Assalamu'alaikum ...
Sebelumnya saya ucapkan terimakasih untuk para readers yang sudah berkenan meluangkan waktunya di novel saya berjudul CINTA BEDA KEYAKINAN.
FYI.
Cerita ini mungkin 50% nya diambil dari kisah nyata saya selaku penulis. Tapi kayaknya saya nggak akan kasih tau mana yang real story atau fake story. Jadi, anggap saja cerita ini sepenuhnya hanya karangan ya.😘
.......
.......
...HAPPY READING ......
...🍁🍁🍁...
.......
.......
.......
.......
Eeqqhhh ... Eeqqhhh ...
"Lep ... pass." Suara seorang wanita yang tengah menahan sakit karena lehernya yang dicekik oleh seorang pria jangkung.
BRAKKK !!!
Dobrakan pintu yang cukup keras tak membuat suasana tegang di dalam ruangan itu terusik.
"Vano, stop!" Tanpa menghiraukan teriakan Fina sang bos pemilik cafe tempatnya bekerja, seorang pria yang disebut Vano itu terus mengeratkan cekikannya pada leher wanita di hadapannya.
"Vano, apa kau sudah gila. Lepaskan dia Vano atau kau ku pecat!" bentaknya lagi sekaligus mengancam kala melihat Vano tak mengindahkan ucapannya.
"To ... long!" Tangan gadis itu melambai lemah meminta pertolongan.
"Vano lepaskan Cia, kau bisa membunuhnya! Apa kau sudah gila hah! Ikut ke ruanganku sekarang juga."
"Diam kau!" Bentakan indah Vano berhasil membuat Fani membulatkan matanya karena terkejut, bahkan para pegawai yang berada di luar lokerpun mulai mengerumuni loker pria tempat di mana Vano, Fani dan Cia berada.
Untungnya loker pria dan wanita berada disamping belakang kitchen. Dan dengan pantry karyawan sebagai jarak, membuat para pelanggan di depan sana tak bisa mendengar teriakan Vano karena ruangan yang cukup jauh dan juga bunyi peralatan dapur yang menjadi backsound utama cafe.
Semua yang berada di loker saat ini menatap tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Seorang Devano Aditya membentak atasannya sendiri. Bukan hanya atasan, Fani adalah bos mereka, owner, pemilik tempat di mana ia mengais rezeki selama hampir 2 tahun ini.
Apalagi saat melihat Vano masih dalam posisi mencekik Cia meski cengkramannya tak seerat awal tadi, namun itu sukses membuat rekan kerja Vano seperti melihat sisi lain yang amat sangat berbeda dari seorang Vano.
Vano memang terkenal dingin dan irit bicara, bahkan selama ia bekerja disana Vano baru satu kali terlibat perkelahian dengan rekan kerjanya karena ia membantu rekan kerja lainnya yang saat itu sedang dilecehkan. Kejadian itu terjadi beberapa bulan setelah Vano resmi menjadi pegawai cafe Senorita yang artinya kejadian itu sudah satu tahun lebih berlalu.
Setelah kejadian itu Vano tak pernah terlibat perkelahian atau apapun sebagainya. Yang mereka lihat, Vano adalah sosok yang sopan dan cenderung tak perduli akan masalah orang lain. Dan hari ini Vano benar-benar menghebohkan seluruh pegawai cafe.
"Lepaskan Cia, kita bicarakan baik-baik oke. A — ayo ikut ke ruanganku." Setelah beberapa menit hening, Fani mencoba kambali membujuk Vano dengan lembut dan disertai rasa gugup yang tak bisa ia sembunyikan.
Ia memang tidak tahu apa akar permasalahannya, karena saat ia ingin melihat kondisi cafe dari cctv ruangannya, matanya tidak sengaja melirik cctv loker yang sedang terjadi saat itu. Yang jadi pertanyaan sampai saat ini adalah, kenapa Vano dan Cia berada diloker pria dengan Vano mencekik leher gadis itu? Fani sungguh pusing saat ini, mungkin dia akan menanyakan ini nanti setelah emosi Vano sedikit redah. Dan dia harap Vano dan Cia bisa memberi keterangan yang sama agar masalah ini lebih mudah diselesaikan.
