Beberapa negara menjadi rumah bagi organisasi kejahatan besar atau yang sering disebut mafia. Misalnya saja Jepang yang terkenal dengan Yakuza, China dengan Triad-nya, dan Rusia yang salah satu sindikat mafia terbesarnya bernama Bratva (Братва). Kita belum menghitung mafia dari Albania, Meksiko, Italia, Amerika Serikat dan negara-negara lainnya. Dan mereka semua adalah organisasi kejahatan yang sangat ditakuti, yang bahkan mendengar namanya saja sudah bisa membuat siapapun merinding.
Lalu bagaimana dengan negara kita? Masyarakat awam di negara ini lebih akrab dengan mafia hukum, mafia migas, mafia sepakbola, mafia sawit, mafia bawang, dan sejenisnya sehingga pengertian mafia menyempit menjadi golongan elit yang menyalahgunakan kekuasaan dan membentuk pengikut pribadi untuk bersama-sama melakukan korupsi. Tidak ada sindikat mafia yang benar-benar kejam, seperti yang ada di negara-negara yang disebut di atas. Namun apakah itu benar?
Pada kenyataannya, cukup banyak organisasi mafia yang bersemayam di negeri ini. Namun ada dua organisasi terbesar yang paling sempurna dalam menggambarkan dunia kelam ini. Mereka memiliki tradisi yang bahkan lebih tua dari umur kemerdekaan bangsa ini. Jadi, mereka bukan bentukan golongan elit yang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Mereka adalah kumpulan orang-orang jahat yang cerdas. Mereka memiliki prinsip dan ikatan yang kuat sehingga keuntungan pribadi bukanlah tujuan utama. Mereka memiliki kekuatan untuk mengendalikan beberapa sektor seperti politik, ekonomi, keamanan dan bahkan pendidikan.
Mengapa keberadaan mereka selama ini tidak disadari oleh kaum awam? Itulah bukti dari betapa menyeramkannya keberadaan mereka. Setiap aksi yang mereka jalankan tidak terlihat, namun memiliki pengaruh yang besar.
Tapi ada beberapa 'kaum awam' yang berhasil menjalin hubungan dengan kedua organisasi tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah pejabat kotor, aparat dan pengusaha kelas kakap. Hanya saja, siapa pun yang menjerumuskan diri ke dalam hubungan itu, mata mereka akan terbuka pada rahasia-rahasia besar yang selama ini tersembunyi, tetapi mulut mereka akan tertutup. Mereka, meski dengan keinginan sekuat apapun, takkan mampu mengungkapkan keberadaan kedua organisasi itu pada dunia.
Yang terbesar adalah Chaos, organisasi yang menganggap diri mereka adalah dewa-dewa Yunani. Tak heran setiap jabatan diberi nama dewa. Sang pemimpin tentu bernama Zeus. Organisasi ini baru muncul beberapa tahun sebelum kemerdekaan. Para pendirinya sebagian besar adalah mantan prajurit pengintai ahli menyamar yang tugasnya menyusup ke dalam tubuh pihak penjajah dan mengumpulkan informasi penting. Sayangnya, saat masa penjajahan berakhir, keberadaan mereka seakan sengaja disangkal oleh pemerintahan yang baru.
Sedangkan yang kedua adalah De Duivel, organisasi yang awalnya dibentuk oleh beberapa saudagar Belanda pada jaman penjajahan yang tujuan awalnya adalah untuk menggelapkan sebagian hasil jajahan yang seharusnya dikirim ke negara asal mereka.
Sampai hari ini, kedua organisasi tersebut bersaing untuk berkuasa di setiap sektor. Cara-cara kotor kerap kali mereka terapkan untuk mencapai tujuan masing-masing. Namun dunia itu, meski berkutat dalam kejahatan, memiliki etika yang kuat. Mereka tidak akan menyerang satu sama lain dengan tindakan yang primitif. Kebrutalan bukanlah wajah mereka. Meski jahat, mereka melakukannya dengan elegan. Jika ada anggota yang ketahuan melakukan kekerasan pada anggota organisasi lain, maka organisasinya sendiri yang akan menghukumnya dan sama seperti pengkhianatan, kematian adalah hukuman yang paling masuk akal. Dan hukuman itu harus dilakukan di depan kedua belah pihak.
Suasana ruang rapat gelap dan suram. Bukan karena penerangannya yang meredup. Bukan karena bau asap cerutu yang berseliweran di udara. Bukan juga karena hujan di luar yang membuat suhu di dalam ruangan terasa lembab. Tapi karena aura. Aura para peserta rapat yang gelap dan suram.
Sudah dua jam mereka mengadakan rapat. Satu jam awal rapat dipenuhi oleh suara bentakan dan gebrakan-gebrakan meja. Setengah jam berikutnya tensi rapat menurun namun mereka belum menemukan titik terang dari pembahasan mereka. Dan sudah sekitar setengah jam mereka hanya bisa diam sambil menikmati cerutu. Namun ketegangan tidak berkurang sedikitpun. Tentu saja, mereka sedang membahas tentang sesuatu yang sangat penting. Jika mereka gagal menemukan solusinya, maka perang besar akan terjadi.
“Tak ada yang bisa kita lakukan selain mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan mereka,” kata seorang pria berbadan besar dengan bekas luka di wajahnya.
Sedari tadi pria itu adalah peserta rapat yang paling sedikit berbicara. Ia hanya memperhatikan dengan seksama setiap perkataan para peserta lainnya. Dan kini, ketika ia mengangkat suara, wajah para peserta lainnya menegang. Wajar, karena pria itu memiliki jabatan tertinggi di ruangan itu dan tidak ada yang berani membantahnya. Jika ia katakan perang akan terjadi, maka perang benar-benar akan terjadi.
Hades, julukan pria itu, dan tidak ada satupun anggota organisasi yang mengetahui nama aslinya. Dia adalah pemimpin tertinggi Dunia Bawah, salah satu bagian Chaos yang bertugas mengerjakan ‘pekerjaan kotor’ organisasi. ‘Pekerjaan kotor’ yang dimaksud adalah pembunuhan atau yang mereka beri istilah ‘penghakiman’. Korban mereka adalah para musuh, pengkhianat dan orang-orang yang secara langsung atau tidak berpotensi membahayakan organisasi. Bukan hanya membunuh, mereka juga harus membuat pembunuhan itu seolah-olah tidak ada kaitannya dengan organisasi. Tak heran jika anggota Dunia Bawah bukan hanya lihai membunuh, tapi memiliki intelejensi yang tinggi.
Selain Hades, ada tiga orang penting di Dunia Bawah yang membantunya memutuskan siapa yang layak untuk ‘dihakimi’ sehingga dijuluki ‘Hakim Dunia Bawah’. Mereka adalah Aiakos, Minos dan Rhadamanthys, para peserta rapat yang saat ini gagal menemukan solusi untuk masalah yang sedang dihadapi Chaos.
