Rumah besar itu tengah dirundung duka. Pilu dan lara kian kentara menyelimuti setiap penghuninya. Duduk berkumpul tiga orang dewasa dan satu anak balita yang tertidur di pangkuan seorang wanita. Sisanya mereka duduk di sofa berwarna hijau lembut bercorak bunga.
Narni yang mengeratkan pelukannya pada Alifa, bocah kecil itu pulas saja, tak tahu menahu persoalan orang tuanya yang tengah membara. Bagaimanalah, Alifa belum bisa menerjemahkan rasa. Bahkan seharian dia selalu minta gendong, efek badannya nyeri karena hendak tumbuh gigi.
"Maafkan aku, Dik. Aku sungguh tidak bisa menahan diri." Suara lelaki itu tercekat.
Narni menunduk, dadanya penuh sesak oleh kemarahan. Berusaha tetap tenang, takut jika membangunkan Alifa yang sedang demam. Dilihatnya anak semata wayangnya lagi, tertidur lelap dalam pangkuan.
Lalu, Sofia. Gadis delapan belas tahun yang juga mahasiswi suaminya itu duduk di sisi lelaki yang amat dicintainya. Keduanya nampak cemas, takut bahkan malu. Tapi demi Tuhan, lihatlah kini tangan mereka saling menggenggam. Menguatkan satu sama lain.
"Kenapa? Kenapa, Mas?" Narni membuka suara. Tampak jelas kemarahan tertahan di wajahnya, sementara tangannya menepuk lembut pantat mungil Alifa, menjaga agar si kecilnya tidak terganggu tidurnya.
Narni masih tidak mengerti, pernikahannya sudah berjalan dua puluh tahun dan selama ini baik-baik saja. Bahkan saat ia divonis sulit memiliki keturunan, suaminya dengan telaten menemaninya menjalani pengobatan, segala macam cara mereka usahakan, bahkan tak segan Bayu yang juga seorang dosen itu memandikannya saat dalam masa pemulihan pasca operasi.
Hari-hari mereka begitu sempurna, hingga dua jam yang lalu saat hujan mengguyur seluruh kota, saat Narni dan Bayu bergantian menimang anak mereka, mereka kedatangan tamu. Seorang gadis delapan belas tahun yang manis, membawa bom waktu yang menghancurkan kebahagiaan di rumah itu. Hancur seketika.
"Sekarang apa mau mu, Mas?" Narni menyeka air matanya sebelum jatuh luruh menghujani kepala Alifa yang masih terlelap.
Bayu menelan ludah. "Mas ... Harus bertanggung jawab, Dik. Kasihan Sofia kalau melahirkan tanpa suami."
Narni merasakan dadanya terbakar. Terpejam lalu air mata itu tak terbendung lagi. "Bagaimana bisa? Mas pernah bilang kan tidak akan mendua? Lalu apa arti perhatian Mas selama ini? Apa bagimu aku sudah tidak menarik lagi? Atau seleramu berubah menjadi anak ingusan tidak tahu diri seperti dia?" Narni menunjuk Sofia, lalu kembali menggoyangkan tubuh Alifa yang terganggu karena teriakannya.
Bayu menggeleng. "Aku masih mencintaimu, Dik. Kau tahu betul alasanku memilih mu adalah karena hati mu yang indah bak berlian. Itu yang selalu aku ucapkan, sampai detik ini kau tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun. Harusnya kau tahu betul bahwa sekian tahun pernikahan, aku selalu setia, memberikan semua yang kau mau, bahkan jika kau meminta, dunia beserta isinya akan aku berikan." Bayu terengah-engah.
"Kali ini saja, Dik. Ijinkan mas untuk menyakitimu, meski aku pun tak ingin kau terluka." Bayu melepas genggaman tangan Sofia, hendak bangkit menghampiri Narni, namun tatapan mata tajam istrinya menolak. Membuatnya tetap diam di tempat.
Sunyi. Hanya rintik hujan yang terdengar samar dan sesekali gelegar petir menambah cekam malam itu. Malam yang seolah berjalan melambat. Sofia duduk di sisi ranjang kamar tamu, sementara Bayu sudah lelap di samping putrinya.
Narni berjalan gontai menuju kamar dimana Sofia berada. Ditangannya ada sebilah pisau dapur yang baru saja ditajamkan. Tanpa mengetuk Narni membuka pintu kamar itu, didapatinya Sofia menangis tergugu.
