Hembusan angin sore menelisik masuk melalui celah-celah pentilasi kamar, membuat si penghuni kamar yang baru saja selesai membersihkan tubuh itu, merasakan hawa dingin sore yang begitu menusuk ke tulang benulangnya. Apalagi, ditambah hujan yang sedari tadi mengguyur bumi, membuatnya pulang kerja dalam keadaan basah kuyup.
"Brrr .... dingin sekali." Andre membuat gesekan di kedua telapak tangan sembari meniupkan karbondioksida, hingga menghasilkan sedikit rasa hangat di tangan. "Nasib jomblo gini amat. Pengen ngangetin tubuh aja, gosok-gosok tangan sendiri!" rutuknya sambil terus menggosok-gosok tangannya sendiri dan tubuh yang sudah bersembunyi di balik selimut.
Hujan turun sangat lebat. Lelaki yang tinggal sendirian itu pun lebih memilih berdiam diri di dalam kamar dengan ditemani guling dan selimut tebal.
"Hari ini, aku terpaksa memelukmu! Tapi ... setelah ku memilikinya, jangan harap aku akan terus memelukmu!" sarkas Andre sembari memukul sekaligus memeluk guling yang selama ini menjadi teman tidurnya.
Untung saja si guling tidak bisa berbicara. Andai ... ia bisa berbicara, mungkin guling itu sudah memaki si tuan yang tidak tahu berterima kasih itu. Padahal hanya dirinya yang selalu setia menemaninya dalam kesendirian.
Tring!
Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponsel. Dengan enggan, Andre mengeluarkan satu tangannya, mengambil ponsel yang tergeletak tak jauh dari bantal.
[Hujan-hujan gini enaknya ngapain, Cuy?]
Sebuah pesan dari seseorang yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah berhasil dibaca Andre.
[Pertanyaan dengan niat terselubung 😤😤]
Semenjak tahu, Andre serius menyukai Irma. Dimas selalu saja mengganggu si pengejar Jahe itu. Ditambah lagi, sikap Irma yang seolah acuh tak acuh terhadap perhatian Andre—membuat bujang berumur itu semakin menjadi bulan-bulanan Dimas. Bahkan, kadang Dimas mengirim foto dirinya yang telanjang dada dengan bukti segel yang dilakukan Naura untuk memanas-manasi Andre.
Seperti pesan yang dikirim Dimas— untuk membalas pesan Andre tentang emotion kepulan asap yang keluar dari hidung—berhasil membuat Andre memaki sahabatnya yang sudah ketularan kongslet seperti dirinya.
[DASAR KAMVRETO!!!]
Balas Andre setelah melihat foto Dimas yang hanya telanjang dada dengan Naura di samping lelaki itu yang sudah terlelap dengan selimut menutupi si gadis sampai ke leher. Dengan hastag dibawah foto *Hujan-hujan dingin-dingin empuk. OTW 2 babak*. Sudah bisa ditebak hal apa yang telah mereka lakukan untuk menghilangkan rasa dingin mereka.
'Nyesel aku bikin dia gesrek. 2-0 kalau gini jadinya. Dia punya tempat buat nyalurin. Nah, aku apa kabar?' Andre garuk-garuk kepala yang tak gatal.
[Mau sampe kapan mepet Jahe ipar? Belum ada perkembangan mulu? Gak ada niatan untuk buat anak cepet-cepet, apa?] ledek Dimas lagi.
[Tunggu saja tanggal mainnya.]
[Go Jahe go ... Jahe go!]
Dimas membalas layaknya suporter bola yang sedang memberikan dukungan kepada jagoannya. Semenjak kehamilan Naura, jiwa jahil Dimas tiba-tiba saja muncul. Entah, bawaan bayi atau apa, tetapi menjahili Andre menjadi kebiasaan baru Dimas.
[Di saat aku sudah resmi jadi kakak iparmu. Habis kau Dim!😡😡]
Dan, Dimas hanya membalas dengan juluran lidah panjang dengan mata yang membesar sebelah—meledek sang sahabat.