Seminggu yang lalu tersiar kabar kematian cucu pimpinan De Duivel. Menurut keterangan seorang saksi, anak itu tewas dibunuh di gedung dekat sekolahnya. Belum diketahui siapa pembunuhnya, namun tuduhan langsung diarahkan kepada Chaos mengingat beberapa waktu yang lalu terjadi perselisihan besar mengenai regulasi migas yang memengaruhi pemasukan kedua organisasi.
Dan seperti biasa, Dunia Bawah diberi tugas untuk menemukan dan melenyapkan cucu sang pimpinan De Duivel, meskipun itu anggota Chaos sendiri. Deadlinenya sudah mutlak, yaitu sebelum De Duivel berhasil melakukannya. Dunia Bawah harus membersihkan nama baik Chaos.
Tiba-tiba pintu ruang rapat terbuka. Mereka terkejut karena tidak ada satupun yang boleh memasuki ruangan itu, apalagi ketika rapat dilaksanakan. Kecuali orang yang kedudukannya sama atau lebih tinggi dari Hades.
“Bolehkah aku masuk?” seorang wanita cantik mengintip dari balik pintu dengan wajah tersenyum. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun karena melanggar salah satu aturan Hades. Tentu saja, wanita itu adalah Persephone, sosok yang berhasil membuat Hades tergila-gila.
“Tentu saja, Sayang,” kata Hades lembut. Para Hakim Dunia Bawah hanya bisa diam. Hanya ketika ada wanita itu mereka bisa melihat salah satu tokoh legendaris Chaos yang paling ditakuti dan terkenal karena kekejamannya itu menunjukkan sisi lembutnya. Ya, itu karena Persephone.
“Masih belum menemukan pembunuh cucu si tua bangka itu?” tebak Persephone yang dijawab dengan anggukan suaminya.
“Kapolres sialan itu. Ia tidak pernah bisa diajak kerjasama. Dan ia menugaskan polisi yang sama keras kepalanya dengan dirinya untuk menangani kasus ini sehingga identitas saksi sangat dirahasiakan. Bahkan tidak ada kabar sama sekali dari orang kita yang ada di LPSK,” gerutu Aiakos.
“Kalau begitu, berhenti mencari di kepolisian. Carilah petunjuk di tempat lain. Di sekolah si korban, misalnya,” kata Hades.
Ide yang sederhana, tentu saja mereka memikirkannya. “Kami sudah mencari tahu di lingkungan sekolah. Tidak ada petunjuk,” kata Minos.
“Itu karena kalian mencarinya sebagai orang luar. Kasus ini pasti ada kaitannya dengan sekolah tersebut. Melihat dari lokasinya, kemungkinan besar saksi adalah salah satu siswa di sana. Kita harus menyelidikinya dari dalam.”
“Apakah kita harus mengirim Trio Cer-Be-Rus untuk menyamar ke sekolah itu?” tanya Aiakos.
“Jangan mereka!” kata Hades dengan nada meninggi. Wajah ketiga Hakim menegang. Mereka tahu, meski selalu mengandalkan mereka, Hades tidak bisa menutupi ketidaksukaannya dengan trio yang disebutkan Aiakos tadi. Hades menjelaskan, mengingat cucu pemimpin De Duivel bersekolah di sana, pasti banyak orang De Duivel yang juga berkeliaran di sekolah itu. Mereka harus mengirim orang yang jarang menampakkan wajahnya, terutama di depan orang-orang De Duivel. Namun orang itu tetap harus lihai dalam pekerjaan ini.
“Dan yang terpenting, dia harus muda. Karena dia harus menyamar sebagai murid.”
“Murid? Bukankah jika menyamar sebagai guru akan lebih mudah?”
“Ada satu kelemahannya: sumber informasi. Jumlah siswa lebih banyak dibandingkan dengan guru. Lagipula siswa lebih terbuka dengan teman sebayanya dibandingkan dengan gurunya,” terang Hades yang dijawab dengan anggukan rekan-rekannya.
“Lalu siapa kandidat yang paling tepat untuk itu?”
Tiba-tiba wanita cantik yang sejak beberapa menit lalu duduk manis di samping Hades mengangkat tangannya pelan. Wajahnya menunjukkan senyuman manis yang mengandung keraguan bercampur keyakinan.
“Kalau boleh usul, aku punya kandidat yang tepat.”
* * *
Langit telah gelap beberapa jam yang lalu. Namun Lamia belum bosan memandang ke luar jendela. Bahkan ia semakin mengagumi indahnya langit malam penuh bintang. Sesekali ia mengintip ke bawah, kembali ia takjub melihat cahaya-cahaya kecil yang menjalar bak lukisan.
Lamia memperhatikan sekitarnya. Hampir seluruh penumpang terlelap. Seorang pramugari berkeliling memastikan tidak ada penumpang yang mengalami ketidaknyamanan dalam bentuk apapun. Sebuah koran dengan tajuk utama ADA BAU DI PROYEK STADION BARU terlipat rapi di kantung belakang kursi pesawat yang ada di hadapannya. Kemudian Lamia mengeluarkan secarik foto. Ia memandangnya dalam sambil menyunggingkan senyum. Tanpa ia sadari matanya mulai berkaca-kaca.
“Siapa itu? Adikmu?” terdengar sebuah suara mengejutkan Lamia. Ternyata seorang wanita tua yang sedari tadi duduk di sampingnya. Lamia mengira wanita itu sudah terlelap.
“Kalau kukatakan ini anakku, apakah Nenek akan percaya?” Lamia balas bertanya.
Sang nenek hanya tersenyum mendengar respon nona cantik di sampingnya itu. Dengan lembut nenek itu berkata sambil mengelus pundak Lamia, “Kamu terlalu muda untuk menjadi ibunya.”
Lamia tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil memandangi sang nenek yang menyandarkan kepalanya ke belakang dan menutup matanya bersiap kembali terlelap.
Tak lama kemudian Lamia ikut merebahkan kepalanya, namun matanya tetap terbuka. Ia kembali memandang foto itu, foto anak lelakinya di acara penerimaan siswa baru. Sebenarnya ia ingin mengikuti acara itu, namun terhambat karena pekerjaan. Untung saja ibunya bisa menggantikannya dan mengirim foto sang anak padanya.
Kembali dugaan yang sering mengganggunya datang, bahwa Dion membencinya. Tentu saja, pekerjaan sebagai travel writer membuatnya berkeliling dunia meninggalkan buah hatinya berdua dengan ibunya. Banyak momen penting dalam hidup sang anak yang harus ia lewatkan. Ia hanya bisa berada di sisi sang anak paling lama dua hari dalam enam bulan.
Bahkan saat ini, meski ia kembali ke tanah air, kemungkinan besar dirinya tidak akan bisa langsung bertemu dengan Dion. Tugas besar menunggunya dan ia harus benar-benar menuntaskannya sampai ia tidak dibutuhkan lagi.
