NovelToon NovelToon

Cintamu Menjadi Canduku

Bab 1

Pagi yang cerah di kota London, kota yang terkenal dengan julukan The Smoke . Hamparan langit biru membentang luas tak bercela. Surai panjang itu menggelayut indah mengikuti pergerakan tubuh sang Gadis. Kaki rampingnya mengayun cepat menyusuri trotoar jalan raya, mengejar waktu yang kian terkikis. Suara derap pijakan kaki yang menggema terdengar beriringan dengan suara deru kendaraan mesin yang membelah jalanan kota, seolah menggugah semangat untuk terus berlari mengejar mimpi dan kebahagiaan.

Langkah kakinya semakin cepat ketika bus kota yang akan ditumpanginya akan kembali melaju meninggalkan pemberhentian halte.

"Paman...! Tunggu... Jangan tinggalkan aku," pekik gadis tersebut bak seorang wanita yang tengah memelas agar sang pujaan hati tak meninggalkannya setelah mengucapkan kata putus.

"Aaahhkk! Aduh du du! Kepalaku terjepit, siapa saja di sana tolong bantu aku lepas dari sini," rintih si Gadis dengan posisi kepala sudah berada di antara himpitan dua daun pintu bus karena tidak berhasil melewati pintu bus yang hampir tertutup. Beruntung badan bus masih dalam mode berhenti.

Alih-alih segera menolong atau berempati, para penumpang bus lainnya bahkan lebih memilih menertawainya begitu juga si Supir Bus.

"Paman Hugo, kenapa malah ikut menertawaiku? Tolong cepat bukakan pintunya," rengek gadis itu kepada Hugo yang tak lain adalah si Supir Bus. Gadis itu tampak meringis kesakitan dengan rona muka yang sudah memerah.

Hugo yang selalu dipanggil paman oleh gadis tersebut tampak terkekeh seraya menggelengkan kepalanya karena melihat ulah gadis cantik yang selalu bertingkah terlampau lincah. Hingga akhirnya dia membuka kembali pintu bus dengan segera karena mulai iba.

"Fyuuh..! Untung kepalaku tidak lepas," gerutu gadis bernama Allesya yang sudah bisa bernapas lega seraya memutar-mutar kepalanya, memastikan tulang lehernya tidak bergeser posisi.

"Terima kasih Paman," ucap Allesya seolah tidak merasa malu sedikitpun setelah dirinya menjadi bahan lelucon oleh para penumpang bus. Cuek dan masa bodoh, itulah Allesya.

Gadis beriris hazel itu kemudian mencari bangku kosong untuk ditempati namun pagi ini sepertinya memang bukan hari keberuntungannya. Tidak ada bangku kosong yang tersisa jadi mau tidak mau dia harus berdiri.

Dengan satu tangan memegang handle grib bus, Allesya merogoh isi tasnya untuk mengambil ponselnya. Ia sedikit menjauhkan benda pipih tersebut dari depan muka dan mulai bergaya secantik mungkin. Tidak lupa senyuman manis, semanis permen lolipop rasa vanilla ikut melengkapi hasil pose foto close upnya.

CEKREK!

Satu jepretan untuk satu foto sudah cukup baginya. Mimik mukanya tampak berseri ketika jari-jari lentiknya mengetik sebuah caption di bawah hasil tangkapan fotonya.

"Send done. Semoga dia segera membuka pesan dariku," lirih Allesya penuh harap.

Dan benar saja, tidak harus menunggu lama, pesan yang dia kirim langsung dibaca oleh penerima pesan yang tentu saja membuat gadis itu kegirangan.

Siapakah si Pembaca pesan itu sehingga membuat hati gadis cantik itu berbunga-bunga? Dia adalah seorang pria dewasa berusia 25 tahun yang memiliki aset ketampanan paripurna bernama Sean Willson.

Akan tetapi, ada satu hal yang harus digaris bawahi dengan tegas, yaitu selama ini semua pesan dari Allesya hanya dibaca dan tak lebih, itupun dapat dihitung dengan hitungan jari.

Apakah sikap dingin Sean membuat Allesya berkecil hati? Jawabannya tentu saja tidak. Allesya tidak pernah gentar akan sikap Sean yang terang-terang tidak menyukai keberadaannya. Gadis yang kurang beberapa bulan lagi akan menginjak batas usia dewasa 18 tahun tersebut bukanlah sesosok gadis yang akan mudah menyerah begitu saja akan perasaan cintanya.