Andre pun tak ada niatan untuk membalas pesan itu lagi, yang hanya akan membuat dirinya semakin di bully. Ia lebih memilih memeluk erat guling lagi. Bibirnya menampilkan seutas senyum. Sesuatu telah merasuki otak yang tingkat kemesumannya di atas rata-rata. "Ah ... Jahe, kapan aku bisa memelukmu seperti ini?" Mata lelaki itu merem melek dengan guling yang sudah diapit oleh kedua kaki, membayangkan yang dipeluknya adalah gadis cantik berlabel 'janda herang' yang tinggal di rumah sebelah.
Kilas balik saat pertama kali bertemu gadis itu pun terlintas di pikiran yang belakangan ini selalu dipenuhi nama gadis yang sudah berhasil mencuri hatinya.
Hari itu adalah hari pernikahan Dimas, sahabatnya. Andre hadir di acara pernikahan itu sebagai tamu dari mempelai pria. Di mana hari itu adalah hari pertama dirinya bertemu dengan Irma, kakak Naura, yang berlabelkan Jahe, meskipun saat itu statusnya masih istri orang. Pertemuan pertama yang mampu menciptakan debaran jantung yang tidak beraturan saat Andre menatap wajah gadis itu.
"Jahe ... oh, Jahe ...." gumamnya seraya menciumi guling yang sedari tadi dipeluk.
Beberapa bulan yang lalu ....
Andreas Danendra biasa dipanggil Andre, seorang abdi negara yang notabennya sahabat sekaligus rekan kerja Dimas. Sebagai seorang sahabat, Andre tak ingin ketinggalan momen bahagia Dimas. Ia ikut bersama para rombongan iring-iringan pengantin pria ke rumah mempelai wanita. Meskipun acara pernikahan diselenggarakan dalam masa pandemi, Dimas masih diizinkan untuk membawa rombongan walaupun hanya beberapa orang saja, asalkan sesuai protokol kesehatan yang diterapkan oleh pemerintah. Dengan baju batik yang dikenakan, Andre duduk tepat di belakang Dimas yang sudah berhadapan dengan penghulu dan wali nikah Naura.
Semua orang menoleh ke arah pintu saat pembawa acara mempersilakan mempelai wanita memasuki tempat akad. Begitu pun dengan Andre. Lelaki itu ikut memutarkan bola matanya saat orang-orang memuji kecantikan sang mempelai wanita.
"She is beautiful ...." Kata pujian keluar dari mulut, melihat empat gadis berjalan ke dekatnya.
Andre tak bisa untuk tidak berhenti menatap gadis itu. Meskipun terhalang face shield, kecantikan gadis berkebaya ungu itu masih terlihat jelas.
Ya, bukan Naura si pengantin wanita yang dipuji Andre, melainkan gadis yang mengapit lengan kiri Naura. Gadis yang memiliki kecantikan sebelas-duabelas dengan sang pengantin, hanya saja terlihat lebih kalem.
"Ada apa dengan jantungku?" gumam Andre, pelan.
Ia merasakan jantungnya berdebar tidak karuan saat iringan pengantin wanita semakin mendekat, bahkan debarannya semakin cepat seperti genderang yang mau perang. Apalagi, ketika gadis itu tersenyum, Andre semakin meleleh dibuatnya. Padahal, entah untuk siapa gadis itu tersenyum? Sejatinya, pasti bukan untuk dirinya karena mereka tak saling kenal. Kali pertama Andre bertemu dengan seorang gadis dan ia sudah dibuat jatuh cinta pada pandangan pertama oleh pesonanya.
Sikap Andre yang terlalu mencolok, tak luput dari perhatian Ana yang duduk di samping lelaki itu.
"Hei, jangan melihat calon istri sahabatmu seperti itu!" Ana yang mengira Andre memperhatikan Naura lantas menaik-turunkan telapak tangannya di depan muka Andre, yang masih tak berkedip memandang mereka.
"Apa, sih? Tante ganggu pemandangan saja," imbuhnya seraya menyingkirkan tangan yang masih menghalangi.
"Tante hanya gak mau kamu jadi sahabat durhaka, seperti di film-film ikan terbang. Itu, lho, yang soundtrack filmnya pake lagu ku menangis. Ngeri banget kalau nanti terbit judul ftv 'Kurebut istri sahabatku di hari pernikahannya'." Ana bergidig, ngeri.
"Tante mikirnya kejauhan," tukas Andre, "tenang saja aku bukan teman yang suka makan teman."
"Terus kamu liatin siapa? Ampe hampir ngences segala," goda Ana lagi.