Puas membayangkan permata hatinya, Lamia bersiap untuk membayangkan pengalaman menyenangkannya di Kolombia selama dua bulan terakhir. Ada uniknya sungai Caño Cristales, ramahnya pulau San Andres, bersejarahnya Cartagena, dan indahnya kota Medellin. Banyak sekali kejadian-kejadian menarik yang dilalui Lamia selama di sana. Dan beruntungnya ia karena berhasil mengabadikannya, baik dalam bentuk foto maupun tulisan. Ia berharap kali ini dapat menjadi buku yang hebat.
Perlahan kantuk menyergap Lamia dan akhirnya ia terlelap.
* * *
Beberapa jam kemudian, Lamia telah tiba di tanah airnya. Wajahnya masih mengantuk. Penampilannya terlihat lusuh. Bucket hat hitam yang sudah koyak di beberapa bagian, kaos putih yang tak lagi putih karena kotornya dan dilingkupi kemeja kotak-kotak dominan hijau, celana kargo yang beberapa jahitannya sudah mulai keluar, sepatu kets yang alasnya masih penuh dengan lumpur kering dan tentu saja backpack.
Seorang wanita menunggunya di depan gerbang kedatangan internasional. Ia menggelengkan kepalanya seakan tak percaya orang yang ada di hadapannnya adalah Lamia. Ia tahu bagaimana cantiknya Lamia yang ia kenal. Namun kini ia hanya melihat orang yang berpenampilan layaknya tunawisma.
“Apakah kau benar-benar menikmati penyamaranmu?” tanya wanita itu saat Lamia sudah di dekatnya.
“Tentu saja. Travel writer adalah pekerjaan yang menyenangkan.” Kemudian Lamia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu sambil memelankan suaranya. “Selain membunuh.”
Wanita itu tersenyum. Ia tahu itu bukan becanda dan ia sama sekali tidak terkejut. Bagi mereka, pembunuhan bukanlah barang langka. Bahkan mereka hidup dengan pekerjaan itu. “Lalu, bagaimana dengan pengkhianat itu?”
“Sudah beres. Aku membuatnya dibunuh oleh kartel narkoba di sana. Dan ia mati sebagai Luiz Hernandes, penyamarannya di sana. Untung saja kartel itu punya banyak pengalaman membunuh orang sehingga mayatnya takkan ditemukan dengan mudah oleh polisi setempat.”
“Sudah kau pastikan ia tidak sempat membuka mulut?”
“Sudah. Aku sudah meretas surel dan ponselnya sejak ia menginjakkan kaki di sana. Ia tidak pernah mengirimkan berita tentang Chaos. Memang, ia menulisnya. Namun berita itu belum selesai saat aku melenyapkannya. Aku juga sudah melaporkan siapa wartawan yang sering berkomunikasi dengannya. Sepertinya trio Cer-Be-Rus telah menangani orang itu.”
Wanita itu mengangkat jempol tanda kekagumannya dengan kinerja Lamia. Meski sudah belasan tahun, ia tidak pernah berhenti mengagumi ketangkasan Lamia dalam menyelesaikan tugas. Ia masih ingat bagaimana awal ia melatihnya. Gadis muda yang penuh tekad dan amarah itu kini menjadi sosok pembunuh yang kejam dan lihai.
“Jadi, apa tugasku sekarang, Hecate?” tanya Lamia.
Hecate adalah salah satu anggota penting Dunia Bawah. Ia bertanggung jawab dalam perekrutan serta pelatihan anggota baru Dunia Bawah dan bersahabat baik dengan Persephone. Saat ini, hanya ia anggota Chaos yang dekat dengan Lamia. Wajar, mengingat Hecate adalah mantan pelatihnya dan Lamia sudah lama ditugaskan untuk mengurus masalah luar negeri.
Sebelum memberitahukan tugas Lamia kali ini, Hecate menceritakan tentang kasus kematian cucu pimpinan De Duivel dan pengaruhnya bagi Chaos. Ia juga menceritakan rencana Hades menyusupkan anggota ke sekolah untuk menemukan informasi tentang pelaku pembunuhan itu. Menurut Persephone, dirinya yang paling pantas melakukan pekerjaan itu.
“Kutukan wajah muda,” seloroh Lamia diikuti tawa Hecate. “Tapi tetap saja, aku masih terlalu tua untuk menjadi anak SMA.”
“Tenang saja, aku punya penata rias yang handal. Hanya dengan sedikit sentuhan, ia akan membuatmu seperti remaja. Bahkan kau akan menjadi idola di kalangan cowok-cowok SMA.”
“Ah, aku jadi semakin mirip dengan Lamia,” ujar Lamia. Hecate yang mengerti dengan maksud ucapan bekas muridnya itu hanya tertawa.
* * *
“Bagaimana? Terlihat seperti remaja, bukan?”
Lamia tidak menjawab pertanyaan Hecate. Ia masih sibuk mengagumi sosok yang ada di dalam cermin. Siapa dia? Bahkan dirinya sendiri mengakui kalau sosok itu ‘bukan aku’. Penata rias yang sedari tadi mengutak-atik wajahnya tersenyum puas melihat ‘pasien’nya terlihat bahagia dengan hasil kerjanya.
“Mengagumkan! Dia adalah Picasso dalam hal dandanan. Aku seperti sedang kembali ke masa laluku,” kata Lamia sambil mengelus kedua pipinya. “Aku jadi teringat ketika pertama kali bertemu denganmu. Dulu aku masih belum setinggi ini.”
Hecate tertegun. Ia merespon ucapan Lamia dengan sedikit rasa sedih. Masih melekat di ingatannya bagaimana menyedihkannya kondisi Lamia saat pertama kali mereka bertemu. Beberapa saat kemudian ia mengibaskan tangannya isyarat menyuruh sang penata rias dan anak buahnya meninggalkan mereka.
“Kenapa tidak memilih operasi plastik saja? Lebih simpel dan permanen. Aku punya dokter operasi plastik terbaik yang hasilnya takkan mengecewakan.”
“Tidak, aku takut jika operasinya gagal,” tolak Lamia. “Lagipula aku punya wajah yang cantik dan alami. Melakukan operasi plastik berarti malu dengan wajah asliku.”
Lamia menutup mulutnya ketika mengingat kalau Hecate adalah langganan meja operasi plastik. Ia melihat wajah wanita itu, cuek saja. Sepertinya ia tidak mendengar apa yang dikatakan Lamia tadi.
Jika melihat hasil operasi wajah Hecate, Lamia sebenarnya tidak perlu meragukan kemampuan dokter yang direkomendasikan atasannya itu. Namun ia punya alasan khusus untuk menolaknya. Ia tidak ingin karena operasi plastik, Dion sampai tidak mengenalinya atau membenci wajah barunya.
