NovelToon NovelToon

Love Behind Secrets (Jilid1,2,3)

Chapter 1 : Kebencian Yang Penuh Misteri. (LBS Jilid 1)

Visual Naayla Azria Wijaya

Cerita ini bermula tentang persahabatan antara Revan dan Naayla..

Kisah Cinta mereka begitu rumit. Banyak rahasia, banyak misteri, banyak liku-liku yang harus mereka hadapi..

Ikuti cerita pertama author yang pemula ini ya guys! Terimakasih sudah mau mampir! 🥰🥰

**

Naayla Azria Wijaya, putri semata wayang dari Wijaya Surya Atmaja dan Sintia Hendiarsono. Dia gadis berusia enam belas tahun, kelas XI Sekolah Menengah Atas yang gemar membaca novel cinta sejak dia kelas dua SMP. Karena terlalu hobby membaca, dia selalu membawa novel kemana pun dia pergi. Seperti siang ini, setelah menghabiskan jam istrirahatnya untuk makan di kantin, Naayla buru-buru membuka novel barunya. Novel pemberian dari seseorang yang sejak dulu mengidolakan dirinya. Fyi, lelaki itu adalah anak pemilik yayasan yang tergila-gila dengan Naayla, meski begitu Naayla tidak tertarik untuk membalas cinta lelaki tersebut.

Fokus lagi dengan novel yang ada di tangannya, Naayla mencari halaman terakhir yang sudah ia baca. Naayla membolak balikkan halaman buku bersampul pink itu satu per satu, karena tanpa sengaja pembatas bukunya jatuh entah dimana.

"Hai, Cantik," sapa Rama saat Naayla melintas di depannya membuat perhatian Naayla teralih pada cowok yang terkenal playboy dan slengekan itu, dia salah satu fans berat Naayla.

"Hai, Kakak," sahut Naayla singkat dan berusaha seramah mungkin agar tidak terlihat sombong.

"Udah makan belum? Kakak traktir mau?" tanya Rama basa-basi.

"Udah kok, Kak. Ini baru aja habis makan," jawab Naayla.

"Kirain belum, kan aku takut kamu sakit," kata Rama, "Karena kalau kamu sakit, duniaku seolah tak bermentari. Gelap gulita, hehehe," lanjut Rama mulai mengeluarkan jurus-jurus gombalannya.

"Haduuh ... mulai dech. Aku bilangin Kak Revan nich," ancam Naayla.

"Haish ... nyerah dech kalau udah urusan ama itu balok es. Udah kayak bodyguard-mu aja, Naay," cela Rama.

"Hahaha, ya udah aku lanjut ya, Kak. Assalamualaikum," pamit Naayla kemudian pergi, tapi sebelumnya Naayla sudah meninggalkan sebuah senyuman manis untuk Rama.

"Wallaikusallam. Setdah cantik amat pingin gue bawa pulang," oceh Rama seraya menatap Naayla yang berjalan pergi meninggalkannya.

Naayla mulai membaca kembali novel yang ada di tangannya. Dia berjalan perlahan-lahan menyusuri lorong-lorong sekolahnya. Namun, sayang, Naayla yang tengah asyik membaca tanpa mempedulikan sekitarnya, menjadi tidak sadar saat kaki seseorang sudah ada tepat di depan kaki kanannya. Dan ....

"Aooooow .... Sakit," jerit Naayla.

Naayla jatuh tersandung dengan posisi tertelungkup dan novel di tangannya pun terlepas.

Di saat ia merintih kesakitan, Naayla justu mendengar beberapa orang tertawa terbahak-bahak dengan sangat puas. Suara tawa yang sudah tidak asing lagi untuknya. Naayla berusaha bangkit dengan lutut dan telapak tangan yang berdarah akibat terbentur ke tanah. Lukanya cukup lebar dan parah karena kebetulan di area ini sedang ada perbaikan keramik, jadi banyak material kotor dan tajam yang bisa dengan mudah melukai kulit seseorang.

Mereka adalah empat orang kakak kelas perempuan. Yang terdiri dari Kamila si ketua genk dan ke tiga dayang-dayangnya yaitu Shelin, Aira dan Nabila. Mereka berdiri mengelilingi Naayla yang duduk berselonjoran di tanah. Mereka masih juga tertawa tanpa rasa iba sedikit pun.

"Sakit ya, Naay? Duh ... cacian, mau aku bantu bangun?" tanya Kamila dengan senyuman yang super jahat yang dia punya. Tangannya mengulur untuk membantu, tapi dengan cepat Naayla menangkisnya.

