak-bahak tidak terkira.
Setelah mereka semua berlari keliling lapangan, sambil membawa senjata. Sekarang, mereka berkumpul baris berbaris kembali.
"Dengarkan aku, kalian harus berlatih untuk memanah. Setelah latihan di asrama militer berhasil kita akan keluar, untuk berlatih di alam bebas." ujar instruktur Kevin.
"Menyebalkan si Adel, berani-beraninya menertawakan aku. Lebih baik aku kabur saja nanti malam, aku akan pergi ke tempat bar langganan ku." batin Ashan.
"Semangat Adel, kamu pasti bisa." ujar Anar.
"Iya, ini juga sedang berusaha fokus." jawab Adel, sambil tersenyum.
Busur yang Adel tarik, berhasil menancapkan panah pada papan sasaran. Ruben bertepuk tangan, bersamaan dengan tepuk tangan murid lainnya.
Pukul 12.00. mereka beristirahat, pergi ke dapur untuk minta makanan pada koki. Seperti hari kemarin, Adel duduk bersama dengan Anar dan Ruben.
"Kalian mau ikut aku tidak?" tanya Ruben.
"Kemana?" Anar balik bertanya.
"Mau memberi makanan secara diam-diam, untuk si Ashan. Kasian dia bakalan lama dihukum, pasti kelaparan." jawab Ruben.
"Kalau aku sih tidak ikut. Aku tidak mau terima resiko. Lagipula, siapa yang suruh dia terlambat." ucap Adel.
"Oke, tidak masalah." jawab Refic.
Adel mengunyah makanannya dengan lahap. Dia merasa menikmati, telur rebus dengan sambal yang asam manis itu.
"Adel, kami pergi dulu iya." ujar Ruben.
"Iya hati-hati, banyak prajurit mengawasi lapangan." jawab Adel.
"Iya kami tahu, asrama ini dijaga ketat." ucap Ruben.
"Kami pergi dulu iya." Anar berpamitan.
"Dadah!" Adel melambaikan tangan.
Mereka berdua pergi, tinggal tersisa Adel sendirian. Tiba-tiba seorang pria menghampiri Adel.
"Boleh duduk tidak?" tanyanya.
"Duduk saja." jawab Adel.
Pria itu duduk, sambil membawa rantang makannya. Dia melihat wajah Adel, yang sangat cantik.
"Kamu tidak takut masuk sekolah tentara. Di sini pria semua, kamu perempuan sendirian." ujarnya.
"Tidak, ini sudah menjadi tujuan paten." jawab Adel santai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!