Galexia atau wanita yang sering dipanggil Sia itu tengah membersihkan taman miliknya. Kegiatan seperti ini tentu sudah menjadi kebiasaan dirinya semenjak menikah. Memilih menjadi seorang istri yang baik, membuatnya rela berhenti bekerja. Dia lebih memilih berdiam diri di rumah dan menunggu suaminya pulang dan melakukan pekerjaan ibu rumah tangga.
Namun, pagi ini adalah pagi yang berbeda untuk seorang Sia. Entah kenapa sejak tadi, dia sudah tak sabar menunggu suaminya pulang. Dirinya sangat bersemangat untuk memberitahu sebuah kabar gembira yang baru saja dia tahu. Suatu hal mengejutkan yang Allah berikan kepadanya.
Seorang calon bayi yang tengah hadir di dalam perutnya menjadi saksi buah cintanya dengan sang suami. Bayangan ketika malam panas itu tentu tanpa sadar membuat kedua pipi Sia merona. Dia menggelengkan kepala dan menepuk pipinya untuk menghilangkan pikiran mesum yang berkeliaran di kepalanya.
"Kita tunggu papa ya, Nak. Mama yakin papa juga senang dengan keberadaanmu," ucap Sia dengan mengelus perutnya dengan lembut.
Mengusir kebosanan akhirnya Sia kembali meneruskan pekerjaan yaitu merawat taman yang dibangun khusus untuknya oleh sang suami. Dia menyiram seluruh tanaman dengan bersenandung kecil. Galexia tak menyangka jika mengandung akan membuatnya sebahagia ini. Hingga tak lama setelah pekerjaan selesai dia kembali masuk ke dalam rumah.
Tanpa sengaja, saat Sia ingin menaiki tangga menuju kamarnya. Dia berpapasan dengan sang mertua yang selalu memandang tak suka pada dirinya. Menghela nafas berat, Sia melangkahkan kakinya ke arah sang mertua dan berniat menyapanya.
"Bagaimana kabar, Mama?" tanya Sia dengan tulus.
Pandora yang merupakan mertua Sia menatap sinis ke arah menantunya. Dia letakkan majalah yang dipegang lalu menatap wajah Sia dengan tajam.
"Sangat buruk. Bahkan melihat wajahmu selalu membuat mataku sakit," serunya dengan nada sinis.
Galexia menunduk. Sejak awal memang mertuanya ini tak memberikan restu karena dirinya hanyalah seorang anak yatim piatu yang lahir di panti asuhan. Namun, sang suami terus memohon dan mendesak sehingga membuat Pandora mengalah. Dia dengan terpaksa mengizinkan anaknya menikah dengan wanita yang begitu tak level dengan keluarganya.
"Maaf jika kehadiranku selalu membuat mama sakit," kata Sia dengan pasrah.
"Sampai bosan aku mendengar kata maafmu. Lebih baik kau pergi dan tinggalkan anakku agar dia bisa menikah dengan wanita pilihanku!" seru Pandora dengan santai tanpa merasa bersalah.
Degup jantung Galexia berdetak kencang. Dia menatap wajah mertuanya tak percaya. Hatinya berdenyut sakit tak menyangka bila mertuanya masih memendam rasa benci yang teramat sangat pada dirinya. Namun, kali ini Galexia tak selemah dulu. Sekarang dia memiliki malaikat kecil yang akan menjadi penguatnya dengan sang suami.
"Aku tak akan meninggalkan suamiku kecuali dia yang memintanya, Ma," kata Sia mantap lalu dia beranjak berdiri. "Sia ke kamar dulu." Pamitnya tanpa memberikan jeda untuk mertuanya menjawab.
Pandora menatap sinis ke arah menantunya. Dia tersenyum licik saat membayangkan apa yang dilihatnya tadi.
"Kita lihat saja nanti. Apa kau masih bisa bertahan ketika anakku sendiri yang akan mengusirmu."
****
Tepat pukul enam sore. Seorang pria tampan tengah memasuki rumah yang selalu mengingatkannya dengan sang istri. Matanya menatap sekeliling sampai suara lembut sang istri menyapa dirinya.
"Aku merindukanmu," katanya dengan mencium kening sang istri tanpa peduli raut wajah jengah sang mama yang berdiri tak jauh dari keduanya.