Meski ia harus rela menelan pahitnya empedu ketika melihat pria pujaan hatinya berkencan dengan wanita lain. Tidak hanya sekali dua kali kepahitan itu harus ia nikmati melainkan berkali-kali. Namun hal itu tak urung membuatnya merubah haluan tujuan awalnya untuk merebut hati Sean Willson, sang Pangeran Berkuda Putih.

Menyerah? Tidak akan. Seperti yang sudah tertulis sebelumnya. Allesya gadis muda yang akan selalu berdiri kokoh dan pantang menyerah demi cintanya.

°°°

Sepasang kaki besar berbalut sepatu kulit mewah model Monk Strap menapak satu persatu anakan tangga menuju lantai satu. Setelan jas kerja bewarna abu-abu lengkap dengan dalaman vest bewarna senada dan kemeja putih membungkus rapi tubuh proposional serta dasi melingkar posesif pada lehernya menambah kemaskulinan serta mempertegas ketampanannya yang membuat hati para kaum hawa meleleh begitu saja.

Sean Willson, itulah nama yang melekat pada dirinya.

Ting...!

Sebuah tanda notifikasi pesan menuntutnya untuk segera menjamah ponsel pintar dari dalam saku jas kerjanya. Di sela langkah menuju mobil, Sean membuka ponselnya.

Sean berdecak jengah setelah mengetahui siapa pengirim pesan tersebut.

Dari : Gadis gila

Selamat pagi Kakak tampan. Ku kirim satu fotoku sebagai penyemangat untuk mengawali harimu yang indah. Oya, bekal sarapan pagi yang aku buat dengan sejuta ramuan cinta sudah aku titipkan kepada paman Baul. Tolong dimakan sampai habis ya.

"Apa dia tidak pernah bosan?" gerutu Sean setelah selesai membaca pesan kemudian kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku, tanpa ada niat untuk membalas pesan tersebut.

"Permisi Tuan, ini ada titipan dari Nona Allessya," lapor seorang satpam yang bernama Baul seraya menyerahkan sebuah tas kecil kepada Tuannya, Sean.

Lagi-lagi pria blonde itu kembali terlihat jengah sebelum akhirnya berbicara. "Buatmu saja," jawabnya singkat.

"Tapi Tuan."

"Kalau tidak mau, buang saja," sela Sean yang langsung melenggang pergi menuju ke mobilnya.

Mengetahui sang Tuan Muda akan keluar, Baul gegas membukakan pintu gerbang raksasa yang berdiri kokoh di depan halaman mansion mewah tersebut.

Setelah mobil yang ditumpangi Tuannya menghilang dari hadapannya, Baul tampak menghela napas panjang seraya menatap sendu kotak bekal yang masih dia pegang.

Tanpa Allesya ketahui, bahwa Sean tidak pernah menerima kotak bekal yang selalu diberikannya. Baul yang merasa kasian dan tidak ingin membuat gadis sebaik Allesya kecewa, mau tidak mau harus berbohong bahwa Tuannya selalu memakan bekal tersebut.

Setiap pagi sebelum berangkat kerja, Allesya memang selalu menyempatkan diri untuk mengantar bekal sarapan untuk Sean.

Berbekal kelincahannya dalam mengorek informasi dari orang-orang terdekat Sean, Allesya sedikit banyak tahu tentang kebiasaan cinta pertamanya tersebut, termasuk salah satu kebiasaannya yang sering melewatkan sarapan pagi. Itulah sebab, gadis cantik itu rutin membuatkan bekal sarapan untuk Sean. Bekal sarapan yang dia buat penuh akan bumbu-bumbu cinta serta bertabur harapan. Harapan agar segala usahanya bisa membuka hati si Tuan Muda Sean, sang Raja Hatinya.

"Apa dia selalu menolak bekal makanan dari gadis manis itu?" lamunan Baul seketika buyar ketika suara seseorang tiba-tiba menguar ke dalam indera pendengarannya.

"I-iya Tuan besar," jawab Baul sedikit ragu. Dia yakin bahwa Tuan besarnya tersebut sudah mendengar dan melihat sendiri sikap cucunya tadi.