“Kau sudah mempersiapkan penyamaranmu? Bukankah ini pertama kalinya kau menyamar sebagai anak SMA?”
“Kau tahu sendiri, aku tidak sempat mengenyam bangku SMA. Satu-satunya referensiku hanyalah film Ada Apa Dengan Cinta. Aku belum memutuskan untuk meniru tokoh yang mana. Apakah berkarakter kuat seperti Maura, tomboi seperti Carmen, rapuh seperti Alya, lemot seperti Milly atau sempurna seperti Cinta.”
“Film itu sudah terlalu jadul. Sebaiknya kau cari referensi yang lain.”
Hecate meninggalkan Lamia yang masih mengagumi perubahan wajahnya. Lamia berhenti menatap cermin dan melihat kepergian Hecate dengan santai. Kemudian pandangannya beralih pada setumpuk dokumen. Seperti kata Hecate, itu adalah dokumen identitas baru Lamia. ‘Remaja Dadakan’ itu meraih dokumen tersebut dan membukanya. Dengan teliti ia membacanya. Senyumnya tersungging saat melihat sebuah nama: LARA VERONICA.
Lara sedikit khawatir ketika melihat kota penugasannya kali ini sangat dekat dengan rumahnya. Untung saja di kota itu hanya keluarganya yang mengenalnya. Ia sama sekali tidak pernah bertemu dengan satu pun tetangga. Bahkan demi memudahkan urusan Dion, nenek Sulis mengaku kalau orangtua Dion sudah lama kabur meninggalkan anak lelakinya.
Semoga saja selama masa tugasnya, ia tidak bertemu dengan keluarganya.
* * *
Udara segar pagi yang dihirup dengan penuh penghayatan selalu berhasil memberi semangat lebih bagi semua umat manusia yang ada di muka bumi. Itulah yang selalu dipercaya oleh seorang Lamia sejak kecil. Maka setiap pagi saat keluar dari rumahnya, Lamia memiliki ritual untuk berhenti sejenak di depan pintu, memejamkan mata dan merentangkan tangannya seraya menghirup udara pagi dengan perlahan. Dan percaya atau tidak, ritual itu memang memberinya semangat dan pikiran yang optimis untuk memulai hari yang baru.
Demikian juga dengan pagi ini. Dalam balutan seragam SMA-nya, Lamia melakukan ritual tersebut. Ada perasaan gugup melingkupinya. Ia pernah menyamar menjadi wartawan, dokter, pialang saham, pedagang hotdog, pekerja tuna susila, pria, transgender, dan banyak lagi. Tapi baru kali ini ia harus menyamar menjadi anak sekolahan. Penyamaran yang seharusnya mudah ini sepertinya berhasil memacu adrenalinnya. Bukan karena takut gagal memerankan identitas barunya, ia hanya terlalu antusias.
Lamia turun dari bus transkota. Kebetulan sekolahnya berada di seberang halte. Maka seturunnya dari bus, sekolah itu sudah berdiri megah di hadapannya. ‘Remaja Dadakan’ itu semakin gugup. Ia sebenarnya sudah tidak sabar untuk melewati pintu gerbang tersebut, tapi kakinya seakan terasa sulit digerakkan. Mungkin laju darahnya terlalu kencang sehingga sekujur tubuhnya kaku.
Akhirnya Lamia berhasil melangkahkan kakinya. Betapa senangnya ia melihat keramaian orang yang mengenakan pakaian yang sama dengannya, berseliweran di sekitar sekolah. Wajahnya penuh dengan senyum kagum. Tak pernah terbayangkan di pikirannya kalau ia akan merasakan atmosfer ini. Tidak jika mengingat umurnya sekarang.
“Aw, Lara suka ini!” katanya dengan suara melengking. Kedua tangannya dikepal dan diletakkan di bawah dagu. Kepalanya menggeleng dan matanya memejam seakan ia sedang berusaha bersikap menggemaskan. Semua orang yang mendengar lengkingannya mengarahkan pandangan kepadanya. Namun Lamia, yang kini bernama Lara, cuek saja dan tetap mengaktifkan gaya menggemaskannya.
Lalu matanya terpaku pada sebuah tugu yang berada di dekat taman sekolah. Ia memperhatikan dengan seksama seakan pernah melihatnya. Makin lama dilihatnya, ia makin yakin kalau tugu itu tak asing lagi baginya. Namun seberapa keras ia mengingat, tak ada sedikitpun petunjuk yang menguatkan keyakinannya itu.
Bel tanda masuk pun berbunyi. Para warga sekolah bergegas ke tempat mereka masing-masing. Lamia hanya tersenyum. Ia merasa tidak perlu seperti mereka. Ini adalah hari pertamanya. Ia hanya perlu ke ruang kepala sekolah untuk melaporkan kehadirannya, seperti yang telah diinstruksikan Hecate. Anak buahnya telah mengurus semua dokumen kepindahannya dan menjelaskan tentang ‘orangtua’nya.
Lamia berjalan di sebuah koridor. Ia sadar sudah tidak terbiasa lagi dengan situasi di sekolah sehingga rasanya canggung berjalan di koridor yang kiri-kanannya terdapat kelas yang dipenuhi orang-orang.
Tanpa sadar langkahnya menuntunnya ke belakang sekolah. Ia bingung ketika di hadapannya hanya ada tembok. Seharusnya tadi ia bertanya pada salah satu siswa yang terlambat masuk kelas. Namun ia tetap tenang. Situasi ini tidaklah seberbahaya ketika diacungkan pistol. Ia hanya perlu berpikir, kira-kira apa yang akan dilakukan seorang siswi SMA ketika tersesat di sekolah.
“Aduh, bagaimana ini? Lara tersesat. Lara harus melakukan apa, ya?” katanya dengan sikap manja dan berusaha semenggemaskan mungkin. Namun Lamia kembali menegakkan tubuhnya ketika menyadari tidak ada orang di sekitarnya. Ia merasa telah menjadi orang yang aneh.
“Mama!”
Sebuah suara mengejutkannya. Ia mencari sumber suara itu dengan memutarkan kepalanya. Namun tidak ada siapapun. Kemudian kepalanya didongakkan menghadap bagian atas tembok. Betapa terkejutnya ia ketika melihat sesosok siswa tampan yang sedang terpaku memandangnya di atas tembok. Lamia sangat mengenal anak muda itu. Anak muda yang dulu pernah berada dekat dengan jantungnya. Anak muda yang di dalam tubuhnya mengalir darah yang sama dengan darahnya. Anak muda yang memberikan tujuan hidup baginya. Anak muda yang menjadi harta paling berharga dalam hidupnya.
“Dion!”
Lima belas tahun yang lalu
Malam telah melingkupi kota ini. Tak ada bulan maupun bintang, hanya awan gelap bertumpang tindih di langit. Hujan telah menyapa sejak tadi sore dan belum ada tanda untuk reda.
