“Dokter.”
Dokter itu mengangguk muram. Seragam operasinya yang berwarna hijau masih terlihat rapi dan bersih.
“Maafkan aku. Penyakitnya sudah menjalar kemana-mana.”
“Apakah tidak ada cara lain untuk menyembuhkannya?”
Dokter itu menggeleng pelan. “Kecuali untuk mengurangi rasa sakitnya selain itu tidak ada.”
Wanita langsung menunduk dan terlihat sangat lesu. Dokter langsung menyentuh lengan Liana untuk menguatkan.
“Ia tak akan bertahan lama. Maksimal beberapa minggu. Kami hanya memprediksinya, Tuhan yang menulis takdir. Berdoa untuk segala keajaiban.”
“Ya,” jawab Liana sambil menyeka matanya yang basah dan kusut.
Iba hati dokter tersebut melihat wanita yang ada di depannya.
“Andai ayahmu memeriksanya lebih awal barangkali...”
Liana tersenyum getir karena kehilangan harapan.
“Tetapi ia tidak mau. Sudah saya bujuk untuk memeriksanya tapi ia bersikeras untuk mengabaikannya karena menurutnya itu adalah masalah biasa.”
Dokter itu hanya mengangguk pelan mencoba memahami.
“Bolehkah saya melihatnya?”
“Beberapa jam lagi. Pengaruh obatnya akan hilang nanti sore. Kamu bisa melihatnya saat pasien dipindahkan ke ruangan.”
Liana menarik napas panjang dan berjalan lesu di koridor rumah sakit. Liana duduk di salah satu bangku kosong.
Ia terduduk di sana. Pandangan matanya jauh ke depan, tenggelam dalam pikirannya, cemas dan sedih.
Ia lantas mengirim pesan pada seseorang dan bergegas pergi.
Sorenya ia kembali ke rumah sakit bersama seorang anak kecil berumur lima tahun, namanya Damian. Liana membawa beberapa makanan.
“Kakek!”
Melihat kakeknya Damian langsung kegirangan. Bocah kecil itu langsung melompat dan menerjang ke pelukan Sanjaya.
Sanjaya dalam suasana bahagia begitu melihat Damian.
“Kakek!”
“Kamu adalah anak yang baik. Apakah kamu hari ini mendengarkan ibumu?”
“Hm.” Wajah kecil Damian yang tampan menampilkan senyum manisnya.
Kinara langsung membawa makanan yang ia bawa ke nakas dan mulai menyiapkannya.
“Kakek, hari ini aku dan ibu pergi ke mall dan ibu membelikanku mobil remot kontrol jarak jauh. Kakek harus cepat sembuh agar kita bisa bermain bersama.”
Ketika Sanjaya mendengar ucapan Damian. Tangannya langsung terulur untuk mengelus puncak kepala Damian.
Bagi Damian, mainan mobil remot kontrol jarak jauh adalah mainan yang mewah dan mahal.
Ia baru saja mendapatkannya, tentu saja ia sangat senang.
Ia teringat saat di taman kanak-kanak. Ketika ia melihat temannya bermain dengan ayahnya. Ayah dan anak bermain mobil remot kontrol di sebuah taman.
Damian melihatnya dari kejauhan dan sangat iri. Ia sempat berpikir bahwa suatu hari ia bisa bermain dengan ayahnya. Tetapi ia tidak pernah melihat ayahnya bahkan ibunya tidak menyebutnya.
“Lain kali ketika kakek sembuh dan pulang ke rumah. Kita akan bermain bersama.”
Ketika Damian mendengar ucapan Sanjaya. Matanya berbinar cerah dan ia melompat kegirangan.
“Siapa yang datang? Oh, anak haram ini.”
Kata-kata yang tidak pantas seketika meruntuhkan suasana hangat tadi.
Wajah Sanjaya berubah tak senang dan langsung mendongak. “Apa yang kamu katakan? Dia ini cucumu.”
Damian mengangkat wajah kecilnya dan berusaha tersenyum. “Nenek.”
Susi yang melihat Damian dengan tatapan jijik.
“Jangan panggil aku nenek. Kamu bukan cucuku.”
“Apa yang kamu bicarakan?”
“Kamu bisa menyebutnya sebagai cucumu tapi aku tidak bisa. Siapa yang bisa menganggapnya sebagai cucu saat ia dilahirkan tanpa ayah.”
Susi menatapnya dengan dingin. Suaranya juga lebih keras dari sebelumnya.