.....
Hffftt ...
"Bisa dijelaskan Vano Cia?" Fani menatap minta penjelasan kepada dua orang abg labil di hadapannya yang saat ini tengah berada di ruangannya.
Ia menghembuskan nafasnya panjang karena tak kunjung ada yang membuka suara atau hanya sekedar mengalihkan tatapan dari bawah sofa masing-masing. Semuanya masih hening hingga suara Cia mengalihkan tatapan Vano padanya.
Hikss ...
"Bu Fani maafin Cia, Bu. Ini salah Cia." isaknya terdengar hambar.
"Ci — Cia gak bisa nolak Pak Vano, Bu."
Fani dan Vano sama-sama mengerutkan keningnya mendengar ucapan Cia.
"Nolak? Nolak apa?" Fani menatap Cia menanti jawaban, begitu juga Vano yang ingin tahu apa yang akan dikatakan gadis itu.
"Anu, Bu. Pak ... Pak Vano maksa Cia masuk loker cowo, Bu. Dia ... eemm ... dia mau cium aku, Bu," jelasnya terbata.
Fani menatap Vano tajam sedangkan yang ditatap hanya memasang wajah datar kearah Cia. Cia dan Vano seumuran, namun karena jabatan Vano seorang staf mau tak mau semua pegawai cafe harus memanggil Vano 'pak' sesuai kebijakan owner mereka yaitu, Fani.
"Cia gak bisa nolak pesona Pak Vano, Bu. Aku yakin semua wanita pasti ga bakal menolaknya, tapi Pak Vano kelewatan Bu, di ... dia minta lebih, Bu. Hiikkss ... Cia tau dia tampan, tapi Cia masih punya harga diri buat melakukan hal bejat itu, Bu. Hiiikkss ... Hiikkssss ..." lanjutnya dengan terisak.
Fani membulatkan matanya menatap Cia kaget lalu bergantian menatap Vano tajam seolah menunggu konfirmasi dari pria itu, bagaimanapun ia harus mendengarkan penjelasan dari keduanya.
"Lihat Bu, bahkan bibir Pak Vano masih menyisahkan bekas lipstikku, Bu. Ibu bisa lihat resliting rok aku bahkan sudah hampir terbuka semua, Bu." Cia memutar tubuhnya menunjukkan resliting rok bagian belakangnya yang setengah terbuka.
Fani memejamkan matanya, Vano yang belum mau membuka suara seolah apa yang diceritakan Cia itu adalah sebuah kebenaran, membuat kepalanya berdenyut seketika.
"Vano, jika kamu tidak mau bicara, berarti apa yang dikatakan Cia itu memang benar em?" Fani menatap Vano dalam. "Vano, jawab saya! Apakah yang dikatakan Cia itu benar? Dan kamu juga kenapa bisa berada di loker pria bersama Cia?"
Vano yang hanya diam memandang tajam Cia, membuat Fani berfikir bahwa yang dikatakan Cia itu memang benar. "Belum dua bulan kamu saya naikkan jadi supervisor, tapi kelakuan kamu sudah seperti ini?" Fani menekan pelipisnya. "Kamu mau saya kembalikan kebagian administrasi lagi? Atau kamu udah ga mau kerja sama saya lagi? Jawab Vano!" teriaknya yang mulai emosi.
Vano menghela napas kasar. "Jika aku menjelaskan, apa Ibu akan percaya? Terlebih dengan bukti palsu yang orang ini tunjukkan pada Ibu. Ibu bakal percaya sama aku!"
Cia menatap Vano nanar. "Apa maksud Bapak bukti palsu? Jelas-jelas ini kenyataannya pak Vano hikss ...."
"Oke Cia, kamu tenang dulu ya, saya sudah mendengar cerita versi kamu dan saat ini saya butuh cerita versi Vano. Bukan saya tidak percaya sama kamu, hanya saja saya ingin berlaku adil pada kalian meskipun jika memang apa yang kamu katakan itu benar adanya."