Galexia terkekeh pelan. Dia mencubit hidung sang suami dan segera mengambil alih tas kerjanya. "Gombal," ledek Sia membuat pria itu tertawa.
"Halo, Ma. Bagaimana kabar, Mama?" tanya pria itu lalu memeluk Pandora dengan erat.
"Mama baik-baik saja, Nak." Pandora mengelus kepala sang putra dan pelukan keduanya merenggang.
"Kakak mau mandi?" tanya Galexia sambil berjalan mendekat ke arah sang suami dan mertuanya.
Pria itu mengangguk. "Badanku sudah bau, Sayang. Pekerjaan di kantor juga padat."
"Ya udah. Sia siapin air hangat dulu yah?" Saat Sia hendak melangkahkan kakinya. Suara sang mertua membuatnya mau tak mau menoleh.
"Sia, apakah ini milikmu?" tanya Pandora dengan mengangkat salah satu tangannya yang memegang sebuah benda persegi panjang.
Jantung Sia berhenti berdetak. Bahkan matanya melebar ketika menyadari apa yang tengah dipegang mertuanya.
Bagaimana bisa benda itu ada pada, Mama, ucapnya dalam hati.
"Apa itu, Ma?" tanya pria itu lalu mengambil ahli benda itu.
Seketika raut wajah sang pria berubah. Dia tak bodoh dan tahu alat apa yang dipegang mamanya. Serta garis dua yang ada, membuatnya menatap sang istri dengan tatapan tak percaya.
"Siapa ayah dari anak itu!" tanyanya sambil memperlihatkan garis dua pada tespek di tangannya.
"Ini anakmu, Kak," ucap suara perempuan dengan tangisan hebat di kedua matanya.
"Jangan berbohong, Sia! Katakan! Anak siapa itu?" teriak sang pria dengan wajah memerah menahan kemarahan yang begitu besar.
"Ini benar anakmu, Kak. Ini anakmu!" teriak Galexia dengan mata memerah karena terlalu banyak menangis.
"Aku tak pernah menyentuhmu selama kita menikah! Cepat katakan sebelum kesabaranku habis, Sia!" ucapnya dengan amarah yang berkobar.
Jujur ini sangat menyakitkan untuk Sia. Di saat semua pasangan di luar sana merasa bahagia ketika mendapati istrinya hamil. Namun, tidak dengannya, justru suami yang dia cintai meragukan buah hati yang baru saja dia kandung.
"Dasar menantu tidak tahu diri. Anak haram siapa yang kau kandung itu, 'hah?" seru sang mertua dengan nada tinggi.
"Aku berani bertaruh, Ma. Ini anak suamiku," lirih Galexia dengan suara parau.
"Masih saja berbohong. Dasar penipu. Cepat katakan! Siapa ayah dari anak itu?"
"Hiks...aku berani bersumpah jika ini adalah anakmu, Kak," lirihnya dengan menatap wajah suaminya dengan lekat.
Memandang wajah suaminya tentu membuat Galexia mengingat bayangan ketika malam panas itu terjadi. Saat itu di luar rumah sedang turun hujan deras, hingga entah kenapa membuat Galexia merasa mengantuk. Dia menatap jam dinding di kamarnya yang menunjukkan pukul sebelas malam.
Sudah selarut ini, tapi mama mertua dan suaminya belum pulang. Keduanya memang pamit keluar untuk menghadiri acara kolega mertuanya. Hingga dengan terpaksa, Galexia tak ikut acara tersebut.
Semakin lama kantuk itu menyerang hingga membuat Galexia tertidur. Terlalu lelah atau mungkin karena sudah mengantuk, ia tak menyadari jika pintu kamar terbuka dan masuklah seorang pria yang sedari tadi dia tunggu.
Perlahan Galexia merasakan sapuan hangat di wajahnya dan tak lama kecupan-kecupan ringan di wajah membuatnya terpaksa bangun. Matanya melebar saat mencium aroma alkohol dari tubuh suaminya. Dia segera duduk dan mendorong tubuh pria yang begitu dia cintai ini.
"Kakak minum yah?" tanya Galexia sambil menatap penampilan suaminya yang berantakan.
"Sedikit," sahutnya dengan kembali memajukan wajahnya di ceruk leher sang istri.
"Kak," lenguh Galexia saat merasakan lehernya dihisap kuat oleh sang suami.