"Kenapa? Kenapa kamu tega merebut lelaki yang amat aku cintai? Apa bocah sepertimu sudah kehabisan lelaki? aaoa tidak ada pria muda di luaran sana yang bersedia kau ajak berzina? Kenapa? Kenapa harus lelakiku?" Narni mendekat. Menggenggam erat pisaunya, takut kalau terlepas.
Sofia tak sedikitpun merasa gentar melihat pisau tajam di tangan Narni. Seolah mendeklarasikan bahwa tak takut pada kematian. Mata lelah itu hanya meliriknya sekilas. Lalu pecah tangis Sofia, menghampiri Narni yang berdiri tak jauh darinya,bersimpuh menggenggam sebelah tangan wanita di hadapannya.
"Bunuh saja saya, Bu. Bunuh wanita berdosa ini huhuhuhu." Sofia menciumi tangan Narni, tanpa sedikitpun melirik sebelah tangan yang mencengkeram pisau tajam.
Narni menatap heran. Masih erat menggenggam pisau.
"Pak Bayu teramat mencintai anda. Amat sangat. Setiap perkuliahan beliau selalu bercerita tentang betapa harmonisnya rumah tangga yang beliau bangun bersama anda. Betapa hati anda begitu indah berkilau seperti berlian merah yang tak terbilang harganya. Lalu ... Lalu saya yang hanya anak korban perceraian merasa iri. Merasa ada yang tidak adil di dunia ini." Sofia sesenggukan. Setengah menangis mencoba menata napasnya.
Narni membimbing Sofia untuk bangkit, duduk di sisi ranjang. Meletakkan pisau dapur di atas nakas dan mempersilahkan gadis itu melanjutkan ceritanya. Sungguh, Narni dikaruniai hati bak permata, ditatapnya lembut gadis yang baru saja hendak diancamnya. Simpatinya tumbuh demi melihat mata Sofia berderai air mata, ada luka dan pilu terpancar sempurna.
"Iri dan cemburu menguasai saya, Bu. Setiap pak Bayu menceritakan betapa indah kehidupan cinta kalian, dengan mata yang berbinar penuh cinta ... Hingga suatu malam. Saya menelpon beliau, mengabarkan bahwa saya rindu sosok ayah seperti beliau, bahwa saya rindu sosok ibu seperti anda, bahwa saya rindu memiliki keluarga utuh seperti yang kalian miliki, beliau datang ke apartemen dan membawakan coklat, mendengarkan keluh kesah saya yang selama ini tersimpan rapat. Lalu perlahan luka di hati saya terobati, hari demi hari luka itu menjelma menjadi cinta. Lalu rasa ingin memiliki itu tumbuh ... dan malam lainya, setan sempurna menguasai nafsu kami." Sofia menutup wajahnya, lalu kembali terisak, sesekali napasnya tersengal.
Tak perlu diperjelas lagi, Narni tahu betul apa yang terjadi setelah itu. Dosa besar itu terjadi, mengalir bak aliran sungai jernih. Indah melewati bebatuan terjal, tanpa tahu bahwa setelah itu ada sepotong hati yang terluka, ada keluarga yang hancur berantakan karena nikmat sesaat.
Maka keesokan harinya, dengan luka yang masih sempurna menganga, Ijab qobul dilaksanakan secara sederhana. Orang tua Sofia tidak hadir di sana, hanya mengabari lewat telepon bahwa mereka merestui pernikahan anak gadisnya. Miris.
Sebelah sisi hati Narni begitu simpati pada Sofia, sebelah lagi remuk terluka.
"Dik, Kumohon jangan kabari keluarga besarku dulu. Biar itu menjadi urusanku nanti, kamu tahu kan bagaimana sifat ibu?" pinta Bayu.
Keduanya duduk di sisi ranjang, Bayu terlihat tampan mengenakan setelah hitam, Narni menatap lekat, riasan wajahnya terlihat natural meski usianya tak lagi muda. Hatinya bergemuruh cepat, terluka. Sepagi ini harus menyiapkan pakaian rapi untuk suaminya, bukan karena harus pergi bekerja, tapi untuk mempersunting gadis bernama Sofia.
Bersambung...