"Dan kamu Vano, Ibu mohon kamu ceritakan kejadian sebenarnya versi kamu."
Vano memutar bola mata malas dan menghembuskan nafasnya panjang. "Ibu bos yang cantik. Secara tidak sadar, Anda telah membuang waktu berharga anda selama," Vano menghitung angka dijam tangannya, "empat puluh menit, hanya untuk mengintrogasi kami. Kenapa Anda tidak memanfaatkan fasilitas cafe Anda seperti ..." Vano melirik cctv ruangan Fani lalu pandangannya beralih pada komputer di meja kerja Fani dan diakhiri dengan menyandarkan punggungnya pada kepala sofa setelah mengendikkan bahunya seolah mengatakan 'masalah selesai'.
"Aiiisshhh kenapa ga kepikiran sih," batinnya geram pada diri sendiri.
.....
Setelah hampir 2 jam di ruangan Fani untuk mengecek cctv hari itu dan mendengarkan penjelasan Vano dari cctv yang dilihat. Vano keluar ruangan dengan wajah datarnya sedangkan Cia dan salah satu pegawai yang telah membantunya memuluskan aksinya, keluar dengan memasang wajah kesal dan marah.
Cia terbukti membayar rekan kerjanya untuk membawa Vano ke loker pria. Dengan berpura-pura salah masuk loker karena buru-buru, Cia berusaha menggoda Vano dengan tingkah bodohnya.
Cia diberhentikan secara tidak terhormat di depan Vano dan rekan kerjanya. Sedangkan rekan kerjanya masih diberi kesempatan, hanya saja ia diberi pinalti dengan gaji dipotong 50% dan lembur selama satu minggu tanpa dibayar. Tentunya itu adalah salah satu request hukuman dari korban, Vano.
Dengan mood yang sangat buruk Vano memutuskan pulang lebih awal. Untungnya Fani bisa memahami situasi, jadi ia mengizinkan Vano pulang dari pada kerjaannya berantakan.
Devano Fan Aditya, pria berusia 20tahun. Berasal dari keluarga yang cukup berada, Papanya memiliki usaha bakery, sedangkan Mamanya memiliki salon kecantikan. Kedua usaha orang tuanya cukup terkenal. Meski berada dalam keluarga yang cukup, sejak tamat SMA Vano tidak pernah sekalipun meminta uang jajan kepada kedua orang tuanya. Dia lebih suka mencari uang dari hasil keringatnya sendiri. Selain bekerja di cafe Senorita, saat ini Vano sedang menjalani pendidikannya dibidang management. Karena tidak ingin meninggalkan kerjanya, Vano memutuskan kuliah online agar lebih fleksibel dalam berkegiatan.
Saat membuka pintu keluar, tak sengaja bahu Vano menyenggol bahu seorang wanita yang tingginya hampir setara dengannya.
"Astaghfirullah maaf, Mas. Maaf ga sengaja maaf maaf." Wanita itu menatapnya sekilas lalu menundukkan pandangannya dan segera pergi tanpa menunggu respon Vano.
Vano sempat menatap wanita itu dengan kening mengkerut lalu segera berlalu keluar untuk pulang.
*****
Hallo, bagaimana kesan pertama kalian bertemu Vano? Semoga suka dengan ceritanya yaa.
Nai tunggu jejaknya hihihi...😘
Tamara Adisti, wanita sederhana berusia 21 tahun. Berasal dari keluarga berkecukupan, beragama islam.
Seusai jam kerja, Tara mendatangi cafe senorita untuk bertemu dengan teman semasa SMP nya. Cafe terbaik sepanjang masa, menjadi tempat nongkrong favorite para anak muda milenial. Cafe berlantaikan dua itu juga disertai live music dilantai satu dan ruang VIP dilantai dua dengan fasilitas berupa peralatan karaoke.
Saat akan memasuki cafe bahunya tak sengaja bersentuhan dengan bahu seorang pria yang mungkin seusia dengannya, jika dilihat dari tampangnya sekilas.