Entah siapa yang memulai, akhirnya setelah hampir satu minggu menikah. Malam ini keduanya baru menghabiskan malam pertama yang begitu panas. Seakan dua tubuh itu saling mencari kenikmatan pada yang lain. Tak mau berhenti dan sikap liar sang suami tentu membuat Galexia tak bisa menolak.
Hingga pagi harinya, ketika Galexia membuka mata, dia hanya sendirian di dalam kamar dan dengan keadaan ranjang yang berantakan. Namun, ada hal yang janggal yang ia lihat. Dia tak menemukan keberadaan sang suami sekaligus pakaiannya yang berantakan.
"Kau!" tunjuk pria tampan itu lalu mendekat.
Suaranya yang kencang tentu menyadarkan Galexia dari lamunannya. Dia begitu ketakutan ketika melihat sosok yang berbeda dalam diri suaminya. Bahkan Sia bisa merasakan tubuhnya gemetaran ketika sang suami mendekatinya.
Pria itu mengapit kedua pipi Galexia dengan kuat hingga wajah keduanya saling berhadapan. Bisa Sia lihat, di mata sang suami tak ada lagi cinta kasih seperti biasanya, melainkan kemarahan dan keraguan yang begitu besar hingga membuat Sia tak merasakan sakit di tubuhnya. Semua seakan kalah dengan perasaan hancur di hatinya.
"Sampai kapanpun aku tak akan mengakui anak itu, ******!" Tangannya menghempaskan wajah Sia dengan kasar hingga meninggalkan bekas merah di kedua pipinya. "Aku talak kamu sekarang dan pergi dari rumahku!"
~Bersambung~
Selamat siang semua. Hy akhirnya aku bisa menyapa kembali dengan cerita baru di sini.
Semoga kalian terhibur dan tertarik untuk membaca karyaku yang aku ikutkan event Anak Genius.
Semoga bab satu gak bikin kalian gemes gemes kesel yah, hehehe.
Jangan lupa klik favorit biar kalian gak ketinggalan jadwal updatenya. Tinggalkan like dan komen untuk menjadi pendukung author. Vote juga untuk mengapresiasi karya ini yah.
Terima kasih~~
Seminggu pun berlalu. Semenjak ucapan talak keluar dari mulut sang suami dan dirinya yang diusir. Galexia pergi membawa anaknya yang masih dalam perut ke rumah lamanya. Ya, dia masih memiliki rumah. Walau kecil dan sederhana. Namun, rumah ini begitu nyaman. Tak sia-sia jika dulu dia menabung dari hasil kerjanya untuk membeli rumah ini dan ternyata sekarang, bangunan ini benar-benar menjadi penyelamatnya.
Tepat hari ini, surat cerai datang dari utusan sang suami. Galexia yang kala itu sedang menyiram tanaman. Langsung mengambil kertas coklat dan membawanya masuk ke dalam rumah. Matanya menatap kertas yang berlogo pengadilan agama. Tanpa ia buka, Sia juga paham apa isi surat itu.
Namun, bagaimanapun dia harus sanggup membukanya. Sambil menenangkan hatinya, perlahan tangan lentik Sia bergerak membuka amplop tersebut. Membuka lipatan demi lipatan hingga tak lama kata demi kata di kertas putih itu terlihat.
Matanya bergerak dengan cepat. Dia membaca semua kata itu hingga pandangannya jatuh pada satu kalimat. Alasan perceraian ini karena dirinya melakukan perselingkuhan. Tanpa terasa kertas itu perlahan jatuh dan bersamaan air mata mengalir di kedua sudut matanya. Dadanya terasa sesak seakan dihimpit beban berat di sekelilingnya.
Hingga pikirannya tersadar akan keberadaan sang buah hati yang berada di dalam tubuhnya. "Maafkan mama ya, Nak. Mama janji ini adalah kesedihan mama yang terakhir kalinya. Setelah ini kita pergi dari sini dan meninggalkan segala luka yang ditorehkan pada hati Mama."
Akhirnya beberapa hari kemudian, Galexia menghadiri persidangan perceraiannya dengan sang suami. Dengan mulut yang bungkam, dia hanya bisa menerima segala tuduhan yang dikatakan oleh pengacara sang suami kepadanya. Hingga sidang terakhir selesai, keduanya resmi bercerai dan tak memiliki ikatan apapun lagi.