“Masih muda sudah hamil dan menjadi ibu tunggal. Kita tidak tahu, siapa ayah dari bocah ini. Bahkan ayahnya sendiri tidak mau mencarinya, lalu mengapa aku harus mengurusnya.”
Ucapan Susi menghunjam tubuh Liana. Dingin, tajam dan menusuk. Ucapan itu seakan menusuk organ-organ terpenting dalam tubuhnya.
Ucapan Susi memang tidak bisa dibenarkan dan disalahkan.
Kejadian itu bermula, saat perusahaan ayah tirinya mengalami kebangkrutan. Ya, Liana adalah anak yang diadopsi dari panti asuhan oleh Sanjaya.
Di usia yang masih terbilang sangat muda. Liana harus menandatangani sebuah kontrak. Demi menyelamatkan perusahaan milik Sanjaya. Liana rela menjadi ibu pengganti.
Sebuah keluarga konglomerat membutuhkan ibu pengganti untuk meneruskan ahli waris mereka. Karena tunangan sang pria tidak bisa memberikan keturunan.
Liana tidak menolak karena ia memang membutuhkan uang. Meskipun jalan yang ia tempuh memang sulit dan berat.
Sepuluh bulan ia harus terkurung di sebuah vila. Selama itu pula, ia tidak mengenal sosok yang menyewa rahimnya. Dengan kata lain, Liana sama sekali tidak mengetahui sosok ayah dari Damian.
Sebenarnya Liana melahirkan dua bayi laki-laki kembar. Satu diantaranya adalah bayi prematur. Semua orang menganggap bahwa salah satu bayi Liana mati.
Maka dari itu, keluarga kaya tersebut hanya mengambil satu bayi yang sehat.
Di ruang bersalin Liana sama sekali tidak diizinkan melihat bayinya kecuali bayi yang dianggap oleh dokter sudah mati.
Liana memeluk bayi mungil tersebut tanpa daya. Namun ia terkejut saat bayi yang dianggap oleh dokter sudah mati, menangis kencang dalam pelukannya.
Liana memberi nama bayi itu Damian.
“Susi cukup!”
Liana terkejut dan kembali dalam kenyataannya. Ia melihat Sanjaya yang dikuasai oleh amarahnya.
“Bagaimana bisa kamu mengatakan hal yang begitu mengerikan di depan anak kecil? Jika bukan karena Liana, keluarga kita pasti...”
Damian berlari ke sisi Liana dan memegang tangan Liana begitu erat. Liana melihat telapak tangan kecil yang memegangnya.
“Ada apa ini? Apakah aku melewatkan sesuatu.”
Sebuah suara wanita datang begitu saja. Wanita itu adalah Luna, adik tiri Liana.
Dari dulu Luna sangat membenci Liana. Karena ia menganggap Liana mengambil separuh perhatian dari ayahnya.
Liana sangat cerdas, baik dan cantik membuat orang lain terlebih ayahnya selalu memujinya dan menyukainya bahkan tak jarang membanding-bandingkannya.
Ia sangat cemburu dan iri.
“Ibu kenapa dia datang ke sini?”
“Tanyakan itu padanya.”
“Dia tidak punya malu. Anaknya juga. Kita tidak tahu anak itu terlahir dari sosok pria yang seperti apa.”
“Luna kamu jangan seperti dia.”
“Siapa yang sudi.”
Liana memejamkan matanya sesaat, tubuhnya gemetar. Ia mencoba untuk bersikap tenang.
Melihat ibunya dipermalukan. Damian langsung menarik tangan Liana.
“Ibu, ayo kita pergi.”
Liana langsung menunduk dan tersenyum. “Ibu tidak apa-apa.”
.........
Di dalam bus, Damian bersandar pada Liana. Liana memegang erat tangan kecilnya. Untuk sesaat, ia merasa menyesal.
Mungkin jika kamu tinggal bersama pria itu. Kamu akan mempunyai ayah, ibu dan kehidupan yang layak. Kamu pasti akan bahagia.
“Ibu.”
Liana senyum penuh arti. Ia setengah membungkuk dan berbisik. “Damian, ibu minta maaf.”
Bibir Damian membuka dan menutup. Sebenarnya ia ingin bertanya keberadaan ayahnya. Ia ingin bertanya, apakah ayahnya benar-benar tidak menyukainya?
“Ibu jangan sedih. Bahkan jika Damian tidak mempunyai ayah. Damian masih mempunyai ibu. Apakah ayah menyakiti ibu? Damian akan cepat tumbuh agar bisa melindungi ibu.”