Entah salah siapa namun Tara berinisiatif meminta maaf terlebih dahulu. Tara berlenggang memasuki cafe karena tak mendengar sedikitpun suara pria itu. Mungkin ini bukan masalah besar dan juga sebuah ketidak sengajaan, jadi tak apa fikirnya.
"Tumben jam segini udah keluar," tanya Rani. Tara hanya menyengir kuda.
"Pasti bolos lagi hem."
Tara mengangkat bahunya tak peduli mendengar perkataan Afri sedangkan Salsa hanya memutar bola matanya malas. Sudah bukan rahasia umum lagi jika yang namanya Tara ini sangat suka bolos atau memotong jam kerja.
"Haaiiss, nih orang." Rani menggelengkan kepalanya.
"Tar, kamu banyangin deh kalo suatu saat nanti diperusahaanmu ada pegawai macem kamu gini, gimana? Kamu seharusnya bisa berfikir dari sudut pandang rekan kerja atau atasan kamu. Secara tidak sadar kamu itu menyalahgunakan jabatan loh."
Saat SMP, tidak pernah absen buat Tara jika setiap bulannya akan menjadikan rumah Salsa sebagai pelarian saat dia enggan masuk sekolah.
Entah apa alasannya ia pun tak tahu. Bukan tidak mau bertanya, namun ia hanya tak mau menelisik lebih dalam masalah pribadi Tara, apalagi ia tak terlalu dekat dengannya.
Salsa salah satu yang paling bijak dalam berkata diantara sirkelnya itu, tapi Salsa jugalah salah satu teman yang tidak terlalu dekat dengannya. Seakan terdapat jarak diantara mereka berdua yang membuat mereka sangat berhati-hati dalam berkata. Namun meski dengan keterbatasan itu, mereka tetap berteman akrab. Hanya saja akan terasa sangat canggung jika Tara dan Salsa berada berdua saja dalam satu pertemuan.
Mereka berbincang panjang lebar dengan saling lempar canda tawa setelah beberapa tahun tidak bertemu karena kesibukan masing-masing.
Tak jarang Tara yang sering mendapatkan candaan yang sedikit melukai hati. Terkadang ia ingin bertanya kenapa hanya dia yang diperlakukan seperti itu? Mereka memang baik, tapi mereka tidak pernah sadar jika apa yang mereka katakan itu dapat membahayakan hati seseorang, termasuk dirinya.
Ketiga temannya terus saja mengeluarkan candaan, karena Tara selalu menanggapi hal itu dengan senyum dan tawa. Hingga sampai perkataan Rani kala itu menjawab semua pertanyaan dihatinyanya 'Kita tuh suka ngeledek lo soalnya lo tuh ga pernah marah Tar. Tapi jangan diambil hati yah, kitan kan cuma bercanda. Tetaplah menjadi Tara yang seperti ini'.
Yeah!
🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱
Dua minggu kemudian ...
Dengan semangat barunya, seorang gadis dibalik mesin kasir tengah melayani pelanggan yang sedang membayar pesanan makanan mereka.
"Terimakasih, Bu," ucapnya tersenyum ramah.
Saat sedang membereskan barang-barang dibawah meja kasir, seorang pria mendatanginya.
"Mbak, bisa minta bill nya?"
"Meja nomor ber—" Tara menghentikan ucapannya saat melihat wajah pria itu. "Amiiiirrrr ..." teriaknya kaget kemudian segera menutup mulutnya dengan mata melirik kanan kiri karena menjadi perhatian para pelanggan.
Orang yang dipanggil Amir itu terkekeh melihatnya. "Kaget ya, hhe ...."
"Jahat banget sih, kapan pulang? Kok ga ngabarin digrup? Anak-anak udah tau?" tanyanya antusias "Atau ... cuma aku yang nggak tahu?" lanjutnya dengan mata memicing.
Amir tersenyum mengarahkan jempolnya keluar cafe.
"Haah!" Tara terkejut melihat anak-anak yang dimaksud adalah teman-teman tongkrongannya ada diluar cafe. "Kalian jahat banget sih aku ga dikasih tahu."
"Ehheemm!"