Mengingat janji dengan sang calon buah hati, tak ada lagi raut wajah beban pada diri Galexia. Wanita itu bahkan dengan sikap tenangnya keluar dari persidangan tanpa menatap wajah mantan suaminya. Dia tak mau menangis ketika melihat wajah yang selalu membuatnya jatuh cinta.
Hingga tak lama, dari belakang terdengar sayup-sayup suara seseorang memanggil namanya hingga membuatnya berbalik.
"Bagaimana?" tanya Pandora menatap wajah mantan menantunya dengan senyum penuh kepuasan. "Aku sudah mengatakan, 'bukan? Jika aku bisa menghempaskanmu dari hidup anakku dengan mudah."
Galexia menatap mantan ibu mertuanya tak percaya. Dia tak menyangka jika obsesi Pandora untuk membuatnya berpisah sampai di titik ini. Apakah ada ibu macam dirinya yang merusak kebahagiaan anak hanya karena kasta yang berbeda? Sungguh licik sekali jika pemikiran seperti itu masih ada.
"Aku pergi bukan karena aku kalah, Ma. Tapi aku hanya ingin melihat. Sampai mana titik penyesalan suamiku yang menceraikanku karena mengandung benihnya ini," ucap Galexia penuh penekanan dan langsung pergi meninggalkan mantan mertuanya.
Dia sudah tahu jika ini semua rencana mertuanya. Namun, Galexia tak mau membalas. Dia yakin jika apa yang terjadi hari ini, pasti ada hari penyesalan yang Allah siapkan ketika tabir kenyataan terungkap.
****
Setelah mengemasi segala pakaiannya, Galexia segera keluar dari rumahnya. Sebentar, dia menatap bangunan yang menjadi tempat tinggalnya beberapa hari ini. Dia menatap rumah yang memiliki banyak kenangan itu dengan mata berembun. Sia memang sudah mengambil keputusan. Dia sudah menjual rumah ini dan memilih tinggal di kota kecil.
Dia tak mau mengingat segala hal tentang kota ini lagi. Dia tak mau melihat seberapa banyak tempat yang menjadi kenangannya dengan sang suami. Semuanya sudah selesai dan dirinya telah menutup kenangan itu dengan rapat.
Sedangkan di tempat lain, seorang pria tampan tengah menatap pigura besar yang masih terpajang indah di kamarnya. Dia menatap dengan perasaan yang tak bisa dijabarkan. Ada perasaan benci, marah, cinta dan rindu melebur jadi satu. Namun, mengingat pengkhianatan sang istri, membuat cintanya berubah menjadi benci.
Tak lama, lamunannya buyar karena suara sang mama yang memanggil diikuti pintu kamar yang terbuka.
"Semua sudah siap?" tanya Pandora menatap jengah putranya yang tengah mengamati foto pernikahannya.
"Sudah, Ma," sahutnya dengan menunjuk koper yang berisi pakaiannya.
Pandora mendekat ke arah sang putra. Dia menepuk kedua pundaknya dan memberikan senyuman. "Lupakan semuanya. Dia sudah berkhianat dan tak ada hati serta cinta sedikitpun untuk seorang penghianat. Betul?"
Sang pria mengangguk. Dia menatap figuran tersebut sekali lagi sebelum mengikuti langkah kaki mamanya. Setelah ini tak akan ada lagi kamar ini dan kenangannya. Tak ada lagi senyuman apapun. Dia berjanji akan mengembangkan perusahaan miliknya yang berada di New York agar bisa bersanding dengan perusahaan entertainment besar lainnya di sana.
Dia berusaha melupakan semuanya dan berjanji akan fokus bekerja sehingga pikirannya benar-benar hanya ada untuk bekerja dan bekerja.
****
Cuaca siang di Kota Jakarta begitu panas. Hingga membuat Galexia yang menunggu kereta di stasiun harus menahan suhu tinggi yang terasa begitu menyengat kulitnya. Ditambah banyaknya orang berlalu lalang membuat kepalanya sedikit pusing. Sepertinya kondisi tubuhnya karena hamil juga membuatnya lemah seperti ini.
Saat kereta yang ia tunggu sudah tiba. Galexia segera menarik kopernya dan berjalan memasuki kereta bersama pengunjung yang lain. Matanya segera menatap kursi mana yang kosong dan mencari kursi yang membuatnya nyaman.