"Dih ... galak banget, hahaha," cela Kamila kemudian tertawa dan ke tiga kawannya yang lainnya pun juga ikut tertawa.

Sampai kapan aku harus kayak gini? Ngadepin tingkah mereka yang nggak pernah ada bosennya gangguin aku. Gerutu Naayla dalam hati.

Dengan menahan rasa sakit Naayla berusaha berdiri. Belum lagi rasa malu yang harus dia terima. Bagaimana tidak malu bila dijadikan bahan tontonan seperti ini? Banyak murid-murid lain yang memperhatikan kejadian memalukan ini, tapi tak ada satu pun yang berniat menolong Naayla.

Sedang ke empat Kakak Kelas itu masih terus tertawa. Naayla meringis kesakitan menahan luka di tangan dan kakinya. Mungkin ini bukan pertama kalinya mereka seperti ini. Entah ini untuk yang ke berapa kali, Naayla sendiri pun sampai lupa. Sejak SMP hingga sekarang, mereka masih saja tidak pernah bosan menjahili Naayla. Tapi ini salah Naayla juga. Kenapa dia justru mendaftar di sekolah menengah atas yang jelas-jelas dia tahu mereka pun juga ada di sana? Naayla seperti menjerumuskan kembali dirinya ke dalam sarang harimau betina.

"Sebenarnya apa sich salahku sama kalian?" tanya Naayla dengan nada tinggi.

"Kamu mau tahu apa salahmu?" Kamila balik bertanya.

"Salahmu karena kamu membuat aku kehilangan sebelum aku bisa memiliki apa yang aku mau! Aku nggak terima dikalahin sama cewek kayak kamu!" maki Kamila menjawab pertanyaan Naayla dengan nada tinggi.

Naayla menangis sesenggukan, dia benar-benar tidak mengerti apa yang Kamila bicarakan. Dia tidak pernah punya urusan secara personal dengan Kamila. Lalu apa yang mendasari kebencian Kamila padanya? Apa pula yang Naayla kalahkan? Mereka tidak sedang berlomba untuk mendapatkan sesuatu selama ini. Dia pun bisa kenal Kamila karena Revan yang memperkenalkan mereka. Kamila dan Revan sama-sama anggota OSIS saat SMP. Dan awal kenal pun Kamila masih bersikap baik dan ramah dengan Naayla, dan berjalan beberapa bulan setelahnya, Kamila berubah menjadi jahat hingga sekarang.

"Kehilangan? Memang apa yang aku rebut? Apa yang aku kalahin? Kita nggak punya urusan apa pun selama ini, Kak," balas Naayla.

"Asal kamu tahu, aku benci banget sama kamu!" teriak Kamila dengan cukup kencang.

"Mil, jangan teriak-teriak! Nanti ketahuan guru-guru bisa berabe kita," tegur Shelin.

"Aku nggak peduli. Mana ada guru yang berani ama aku? Mau aku aduin ama bokap aku apa?"

Lalu dua orang datang menghentikan perdebatan panas antara Kamila dan Naayla. Mereka adalah Revan dan Rena. Mereka kakak beradik yang sudah seperti saudara untuk Naayla. Revan dan Rena tinggal berdua di kota ini ditemani oleh asisten rumah tangga bernama Bi Iroh. Kedua orang tua mereka tinggal di Australia untuk mengurus perusahaan keluarga. Selama mereka berada di sini, kedua orang tua mereka yaitu Jhonsen Aryasatya dan Sandra Ellea Jhorge menitipkan Rena dan Revan kepada keluarga Naayla. Mama Sintia mengurus Revan dan Rena sejak mereka masih bayi. Naayla, Rena dan Revan dibesarkan bersama-sama dalam asuhan Mama Sintia dan Papa Wijaya. Ketika masih balita, mereka selalu tidur bertiga agar Mama mudah mengawasinya, tapi saat Revan duduk di bangku sekolah menengah pertama, dia mulai malu dan ingin tidur sendiri di rumahnya, begitu juga Rena yang akhirnya mengikuti jejak kakaknya. Hingga sekarang, Mama tetap memantau dan mengurus mereka sebaik Mama mengurus Naayla meski kini mereka tinggal dalam rumah yang berbeda.

"Naay, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Revan dengan panik, "Ya Allah, kakimu, tanganmu. Kenapa sampai berdarah kayak gini?" Revan semakin khawatir melihat luka di tubuh Naayla.

Naayla menangis sesenggukan, "Sakit, Kak," keluhnya.