Di tempat lain, seorang anak kecil sedang bermain dengan mainan barunya. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu aneh. Moodnya tiba-tiba berubah jelek.
Lantas ia meringkuk di sofa sambil memandang langit-langit rumah.
“Apa yang terjadi?”
Simon Cross tiba-tiba berjalan mendekati ruang tengah dengan menggunakan tongkat kayu. Umurnya yang sudah tak lagi muda, ia masih saja bersemangat layaknya anak muda.
“Kakek buyut!”
Daniel langsung menjerit dan memeluk sang kakek. Dalam keluarga Cross, posisi Simon Cross tidak bisa ditandingi dan diguncang oleh siapa pun. Ia mempunyai koneksi orang-orang hebat.
Gideon Cross adalah cucu kesayangannya dan darah Gideon Cross mengalir di tubuh Daniel Cross. Tentu saja Daniel ada satu-satunya cicit tercintanya.
“Apa terjadi sesuatu?”
Daniel langsung menggeleng pelan. Ia menundukkan kepalanya karena ia sendiri tidak tahu dengan apa yang ia rasakan saat ini.
“Kakek buyut, aku ingin ke kamar.”
Daniel melompat dari sofa dan langsung ke lantai atas. Simon yang melihat punggung kecil itu pergi langsung menghela napas.
Keesokan paginya, seperti biasa Liana pergi bekerja namun saat pertama kali menginjakkan kakinya di meja kerjanya. Ia melihat beberapa orang yang berkerumun.
“Apa yang terjadi?” tanya Liana mencoba untuk melihat apa yang terjadi.
Manajer perusahaan langsung menghampiri Liana dan menyerahkan barang-barang Liana.
“Mulai hari ini, kamu di pecat! Lihatlah! Ulah dari perbuatan adikmu. Rentenir selalu datang ke sini dan membuat ulah. Mereka mengobrak-abrik semuanya. Ini bukan kali pertama. Ini sudah ke sekian kalinya. Sekarang sudah habis kesabaranku.”
Manajer itu menghampiri para rentenir.
“Kamu mencari gadis ini kan? Dia ada di sini. Selesaikan pergi dari sini dan urus masalah kalian.”
Rentenir itu langsung menyeret Liana.
“Kamu adalah kakak dari wanita itu, Luna,?”
Bibir Liana hanya membuka namun tak ada suara sama sekali yang keluar.
“Luna mempunyai banyak hutang pada bos kami namun ia tak kunjung membayarnya. Ia berjanji bahwa kamu yang akan membayarnya. Sekarang serahkan uangnya dan kami akan pergi.”
“Aku tidak punya uang.”
Liana perlahan berjalan mundur dan tangannya perlahan menyentuh sakunya untuk mengambil ponselnya.
“Kamu ingin memanggil polisi?”
Liana bereaksi cepat saat pergelangan tangannya dicengkeram. Ia langsung menggigit lengan rentenir itu dan berlari menjauhi mereka.
Ia berlari menyeberangi jalan tanpa melihat lampu yang mulai berkedip.
Suara rem terdengar di sana. Suara gesekan ban mobil dan aspal memekakkan telinga. Liana tidak dapat bereaksi tepat waktu.
Ia terjatuh ke tanah dan mendapatkan beberapa luka goresan. Ia merasakan sakit yang luar biasa. Ia berpikir akan segera pergi dari dunia ini.
Gideon memiliki mata cokelat paling jernih. Warnanya begitu muda hingga membuat orang yang melihatnya terpana.
Mata Gideon mengamati Liana yang masih terduduk di aspal. Entah bagaimana, saat melihatnya hatinya merasakan sedikit sentuhan.
Ia merasa seperti tidak asing, seperti mereka pernah bertemu sebelumnya.
Gideon mendekat dan berjongkok di depan Liana. Ia melirik lutut Liana. Ia menemukan sedikit noda merah pada kaki putih rampingnya.
Gideon mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang dengan nominal yang tak sedikit.
Gideon menyerahkannya tanpa emosi sama sekali. Gideon memang sering memecahkan masalah dengan menggunakan uangnya.
Liana mendongak dan menatap mata pria di depannya. Ia terus memandang Gideon.
“Apakah ini tidak cukup?” tanya Gideon.
Liana ingin mengatakan sesuatu namun bibirnya hanya terbuka sedikit tanpa adanya suara.
Reaksi yang diperlihatkan Liana membuat cetak senyum sarkasme di wajah Gideon. Ia lalu mengeluarkan semua uang tunai yang ada di dompetnya.