Satu persatu kursi mulai dipenuhi. Hingga tak lama, sakit di kepala Sia terasa semakin berdenyut dan membuatnya tanpa sadar mencengkram lengan seseorang yang duduk di sampingnya. Nafasnya kian berat, dadanya kembang kempis dan membuat matanya sedikit mengabur. Namun, samar-samar dia mendengar suara seorang lelaki asing memanggilnya dengan diiringi sebuah aroma yang begitu menenangkan hingga membuat Sia sedikit lebih lega.
Sambil menghirup aroma yang entah milik siapa. Perlahan mata Sia terbuka hingga tatapan miliknya langsung bertabrakan dengan manik mata seorang pria tampan di depannya. Wajah keduanya yang berdekatan membuat Sia segera sadar dan menjauhkan kepalanya.
"Aw," lenguh Sia saat kepalanya tanpa sengaja terantuk besi kereta di belakangnya.
"Apa Anda baik-baik saja?" tanya pria tersebut hingga membuat Sia yang mengelus belakang kepalanya mengangguk.
"Terima kasih."
"Sama-sama. Lain kali jika sakit, jangan bepergian," tegur pria itu hingga membuat mata Sia memicing tak suka.
Siapa dia, baru kenal sudah berani berkomentar, gerutunya dalam hati.
"Jangan menggerutu dalam hati, Nona. Lebih baik sampaikan langsung."
Wah dia benar-benar bisa membaca pikiran, lanjut batin Sia yang menatap wajah pria tampan di depannya.
"Maaf." Setelah mengatakan itu. Sia segera mengalihkan pandangannya ke depan. Sungguh dia merasa malu sudah bertindak ceroboh dan ketahuan sedang menyumpah serapahi pria itu.
"Kenalkan, namaku Antariksa. Panggil Riksa," ucap pria itu dengan wajah santai.
Sia menoleh dan menatap uluran tangan itu dengan alis terangkat. Tak mau semakin malu dia menerima uluran jabat tangan itu sambil memaksakan senyum. "Namaku Galexia. Panggil Sia saja."
Riksa mengangguk. Dia menatap koper yang berada di tangan Sia hingga membuat rasa penasaran muncul di benaknya.
"Apa Anda ingin pindahan?"
Sia tersentak. Namun, buru-buru dia mengangguk.
"Ke mana?" tanya Riksa lagi dengan menatap wajah ayu Sia.
"Surabaya," jawab Sia membuat Riksa mengangguk.
"Tujuan kita sama," kata Riksa membuat Sia menatap tak percaya.
Memiliki tujuan yang sama, entah skapa yang memulai membuat keduanya menjalin obrolan santai. Tentu hal ini membuat Sia begitu senang karena menurutnya bisa mengusir rasa bosan ketika berada di dalam kereta. Bahkan pribadi Riksa yang ternyata friendly membuat Sia tak canggung untuk bercerita. Hingga dari percakapan itulah, membuat Riksa paham jika Sia sedang membutuhkan pekerjaan di kota barunya.
"Jadi kamu pindah ke Surabaya tanpa mengenal satu orang pun di sana?" Sia mengangguk membenarkan membuat Riksa menatap tak percaya.
Ternyata saling mengenal dan mengobrol membuat mereka cepat akrab. Bahkan keduanya sudah begitu santai dalam berbicara.
"Lalu pekerjaan, bagaimana?" tanya Riksa dengan menatap wajah Sia dengan raut wajah bingung.
"Nah itu. Aku sedang mencari."
Riksa hanya bisa menepuk jidat. Namun, dia seketika ingat sesuatu.
"Kamu mau bekerja di tempatku?"
"Hah serius? Bekerja apa dulu?" tanya Sia memicingkan matanya menatap penuh curiga ke arah Riksa.
"Aku punya Cafe di Surabaya. Kalau mau, kamu bisa bekerja di sana," kata Riksa dengan tangannya yang bergerak mengambil stiker nama cafenya dan diberikan pada Sia.
"Wah ternyata kamu benar-benar memiliki Cafe?"
"Kamu kira aku berbohong?"
"Kita baru saja kenal, 'kan? Tentu bisa saja kamu hanya ingin memanfaatkanku," cibir Sia membuat Riksa terkekeh.