Tuan Henry yang tak lain kakeknya Sean tampak menghela napas kasar seraya menggelengkan kepalanya. Jujur, Henry sangat menyayangkan sikap dingin Sean terhadap Allesya. Henry memang menyukai gadis bernama Allesya itu. Menurutnya gadis muda itu berbeda dari beberapa wanita yang pernah menjadi kekasih cucu tampannya yang terkesan nakal dan selalu mengenakan baju kekurangan bahan.

"Berikan kotak bekal itu kepadaku, aku akan memberikannya langsung kepada anak bandel itu," Baul langsung menyerahkan kotak bekal sarapan yang sedari tadi memang masih dipegangnya.

VISUAL ALLESYA

VISUAL SEAN WILLSON

Bersambung~~

...Terima kasih sudah berkenan mampir pada tulisan receh Nofi ini. Mohon dukungannya dengan cara meninggalkan jejak like dan coment ya. Kalau ada rejeki lebih bolehlah sumbangkan gift dan vote mingguannya sebagai apresiasi karya Nofi. Dukungan kalian merupakan penyemangat behargaku. I love you😘...

Bab 2

Di sebuah Coffe Shop tempat Allesya bekerja.

"Selamat pagi Farena," salam Allesya yang baru saja sampai. Seperti biasa, gadis berlensa hazel itu selalu memulai harinya dengan semangat.

"Al, ini ada bingkisan untukmu," ucap Farena seraya meletakkan sebuah kotak bewarna gold berhias pita berwarna senada itu di atas bar counter. Dia bahkan tak membalas ucapan selamat pagi Allesya.

Allesya yang baru saja menjejakkan kakinya di balik bar counter tampak memperhatikan bingkisan tersebut seraya memasang apron barista di tubuhnya. "Dari siapa?"

"Biasalah, dari pengagummu," jawab Farena.

"Ow, terima kasih ya," respon Allesya tampak biasa-biasa saja lalu meletakkan kotak bingkisan tersebut pada rak belakang counter tanpa berniat membukanya.

"Apa kau tidak penasaran dengan isinya?" bagaimanapun juga Farena sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya dengan apa isi bingkisan tersebut. Dari bungkusnya saja sudah terlihat mewah, apa lagi di dalamnya.

"Buka saja jika kau penasaran," balas Allesya tanpa melihat ke arah teman kerjanya itu. Dia tampak sibuk menguncir rambut panjangnya.

"Ck! Sombong sekali dia. Mentang-mentang banyak pria yang menggilainya," batin Farena yang diam-diam memang memendam rasa iri kepada Allesya.

Dengan rasa ingin tahu yang sudah mencapai ubun-ubun, Farena membuka bingkisan berukuran sedang tersebut. Sepasang matanya seketika membola dengan mulut sedikit menganga di kala melihat isi bingkisan yang sukses membuatnya terkesima.

"Astaga...! Barang ini cantik sekali. Aku sangat tahu benda ini memiliki harga yang sangat mahal," batin Farena tertegun karena merasa silau akan keberadaan benda berkilau di depannya. Sebuah jam tangan cantik yang diyakini dari brand terkenal.

Farena terkesiap ketika Allesya menepuk bahunya yang masih dalam mode membatu karena efek tertegun maksimal.

"Kenapa kau malah terdiam?" tanya Allesya kemudian ia melirik ke arah selembar kartu ucapan yang berisikan beberapa rangkaian kata-kata indah sebagai bentuk rasa kagum dari si pengirim bingkisan. Di sana juga tertera nama si pengirim.

"Aku akan mengembalikan benda ini," putus Allesya lalu menutup kembali bingkisan tersebut.

Farena sontak terperangah tak percaya akan tindakan Allesya. "Ck! Lagi-lagi dia bersikap sok naif seolah tidak menginginkan barang-barang mewah. Padahal aku sangat tahu saat ini dia sedang mengejar-ngejar seorang pria dewasa kaya raya," rasa dengki dan iri tampaknya semakin menyelimuti hati Farena.

°°°

"Kakek kenapa kau membawa kotak bekal makanan itu ke kantorku?" protes Sean dengan mimik muka yang sudah ditekuk kusut seperti jemuran baju yang belum disetrika.

"Apa aku pernah mengajarimu untuk tidak menghargai pemberian orang lain?" tukas Henry kepada cucu semata wayangnya.