Seorang perempuan muda berlari menembus hujan. Langkahnya menabrak genangan-genangan air di jalan yang ia lalui. Seluruh badannya telah basah kuyup, namun wajahnya menunjukkan kalau ia tidak peduli.
Ia berhenti di sebuah rumah, sekitar tiga blok dari simpang jalan raya. Ia menggedor pintu rumah itu sembari memanggil mamanya. Tak berapa lama, seorang wanita tua keluar dan ekspresi wajahnya penuh dengan keterkejutan melihat sosok yang sedang berdiri di depannya.
“Ada apa, Feb? Kenapa kau datang dengan kondisi seperti ini?” tanya wanita tua itu.
“Nanti kujelaskan secara rinci, Ma. Intinya, aku sudah mendapat pekerjaan dan sekarang juga kita harus pindah. Aku akan mengurus Dion, Mama beres-beres saja dulu. Bawa saja barang seperlunya.”
“Tapi ini masih hujan.”
“Temanku akan datang membawa mobil. Kita akan naik itu.”
Wanita tua itu hanya bisa menuruti perintah putrinya. Ia segera bergegas merapikan barang-barang dengan kepala yang penuh dengan tanda tanya. Sang putri yang bernama Febri itu juga tengah sibuk memasukkan perlengkapan bayinya ke dalam sebuah tas besar. Dengan cepat ia mengganti baju dan mengeringkan tubuhnya. Kemudian dengan hati-hati ia menggendong bayinya sambil membawa tas tadi.
Sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah itu. Febri memanggil ibunya dan kembali mengingatkan untuk hanya membawa barang-barang seperlunya saja. Sesaat kemudian sang ibu datang dengan dua koper besar di tangannya.
Lelaki yang mengemudikan mobil itu segera keluar dan membantu kedua perempuan itu membawa tas mereka. Ia juga membantu ibunda Febri untuk masuk ke dalam mobil serta memayungi bayi Febri saat hendak menembus hujan untuk menuju mobil.
“Katakan, apa pekerjaanmu sekarang? Kenapa kita harus pindah? Kenapa kau seperti ketakutan sekarang?”
“Suatu saat aku akan memberitahukannya pada Mama. Yang pasti, pekerjaanku ini memiliki resiko yang besar serta bisa membahayakan Mama dan Dion. Tapi pekerjaan ini cukup untuk menafkahi kita dan untuk membesarkan Dion.”
Mendengar penjelasan putrinya, sang ibu seperti tidak puas. Ia tak berhenti mengomeli Febri, bahkan sesekali memukul pundaknya. Beberapa kali wanita tua itu menyebut nama cucunya.
Febri tidak memedulikannya. Ia hanya memandang wajah anaknya. Seperti yang telah dijelaskan teman barunya yang sedang menyetir mobil, pekerjaannya ini kemungkinan besar akan mengikatnya seumur hidup. Mulai hari ini ia menjadi milik organisasi. Besok dan seterusnya ia akan menghabiskan banyak waktunya untuk organisasi. Dan sesuai saran temannya, ia harus merahasiakan keberadaan keluarga agar kedepannya, jika suatu hari ia bermasalah dengan organisasi, keluarganya tidak akan terancam.
“Maafkan Mama, Nak. Mama tidak bisa selalu berada di sisimu. Tapi semua ini Mama lakukan untukmu. Mama berjanji, suatu saat Mama akan selalu berada di sisimu. Mama akan menjaga dan melindungimu. Mama akan memberikan nyawa Mama untukmu.”
Febri menangis. Ia memeluk erat bayinya yang sedang terlelap itu. Ia mengucapkan janji itu berulang kali, meski tak tahu apakah ia bisa menepatinya.
Dan siapa yang menyangka, ia akan menepatinya lima belas tahun kemudian.
* * *
“Kau, beraninya manjat pagar. Mama pikir kau ini adalah anak yang baik. Tidak masuk akal,” kata Febri yang diberikan nama Lamia oleh organisasi dan kini menyamar sebagai Lara. Dan selama ia menjadi anak SMA, kita akan memanggilnya Lara. Ia menjewer telinga putra semata wayangnya.
Dion tidak bisa menghindari mamanya. Ketika mereka saling menyapa tadi, sebenarnya Dion sudah membatalkan aksi melintasi pagar temboknya dan lari menjauhi sekolah. Namun tak disangka, mamanya dapat melompati pagar tembok itu dengan sangat cepat dan menangkapnya. Sang mama membawanya ke sebuah warung sepi yang berada tak jauh dari area sekolah.
Kini mereka sedang berada di situasi yang canggung. Dion ketahuan melakukan kenakalan di depan mamanya, Lara ketahuan melakukan penyamaran memalukan di depan anaknya. Ya, betapa bodohnya ia tidak mengetahui di mana anaknya bersekolah. Pantas saja ia familiar dengan tugu di dekat taman sekolah. Ternyata tugu itu ada di dalam foto Dion yang dikirim mamanya.
“Mama harusnya tahu, siapa di antara kita berdua yang tidak masuk akal,” balas Dion. Lara tersadar dan melepas jewerannya. Dion mengelus-elus kupingnya dengan mimik kesakitan.
“Mama sedang menyamar.” Ucapan Lara terhenti. Ia menatap wajah anaknya yang sedang serius menatapnya. “Baiklah, mungkin ini saatnya kau harus tahu. Sebenarnya Mama bekerja sebagai –“
“Mafia. Iya, aku sudah tahu,” potong Dion. Lara terkejut mengetahui ucapan anaknya itu. Padahal ia mau berkata kalau dirinya adalah seorang intel. “Aku sudah lama tahu.”
“Bagaimana kau tahu? Dari siapa?”
“Sangat kelihatan.”
Dion menceritakan beberapa kejadian aneh yang ia lihat sejak kecil dulu. Setiap kali ia ataupun neneknya mengeluhkan perbuatan seseorang, besoknya orang itu pasti hilang, sakit atau meninggal. Ia dan neneknya juga beberapa kali pindah rumah setelah sang mama menelepon neneknya dengan nada ketakutan. Dan puncaknya adalah ketika Dion tanpa sengaja mengintip isi tas yang dibawa mamanya saat menginap di rumah. Ada beberapa senjata api dan senjata tajam yang dipenuhi dengan bekas darah.
Lara tidak bisa membantah. Ia justru merasa sedikit lega karena anaknya telah mengetahui pekerjaan aslinya namun tidak menunjukkan keberatan atau rasa benci sedikitpun.
“Tapi apapun alasannya, Mama tidak boleh menyamar menjadi anak SMA di sekolah yang sama dengan anak Mama. Itu sangat memalukan.”
“Maksudmu, kau malu dengan Mama?”
Dion tidak langsung menjawab. Ia menatap mamanya tajam. “Aku tidak malu jika Mama berperan sebagai mama, bukan sebagai teman sebaya. Bahkan sejak dulu aku berharap Mama datang saat pengambilan raportku.”