"Bagaimana? Apa kamu menerima? Kapan lagi bekerja langsung diajak oleh pemiliknya. Hanya aku yang baru seperti ini," ucap Riksa penuh bangga.
Sia tertawa begitu lepas. Namun, dia menyadari jika Riksa merupakan orang baik. Selain friendly, Riksa merupakan orang yang gampang akrab dan mudah dipercaya. Hingga entah kenapa membuat Sia begitu yakin jika pria itu benar-benar baik dan berniat membantunya.
"Baiklah. Aku mau bekerja denganmu, tapi ingat! Aku juga sedang mengandung saat ini. Jadi harap memaklumi kesehatan bumil yang bisa berubah-ubah," ucap Sia membuat Riksa mengacungkan jempolnya.
"Tenang saja. Aku bisa mengerti dan akan menjagamu," ucap Riksa dengan memandang wajah Sia lekat. "Jika kau juga mencari ayah sambung. Aku siap menjadi ayah yang baik untuk anak-anakmu. Bagaimana?"
~Bersambung~
Hayo gimana nih?
Setuju gak, si Riksa jadi bapak sambung buat calon anaknya Sia?
Duhh janda muda masih tedepan loh, Bang. Hahaha!
Jangan lupa like dan komennya ya guys.
Enam tahun berlalu.
Seorang wanita cantik dengan dress mahal berkelas terlihat menjuntai menambah kesan anggun sang pemakainya yang baru saja menginjakkan kaki di Kota New York. Ketukan heels dengan lantai bandara tentu menjadi pengiring langkah mereka menuju area luar bandara. Tak lupa, di belakangnya terdapat dua bocah kecil yang berjalan dengan tenang sambil tangan mungilnya menarik koper masing-masing. Jika dilihat dari wajah, tentu semua orang bisa melihat bahwa mereka adalah anak kembar. Yang membedakan hanyalah jenis kelaminya saja.
Sesampainya di bagian luar bandara, wanita yang umurnya masih terlihat begitu muda itu segera merogoh tas dengan label mendunia untuk mengambil ponsel keluaran terbaru miliknya. Ditekannya beberapa angka hingga bunyi nada tersambung mulai terdengar. Matanya yang cantik menatap sekeliling mencari orang yang sudah disiapkan untuk menjemputnya. Namun, sampai sekarang, dia belum melihat batang hidung orang tersebut hingga membuatnya berdecak kesal.
"Mama, sampai kapan kita beldili disini?" kata bocah kecil dengan rambut berwarna coklat tersebut.
Wanita tersebut menoleh. Dia menatap putrinya yang sedang menopang kepalanya di koper dan terlihat gurat kelelahan di wajahnya. "Wait a minute, Honey. Supir yang menjemput masih dalam perjalanan."
Bocah lelaki yang sedari tadi diam perlahan mendekat. Dia mengambil ahli koper milik sang adik, hingga membuat sang empu tak terima.
"Jangan, Abang. Ini punya adek," tolaknya dengan kepala menggeleng.
"Venus capek?" tanya sang bocah yang dipanggil Abang oleh adik perempuannya.
"Iya, Abang Mas. Venus capek, kakinya udah pegal-pegal," ujar Venus mengadu dengan memperlihatkan kakinya.
"Mars, Adek!" nasehat Mars.
"Nama Abang susah. Lidah adek kejepit tau," sungut Venus kesal.
Interaksi kedua anak itu tak luput dari penglihatan sang Mama. Hatinya menghangat melihat anak-anaknya begitu akur dan saling menjaga satu dengan yang lain. Tak pernah sekalipun putranya marah pada sang adik. Bahkan seringkali, Mars menjadi penenang untuk Venus ketika sang adik mulai lepas kendali.
"Sudah-sudah. Mama minta kalian sabar sebentar, oke?"
Kedua anak kembar itu akhirnya mengangguk.
"Kita di sini berapa lama, Ma?" tanya Mars pada sang Mama.
"Setelah jadwal fotografer adek beres, jadwal panggung kita selesai dan pembicaraan tentang entertainment yang baru mengajak kita kerja sama juga siap, baru kita pulang," kata Sia menatap sang putra. "Memangnya kenapa? Mars gak suka di sini?"