Hari-hari tak akan sama lagi bagi Narni. ia menyadari kini harus rela berbagi dengan madunya. Gadis manis yang dua hari lalu datang menancapkan luka dalam rumah tangganya.
sementara Sofia diterkam rasa yang tak bernama. Ada rasa bersalah di sana, gelisah tentang esok hari dan juga ketakutan tentang cinta yang tak bisa diraihnya. Sepanjang hari ia hanya mengurung diri di kamar, berharap suaminya yang dua hari lalu berikrar di hadapan Tuhan akan datang mengetuk pintu kamarnya, membelai pundak lelahnya atau sekadar bertanya tentang kabar bayi dalam perutnya. Tapi nihil. Bayu sama sekali tidak menggubris keberadaan Sofia. Justru Narni yang setia mengantar makanan ke kamarnya, bertanya tentang kabar dan keadaannya.
"Kalau ada yang kamu inginkan, katakan saja. Paksa dirimu makan, demi jabang bayi di perutmu," tutur Narni lembut.
Sofia takut-takut menatap Narni, bertanya-tanya dalam hati tentang perubahan sikapnya kini. Sofia ingat betul wanita itu pernah mendatanginya di kamar ini dengan pisau di genggaman tangannya.
"Kenapa ibu begitu baik?" tanya Sofia.
Narni tersenyum. Teduh sekali melihat lengkungan bibir Wanita itu. "kita sekarang keluarga, Sofia. Terlepas dari hatiku yang masih sangat terluka, aku punya kewajiban berbuat baik kepadamu. Maaf karena kemarin sempat membuatmu takut, aku sungguh di luar kendali."
Sofia bisa mengerti. Siapa pula yang tak sakit hati saat seorang gadis asing datang ke rumahmu, mengaku hamil dan menuntut tanggung jawab suamimu? Sofia tahu betul, bahwa dirinyalah yang paling bersalah saat ini.
"Pak Bayu mana?" Tercekat, Sofia memberanikan diri menanyakan suaminya.
Narni menyusul duduk di samping Sofia. menyentuh pundak gadis itu lembut, seolah mencoba mengalirkan kekuatan padanya.
"Sofia, beri Mas Bayu waktu, ya? Dia pasti juga terpukul karena kejadian ini. Saat ini Mas Bayu sedang ke Malang, menjelaskan tentang pernikahannya kemarin kepada keluarga besar kami di sana." Narni berdiri. "Aku ke Alifa dulu, ya? mau nyuapin dia. Kamu makan yang banyak, kalau mau nambah ambil sendiri di dapur. Ingat, demi bayi kamu."
Sofia hampir menangis. Netranya mengikuti langkah Narni, wanita itu sungguh berhati berlian seperti yang Mas Bayu ceritakan. Bahkan kepada gadis brengsek yang sudah merusak rumah tangganya pun ia masih bersikap sangat baik.
Sofia memejamkan mata, mencari sisa kekuatan dalam dirinya. Mencoba mencerna setiap rentetan kejadian, mengais alasan yang barangkali tertinggal untuk membenarkan dirinya. Tidak ada. Kecuali egois dan nasib yang selama ini mengutuknya.
Sofia kemudian meraih piring di atas nakas. Sesuap demi sesuap ia paksakan. Benarlah kata Narni tadi, bayinya butuh makan. Sepiring nasi dengan ayam goreng dan acar tandas dalam hitungan menit. Tubuhnya jauh lebih bertenaga, maka ia putuskan pergi ke dapur, membereskan bekas makannya sendiri. Mencoba berhenti bersikap manja, mencoba bersikap layaknya wanita dewasa.
Sofia berjalan ke dapur, namun karena rumah itu asing baginya, berulang kali Sofia harus putar arah. salah ruangan. Hingga saat langkahnya melewati sebuah kamar yang pintunya setengah terbuka, jiwa mudanya yang dipenuhi rasa penasaran memaksanya mengintip. Sedikit. Namun sempurna menampakan kemesraan pasangan di kamar itu. Dilihatnya Bayu memeluk Narni dari belakang, keduanya berdiri menghadap jendela, sementara Alifa terlelap di kasur di samping mereka berdiri. Nampak keduanya bahagia, sesekali Bayu jahil mencubit pinggang Narni, pun Narni membalasnya dengan cubitan kecil di lengan suami.
Sofia merasakan panas menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Terlepas piring di tangannya, pecah remuk di lantai tempatnya berdiri. Seperti hatinya yang juga hancur melihat adegan romantis itu.