“Jika ini masih tidak cukup. Kamu bisa menghubungi nomor yang tertera di kartu namaku ini.”
Liana mengerjap. Pada saat itu hatinya merasakan ketidakadilan dan kemarahan.
“Apa maksudmu? Kamu ingin menunjukkan padaku seberapa kayanya dirimu?”
Liana menatap Gideon tajam.
“Aku terluka karena dirimu. Bukannya kamu meminta maaf tapi merendahkanku dengan semua uangmu.”
Liana menatap uang yang ada di tangannya uang lalu memberikannya kembali pada Gideon. Tangannya menarik tangan Gideon dan meletakkan uang itu dengan paksa di telapak tangan Gideon.
Liana berdiri tegak, memasang tembok pertahanan tak kasatmata dengan sikap anggun.
“Ini juga salahku karena aku tidak melihat saat menyeberang. Kamu tidak harus bertanggung jawab dan juga aku tidak butuh uangmu.”
Liana lalu berbalik dan pergi.
Gideon pulih dari keterkejutannya. Ia menatap punggung yang mulai menjauh lalu matanya menyipit.
Dengan samar-samar, Gideon seakan berjalan kembali dari ribuan mil jauhnya. Ia masih ingat, kenangan itu.
Dengan semar bibir Gideon terangkat ke atas.
“Jadi dia...”
Mata Gideon berkilat tatkala melihat kartu nama yang terjatuh. Ia memungutnya dan melihat kartu tersebut.
“Liana.”
.........
Liana berjalan tanpa arah dan tujuan hingga kakinya berhenti di depan sekolah Damian. Liana menunggu Damian selesai belajar di depan gerbang sekolah.
“Damian.”
Liana langsung menarik Damian ke dalam pelukannya.
Damian mendongak dan senyum cerah terbit di sana.
“Ibu, aku sangat lapar. Ibu berjanji padaku hari ini kita akan makan makanan kesukaanku.”
Ketika Liana mendengar ini, wajahnya langsung berubah. Hatinya merasa malu. Ia sudah dipecat dari tempatnya bekerja. Ia hanya mempunyai sedikit uang yang tersisa.
Damian sangat menyukai makanan laut terutama lobster dan itu harganya sangat mahal.
Liana melepas pelukannya dan menyentuh pipi Damian dengan lembut. Liana tersenyum untuk membujuk Damian.
“Damian, hari ini bisakah kita makan makanan rumah saja?”
Damian menunduk sedih. Suara sedikit bergetar karena menahan tangisannya. “Ibu sudah berjanji padaku.”
Liana melihat si kecil dan merasa bersalah. Tanpa sadar air matanya mengalir karena merasa menjadi ibu yang tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya.
Liana langsung menyeka air matanya begitu jatuh dan mengenai pipinya.
“Baiklah, jangan bersedih. Kita akan makan makanan kesukaan Damian.”
Damian dengan lembut mendongak dan kekecewaannya mulai berkurang.
Liana sedikit ragu dalam waktu yang lama.
“Sebenarnya, hari ini ibu dipecat dari pekerjaan.” Liana mengatakannya sedikit malu.
Damian yang mendengarnya sedikit terkejut. “Apakah ibu melakukan kesalahan sehingga ibu dipecat?”
Liana menggeleng, “Tidak. Besok ibu akan mencari pekerjaan dengan gaji yang cukup tinggi sehingga kita bisa makan makanan kesukaan Damian setiap hari. Kita akan sering makan di luar.”
Damian mengalihkan pandangannya sebentar lalu menatap kembali Liana.
“Ibu, ayo kita pulang.”
“Bukankah kita akan makan di luar. Tenang, ibu cukup punya uang.”
“Tidak ibu. Aku ingin makan masakan ibu. Masakan ibu jauh lebih enak daripada makanan yang ada di luar.”
“Kalau begitu, ibu akan membeli lobster segar dan ibu akan memasakannya.”
“Tidak!”
Liana sedikit terkejut atas penolakan Damian.
“Maksudku, makanan kesukaan Damian tidak hanya Lobster saja. Damian juga suka tahu. Ibu bisakah, ibu memasakanku sup tahu saja?”
Liana tidak memperhatikan trik kecil Damian jadi ia tidak tahu maksud Damian.
“Baiklah ibu akan memasak sup tahu.”
Di tempat lain, Gideon sedang berada di kursi kebesarannya. Matanya sedikit melirik dokumen berisi tentang biodata seorang perempuan.