Mars menggeleng, "bukan begitu. Dimana ada Mama dan Adek, di situ pasti ada Abang." Galexia mengangguk terharu.
Putranya ini walau terkesan diam dan cuek ketika berada di luar. Namun, dia selalu bersikap hangat pada mereka berdua. Hal itulah yang selalu membuat Galexia bersyukur memiliki keduanya. Saat mereka menunggu hampir sepuluh menit, tak lama datang sebuah mobil hitam Mercedes-Benz berhenti di depan mereka.
"Atas nama, Nona Galexia?" tanya pria tua yang mengenakan pakaian hitam dengan logat Indonesia kaku. Sepertinya pria itu memang orang asli New York karena wajahnya memang kebulean.
"Ya."
"Mari, Nona. Maaf atas keterlambatan saya. Tuan Riksa menghubungi saya agak terlambat tadi."
"Tidak apa-apa, Pak." sahut Galexia lalu dia mengambil ahli koper milik kedua anak kembarnya.
Setelah semua barangnya masuk ke dalam bagasi, perlahan kendaraan roda empat itu mulai melaju meninggalkan halaman bandara. Tanpa mereka sadari, sejak tadi ketiganya berdiri di dekat seorang pria tampan yang sama-sama menunggu sebuah jemputan. Pria dengan jas yang terdapat sebuah lambang GG Entertainment itu berdiri tak jauh dari Sia dan kedua anaknya. Namun, karena ramainya bandara, antara Sia dan pria tersebut saling tak menatap dan menyadari.
Tak henti-hentinya, mata Galexia dimanjakan dengan kemewahan kota besar ini. Sampai tanpa sengaja manik matanya menatap sebuah layar aktif seperti papan iklan terdapat nama dan foto dirinya bersama sang putra terpampang di sana. Ini semua dulu hanya bakat terpendam miliknya, tapi sekarang dari bakat terpendam dirinya ditambah sang putra, membuat mereka bisa berada di titik ini. Dulu mungkin hal seperti ini hanyalah sebuah angan untuk seorang Galexia. Namun, ternyata pertemuannya dengan seorang Antariksa menjadi awal mula kesuksesannya beserta kedua anak-anaknya.
Mengingat hal itu, pikiran Galexia kembali berputar pada kejadian ketika dirinya bertemu pertama kali dengan Riksa di kereta.
"Baiklah. Aku mau bekerja denganmu, tapi ingat! Aku juga sedang mengandung saat ini. Jadi harap memaklumi kesehatan bumil yang bisa berubah-ubah," ucap Sia membuat Riksa mengacungkan jempolnya.
"Tenang saja. Aku bisa mengerti dan akan menjagamu," ucap Riksa dengan wajah yakin. "Jika kau juga mencari ayah sambung. Aku siap menjadi ayah yang baik untuk anak-anakmu. Bagaimana?"
Mata Sia terbelalak lebar bahkan mulutnya menganga tak percaya. Menurutnya Riksa adalah orang aneh yang mengatakan ini dalam pertemuan pertama mereka.
"Jangan aneh-aneh. Itu gak bakal terjadi," ujar Sia sambil memukul lengan Riksa pelan.
"Kenapa? Takdir bukankah tak ada yang tahu?" tanya Riksa dengan menaik turunkan alisnya.
"Tapi itu tak akan terjadi," kata Sia pelan dengan pandangan tertunduk.
Setiap kali memikirkan nasib anak dalam perutnya yang tak didampingi sosok ayah, tentu membuat hati Sia merasa sakit. Kehidupannya yang tumbuh di panti asuhan, tentu membuat Sia tahu betul bagaimana rasanya hidup tanpa sosok keluarga. Namun, memberikan sosok keluarga utuh dengan cara seperti ini tentu bukanlah hal yang benar.
Ini bukan anak Riksa dan dirinya juga tak memiliki perasaan apa pun. Seluruh hatinya saat ini masih dipenuhi oleh cinta untuk mantan suaminya.
"Sudahlah lupakan. Biar waktu yang akan berbicara. Yang terpenting, kamu harus tahu, Sia. Bahwa aku akan turut serta menjaga bayi dalam perutmu."