Narni dan Bayu menyadari keberadaan Sofia, keduanya menghampiri gadis yang saat itu menangis. Narni bergegas membereskan piring yang berserakan. Sementara Bayu membimbing Sofia untuk menjauh, mendudukkannya di sofa ruang tengah, menenangkannya semampu yang ia bisa.
"Jangan dipaksakan, Sof. kamu bisa minta bantuan Mbak Narni, kan?" Bayu meraih jemari Sofia, meremasnya perlahan.
Demi mendengar satu kalimat itu, Sofia tertegun. Merasa telah diterima di kehidupan dua orang yang seharusnya membencinya.
"Maafkan Aku, Pak Bayu. Aku ... aku ... huhuhu." Tangis Sofia pecah.
Bayu meraih tubuh ringkih itu, mendekapnya. Merasakan guncangan tertahan, airmata Sofia luruh membasahi pundaknya.
Bayu melepaskan pelukannya. "Aku ada oleh-oleh dari malang buat kamu, Sof. Semoga kamu suka."
Sofia mengerutkan dahi. "Apa?"
"Tapi berjanjilah untuk tidak ceroboh lagi, atau tanganmu akan terluka oleh pecahan piring." Bayu menyodorkan jari kelingkingnya, membuat Sofia terkekeh kecil sembari menyeka sisa air matanya, lalu menyambut kelingking lelaki yang berstatus suaminya.
Sofia mengangguk.
"Apel Malang," ucap Bayu santai.
Sofia terkekeh. memukul lengan kekar Bayu yang pura-pura kesakitan. Benarlah, Bayu punya pesona tersendiri. Lelaki itu sungguh mampu menyeka kesedihan, sempurna sebagai lelaki idaman.
Sementara Narni berdiri tak jauh dari sana. Menatap pemandangan itu dengan cemburu yang menyala membakar dada. Ingin sekali ia berontak, meminta kembali bahu lelaki itu. Tapi urung. Narni iba melihatnya. Terlebih saat mengingat percakapan dengan ibu kandung Sofia perihal pernikahan kemarin.
"Menikah? baguslah kalau begitu. Tak perlu lagi aku mikirin anak lelaki bejad itu. aku tak heran kalau akhirnya dia menjadi pelakor. Ayahnya saja ahli zina. sama seperti dirinya." Demikian kalimat yang terucap saat Narni menelpon ibu kandung Sofia. Lalu Narni tak mampu lagi berkata-kata. Hari itu harusnya ia adalah orang yang paling terluka hatinya, tapi demi mendengar kalimat kejam dari seorang bergelar 'ibu', membuatnya kehilangan kata.
Kemudian memutuskan menelpon ayah kandung Sofia. Tak lebih baik. Ayahnya berdalih tak ada waktu, lalu menawarkan sejumlah uang kepada Narni sebagai penebusan dosa. Lagi-lagi Narni tak mampu berkata-kata. telepon di tangannya terpelanting. Detik itu, perasaan iba mulai mengendalikan amarah. Betapa garis hidup terlalu rumit mempermainkan gadis itu.
***
Hari berganti hari. Rumah besar itu kini terisi oleh dua cinta yang terbangun dari luka. Sofia sudah mulai terbiasa dengan rumah besar itu, tidak lagi tersesat saat menuju dapur atau kamar mandi. Namun tetap saja hatinya berdesir cemburu pada istri pertama suaminya. Bagaimanalah tidak cemburu, hampir dua pekan ia berstatus istri Raden Bayu Ardian, tapi tak sekali pun suaminya tidur di kamarnya.
Bayu hanya sesekali menengok Sofia. Atau bertanya kabar saat mendapati istri keduanya melamun menatap jendela, memperhatikan Alifa yang belajar berjalan di luar bersama Narni.
Sofia mencoba mencerna. Bertanya dalam hati 'apakah suaminya tidak pernah menyimpan cinta? Apakah perhatian selama ini hanya sekadar iba? lalu tentang malam-malam indah yang terlewati di apartemennya, mungkinkah hanya sekadar pemuas birahi lelakinya? ataukah ia memang sebegitu hinanya hingga tak malu bertingkah layaknya wanita penggoda?'