Kini giliran Lara yang terdiam tak menjawab. Ia merasa kata-kata Dion itu sedang menyindirnya yang tak pernah punya banyak waktu untuknya. Bukan hanya itu, ia sedih karena ternyata Dion merindukan kehadirannya. Bahkan ketika ia sudah dewasa seperti sekarang ini.
“Tapi mama tidak bisa menghindari tugas ini. Selain akan memberikan hukuman pada mama, organisasi akan mencari tahu alasannya dan itu beresiko mereka mengetahui keberadaanmu sebagai anak mama,” terang Lara. Ia terkejut melihat tatapan tajam putranya. Seakan-akan Dion ingin membalasnya dengan mengatakan sang mama malu mengakuinya. “Bodoh, mama harus merahasiakan keberadaanmu pada organisasi. Mama tidak ingin mereka menyentuhmu jika mama melakukan hal yang membuat mereka marah. Tidak ada hubungan yang pasti bisa selalu langgeng.”
“Aku tak mau tahu, pokoknya Mama –“
Belum selesai Dion menyelesaikan kalimatnya, seorang pria memanggil mereka dengan suara berat. Tubuhnya tinggi besar dan jalannya tegap. Semakin ia mendekat, Lara semakin melihat betapa tampannya pria itu. Rahangnya tegas, hidungnya lancip dan matanya tajam. Rambutnya yang lebat seperti Shah Rukh Khan menyempurnakan parasnya. Tangannya yang kekar menggenggam sebuah tongkat tipis namun panjang. Sesaat Lara mengagumi sosok itu. Jantungnya mendadak berdetak kencang.
“Siapa itu?” tanya Lara pada Dion dengan nada berbisik.
“Pak Adi, guru Fisika dan Waka Kesiswaan.”
“Ah, aku tahu jabatan itu. Yang kerjaannya merazia barang-barang siswa, menunggui siswa yang datang terlambat dan mencari-cari kesalahan siswa lainnya, kan?” oceh Lara sekenanya.
“Sedang apa kalian di sini? Kalian mau bolos?” tanya lelaki yang bernama pak Adi itu. Ia tidak menunggu jawaban dan langsung menarik telinga pasangan ibu dan anak itu. Lara ingin memberikan serangan balasan, namun ditahan oleh Dion.
Dan jadilah mereka diseret ke sekolah dengan jeweran. Mereka berdua memohon untuk dilepaskan, namun pak Adi tidak menggubrisnya. Sesampainya di dalam pekarangan sekolah, beberapa siswa yang sudah lebih dulu dihukum di pekarangan tertawa. Entah karena cara pak Adi menarik kuping mereka berdua yang terlihat lucu atau karena teman sesama hukuman bertambah. Karena tawa mereka cukup keras, siswa lain menatap mereka dan ikut tertawa.
“Kenapa masih banyak siswa di pekarangan? Bukankah seharusnya mereka sudah masuk ke kelas?” tanya Lara heran.
“Ini hari Sabtu, tidak ada pelajaran di kelas. Yang ada hanya kegiatan ekstrakurikuler dan pulangnya juga cepat.”
Walhasil, Lara harus menahan rasa malu yang teramat sangat. Mungkin baru dia yang pernah merasakan ditertawakan siswa satu sekolahan bersama anak sendiri. Bukan hanya itu, bersama anaknya kini ia harus menjalani hukuman berdiri sambil menghormat kepada bendera di cuaca yang sudah terik meski masih pagi ini. Namun ia tidak menemukan rasa malu itu di wajah putranya. Pemuda berperawakan kurus tinggi itu tersenyum melihat teman-temannya menertawakannya.
“Kenapa senyum-senyum? Jangan bilang kalau kamu sudah terbiasa dihukum seperti ini. Lihat saja, aku akan memberi pelajaran padamu dan nenek,” ancam Lara dengan nada berbisik. Dion terlihat tidak memedulikan orangtuanya itu.
“Hukum saja. Justru aku berencana untuk memaksa nenek melarang Mama menjadi siswa SMA lagi.”
Tiba-tiba seorang lelaki tua datang menghampiri pak Adi yang sedari tadi berjalan bolak-balik di hadapan para ‘terhukum’ sambil melontarkan ceramah panjang. Lelaki tua itu membisikkan sesuatu yang membuat mata pak Adi terbelalak. Kemudian guru tampan itu mengacungkan tongkatnya ke arah Lara.
“Kamu, kenapa tidak bilang kalau hari ini adalah hari pertamamu di sekolah ini?” tanya pak Adi dengan suara beratnya. Lara selalu merinding setiap kali mendengar suara itu. Baginya itu terdengar seksi. “Sekarang pergi ke kantor majelis guru, nanti ada guru yang akan menunjukkan kelas barumu.”
“Tidak apa, Pak. Saya akan menyelesaikan hukuman saya,” kata Lara. Ia mengatakan seperti itu bukan karena dirinya menyukai hukuman, tapi karena ia tidak tega meninggalkan putra kesayangannya.
Namun ia harus mematuhi perintah pak Adi itu.
Dengan berat langkah, Lara meninggalkan putranya dan mengikuti lelaki tua tadi yang belakangan Lara tahu namanya pak Yanto, guru matematika yang sangat jenius perihal angka-angka namun sering lupa di mana ia meletakkan kacamatanya.
Kantor majelis guru berada di hadapan lapangan, di sebuah gedung besar yang atapnya terdapat ukiran indah. Isi dalamnya juga tak kalah megah untuk ukuran kantor majelis guru. Hamparan marmer coklat melapisi seluruh lantai, sangat mengkilat sehingga kelihatannya bisa bercermin di sana. Pikir Lara, ini sangat tidak aman untuk siswi dengan rok pendek sepertinya. Namun setelah diperhatikan, marmer itu hanya memantulkan bayangan yang pendar sehingga tidak terlihat jelas.
Interior ruangannya terlihat mahal. Meja-meja gurunya terbuat dari kayu jati yang tak kalah mengkilat dengan marmer lantai. Kursi-kursinya juga terlihat nyaman dengan busa tebal dan ada sandaran tangannya. Lara berpikir itu adalah kursi pijat. Masing-masing meja terdapat laptop dengan merek yang seragam, meyakinkan Lara kalau itu bukan milik pribadi.
Tidak heran, sekolah itu pasti mendapat banyak bantuan dari pemimpin De Duivel mengingat mendiang cucunya pernah bersekolah di sana. Lara memperhatikan sekitarnya, mencoba mengidentifikasi setiap wajah mereka. Salah satu kemampuannya adalah mengingat wajah seseorang lengkap dengan identitasnya. Meskipun baru sekali dan sudah belasan tahun tak bertemu, Lara masih bisa mengingatnya.