Ya, tadi pagi Gideon memerintahkan sekretarisnya untuk menyelidiki Liana.
“Apa ada sesuatu yang aneh?” tanya Gideon pada sekretarisnya.
“Tidak ada, Presdir.”
Gideon mengangguk dan berkata, “Kamu boleh pergi.”
Gideon tidak terlalu memusingkan masalah ini dan ia mengesampingkannya dan melanjutkan pekerjaannya.
Keesokan harinya, Liana dan Damian pergi ke bandara untuk menjemput Suah. Suah adalah sahabat Liana.
Dulu saat dibangku kuliah saat Liana hamil dan melahirkan, berita itu bertebaran di sekitar kampus. Rumor tentang Liana yang menjadi ayam kampus menjadi santapan hangat para penggosip.
Hanya Suah yang tidak mempercayai rumor tersebut dan menjadi sahabat penyemangat Liana.
Awalnya mereka berjanji untuk kuliah bersama di luar negeri namun karena keadaan keluarga Sanjaya, Liana menolak untuk melanjutkan ke luar negeri.
“Suah!” panggil Liana.
“Liana.” Teriaknya heboh, sambil menarik Liana ke dalam pelukannya.
Suah melepas pelukannya dan menarik seberkas rambut Liana “Rambutmu pendek,” katanya. “Aku suka.”
Liana mengangkat tangan dan menjentik rambut yang menjuntai di dahi Suah. “Rambutmu lebih panjang,” balasku. “Dan aku tidak suka. Hei, aku hanya bercanda.”
Liana menyukai penampilan Suah yang berantakan. Warna kulit Suah jauh lebih gelap daripada kulit Liana, dan sejak dulu itu membuat Liana iri.
Sudah dua tahun tak bertemu. Kadang-kadang, mudah untuk melupakan betapa kita merindukan seseorang sampai kita bertemu orang itu lagi. Tetapi, bukan itu yang dirasakan Liana dengan Suah. Liana selalu merindukannya. Meskipun sesekali sikap protektifnya bisa mengesalkan, itu juga menjadi bukti kedekatannya.
Suah mengeluh karena Liana mengingkari janjinya tapi kemudian matanya menyelinap dan menemukan bocah kecil yang tampan. Bahkan Suah tidak berkedip dalam waktu yang lama.
“Oh My God, oh my eyes. Pria kecil ini benar-benar tampan.”
Suah langsung berjongkok dan menarik pelan Damian agar mendekat. Suah begitu mengagumi Damian.
“Liana, apakah ini adikmu?”
Liana tersenyum. “ Bukan, dia adalah putraku. Namanya Damian.” Liana mengusap kepala Damian dan berucap, “Damian, dia adalah sahabat ibu, namanya tante Suah.”
“Apa? Apa yang kamu katakan?” tanya Suah terkejut dan hampir terjungkal.
Damian dengan lucu berkata, “Halo tante Suah. Namaku Damian. Ibuku bernama Liana.”
Suah langsung tercengang. Matanya bolak-balik melihat Liana dan Damian. Bibirnya terbuka.
“Apakah ini benar? Aku kira rumor itu...”
Liana berdeham. “Ceritanya panjang. Akan kuceritakan sambil makan. Kamu pasti lapar karena perjalanan jauh.”
Suah mengangguk dan mereka menuju ke restoran tempat mereka makan dulu.
Setelah makan, Suah menyeret Liana ke kamar mandi untuk menanyakan apa yang terjadi. Pada akhirnya Liana menjelaskan apa yang terjadi hanya saja garis besarnya saja. Liana tidak ingin sampai semua rangkaian peristiwa harus diceritakan.
Suah merasa tertekan saat mendengarnya. Suah menatap Liana seolah merasa iba.
“Aku tahu saat kamu menyebutkan kenapa kamu tidak meneruskan pendidikan di luar negeri karena alasan perusahaan ayahmu bangkrut. Tapi aku tidak pernah berpikir kamu akan membayarnya dengan...”
“Apa pun akan kulakukan demi membantu ayah. Dia telah merawatku dengan baik.”
“Lalu apakah kamu tidak takut jika ayah biologis Damian membawanya pergi?”
Siapa ayah Damian? Aku bahkan tidak tahu
Mata Liana kabur sesaat dan mencoba mengingat pria itu.
“Aku akan terus merahasiakan keberadaan Damian. Tidak ada yang bisa mengambilnya dariku.”