Revan menarik tubuh Naayla ke dalam pelukannya, "Karena dia lagi?" tanya Revan. Sorot matanya yang tajam melirik ke arah Kamila dengan penuh rasa dendam, "Udah diam dulu! Kakak obati luka kamu di UKS ya," kata Revan, "Ren, urusi mereka!" perintah Revan pada adiknya. Revan bisa saja membalas, tapi dia merasa tidak pantas untuk melawan seorang wanita. Jadi lebih baik biar Rena yang bertindak.

"Siap, Van," sahut Rena. Dia sudah menggulung lengan seragamnya. Dia pasang wajah garang seperti seekor singa betina yang hendak menerkam mangsanya.

"Ayo cepat kita duel!" tantang Rena.

Kamila dan kawan-kawan sudah paham kalau Rena mengamuk pasti rambut mereka yang akan menjadi sasarannya. Untuk itu mereka memutuskan untuk melarikan diri sebelum helai per helai rambut mereka rontok dan membotak.

"Dasar cemen!" teriak Rena, "Beraninya sama Naayla doang. Ciih ... " omel Rena.

**

Revan membawa Naayla ke UKS. Dia meminta obat-obatan pada petugas yang berjaga dan merawat luka Naayla seorang diri.

"Aduh ... aduh ... sakit, Kak," keluh Naayla saat Revan mengolesi lukanya dengan obat merah.

"Maaf-maaf! Tahan sedikit ya!" kata Revan.

"Kakak ... Hiks .... " Naayla menangis dengan manja.

"Udah diam! Rena yang akan balas mereka. Kamu tenang aja."

"Kenapa Kak Kamila bilang kayak gitu sich, Kak?"

"Memang dia bilang apa?" tanya Revan. Dia masih mengobati luka Naayla dengan telaten.

"Katanya dia kalah saingan sama aku dan aku buat dia kehilangan. Memangnya apa yang aku rebut sich?"

Revan terdiam sejenak seperti ada yang dia pikirkan. Gerakan tangannya yang membalut luka Naayla dengan perban pun ikut terhenti. Naayla menatap lelaki yang sudah dianggapnya sebagai kakak itu dengan keheranan.

"Kakak, kenapa diam? Apa Kakak tahu sesuatu?" tanya Naayla penasaran.

"Nggak ada kok, Naay," jawab Revan kemudian tersenyum. Senyum yang dipaksakan.

"Terus kenapa Kak Kamila musuhin aku terus? Kalau aku salah tinggal bilang dimana salah aku, nggak usah main tebak-tebakan gitu lah, Kak."

Revan sudah selesai mengobati luka Naayla, dia mencium tangan Naayla dengan lembut kemudian mengelus pucuk kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang.

"Nggak usah dipikirin! Mungkin ada sedikit gangguan dalam jiwanya. Yang penting jangan jauh-jauh dari Kakak atau Rena ya! Biar kamu tetap aman," nasehat Revan pada Naayla.

"Uuh ... aku sayang Kakak," ucap Naayla sambil memeluk Revan dengan erat. Wajahnya yang basah dia benamkan pada dada bidang Sang Kakak hingga seragam Revan kebasahan.

"Kakak juga sayang kamu," balas Revan. Dia mengeratkan pelukannya.

Rena datang bersama Dido kekasihnya untuk melihat keadaan Naayla.

"Jangan nangis dong, Naay! Makanya dengerin aku ngomong, kan aku tadi dah bilang kita pulang ke kelas barengan aja tapi kamu ngeyel, jadinya celaka kan," omel Rena.

"Kenapa nggak laporin ke guru aja sich? Ini keterlaluan menurutku," sambung Dido memberi saran, "Kasihan lho Naayla diuber mulu ama Kamila," lanjutnya.

"Nggak perlu! Setelah ini pasti mereka berhenti kok," sahut Revan dengan mantab.

Naayla masih bergelendot manja pada Revan. Gadis itu sudah terbiasa seperti ini. Sudah tidak ada rasa canggung di antara keduanya. Ini dampak karena mereka yang selalu bersama sejak bayi hingga detik ini. Hubungan mereka sangat dekat sudah seperti terikat darah.

**

Malam harinya Rena, Revan dan Naayla duduk-duduk di depan teras rumah sambil menikmati jus jambu buatan Bi Iroh dan bolu cokelat buatan Mama Sintia, Ibu kandung Naayla. Revan suka sekali dengan bolu buatan Mama Sintia. Dia bisa menghabiskan satu loyang untuk dirinya sendiri.

Sedang asyik makan, tetiba Naayla teringat sesuatu yaitu novelnya. Novel yang sedang dia baca saat insiden berdarah yang menimpanya tadi siang.