"Bukan begitu Kek, aku hanya risih pada gadis itu yang selalu mengejar-ngejarku. Jika aku menerima pemberiannya, dia bisa besar kepala dan semakin menggila," Sean membela diri karena tidak terima jika disalahkan terus-terusan oleh sang Kakek.

"Lalu apa kabarnya para wanita binal yang juga mengejar-ngejarmu itu? Kau bahkan membentang lebar tanganmu dan membiarkan mereka menjamah tubuhmu sesuka hati. Sudah berapa kali kau berganti-ganti pasangan? Bahkan dari semua wanita yang kau kencani tidak ada satupun dari mereka yang merupakan wanita baik-baik," sengit Henry.

"Para wanita yang aku kencani itu tidak sama dengan gadis gila itu Kek. Mereka bisa membuatku senang. Sedangkan gadis itu selalu berbuat onar di sekitarku. Selalu merusak kesenanganku dan membuatku gila. Lagian dia masih terlalu muda untukku, aku tidak suka berkencan dengan gadis di bawah umur," sanggah Sean tak kalah sengit.

Tak! Tak! Tak!

"Aw! Apa Kakek ingin membunuhku? Kau bisa melubangi kepalaku dengan tongkatmu itu!" Sean meringis kesakitan diselingi sebuah protesan karena Henry selalu tak segan-segan menggetok kepalanys dengan tongkat setiap kali berdebat.

"Dasar cucu tak beradab! Di umur yang sudah menginjak 25 tahun sudah seharusnya kau mencari pasangan yang ber-attitude baik bukan malah bersenang-senang dengan para wanita liar. Apa kau tidak sadar, kau telah menyia-nyiakan batu berlian hanya demi memungut batu-batu kerikil yang tak bernilai?" hardik Henry seraya menodong-nodongkan tongkat satu kakinya ke arah muka tampan Sean.

Beruntung jarak antara tongkat dan muka Sean sedikit jauh. Kalau tidak, mungkin muka tampan yang sudah menjadi aset beharga bawaan lahir itu sudah berlubang.

"Kek, bisakah kau jauhkan tongkatmu itu dari mukaku? Tindakanmu itu sangat mengerikan," sedetik kemudian Sean menyadari ucapan sang Kakek dan tampak menautkan kedua pangkal alisnya.

"Apa sangkut pautnya dengan batu berlian dan kerikil Kek? Sean tidak mengerti."

"Kau sangat tampan tapi kenapa otakmu sangat bodoh," cibir Henry yang berniat melayangkan kembali tongkatnya ke kepala Sean namun urung dilakukan. Dia benar-benar gemas kepada sang Cucu.

"Kalau aku bodoh, tidak mungkin aku bisa duduk di kursi kebesaranku sebagai CEO saat ini," cicit Sean tidak terima.

Henry sejenak terdiam, ia sempat membenarkan perkataan cucu laki-lakinya tersebut.

"Ah, cucuku itu memang tidak bodoh, tapi hanya kurang pintar saja."

Sean mendesah kasar. "Apa bedanya Kek antara bodoh dan kurang pintar?"

"Asal kau tahu, batu berlian itu adalah Allesya, sedangkan para wanita yang kau kencani hanyalah batu kerikil," tukasnya.

"Kek, kau saja belum lama mengenal gadis itu. Kau bahkan tidak mengetahui latar belakangnya, siapa keluarganya dan di mana tempat tinggalnya bukan. Terus kenapa bisa semudah itu Kakek berasumsi bahwa dia adalah sebuah batu berlian?" tukas Sean yang sangat jengah akan cara pandang Kakeknya terhadap Allesya yang menurutnya sangat berlebihan.

"Terus apa yang kau tahu tentang gadis itu hingga kau membencinya?" Alih-alih menjawab pertanyaan Sean yang penuh tuntutan ia malah balik bertanya.

Sean memijit kedua pelipisnya yang mendadak pusing. Sebenarnya dia ingin sekali segera mengakhiri perdebatannya dengan sang Kakek.