Deheman seorang pria dengan bill ditangan menghentikan langkah kaki Tara saat akan keluar dari meja kasir.
Tara menggaruk belakang kepalanya. "Duduk sana nanti aku susul," perintahnya pelan kepada Amir.
"Hhee ... Maaf, Mas. Silahkan," ucapnya sedikit menunduk tak enak hati.
Pria itu pergi dengan terburu-buru setelah memberikan dua lembar uang seratus ribuan dari dompetnya beserta bill ditangannya.
"Mas, kembaliannya," teriak Tara.
Pria itu mengibaskan tangannya tanda tak mau menerima uang kembalian. "Horang kaya bebas." Tara mengangkat bahunya karena telah terbiasa dengan pelanggan yang seperti itu lalu segera menghampiri teman-temannya yang sedang menunggu dimeja tak jauh dari meja kasir.
"Kalian jemput gue kan?" tanyanya saat didepan teman-temannya.
"Lo bawa motor?" tanya Rio pria berkulit putih keturunan bule. "Ntar Nata aja yang bawa motor lo, sekalian dia mau jemput Rena katanya."
"Oke."
"Kalian mau pesen apa?"
"Emang masih bisa pesen?" tanya Nata.
Tara menggaruk kepalanya tidak gatal dan terkekeh pelan. "Emm ... close order sih hihihi."
Mereka memutar bola matanya "Yasudah makan diluar aja, lagian ga mungkin kita ngobrol sedang kamunya kerja," sahut Amir.
"Oke. Gue kesana ya bos gue ntar mantau cctv dari dapur. Maklumlah anak baru, dipantau terus hihi," pamitnya menuju kasir yang belum ada pelanggan ingin membayar, sedangkan teman-temannya keluar resto dan menunggu Tara selesai kerja dimobil.
🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱
Seorang pria berlari dengan terburu-buru memasuki sebuah tempat karaoke yang berada dipusat kota. Ia mengatur nafasnya sebelum memasuki ruangan yang menjadi tempat dimana ia telah ditunggu teman-temannya.
Semua mata tertuju padanya saat ia membuka pintu. Terlihat semua teman-temannya sedang duduk bersama pasangannya masing-masing dan meja yang tampak berantakan dengan piring serta gelas kosong diatasnya.
Tanpa ditanya pun pria itu jelas tahu bahwa ia sangat terlambat. Sebenarnya ia tidak mau datang namun ponselnya terus berdering karena temannya si pemilik acara terus menghubunginya untuk datang meski sebentar saja, katanya. Tapi siapa sangka kedatangannya membuat wajah seorang wanita cantik pemilik acara itu bersedih dan memukulnya dengan tas lalu bergegas pergi meninggalkan lokasi karaoke.
Pria itu mengangkat bahunya seolah bertanya 'ada apa?' kepada teman-temannya yang lain karena ia benar-benar tidak mengerti.
Semua temannya menggelengkan kepala. "Kita sudah mau pulang tapi lo baru datang, ck."
"Gladis mau lo ada saat dia tiup lilin tapi lo nggak ada disini, dia kecewa sama lo, Van," sambung temannya yang lain.
"Dia suruh gue dateng bentar aja, lah ini kan gue udah dateng trus kenapa dia pergi?" tanya Vano masih belum mengerti.
"Dia kirim pesan ke lo jam berapa? Ini jam berapa?" tanya seorang pria bernama Raka.
"Yang penting gue dateng kan ...."
"Dia mau lo dateng sebelum dia tiup lilin Vano!" teriak seorang wanita bernama Sinta.
"Aneh," gumamnya pelan lalu berbalik pergi meninggalkan tempat karaoke. Bahkan temannya yang lain memanggilpun ia acuh karena acara telah usai fikirnya, jadi untuk apa lagi ia disana.
Saat melewati jalanan yang lumayan sepi dan tidak terlalu jauh dari jalan raya, Vano melihat seorang wanita yang tengah bertengkar dengan seorang pria dipinggir jalan dengan kondisi mobil tak jauh dari mereka dan terlihat seperti telah menabrak sebuah pohon besar.