Tujuannya mengidentifikasi wajah para guru adalah untuk mendeteksi keberadaan anggota De Duivel yang menyamar. Selama lima belas tahun menjadi anggota Chaos, Lara sudah pernah melihat wajah banyak anggota De Duivel ketika ia menjalankan tugasnya. Namun ia sangat yakin wajahnya sendiri tidak akan pernah dikenal musuh-musuhnya sebagai anggota Chaos. Bahkan hanya sedikit rekan satu organisasinya yang pernah melihat wajahnya. Tak heran ia dikenal sebagai Lamia, monster perempuan yang suka menyamar untuk membunuh.
“Lara, kamu di kelas XI IPA 1. Wali kelasmu adalah Bu Rika. Kelasnya ada di ujung koridor sana,” kata seorang guru berkacamata tebal dan hidungnya seringkali dinaik-naikkan seakan ingin membetulkan posisi kacamatanya. “Tapi karena tidak ada kegiatan belajar mengajar di kelas, hari ini kamu lihat-lihat sekolah saja dulu. Kalau masih canggung untuk ikut kegiatan ekstrakurikuler, kamu bisa menonton saja.”
Lara mengucapkan terima kasih dan memulai perjalanannya mengelilingi sekolah barunya. Ia bersyukur karena tidak sekelas dengan anaknya yang kini masih duduk di bangku kelas X. Matanya tertuju ke dekat tiang bendera. Ternyata para ‘terhukum’ sudah menyelesaikan masa hukuman mereka. Lapangan tempat mereka dihukum tadi telah terisi oleh beberapa siswa yang sedang latihan paskibra.
Kemudian ia menyusuri koridor sambil memikirkan putranya. Ia masih tidak menyangka kalau Dion yang selama ini diasosiasikan sebagai anak yang baik, cerdas dan berprestasi baru dilihatnya memanjat pagar karena terlambat. Bahkan anak itu sepertinya sering dihukum.
“Kupikir ia akan mirip dengan papanya. Ternyata sifat mamanya yang turun,” batin Lara.
Saat melewati ruang laboratorium, tanpa sengaja Lara mendengar suara benturan, Diam-diam ia mengintip ke dalam laboratorium yang masih gelap itu. Matanya dibelalakkan seakan hendak memperbesar sel batang pada retina sehingga mampu melihat dalam keadaan gelap tersebut. Lama kelamaan akhirnya ia berhasil melihat sumber suara. Seorang pria! Pak Adi!
“Aku menyesal telah memukul mereka. Aku menyesal memberikan hukuman yang berat pada mereka. Harusnya aku cukup menyuruh mereka meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,” katanya sambil membenturkan kepalanya ke atas meja.
Lara bingung melihat tingkah aneh guru barunya. Namun ia tidak berniat untuk mengusiknya. Lara pun pergi meninggalkan laboratorium menuju kelasnya. Saat ini satu-satunya hal yang terpikirkan di otaknya adalah Dion. Banyak hal yang ingin dibicarakannya dengan anak semata wayangnya.
“Hai, anak baru, ya?”
Suara seorang lelaki muda menyapa Lara dan membuatnya memalingkan wajah. Lelaki itu berada di antara teman-temannya yang sama-sama tersenyum nakal melihatnya. Peluh memenuhi wajah dan leher mereka. Terlihat mereka baru saja melakukan aktivitas yang melelahkan.
Tapi Lara masih belum terbiasa dengan sapaan menggoda dari lelaki seperti mereka. Wajar saja, mereka seumuran dengan anaknya. Apalagi ia memang tidak pernah menaruh minat dengan berondong. Akan tetapi ia sadar, saat ini dirinya sedang memainkan peran gadis seusia mereka. Ia harus bisa menyesuaikan diri sesuai dengan perannya saat ini. Meski sulit, akhirnya ia lakukan.
“Hai, juga. Iya, ini hari pertama Lara. Salam kenal, ya.”
Sebenarnya Lara sendiri merasa canggung dengan gayanya yang sangat centil ketika mengatakan kalimat tersebut. Namun semalam ia sudah putuskan untuk mengambil karakter seorang siswi SMA dari salah satu film remaja terbaru.
Dan percakapan akrab pun terjadi antara dirinya dengan para siswa berpeluh itu. Pada akhirnya Lara menyerah dan pamit menyingkir dari mereka. Ia harus bertemu dengan putranya.
Meski sempat terkejut dan bingung, tak bisa disangkal jika ia senang karena memiliki kesempatan untuk dekat dengan anaknya. Sejak dulu ia ingin melihat bagaimana kehidupan buah hatinya itu. Selama ini ia hanya mendengar hal-hal yang baik tentang Dion dari ibunya.
Tak butuh waktu lama, Lara dapat menemukan Dion di satu sudut kantin. Anak itu sedang tertawa dengan beberapa temannya. Keberadaan Dion di tengah mereka sangat kontras. Tidak seperti teman-temannya yang berpenampilan aneh, hanya ia yang terlihat seperti anak SMA normal. Saat hendak memanggil nama anaknya, Lara terkejut.
“Dasar bangsat –“ celutuk Dion di tengah tawanya. Tiba-tiba ia terdiam saat melihat wajah ibunya di kejauhan sedang menatapnya tajam. “–ria. Bang Satria. Iya, dia memang dasar.”
Lara masih menatapnya tajam. Ia tahu, anaknya sedang ‘berimprovisasi’ untuk menghindari amarahnya. Hal ini diperkuat dengan kebingungan teman-temannya yang tidak mengenal Bang Satria yang dimaksud Dion.
Dengan tetap menatap Dion, Lara melangkah masuk ke kantin mendekati gerombolan anaknya itu. Ia berhenti di kios penjual soto yang berada tepat di belakang Dion. Anak lelaki itu gemetaran dan salah tingkah mengetahui mamanya berada di sekitarnya saat ia sedang bersama teman-teman segengnya.
“Buluk, kau masih simpan video kemarin?” tanya seorang temannya yang mengenakan kacamata tebal.
“Vi, video apa?” Dion balas bertanya karena gugupnya. Lara akhirnya tahu julukan yang diberikan pada anaknya di sekolah.
“Video itu.” Si kacamata tebal mendekatkan wajahnya ke arah Dion dan berbisik. Namun bisikannya itu masih bisa di dengar Lara. “Video wik wik.”
Gerombolan itu tertawa. Kecuali Dion, tentunya. Tatapan Lara semakin tajam sehingga Dion dapat merasakannya meski ia tidak beradu tatapan dengan mamanya. Tentu saja Lara tahu maksud dari video wik wik itu.
“A, aku tak pernah menyimpan video seperti itu. A, aku –“
“Eh, Rudi bilang, videonya ada di ponselmu. Kemarin kalian menontonnya.”
Tiba-tiba kursi tempat Dion duduk bergoncang kencang, membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia pun jatuh terjerembab ke bawah meja. Para pengunjung kantin tertawa melihat kejadian itu. Dion tahu siapa yang melakukannya. Pasti mamanya.