"Kek sudah berapa kali harus aku katakan bahwa aku tidak membencinya. Aku hanya merasa risih dengan sikap bar-barnya yang sering membuatku malu di depan umum. Apa lagi dia masih kecil Kek..., umur kami terpaut 7 tahun. Apa Kakek tega jika cucumu yang terlampau tampan ini dipandang sebagai pedofil?" jelas Sean berharap sang Kakek berhenti memaksanya untuk menerima Allesya sebagai kekasihnya. 'Tidak! Itu tidak akan terjadi' kalimat itu yang terus ditegaskan Sean di dalam hatinya.

"Aku penasaran, apa gadis bar-bar itu memang telah meracuni pikiran otak Kakek sehingga membuat Kakek berpihak agar mau membantunya untuk mendekatiku. Kalau memang benar, sungguh dia gadis yang licik," cerocos Sean seenak lidahnya.

Henry membenahi kacamatanya seraya menyungging salah satu sudut bibirnya hingga terbentuklah seutas senyuman yang penuh akan makna. Pria tua itu mendudukkan tubuhnya pada kursi yang berada di seberang meja kerja Sean lalu meraih kotak bekal yang keberadaanya sempat tak dianggap, sungguh miris.

Sekali lagi, mukanya semakin berseri setelah melihat menu sarapan yang dibuat Allesya untuk Sean. Pria tua itu tampak mendengus geli setelah menyadari bahwa Allesya menata makanan tersebut dengan sangat cantik, sehingga membuatnya tidak tega untuk memakannya.

Setelah sesaat perhatiannya teralihkan pada bekal tersebut, akhirnya Henry kembali bersuara.

"Gadis manis itu bahkan tidak tahu bahwa lelaki tua yang dia ajak berteman ini adalah Kakek dari pria yang dia gilai. Jadi bagaimana bisa kau menuduhnya licik," sanggah Henry yang tidak terima jika cucu kesayangannya menuduh Allesya sembarangan.

Bagaikan rekaman video yang sedang berputar, bayangan ingatan cerita di saat Henry pertama kali bertemu dengan Allesya kembali mengulang.

Bersambung~~

...Terima kasih sudah berkenan mampir pada tulisan receh Nofi ini. Mohon dukungannya dengan cara meninggalkan jejak like dan comment ya. Kalau ada rejeki lebih bolehlah sumbangkan gift dan vote mingguannya sebagai apresiasi karya Nofi. Dukungan kalian merupakan penyemangat behargaku. *I love you***😘**...

Bab 3

Bagaikan rekaman video yang sedang berputar, bayangan akan ingatan peristiwa di saat Henry pertama kali bertemu dengan Allesya kembali terulang.

Brukkk!

Ahhkk!

Seorang pria berusia senja mau tidak mau harus menerima rasa sakit pada tubuhnya karena terjerembab di dalam perjalanannya menuju parkiran mobil. Hal itu bukan semerta-merta karena kecerobohannya sendiri, melainkan akibat ulah sembrono seorang pemuda asing yang berlari tanpa berhati-hati dan menabraknya dengan begitu keras.

"Astaga...! Kakek tidak apa-apa?" pekik seorang gadis yang kebetulan sedang lewat dan melihat kejadian. Dengan cekatan ia membantu Henry bangun dari tanah.

"Hei kau berhenti..!" teriak gadis itu agar si Pelaku berhenti. Akan tetapi, alih-alih berhenti, tubuh pemuda itu justru semakin terlihat mengecil dan menghilang dari pandangannya.

Gadis itu, Allesya, tampak menggeleng seraya membuang napas dengan kasar karena menyadari pemuda tersebut tidak ada etikad baik untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Aduuh...! Pinggangku..., rasanya seperti mau rontok," rintih Henry yang merasa kesakitan akibat benturan keras dengan tanah seraya memegang pinggangnya yang bernasib malang.

"Kakek coba duduk dulu," Allesya menuntun Henry menuju bangku yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berpijak. Ia menyapu butiran salju yang menutupi alas bangku sebelum mempersilahkan pria tua tersebut duduk.

"Bagian mana yang sakit Kek? Apa di sebelah sini?" tanya Allesya seraya menunjuk bagian yang diyakini sebagai sumber penderitaan Henry saat ini.

"Iya, bagian situ sakit sekali," sambil meringis ia membenarkan seraya mengangguk cepat.

Allesya gegas mengobrak-abrik isi tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana.

"Permisi ya Kek," tanpa sungkan dan berpikiran yang aneh-aneh, Allesya sedikit menyibak mantel dan baju yang dikenakan Henry.