“Baiklah. Aku akan selalu berada di sisimu. Sebaiknya kita kembali sekarang.”
Mereka pun kembali ke meja. Begitu melihat Damian, Suah langsung mencubit sayang pipi Damian.
“Kamu begitu lucu dan tampan di waktu yang bersamaan.”
“Kamu sudah memberitahu bibi kamu tiba dengan selamat?” tanya Liana
“Yeah, aku mengabari melalui pesan tadi.”
Di malam hari, Damian sudah berada di ranjangnya sementara Liana duduk di ruang tamu dan sibuk mencari lowongan pekerjaan melalui ponselnya.
Tanpa sadar, Liana mengeklik situs resmi pencarian bintang. Menjadi seorang bintang harus memiliki kemampuan dan juga penampilan yang menarik.
Liana tidak tertarik namun ia mencoba mengscroll sampai bawah hingga matanya menangkap lowongan pekerjaan yang menurutnya menarik yaitu menjadi asisten artis.
“Haruskah aku mencobanya?”
Setelah Liana mengantar Damian ke sekolah. Ia langsung pergi ke perusahaan World Entertainment untuk melamar pekerjaan.
Liana sudah membawa berkas-berkas yang di persyaratan. Di perusahaan World Entertainment, Liana sangat terkejut melihat antrean yang mengular.
“Pesaingnya sangat banyak.”
Liana menunduk karena merasa tidak percaya diri. Ia tiba-tiba mengernyit dan mengangkat kepalanya untuk melihat sekeliling. Karena ia merasa ada yang mengawasinya.
Ia menyadari bahwa mobil hitam yang berada di seberang begitu mencurigakan. Liana tiba-tiba berbalik dan segera pergi dari sana.
Liana tiba-tiba merasa panik. Ia memegang tasnya dengan sangat erat. Ia menggigit bibirnya dan berjalan perlahan.
Untungnya Liana hanya menyerahkan berkasnya dan mengisi formulir. Setelahnya hanya menunggu wawancara dan hasilnya. Butuh dua sampai tiga hari untuk melihat pengumuman.
Di malam hari, Liana kembali mencari lowongan pekerjaan. Tiba-tiba ponselnya berdering dan ia langsung menggeser layarnya.
“Halo.”
“Kakak, ini aku.”
Liana mengernyit tatkala suara Luna yang terdengar. Ia sedikit heran, kenapa Luna meneleponnya.
“Ada apa?”
“Kakak aku minta maaf padamu. Gara-gara aku, kakak harus melunasi hutangku dan juga kehilangan pekerjaan. Tapi tenang kakak, aku akan membantu kakak mendapatkan pekerjaan.”
Liana terdiam, ia sama sekali tak bergeming dari tempatnya.
“Kakak datanglah ke Growl klub. Mereka membutuhkan seorang karyawan. Tenang saja kakak, bayarannya sangat besar dan pekerjaan juga sangat mudah. Kakak hanya mengantarkan minuman saja. Bagaimana?”
Liana tanpa sadar ingin menolak tapi ia sangat membutuhkan tambahan uang. Ia mengepalkan tangannya untuk waktu yang lama karena dilema.
Growl Klub adalah tempat hiburan paling terkenal di ibukota. Kebanyakan orang kaya menghabiskan uangnya di sana untuk kesenangan duniawi saja.
“Kakak bagaimana?”
“Ohm, baiklah. Bagus.”
Luna langsung mematikan ponselnya dan langsung melirik pria di sampingnya.
“Bagaimana?”
“Tenang saja, kamu tidak akan kecewa. Kakakku sangat polos dan tubuhnya sangat bagus. Kamu akan beruntung.”
“Aku harap dia sepadan dengan semua utang-utangmu.”
“Jangan biarkan ayahku tahu. Dia bisa membunuhku.”
“Aku tahu.”
.........
Liana datang ke Growl klub. Suara musik sungguh memekakkan telinga. Aroma nikotin dan alkohol bercampur menjadi satu.
“Halo namaku Liana.” Sapa Liana kepada bar tender.
“Oh kamu yang namanya Liana. Kamu bisa minuman ini ke kamar VIP nomor 196.”
“Apa?”
“Kamu karyawan baru kan?”
“Ah benar.”
“Jadi lakukan tugasmu.”
Liana langsung disodori beberapa botol di atas nampan. Dengan ragu-ragu Liana membawanya menuju ke ruang VIP nomor 196.