“Hei, Dion kan? Kau kelas berapa? Tidak makan? Ayo kita makan soto, biar kutraktir,” kata Lara dengan nada centil saat Dion berhasil berdiri. Semua teman Dion tercengang melihat seorang gadis cantik yang baru mereka lihat menyapa teman mereka.
“A, aku sudah makan. Terima kasih,” kata Dion. Ia berusaha menghindari mamanya.
“Wah, cewek cantik. Anak baru, ya? Siapa namanya? Kok bisa kenal sama Dion?” tanya seorang teman Dion yang penampilannya seperti preman: baju dikeluarkan dengan dua kancing paling atas sengaja dilepas, kerah baju dinaikkan dan lengannya digulung, memakai gelang besi dan kayu, serta rambut yang bisa dikatakan gondrong untuk ukuran anak sekolah. Ditambah lagi wajah mesumnya saat menyapa Lara.
“Iya, aku anak baru. Namaku Lara. Kami kenal saat baru masuk tadi. Kami sama-sama dihukum karena terlambat,” jawab Lara lugas. “Kenapa heran melihat Dion kenal seorang cewek? Bukankah dia cukup populer di kalangan para cewek?”
Pertanyaan Lara itu membuat teman-teman Dion tertawa mengakak. Wajah Dion semakin memerah karena malu. Salah satu teman Dion yang terlihat paling normal di antara mereka memberitahukan Lara sebuah fakta mengejutkan. “Jangankan populer, ia adalah siswa terbodoh dan teraneh di sekolah ini.”
Dion menatap tajam dan teman-temannya itu segera bungkam. Ia pun menarik Lara dan membawanya keluar kantin. Ia tidak ingin teman-temannya semakin mempermalukannya di depan mamanya sendiri.
“Kau berkata kasar, ya? Lalu benar kau menyimpan video mesum? Siapa mereka? Kenapa kau dipanggil ‘aneh’ oleh kumpulan manusia aneh itu?” Lara langsung mencecar Dion dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Inilah kenapa aku tidak suka Mama di sini. Privasiku akan hilang. Mama akan tahu bagaimana aku di sekolah,” kata Dion.
“Justru kalau tidak menyamar di sini, Mama tidak akan tahu bagaimana kau di sekolah. Ternyata jauh berbeda dengan apa yang dilaporkan Nenek. Mama kecewa dengan kalian berdua. Seandainya Mama tahu, Mama akan –“
“Akan apa? Akan berhenti dari dunia mafia dan mulai mengurusiku? Kalau begitu, baguslah.”
Sekali lagi Lara terkejut melihat anaknya. Ia melihat Dion yang berbeda dengan apa yang ada di dalam gambarannya selama ini. Sejak dulu ia tak pernah sekalipun mendengar anaknya itu membantah ucapannya. Dion selalu mengiyakan semua yang ia katakan. Namun saat ini, ia seperti bukan menghadapi anaknya. Apakah terlalu banyak hal yang ia lewatkan dari anaknya itu sehingga sekarang ia sama sekali tidak mengenal Dion yang sesungguhnya?
“Kenapa kau tidak pernah cerita kalau kau tahu pekerjaan Mama? Kenapa kau tidak pernah meminta Mama untuk berhenti dari dunia mafia? Mungkin Mama akan mempertimbangkannya.”
Lara meninggalkan Dion dengan raut sedih. Untuk saat ini, ia tidak ingin berinteraksi dengan anaknya itu. Ia belum siap untuk mendapati hal-hal baru lainnya dari diri Dion.
Sedangkan Dion sendiri merasa bersalah karena telah membentak mamanya. Ia tahu selama ini mereka tidak akrab, tapi tak sedikitpun ia membenci mamanya. Apa yang dikatakannya tadi hanyalah spontanitas karena ia masih kesal dengan penyamaran sang mama. Ingin ia menghibur Lara yang terlihat sangat sedih, namun ia belum menemukan kata-kata yang tepat untuk menghibur. Akan tetapi ia masih berharap mamanya berhenti melanjutkan penyamaran itu.
Pulang sekolah, Dion menunggu Lara di depan gerbang. Bukan hanya mamanya, ia juga sedang menunggu seseorang. Ternyata Lara yang lebih dulu ia lihat.
Dion memanggil mamanya dengan siulan. Ia sangat menyadari hal itu sangat tidak sopan, namun tak mungkin ia memanggil mamanya seperti biasa. Ia sudah lupa nama apa yang dipakai mamanya untuk penyamaran ini.
Lara mendengar panggilan Dion. Sebenarnya ia masih marah dengan putranya itu, namun ia tidak bisa menolak panggilannya. Lara segera menghampiri Dion.
“Ada apa?” tanya Lara.
Dion menarik tangan Lara dan membawanya menjauhi gerbang dan keramaian siswa-siswa yang baru pulang. Beberapa siswa yang melihat perbuatannya menggoda Dion dan Lara. Untuk Lara sendiri, hal itu tidak masalah. Namun Dion merasakan hal yang sebaliknya. Ia malu.
Akhirnya Dion berhenti di sebuah tempat yang sepi. Lara kembali bertanya tentang tujuannya melakukan ini. Belum sempat Dion menjawab, seorang wanita tua datang menghampiri mereka.
“Febri!”
Dion dan Lara mengalihkan pandangan ke wanita tua yang sering dipanggil para tetangganya Nenek Sulis. Lara terkejut ketika mengetahui orang yang melahirkannya ke dunia ini sedang berdiri di hadapannya dengan wajah yang tak kalah terkejut.
Melihat sang nenek sudah datang, Dion langsung menghampiri dan seperti meminta dukungan agar mamanya berhenti menyamar menjadi siswa sekolahnya. Segala macam alasan ia lontarkan untuk menguatkan permintaannya. “Tolong Nenek bicara dengan Mama. Aku malu.”
Lara menampar belakang kepala anaknya itu karena kesal. “Kau hanya takut Mama tahu semua kelakuan burukmu.”
Nenek tidak bergeming. Ia terus menatap Lara, bahkan matanya mulai berkaca-kaca. Seperti ada suatu perasaan yang bergejolak di hatinya. Nenek tidak mengerti, apakah ini perasaan sedih atau senang. Ia hanya ingin melihat putrinya lebih lama lagi.
“Kau punya tempat tinggal? Apakah tidak ada masalah jika selama menyamar, kau tinggal bersama kami?”
Kata-kata nenek Sulis membuat anak dan cucunya tertegun. Mereka menatap nenek, seakan ingin memastikan apakah benar kata-kata tersebut muncul dari mulut wanita tua itu. Kemudian Lara tersenyum, sedangkan Dion menunjukkan wajah protesnya.
“Tidak masalah. Aku akan mengaturnya,” kata Lara. “Lagipula aku punya banyak sekali pertanyaan tentang anak bandel ini.”
Dion tidak menjawab. Ia ketakutan mendengar ucapan mamanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!