"Nak, apa yang akan kau lakukan?" tanya Henry yang tampak terkesiap karena tindakan Allesya yang tiba-tiba tanpa meminta persetujuan darinya terlebih dahulu.

"Aku akan mengobatimu Kek, semoga ini bisa mengurangi rasa sakit di punggungmu," jawabnya lalu mengoles cream pereda nyeri yang seketika memberi sensasi hangat pada punggung pria tua tersebut. Kemudian ia memberi pijatan ringan bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri.

"Bagaimana Kek? Apa masih sakit?" tanya Allesya yang masih telaten memijit punggung Henry.

"Rasanya sungguh nyaman, sepertinya rasa sakitku berangsur-angsur berkurang," jawab Henry dengan seutas senyum penuh kelegaan.

"Syukurlah Kek. Lain kali Kakek lebih berhati-hati ya. Kalau begitu aku permisi dulu ya Kek," pamit Allesya yang langsung berdiri.

"Tunggu dulu," cegah Henry agar gadis yang menolongnya tidak pergi.

"Iya Kek, ada apa? Apa masih sakit?" tanya Allesya sebagai wujud perhatiannya. Sungguh sikap Allesya sukses membuat hati si Pria Tua kian menghangat saat ini.

"Ini untukmu," Allesya terperangah ketika Henry menyodor beberapa lembar uang poundsterling yang diyakini jumlahnya tidaklah sedikit.

"Kek, ini untuk apa?"

"Ini sebagai imbalan karena kau telah menolongku,"

Allesya tampak berpikir. Terus terang ia tidak ingin menolak uang itu begitu saja.

"Benarkah ini untukku Kek? Tapi ini terlalu banyak dan berlebihan," Allesya tampak ragu.

"Jumlah uang ini tidak sebanding dengan apa yang kau lakukan untukku barusan Nak," Henry berusaha meyakinkan gadis di depannya agar bersedia menerima pemberiannya.

"Hmm..., baiklah Kek, aku terima pemberianmu. Tapi Kakek tolong tunggu sebentar disini ya, jangan kemana-mana sampai aku kembali," pinta Allesya yang tentu dituruti Henry.

Masih di dalam jangkauan pandangan Henry. Allesya tampak memasuki sebuah toko baju yang memang terletak tidak jauh dari tempatnya berada. Dan selang tidak lama ia keluar dengan menenteng sebuah paper bag di tangannya.

Pria tua itu masih terus memperhatikan gerak gerik Allesya yang tampak mendekati seorang pria tua yang diyakini penyandang tunawisma. Pria tua yang terlihat sangat menyedihkan itu sedang duduk meringkuk seperti menahan hawa dingin di pelataran toko baju.

Rasa kagum langsung menyelimuti hati Henry di kala melihat Allesya mengeluarkan mantel musim dingin dari paper bag dan memakaikannya kepada penyandang tunawisma tersebut.

Rasa kagum kian menggunung ketika si Gadis memberikan sebagian uang miliknya kepada penyandang tunawisma tersebut.

Dari kejauhan, si Penyandang Tunawisma terlihat sangat senang dan bahagia. Ia bahkan terlihat berurai air mata.

"Kakek aku membelikan ini untukmu," Allesya melilitkan syal yang baru ia beli pada leher Henry.

"Dan ini sisa uang yang kau berikan kepadaku tadi," Allesya mengulurkan tangannya, mengembalikan sisa uang yang sudah ia belanjakan sebagian.

Dengan cepat Henry mendorong tangan Allesya yang terulur. "Sudah ku bilang itu untukmu, jangan kau kembalikan lagi," tolak Henry.

"Tapi Kek aku sudah menerima sebagian uang pemberianmu sesuai yang aku butuhkan jadi sisanya aku kembalikan," gadis itu masih keukeuh dengan pendiriannya.

"Ambillah semua."

"Tidak Kek, terima kasih. Tapi aku tidak bisa menerima semuanya."

Dari sorot matanya, Henry bisa membaca bahwa gadis di depannya itu memang sedang bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia sudah bisa memastikan akan ada adegan saling menolak uang sampai hari berganti esok jika tidak ada yang mengalah.

"Baiklah kalau kau memang bersikeras menolak sisa uang ini," Henry akhirnya menyerah.

"Terus kenapa kau membelikan aku syal ini?" sambung si Pria Tua kembali.