Begitu masuk di sana, rupanya banyak selali lelaki dan wanita yang saling berpelukan mesra. Bau alkohol bercampur dengan nikotin terlalu pekat di sana.
“Sudah datang rupanya.”
“Dia begitu murni, aku tidak sabar untuk segera mencicipinya.”
Kata-kata itu membuat Liana sedikit ngeri. Ada dua makna yang terkandung di dalamnya. Liana sampai tidak bergerak di sana.
“Apa yang kamu lakukan? Kemarilah!”
Sejujurnya Liana sedikit takut dengan pria kaya di hadapannya ini. Liana dengan ragu perlahan berjalan menuju meja dan segera menaruh minuman yang ia bawa.
Saat Liana hendak akan pergi, tiba-tiba seorang pria meraih bahunya dan memperkenal pria di sana.
“Hei kamu ingin kemana? Aku akan memperkenalkanmu pada bos kami. Pria yang duduk di sana adalah bos kami. Namanya Rafael.”
Liana tak menanggapi karena ia merasa risih. Liana langsung mendorong tangan itu lalu berbalik. Namun lagi-lagi tangannya dicekal.
“Kamu ingin kemana temani kami minum.”
Liana langsung di dorong ke arah Rafael. Ia duduk di samping Rafael.
“Buka beberapa botol itu untukku. Itu tugasmu kan?” ejek Rafael.
Liana dengan hati-hati membuka botol tersebut dan menuangkannya ke dalam gelas. Liana dengan takut memberikannya pada Rafael.
Rafael tersenyum. Lengan Rafael melingar di bahu Liana dan tangannya yang lain meraih sebungkus yang berisi bubuk putih. Rafael menuangkannya ke gelasnya.
“Minum ini.”
“Aku tidak minum,” tolak Liana.
“Minum ini!”
“Sudah kukatakan aku tidak minum.”
“Kamu ingin cara yang kasar?”
Rafael mendongak dan memberikan isyarat pada teman-temannya. Teman-temannya memegang tangan Liana sementara Rafael memegang rahang Liana dan memaksa agar Liana meminum alkohol itu.
Sensasi panas meledak dalam tenggorokannya dan Liana terbatuk-batuk di sana. Sementara Rafael dan teman-temannya hanya tertawa melihatnya.
Liana mendorong pria tersebut. Perutnya panas, kepalanya pening dan keringatnya mulai menetes.
Rafael menyeringai, “Permainan ini benar-benar bagus.”
“Rafael, aku sudah memesankan kamar di lantai paling atas.”
Rafael tersenyum saat melihat Liana tengah berjalan tergopoh menuju pintu. Rafael senang melihat Liana yang sedang berjuang.
Obat yang ia berikan pada Liana adalah obat yang paling keras.
“Dia tidak sabar,” ucap Rafael lalu bangkit berdiri.
Saat pintu dibuka Liana, ia lantas terjatuh namun ia tak merasakan sakit apa pun. Liana mendongak.
“Tolong aku...”
Tubuh Gideon terasa kaku saat dadanya bersentuhan dengan tubuh Liana. Tanpa sadar, Gideon memeluk pinggangnya. Gideon sama sekali tidak bergerak.
“Hai bro dia wanitaku.”
Gideon langsung menatap murka Rafael. Wajah Rafael tiba-tiba tenggelam dalam ketakutannya saat melihat Gideon.
“Baiklah, kamu bisa mengambilnya.”
Gideon semakin murka lalu detik berikutnya dua orang berjas hitam datang dan langsung menyeret Rafael.
“Hei apa yang kamu lakukan padaku? Kalian tidak tahu siapa aku?”
.........
Gideon membaringkan Liana di ranjang. Wanita itu terus saja menggumamkan kata-kata tak jelas dan tubuhnya terus saja menggeliat.
“Tolong aku, ini sangat menyakitkan.”
Liana merasakan tubuhnya terbakar dan membutuhkan sesuatu tapi ia tak tahu ia sedang membutuhkan apa. Seperti jiwanya kosong.
Tangan Liana memegang jemari Gideon. “Selamatkan aku.”
Tenggorokan Gideon terasa tercekat. Sengatan listrik mengejutkan Gideon. Liana memaksanya untuk kehilangan kendali.
“Ingat! Kamu yang menginginkannya.”
Gideon langsung mencium Liana dengan lembut. Rasa nikmat dan permainan lidah Gideon merasuki otak Liana. Wanita itu terhanyut di dalamnya.
Napas mereka memburu di tengah aktivitas mereka. Liana berani untuk meremas kuat rambut Gideon seolah meminta lebih.