Setelah hari itu, Riksa benar-benar membuktikan ucapannya. Dua hari setelah Sia berada di Surabaya dan menemukan rumah yang dekat dengan Cafe Riksa. Perempuan yang tengah mengandung itu mulai bekerja. Dia ditempatkan di bagian kasir oleh Riksa agar wanita itu tak terlalu lelah untuk berjalan.
Hingga setelah 2 bulan bekerja, Cafe Antariksa mengadakan pesta kecil untuk acara anniversary yang ke-2. Ruangan Cafe yang luas itu sudah disulap menjadi ruangan yang di bagian sisi kanan terdapat panggung kecil untuk hiburan. Riksa sendiri yang mengatakan pada Sia, bahwa ia mengundang penyanyi untuk mengisi acaranya.
Namun, entah apa yang terjadi, ketika Sia menyusun pot-pot bunga di meja pengunjung. Tanpa sengaja telinga Sia mendengar suara Riksa yang marah pada lawan bicaranya melalui telepon. Dia tak tahu apa duduk masalahnya. Namun, pendengarannya menangkap perkataan Riksa yang mengatakan tentang, harus ada penyanyi pengganti bila penyanyi utama tak bisa.
Setelah itu, Sia sudah tak mendengar apapun. Dirinya juga tak mau ikut campur hingga mengabaikan apa yang baru saja ia dengar. Setelah pekerjaannya selesai, Sia yang akan kembali ke kasir, melihat Riksa yang terduduk di salah satu kursi dengan wajah lesu melangkahkan kakinya untuk mendekat.
"Kenapa kamu terlihat lesu begitu, Riksa?" tanya Sia mengagetkan pria yang kepalanya tertunduk.
"Penyanyi yang kusewa tak bisa datang dan mereka mengatakan tak ada penggantinya. Lalu aku harus bagaimana? Siapa yang akan menyanyi di sana?" tanya Riksa menunjuk panggung yang ia buat.
Galexia merasa kasihan. Dia menatap wajah Riksa yang tadinya bercahaya mendadak suram. Dalam pikirannya, mungkin inilah saat yang tepat dia membalas budi pada pria tampan ini. Toh, selama ini, Riksa sudah begitu banyak membantunya.
"Bagaimana kalau aku saja yang menyanyi?" tawar Sia membuat Riksa tercengang.
"Emang kamu bisa?"
"Sedikit," jawab Sia dengan nada sedikit ragu.
"Sedikit atau banyak yang penting kamu bisa," cerocos Riksa membuat Sia terkekeh melihat sikap temannya kembali. "Kamu siap-siap aja. Pakaiannya sudah ada di ruangan aku, oke?"
Hingga akhirnya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama Galexia tak menyanyi. Dia mulai mengeluarkan suara emasnya kembali hingga membuat seluruh pengunjung cafe berdecak kagum. Bahkan setelah membawakan 3 lagu yang sudah dia nyanyikan, tepukan tangan mulai menggema membuat Sia begitu tersanjung.
"Suaramu sungguh luar biasa, Sia. Kamu harus meneruskan bakatmu ini."
"Meneruskan bagaimana?"
"Aku memiliki saudara dan dia menjadi juri ajang lomba menyanyi. Aku akan mendaftarkan kamu, oke?"
"Nona...Nona..." Suara supir yang mengejutkan membuat lamunan Galexia buyar.
"Ya, Pak?"
"Sudah sampai."
Galexia menghela nafas berat. Dia segera mengajak kedua buah hatinya keluar dan dia baru menyadari jika mereka sudah berada di depan apartemen yang akan menjadi tempat tinggal sementara dirinya.
Sebelum masuk, Sia menatap bangunan tinggi di depannya dengan mata berbinar. Jika melihat ini semua, ini adalah hasil dari kerja keras putra putrinya yang ikut bekerja membantu dirinya juga.
"Jika bukan karena Riksa mungkin aku dan anakku akan kelaparan di jalanan."
~Bersambung~
Sebagai informasi, novel ini alur maju mundur. Jadi setiap kejadian pasti ada sebab akibat toh dan pasti aku akan memberikan flashback cerita kenapa kok bisa jadi seperti sekarang.
Jangan lupa klik like dan komen yah sebagai bentuk apresiasi pada Author.
Yang minta crazy up harap sabar, author updatenya sesuai permintaan Editor. Jadi, harus nurut.
Support karya author dengan vote poin, koin atau vocher. Biar author makin semangat updatenya. Terima kasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!