Malam teramat syahdu berceloteh tentang cinta. Menemani manusia-manusia dimabuk asmara yang lena. Menciptakan atmosfer rindu, menjadikan cinta sebagai candu di atas nafsu. Lain dengan sejoli di sebuah kamar mewah rumah besar itu, Bayu menatap istrinya penuh cinta. Narni tersipu diperlakukan bak remaja, menolak mengingat tentang usia. Lalu langkah selanjutnya, tanpa perlu mengeja suasana, Bayu menjalankan aksinya. Menyentuh tiap senti tubuh Narni penuh cinta. Namun belum sampai Bayu pada langkah sempurna, Narni justru menghentikannya. Menggeleng sembari meremas jemari kokoh suaminya.
"Ada apa, Dik?" Bayu bertanya heran.
"Mas ... sebaiknya ke kamar Sofia." Narni menjeda. Mengambil napas panjang agar kalimat selanjutnya sempurna terucap tanpa ragu. "Sudah dua bulan dan Mas Bayu bahkan belum tidur di kamar Sofia."
Bayu melepaskan genggaman tangan Narni. Meremas jemarinya sendiri. "Setahuku, aku sudah berbuat baik padanya, Dik. Bahkan tempo hari aku mengajaknya berbelanja keperluan bayi sesuai saranmu. Aku juga memperlakukannya seperti aku memperlakukanmu."
Narni membelai pundak suaminya. tersenyum lembut kemudian berkata, "Mas, kamu harusnya tahu bahwa kewajiban sebagai suami tidak terbatas hanya soal nafkah harta, aku sangat mengenalmu, Mas. Sofia juga butuh sosokmu sebagai suami saat malam-malam menjelang seperti saat ini. Kamu harus adil, Mas. Itu bagian dari tanggung jawabmu, ingat saat kamu meminta restuku malam itu, aku tahu betul kamu sungguh-sungguh menggenggam tangan Sofia seolah takut kehilangannya."
Bayu bergeming. Detik selanjutnya Narni melihat tetesan air bening melewati pipi suaminya. Bayu menangis tanpa suara. tanpa kata pembelaan. Diam yang pada akhirnya membuat Narni tersadar bahwa hati suaminya telah terisi wanita lain selain dirinya.
Bayu meremas rambut setengah berubannya. "Maafkan aku, Dik."
Hening. Narni tidak ingin menambah luka lagi dengan kalimat lanjutan. Pun dengan Bayu, memilih diam hingga jam dinding di kamar itu terdengar jelas bunyi detaknya.
Bayu bangkit dari ranjang. Berdiri lalu melangkah gontai, membuka pintu lalu terhenti di ambang, menoleh ke arah istri pertamanya seolah mempertanyakan keputusannya. Narni mencoba tersenyum menatap sang imam, lalu mengangguk di sela senyum yang dipaksakan.
Pintu tertutup, bersamaan dengan hilangnya Bayu dari pandangan Narni. Saat itu pula luruh air mata yang sedari tadi ditahannya sekuat tenaga. Sekeras apapun Narni berusaha tegar, sekuat apapun ia meyakinkan diri untuk merelakan suaminya memeluk wanita lain malam ini dan malam-malam selanjutnya, namun ia tetaplah wanita. Hatinya rapuh bak kaca yang bertabur debu, maka jika sedikit saja tergores saat membersihkannya, retaklah kaca rapuh itu. Lalu Narni bergegas ke kamar mandi mengambil air wudhu. Memutuskan sholat agar luka di hatinya terobati, menumpahkan segala perih yang tak mampu ia pendam sendiri.
***
Bayu ragu memegang gagang pintu kamar Sofia. Berdiri mematung dengan hati tercambuk bimbang. Lalu tiba-tiba pintu terbuka dari dalam. Sofia tak kalah terkejut saat melihat suaminya berdiri di hadapannya, tubuh tegapnya meski tertunduk terlihat begitu mempesona. Pun dengan Bayu yang tak menyangka Sofia akan menyambutnya dengan persiapan sempurna. Lihatlah gadis itu kini menjelma cantik sekali, seperti orang yang tak dikenalnya, mengenakan make up tipis dengan pakaian terbuka menggoda.
Bayu bergidik demi melihat gadis manis itu menjelma, naluri kelelakiannya mendadak tergugah. Tanpa kata, malam itu ritual cinta mengalir seperti mata air kecil yang tak seberapa deras, bergemericik sunyi namun menampilkan keindahan.
***
Pagi yang indah datang.
Narni sudah sedari tadi menyibukan diri dengan aktivitas rumahan. Bangun tidur langsung menuju teras belakang sembari membawa tumpukan baju kotor, memasukannya satu per satu ke dalam mesin cuci otomatis. Kemudian berjalan sigap menuju dapur, menyiapkan sarapan sambil sesekali membereskan perkakas. Terampil tubuhnya bergerak, seperti disetel otomatis mengerjakan pekerjaan rumah.