Vano tak perduli karena ia tak mau masuk kedalam masalah orang lain meski hanya sekedar membantu. Anggap saja Vano sedikit jahat dan tak punya hati.
Seolah melihat secercah harapan. Saat mobil Vano mulai mendekati kedua pasangan itu, tiba-tiba sang wanita berlari untuk menghalangi laju mobil Vano dengan merentangkan kedua tangannya. Wanita itu berlari kearah kaca samping kemudi setelah mobil yang dikendarai Vano berhenti.
Ia bisa melihat jelas wanita itu menangis dengan kondisi kepala bagian kanannya basah yang ia yakini bahwa itu bukan guyuran air atau keringat.
"Pak, tolong kami Pak, hiikkss ... Pak tolong!" teriak wanita itu mengetuk kaca pintu mobilnya dengan tangis yang memilukan.
Vano belum membuka kaca mobilnya, ia masih mengamati wajah wanita itu dengan bingung.
"Wanita ini kan kasir diresto tadi," gumamnya pelan.
Vano membuka kaca pintu mobilnya sedikit, ia bisa mendengar jelas suara tangis pilu serta permohonan wanita itu agar ia menolongnya.
Vano masih diam, ia tidak mengerti karena wanita itu hanya mengatakan 'tolong' tanpa mengatakan apa yang harus ia tolong.
Baru ingin membuka suara, tiba-tiba seorang pria yang tadi bertengkar dengan wanita itu kini juga ikut menghampirinya dengan raut wajah panik.
"Mas, tolong kami Mas, mobil kami menabrak pohon. Teman kami yang bawa mobil pingsan dan mobilnya nggak bisa nyala," ucapnya cepat.
*****
Halo udah lanjut bab 2 nih.
Terimakasih yang masih lanjut menemani Tara dan Vano. Semoga suka dengan ceritanya.
Nai tunggu jejaknya ya hihihi...😘
Tamara masih menangis diruang tunggu dengan Vano disampingnya. Vano yang awalnya ingin segera pulang setelah mengantar Tara dan temannya ke rumah sakit diurungkan niatnya, sebab Rio meminta Vano untuk menemani Tara sejenak, karena dia harus mendaftarkan Amir kebagian Administrasi.
Vano melihat jam dipergelangan tangannya telah menunjukkan hampir pukul dua belas malam, ia hendak berdiri untuk menyusul Rio karena dia harus segera pulang.
Melihat Tara yang masih sesegukan dengan kepala menunduk membuat Vano enggan menegurnya. Vano tidak mau mengganggu wanita itu, biarlah dia menenangkan dirinya sendiri atas kejadian yang menimpanya karena ia juga tidak pandai menenangkan orang apalagi ia tidak mengenal wanita itu.
"Terimakasih." Suara lirih Tara menghentikan langkahnya "Maaf merepotkan, sekali lagi terimakasih," sambungnya.
"Eemm," jawabnya lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Tara menatap punggung pria itu hingga menghilang dibalik dinding persimpangan lobi rumah sakit.
Tak lama kemudian Rio datang bersama Nata dan Rena. Tangisan Tara kembali pecah saat Rena memeluknya erat.
"Its oke Tar, Amir pria tangguh. Dia pasti baik-baik aja." Tara hanya mengangguk tanpa menjawab, rasanya ia sangat lelah hingga tak lama ia terlelap dalam pelukan Rena.
....
Suara peralatan dapur yang sedang beraksi membangunkan Tara dari tidurnya. Ia menyipitkan matanya saat cahaya pagi yang menembus gordeng tipis jendela kamar mengenai wajahnya.
Tara yang tahu sedang berada dimana tidak kaget lagi, dengan kejadian memilukan semalam, temannya yang bernama Rena itu sudah pasti akan membawanya kesini.
Mengingat kejadian semalam, Tara jadi teringat kembali akan keadaan teman baiknya, Amir. Ia menatap langit kamar nanar. Bagaimana kabar Amir? Apakah dia sudah sadar? Semalam ia tak sempat bertemu Dokter untuk menanyakan keadaan temannya itu. Mungkin malam ini ia akan membesuk Amir di rumah sakit untuk memastikan keadaan teman baiknya itu.