"Itu sebagai ucapan terimakasihku karena Kakek sudah membantuku untuk mewujudkan keinginanku dengan uang pemberianmu," Henry langsung bisa menangkap maksud dari perkataan Allesya. Dengan uang itu, Allesya bisa membelikan mantel musim dingin untuk penyandang tunawisma yang memang sedang tampak kedinginan. Itulah keinginan Allesya saat itu.

Henry tiba-tiba terkekeh geli. "Jadi kau menghadiahiku syal dari uang yang ku beri?"

Allesya mengangguk cepat dengan mimik muka yang begitu tampak lugu. "Hehehe, iya Kek karena terus terang aku memang tidak mempunyai uang lebih karena belum gajian," gadis itu tampak tersipu malu.

"Kau sungguh gadis yang manis. Hmm, apa kau mau berteman denganku?" Henry mencoba menawarkan sebuah jalinan yang lebih dekat.

"Tentu saja," Allesya menjawab dengan cepat tanpa ada keraguan sedikitpun.

"Tapi apa kau tidak malu berteman dengan pria tua sepertiku? Aku sudah keriput dan peyot," Henry mencoba memancing kembali respon Allesya.

"Kenapa aku harus malu berteman dengan Kakek tampan."

"Tampan? Aku? Benarkah?" Henry mencoba mengoreksi. Sebenarnya jika benar yang dimaksud tampan itu adalah dia, sungguh dia akan sangat senang dan langsung melambung tinggi membawa eksistensi kenarsisannya ke langit ke 7.

Ternyata dari sini bisa terlihat, bahwa kenarsisan Sean diwarisi dari Kakeknya, Henry.

Lagi-lagi Allesya mengangguk cepat. "Iya, setelah aku perhatikan Kakek masih sangat tampan meski usia sudah di lanjut usia. Aku yakin dulu Kakek seorang idola para wanita," Henry sontak tergelak mendengar ucapan polos Allesya.

"Kau memang benar, aku dulu memang sangat tampan. Bahkan ketampananku menurun ke cucu lelakiku. Aku yakin kau akan langsung jatuh cinta jika berjumpa dengan cucuku," Henry langsung membenarkan meski terkesan narsis.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan meja yang menyeruak ke dalam indera pendengaran Henry sontak menarik paksa ingatannya dari lamunannya. Tepatnya melamun sambil memakan bekal sarapan dari Allesya.

"Kek, kenapa kau malah menghabiskan bekal sarapanku?" tanya Sean dalam mode heran.

"Kenapa kau terlihat tidak ihklas jika aku memakannya. Bukankah kau tidak menginginkannya? Atau jangan-jangan kau menyesal tidak memakannya," Henry mencoba membuat kalimat pancingan. Berharap dia mendapatkan jawaban yang dia harapkan.

"Mana mungkin aku menyesal. Aku hanya tidak ingin Kakek sakit perut karena memakan makanan yang tidak terjamin kebersihannya," kilah Sean yang ternyata memberi jawaban tak sesuai harapan Henry.

"Aku akan ada meeting sebentar lagi," sambung Sean. Sekilas ia melirik ke arah jam yang melingkari pergelangan tangannya. Dia tidak ada niat mengusir Kakeknya, memang benar hari ini dia ada jadwal meeting.

"Dasar cucu kurang ajar, kau berniat mengusirku ternyata," cerca Henry lalu beranjak dari duduknya berniat meninggalkan cucu kesayanganya.

"Kek, berhati-hatilah saat pulang. Jangan lupa makan dan minum obat," langkah Henry yang sudah berada di ambang pintu seketika tertahan lalu merotasikan lehernya ke arah Sean dan melempar senyuman hangat sebagai wujud respon senangnya.

Itulah Sean, meski ia sering kali menggelar perdebatan dengan sang Kakek namun perhatian dan kepeduliannya masih selalu ia torehkan sebagai wujud kasih sayangnya.

Bersambung~~

...Terima kasih sudah berkenan mampir pada tulisan receh Nofi ini. Mohon dukungannya dengan cara meninggalkan jejak like dan comment ya. Kalau ada rejeki lebih bolehlah sumbangkan gift dan vote mingguannya sebagai apresiasi karya Nofi. Dukungan kalian merupakan penyemangat behargaku. I love you😘...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!