Bayu yang juga sudah hafal kegiatan rumah menyusulnya, melingkarkan tangan ke pinggang Narni yang sedang mencuci piring.
"Pagi bidadari. Ada yang bisa aku bantu?" tanya Bayu dengan nada genit.
Narni tertawa, hampir memukulnya dengan sendok kotor di wastafel. " Masukin ikan ke wajan, Mas. minyaknya sudah panas."
Menuruti komando sang istri, Bayu melangkah menuju kompor menyala, di atasnya wajan dengan minyak panas sudah menyambutnya. Terampil Bayu memasukan satu per satu ikan nila, membaliknya kemudian mengirimkannya ketika sudah matang. Aktivitas yang selalu membuatnya merindukan rumah.
"Bagaimana semalam?" celetuk Narni tiba-tiba.
Bayu yang sedang menata piring di atas meja terhenti. Raut mukanya berubah, hatinya tak henti mengutuk pertanyaan istrinya.
"Dik ... kamu, kan yang menyuruh Sofia melakukannya?" Bayu berkata lirih.
"Apa?" Narni menelan ludah. kembali menyibukan diri dengan perkakas kotor bekas memasak. mencoba menghalau pilu yang tiba-tiba datang menyergap hatinya.
"Kamu kan yang membelikan Sofia baju semalam? Menyuruhnya dandan dan memakai wewangian?" Bayu menu Tut jawaban.
Narni berhenti mencuci. Meski masih berdiri menghadap wastafel namun jelas tubuhnya terguncang pelan. Menangis.
Bayu menghampirinya, memeluk erat wanita yang begitu ia cintai, mengabaikan tangan Narni yang masih penuh sabun, menenggelamkan tubuh dalam pelukan.
"Maafkan aku, Mas. Maaf karena masih saja tak rela berbagi, Maaf karena belum sepenuh hati menyerahkan separuh suamiku pada maduku." Narni tergugu, kemudian membalik badan agar menghadap suaminya. Menenggelamkan wajah di dada bidang Bayu yang ia cintai.
Bayu memeluk semakin erat. "Tidak ada yang menyuruhmu berbagi, Dik. Aku akan selalu menjadi milikmu. jangan pernah menyuruhku atau Sofia melakukan hal bodoh lagi."
Sementara itu, di balik dinding di samping pintu dapur Sofia berdiri menutup mulutnya, menjaga agar tangisnya tak terdengar. 'Lalu apa arti sentuhan semalam?'
***
Sofia memutuskan kembali ke aktivitas kampus. Belajar mungkin akan membuat suasana hatinya lebih baik. sebenarnya Narni melarangnya pergi, takut terjadi sesuatu dan tidak ada orang yang tahu. Namun kekhawatiran itu justru membuat Sofia makin terluka, setengah membenci. Maka dengan tekad menyembuhkan luka Sofia pergi ke kampus, menerima tawaran Narni memesankan taksi online.
Tapi hal menyakitkan berikutnya justru ia dapatkan. Berharap kelas Bayu akan sangat menyenangkan, menatap puas suaminya yang menawan sendirian tanpa bayangan istri pertamanya. Salah Sofia berharap terlalu besar, Bayu hanya hadir sebentar di kelasnya, menyerahkan beberapa tugas yang harus selesai hari itu juga, kemudian pergi meninggalkan kelas tanpa sedetik pun menolah pada Sofia.
Hati Sofia bergemuruh. Ada kobaran api yang tak kunjung padam di ulu hatinya, tahu betul sikap Bayu sengaja menghindari pertemuan dengan Sofia. Sofia membuka ransel, mengambil gawai dan menelpon. Tak lama terdengar jawaban dari seberang.
"Ada apa, Sof?" Suara Bayu terdengar ceria.
"Dimana?" Singkat Sofia menjawab.
"Di butik Dik Narni, Ada beberapa pertemuan dengan supplier batik dan Narni tidak bisa datang karena mengurus Alifa." Bayu menjelaskan.
Lega Sofia mendengarnya. Menyadari betapa bodohnya telah berburuk sangka. Lalu tiba-tiba terdengar suara lain di seberang gawai, suara yang amat di kenalnya sedang tertawa. Tawa Alifa dan Narni.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!