🍁Flashback On🍁
"Nat, isiin bensin sekalian ya." Tara menyerahkan kunci motornya kepada Nata. "Pom, jangan eceran!" sambungnya.
"Iya bawel," jawabnya malas.
Nata meninggalkan mobil Amir dengan kecepatan tinggi karena jalanan yang lenggang.
Didalan mobil, Tara duduk disamping kursi kemudi menemani Amir menyetir, sedangkan Rio dikursi penumpang sendirian.
"Gue merem bentar ya, capek banget semalem cuma tidur 3,5 jam, mana resto rame banget lagi malam ini." Rio mengikuti Tara yang mulai memejamkan matanya karena dia juga semalaman tidak tidur karena asik bermain game online.
"Eh nggak ada yang nemenin gue nih? Ntar kalo gue ngantuk trus kecelakaan karena nggak ada yang mengajakin gue ngobrol, gimana?" ucap Amir setengah bercanda agar salah satu dari mereka tidak tidur karena dia juga sebenarnya tidak cukup tidur semalam.
Amir datang dari Bali dan sampai di jakarta pukul 4 pagi, dia hanya tidur satu jam karena harus menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim dan harus berbenah rumah yang sangat berantakan membantu ibunya.
Dia tidak sampai hati harus melihat ibunya yang mengerjakan semua itu sendirian, makanya ia rela tidak tidur demi ibunda tercinta. Dia kira akan selesai siang, namun siapa sangka karena banyaknya kendala membuat pekerjaannya baru beres menjelang maghrib.
Tiga tahun berada jauh dari kota kelahiran, meninggalkan teman baiknya, membuat pertemuan mereka sangat singkat karena Amir hanya bisa mengunjungi teman-temannya 6 bulan sekali atau bahkan setahun sekali.
Sebenarnya Amir berencana menemui teman-temannya besok, tapi karena rindu yang teramat, jadi ia nekat menemui temannya malam ini juga sekaligus ingin merayakan kepulangannya.
Namun naas, apa yang ia inginkan tak sesuai rencana. Dengan kantuk yang tiba-tiba menyerang karena hening sepanjang jalan menuju tempat makan tujuan mereka, beberapa pengendara balap liar dari arah yang berlawanan mengagetkannya dan dengan spontan ia memutar kemudinya kekiri sisi jalan.
Tara yang tersadar karena mendengarkan teriakan Amir kaget bukan main. Ia melihat pohon besar yang akan menjadi tempat berhentinya mobil langsung melindungi kepalanya dengan kedua punggung tangan. Sedangkan Rio yang baru tersadar karena tubuhnya terguling kebawah kursi penumpang tak kalah kagetnya.
Amir yang tidak mengenakan safety belt membuat tubuhnya mengalami hentakan yang cukup kuat dan tidak sadarkan diri dengan darah segar dikepalanya.
🍁Flashback Off🍁
Tangan Tara menyentuh kepalanya yang terdapat perban kecil disana. "Ck ... Lebay banget sih, luka kecil doang juga."
Tara mencari ponselnya yang berada didalam tasnya diatas nakas, ia terbelalak melihat jam menunjukkan pukul 06:40.
"Sial! Hampir jam tujuh," umpatnya berlari menuju kamar mandi yang ada diluar kamar.
Rena yang berada didapur sedang menyiapkan sarapan hanya menggelengkan kepala melihatnya. Ia semalam bingung mau membawa Tara pulang kerumahnya, karena ia takut dimarahi ayah Tara yang sedikit menyebalkan menurut Rena. Jadilah ia membawa Tara ke kosannya, tempat paling aman!
Didalam kamar mandi Tara terus menggerutu karena kesiangan "Tuhan, maafkan aku yang tidak solat subuh." Setelah 15 menit Tara telah menyelesaikan acara mandi kilatnya dan keluar dengan hanya menggunakan bra.
"Jahat banget sih lo nggak bangunin gue subuh," gerutunya setelah berada dimeja makan. Ia langsung merampas roti yang ada ditangan Rena lalu memakannya cepat.