Aktivitas mereka semakin panas setiap detiknya. Gideon mulai mengarahkan kepemilikannya. Perlahan ia mendorongnya.
Tindakan Gideon membuat Liana merasa sakit, perih namun rasa itu mampu memadamkan api yang ada di jiwanya. Liana tidak bisa mengendalikan kerinduan yang sulit di jelaskan.
Liana terasa penuh dan kewalahan setiap kali Gideon mendorongnya dengan kasar. Mereka membenamkan diri dengan gerakan. Sengit dan liar tapi penuh dengan pesona.
Permainan mereka selesai setelah mereka mencapai *******. Mata Liana terpejam dan terus menempel pada tubuh Gideon.
Gideon terus saja memandangi wajah Liana. Perasaan yang dulu tiba-tiba datang menghinggapinya. Ia merasakan rasa seperti saat pertama kali bertemu dengannya. Jantungnya merasakan kobaran api.
“Kehidupan seperti apa yang selama ini kamu jalani? Apakah kamu sudah memiliki pekerjaan? Apakah kamu sudah menikah? Sial! Kenapa juga aku harus peduli?”
Setelah memiliki malam yang menggairahkan. Gideon membersihkan dirinya untuk siap bekerja kembali.
Gideon hendak pergi namun suara deringan ponsel membuatnya menoleh ke belakang. Gideon ingin mengabaikan suara itu namun sepertinya Liana terganggu dengan suara itu.
Gideon mendekat dan meraih ponsel yang tergeletak di tumpukan baju yang berserakan di lantai.
Gideon melihat ada beberapa panggilan tidak terjawab dari nama Damian.
“Apakah dia sudah mempunyai anak?”
Gideon langsung mematikan sambungan telepon itu namun detik berikutnya ponsel itu kembali berdering. Gideon terkejut dengan ketekunan anak itu.
Gideon memilih untuk menjawab panggilan tersebut.
“Ibu, kamu dimana? Kenapa tidak pulang semalam?” suara Damian terdengar sedikit takut.
Gideon mengerutkan keningnya lalu melirik Liana. “Ibumu ada di sini.”
Damian semakin takut ketika mendengar suara dingin dengan samar.
“Siapa kamu? Apakah kamu orang jahat? Kenapa ibuku bisa bersamamu?”
“Aku...”
Gideon tidak bisa meneruskan perkataannya. Ia sendiri juga bingung.
“Aku ingin bicara dengan ibuku.”
“Ibumu sibuk.”
“Apakah kamu mengganggu ibuku dengan pekerjaannya?”
“Tidak.” Gideon menjawab dengan nada lembut.
“Paman, ibuku sangat bekerja keras. Tolong jangan biarkan ibuku bekerja shift malam atau di tengah malam.”
Aku pikir itu kecelakaan tapi wanita ini benar-benar bekerja di sana dan sering melakukan itu. Wanita ini sungguh liar. Hanya penampilannya saja yang polos dan murni.
“Baiklah, aku tidak akan membiarkan ibumu bekerja shift malam lagi.”
“Paman, apakah kamu bosnya? Paman bisakah kamu menambah gaji ibuku? Ibuku sangat bekerja keras jadi bisakah kamu memberikan bonus saat hari ibu? Hari besar dan saat hari tahun baru?”
“Mmm.”
“Terima kasih paman.”
Setelah menutup telepon, hati Damian masih tidak tenang. Lantas Damian langsung berjongkok di samping ranjangnya untuk mengambil laptopnya yang ia sembunyikan di kolong tempat tidurnya.
Di taman kanak-kanak, Damian populer dengan kegeniusannya namun di depan Liana ia akan mengubah karakternya.
Di usianya, Damian sangat dewasa dan bertanggung jawab.
Meskipun di depan Liana ia bertingkah layaknya anak umur lima tahun. Damian berbeda di depan guru dan teman sebayannya.
Saat anak-anak seusianya masih berjuang menghitung angka. Damian sudah mampu memecahkan soal anak SMA bahkan yang paling sulit.
Terdengar tak masuk akal tapi itu kenyataannya.
“Identitas paman itu sangat mencurigakan,” gumam Damian.
Pada saat kritis ini, Damian menggunakan teknologi tercanggih dan terbaru untuk menemukan ibunya.
Damian memang secara alami mempunyai bakat yang luar biasa. Di usianya yang keempat tahun, ia mampu merakit komputer.
Namun rahasia ini ia kubur dalam-dalam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!