Ngences? Refleks Andre mengusap bibirnya dan berhasil membuat Ana mengulas senyum, karena berhasil mengerjai lelaki yang usianya tak beda jauh dengan usia Dimas. Lelaki yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Ingin tertawa, tetapi tak sopan. Masa iya, ia harus berbuat kacau di hari pernikahan anaknya.
"Ah, Tante ngerjain aku lagi," rutuk Andre.
"Kau kayak bocah, masih mau aja dikerjai emak-emak."
Tiba-tiba Andre mendekati wanita paruh baya itu, lantas berbisik, "Tan, aku sudah Tante anggap sendiri, 'kan?"
Ana mengangguk pasti.
"Kalau gitu aku juga mau di jodohkan dengan gadis yang sedang berjalan kemari itu," bisik Andre lagi.
Dengan alis yang mengkerung, Ana menatap Andre penuh selidik. "Kamu suka sama salahsatu pagar ayu Ara?" tanya Ana, memastikan.
Andre pun beberapa kali mengangguk, mengiakan.
"Ok, bisa Tante atur. Kamu mau sama Reva atau Mela?" tanya Ana, kemudian.
"Reva? Mela?" Ternyata ia dan ibu sahabatnya itu, jaka sembung bawa buku alias tidak nyambung, bu. "Kok, Reva dan Mela, sih, Tan? Aku sudah kenal dengan mereka berdua."
"Terus siapa, kalau bukan mereka?" Ana tampak kebingungan dengan ucapan Andre.
Hingga tangan Andre berbicara. Telunjuknya menunjuk gadis yang sudah selesai mengantarkan si pengantin wanita, lalu berjalan ke belakang penghulu dan duduk di kursi yang sudah disediakan bagi keluarga calon mempelai wanita di sana.
"Apa? Jadi kau menyukai kakaknya Ara? Yang benar saja, Dre!" Giliran Ana yang dibuat tersentak oleh penuturan Andre, sampai sebuah jeweran mendarat di telinga lelaki itu.
"Awww ...." pekik Andre, membuat semua orang beralih memandang heran kepadanya.
"Awww ...." pekik Andre.
Para tamu yang siap mendengarkan ijab kabul pun, beralih memandang Andre dengan sorot mata yang penuh tanda tanya. Membuat si pemilik suara tersenyum kikuk karena salah tingkah, sambil mengusap daun telinga yang terasa panas. Sementara Ana yang telah menjadi biang kerok teriakan Andre itu, dengan tanpa berdosanya malah membenarkan posisi duduk, duduk cantik dengan begitu anggun.
"Tante kenapa malah menjewerku? Sakit tahu!" bisik Andre saat kondisi sudah kondusif.
"Nanti dijelaskan. Sekarang akad mo dimulai. Jangan ganggu konsetrasi, Tante!" Ana mendorong wajah Andre untuk menghadap tempat akad. "Dengerin dengan seksama, buat belajar kalau nanti mo ijab kabul juga. Tapi, jangan berharap sama Irma," imbuhnya lagi.
"Tapi aku sudah kepincut duluan sama gadis itu," rutuk Andre.
"Jangan cari gara-gara kalau masih mau jadi sahabat Dimas!" ancam Ana.
Andre memberengut, tak suka dengan ancaman orang di sampingnya. Memulai pun belum, ia sudah kena ancaman.
Ijab kabul menggema. Naura dan Dimas pun sudah resmi menjadi suami istri. Giliran Andre meminta penjelasan Ana. Akan tetapi, wanita itu terlihat sangat sibuk, bahkan melupakan janjinya kepada sahabat Dimas itu.
"Kesempatan. Nunggu komando dari Tante Ana mah kelamaan." Andre tersenyum miring, tiba-tiba terlintas sebuah ide di kepala—yang sudah dipenuhi si gadis kebaya ungu.
Lelaki yang sedang menikmati segelas es serut itu pun, mengambil segelas es serut lagi. Lalu, berjalan mendekati gadis yang baru saja turun dari pelaminan, setelah berfoto dengan sepasang pengantin di sana.
"Es serutnya!" Andre menyodorkan segelas es serut kepada Irma yang sedang duduk sembari mengibas-ibaskan kipas tangan.