Belum sempat Rena melakukan aksi protes, Tara sudah meninggalkan meja makan. Ia masuk kedalam kamar untuk bersiap kerja. Untungnya ia masih punya beberapa stok pakaian dalam dikosan Rena karena ia sering kali menumpang bermalam jika bosan atau sedang ada masalah dirumah.
🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱
Sementara itu di kediaman Fan, ketegangan terjadi selama sarapan berlangsung. Pagi ini aura kemarahan terpancar jelas dari raut wajah Berto Fan. Kedua anak Berto tidak ada yang berani menegakkan kepalanya, mereka memakan sarapannnya dengan kepala menunduk, menatap piring masing-masing.
Berto Fan sebenarnya orang yang lemah lembut namun ketegasan dan kemarahannyalah yang membuat kedua anaknya takut akan sang ayah.
Huuufftt ...
Berto menghela nafasnya panjang. Sebenarnya ia tidak suka kegaduhan dimeja makan, namun ia juga tidak suka keheningan layaknya dikuburan seperti ini.
Berto meletakkan sendok dan garpunya dengan sedikit keras membuat kedua anaknya kaget. Mariska yang kerap disapa Ica, istri tercinta Berto Fan, hanya bisa mengusap punggung tangan sang suami untuk menenangkan.
"Maafkan kami, Pa." Suara kedua anaknya membuat Berto menatap tajam mereka berdua.
"Jelaskan!" Vano dan Deska saling lirik sesaat setelah mendengar suara papanya.
Hening beberapa saat hingga suara Vano memulai percakapan pagi ini.
"Vano semalam menolong orang kecelakaan Pa, dan ... dan mobil Vano mogok saat mau pulang dari rumah sakit," jelasnya singkat.
Berto dan Ica menatap Vano dengan wajah terkejut, begitu juga Deska yang tengah menunduk kini menatap samping kanan, kearah kakaknya.
"Tumben! Sejak kapan? ppfftt ... " Mama Ica menahan tawa "Ehmm sorry sorry," lanjutnya saat mendapat tatapan tajam dari Berto.
"Jangan berbohong Vano, Papa tidak suka orang berbohong apalagi dia anak Papa!"
"Vano nggak bohong Pa, Vano cuma kasian aja karena har—"
"Tapi kok tumben banget sih Kak, ini bukan kamu banget loh. Ya walaupun itu bagus sih," potong Ica sedikit antusias kemudian berganti dengan nada yang sangat pelan diakhir kalimat karena lagi lagi harus mendapatkan tatapan tajam dari sang suami.
"Iya Kak, Kakak kan paling anti sama tolong menolong hihihi," sambung Deska cepat.
"Mana ada jiwa kasiannya hihihii." Deska yang belum sadar jika sedang dipelototi Berto masih dengan tawanya sampai ia menyadari itu lalu segera menundukkan kepalanya dan menutup mulutnya yang masih tidak bisa menahan tawa.
Seketika suara Berto menghentikan tawanya. "Lalu kamu sendiri kenapa pulang larut? bahkan sepuluh menit lebih lama dari Kakakmu."
Masih dengan menunduk, Deska bingung mau memberi penjelasan apa. Padahal sebelum sarapan tadi dia sudah menyiapkan alasan terbaik untuk membela diri, tapi penjelasan singkat kakaknya tadi membuat kata-kata yang telah diukirnya hilang seketika.
"Eemm ... Eeh ... " Mata Deska melirik sana sini berharap menemukan ide brilian atau sekedar mengingat kembali alasan yang ia buat sebelumnya.
"Dugem." Spontan Deska menjerit dengan mata terpejam saat pahanya dicubit oleh Devano. "Hah!" Deska membulatkan matanya dengan tangan membekap mulutnya karena kaget akan ucapannya sendiri.
Mata Deska celingukan menatap satu persatu orang yang ada disana, ia menyengir kuda saat tatapannya bertemu dengan papa dan mamanya, lalu kemudian memutar pandangan kekanan menatap Devano tajam.
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!