Irma menoleh, memicingkan mata ke arah Andre yang masih memegang dua gelas es serut. "Untuk saya?" tanya Irma, menunjuk hidungnya sendiri.
"Ya. Kamu sepertinya kegerahan. Tadinya aku bawa dua buat diriku sendiri, tapi liat kamu sepertinya juga membutuhkan ini. Jadi, sebaiknya aku berbagi. Berbagi itu lebih indah." Andre berbasa-basi sembari memamerkan rentetan gigi putihnya. "Nih, biar gerahnya ilang dikasih yang seger-seger dulu!" lanjutnya, tangan kanannya masih menyodorkan segelas es serut kepada Irma.
"Aku bisa ambil sendiri. Untuk anda saja," tolak Irma.
"Kalau ada di depan mata, ngapain ngambil yang jauh-jauh. Lagian belum tentu aku bisa menghabiskannya. Sudah terlalu banyak makanan yang masuk ke perutku." Andre meletakkan segelas es serut itu di tangan Irma.
"Terima kasih."
"Kembali kasih," jawab Andre sambil memasukan sesendok penuh es ke dalam mulut.
Keduanya pun menikmati es serut di gelas masing-masing. Sesekali Andre melirik Irma yang asyik dengan es di tangan, tanpa memedulikan kehadiran dirinya. Hingga akhirnya, lelaki itu berinisiatif untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Andre menggosok-gosok telapak tangan tujuh kali ke celana, seakan-akan takut tangannya yang bersih itu akan menodai tangan mulus Irma.
"Perkenalkan namaku Andre. Aku sahabatnya Dimas." Andre mengulurkan tangannya.
Sejenak, Irma menatap tangan yang minta dijabat itu. Lalu, dengan senyum yang tertampil, ia menerima uluran tangan Andre. "Irma. Aku kakaknya Naura."
"Senang berkenalan denganmu!" ujar Andre lagi.
'Senyum yang bisa membuat es kutub mencair seketika. Baru lihat senyumnya saja sudah meleleh begini,' gumam Andre dalam hati. Hatinya saat ini berdisko ria—riang gembira. Kegirangan Andre mengetahui nama sang pujaan, melebihi kegirangan dua sejoli yang baru meresmikan pernikahan.
Andre mengeratkan jabatan tangannya, ingin lebih lama menggenggam tangan yang mampu membuat dadanya itu berdesir hebat, bahkan jika bisa tak akan pernah ia lepaskan. Namun, lain halnya dengan Irma. Gadis itu berusaha melepaskan tautan tangan mereka.
"Maaf. Anda menggenggam tanganku terlalu kencang," gumam Irma yang tak berhasil melepaskan genggaman Andre.
Andre terkesiap, lalu melepaskan jabatan tangan mereka. "Maaf, aku terhipnotis senyum indahmu," imbuh Andre dengan rayuan ala-ala pujangga itu. 'Setelah pulang dari sini aku gak bakal cuci tanganku yang satu ini.'
Irma kembali menampilkan senyumnya, kali ini sangat manis bahkan teramat manis—semakin membuat Andre meleleh.
"Sayang!" ujarnya, membuat jantung Andre terasa melompat dari tempatnya. Percaya diri Andre melewati batas, mana mungkin ada orang baru kenal sudah memanggilnya 'sayang'.
"Sayang, kamu sedang apa di sini? Keluarga kita mencarimu." Tiba-tiba suara dari belakang Andre, membuyarkan ekspetasi lelaki itu.
Seorang lelaki memakai batik khusus keluarga mempelai wanita, menghampiri Irma, lalu mencium pipi kiri dan kanan gadis itu dan merangkulnya mesra. "Sedang apa di sini?" tanyanya lagi.
"Hanya menikmati es serut. Mau?" Irma menyuapi lelaki itu.
'Pemandangan macam apa ini?' rutuk Andre yang tiba-tiba merasakan gelora panas di dalam dada.
"Pak Andre kenalkan ini suami saya namanya Ryan." Irma memperkenalkan lelaki yang sedang merangkulnya.
Bagaikan di sambar petir di siang bolong. Andre sangat terkejut oleh penuturan Irma. 'Jadi dia sudah menikah?' Cintanya mati, bahkan sebelum ia tumbuh. Harapannya untuk mendapatkan gadis berkebaya ungu pun pupuslah sudah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!