"Novelku, Ren. Novelku hilang. Astaga! Kenapa aku sampai kelupaan ya?" seru Naayla membuat Rena dan Revan kompak menoleh ke arahnya.

"Dih ... cuma novel doang, Naay. Udah heboh kayak kehilangan pacar," gerutu Rena.

"Novel lebih penting dari pada pacar. Besok aku mau cari novel aku sampai ketemu pokoknya," kata Naayla.

Meski banyak yang naksir tapi Naayla memang tidak pernah punya niat untuk pacaran. Dia sudah berjanji untuk menyelesaikan sekolahnya dulu baru mau berpikir tentang pasangan. Revan pun demikian, selama ini lelaki tampan dengan tubuh atletis namun agak dingin dan irit bicara itu juga tidak pernah terlihat menggandeng seorang gadis. Teman gadis pun dia tidak punya, hanya Naayla saja teman lawan jenisnya. Berbeda dengan Rena yang kerap gonta-ganti pacar. Tumben-tumbenan dengan Dido Rena bisa awet hingga hampir dua tahun ini mereka berpacaran.

"Besok kamu boleh cari novel kamu, tapi ajak Rena atau Kakak ya! Jangan sendirian!" ucap Revan mengingatkan Naayla.

"Iya, Kakak. Siap laksanakan. Hehehe," sahut Naayla kemudian tersenyum kecil.

"Kalian berdua ini udah pingin aku bawa ke KUA, sama-sama jomblo anyep nggak laku-laku. Nempel mulu kalian berdua udah kayak kulkas ama hiasan magnetnya. Hahahaha," ledek Rena.

...Naayla melempar Rena dengan sandalnya karena kesal. Gadis itu memang kerap melontarkan ledekan-ledekan konyol pada Naayla dan Kakaknya. Tapi Revan yang aslinya memang pendiam masih bisa stay cool dan tidak bergeming sedikit pun meski adiknya itu kerap kali mengejeknya karena betah lama-lama menjomblo....

.

.

.

.

...*Love Behind Secrets Jilid 1*...

...Tiy. Wijaya....

Chapter 2 : Tragedi UKS. (LBS Jilid 1)

Visual Revan Aryasatya menurut author.. bisa pakai imajinasi masing-masing kalau kurang berkenan..

**

Hari ini ada pensi di sekolah Naayla dalam rangka ulang tahun yayasan yang ke 20 tahun. Tentu saja di sini sangat ramai dan bising. Hampir semua murid berkumpul di aula untuk menyaksikan acara tersebut. Bintang tamunya cukup keren, ada Raissa, Afgan, Rossa dan juga Tasya Rosmala. Kini giliran Tasya yang menghibur seisi sekolah. Mereka kompak ikut bernyanyi bersama penyanyi mungil dan cantik itu.

Naayla tidak tertarik dengan acara berisik seperti ini. Naayla tidak suka kebisingan. Dia suka suasana yang tenang. Meski sebenarnya dia memiliki suara yang merdu jika bernyanyi tapi dia lebih suka di keheningan.

Seperti rencananya kemarin, Naayla hendak mencari novelnya yang hilang. Dia ingat pesan Revan semalam untuk tidak sendirian. Tapi Naayla bingung harus minta ditemani siapa, Rena sedang asyik dangdutan mana mungkin dia mau ikut? Dan Revan, entah dimana dia sekarang. Naayla sudah mengirimnya chat tapi tidak dibaca juga.

Okelah, aku cari sendiri aja. Pikir Naayla.

Tempat yang pertama Naayla tuju tentunya di depan kelas Kamila. Karena di sana tempat terakhir dia bersama dengan novelnya yang malang itu.

Sesampai di tempat, Naayla celingukan. Dia mencari kira-kira dimana buku cantik itu bersembunyi.

"Kenapa nggak ada ya?" Naayla bertanya pada dirinya sendiri.

Naayla sudah menyisir area ini tapi tidak membuahkan hasil.

"Kemana lagi aku harus nyari novelku?" Naayla berputus asa.

Naayla menengok ke ruang kelas Kamila dan ternyata kosong tak berpenghuni. Dia tetap ingin mencari Kamila seorang diri. Kejadian yang sudah-sudah tidak membuat Naayla menjadi kapok untuk pergi tanpa Revan ataupun Rena. Seolah dia sudah ikhlas kalau harus mati konyol hanya demi sebuah buku.

Naayla menyusuri setiap lorong sekolah. Sepi. Kemudian ia ke kantin. Masih cukup ramai di sana tapi dia tidak menemukan Kamila and the genk di tempat tersebut. Perasaan Naayla mengatakan kalau bukunya itu disembunyikan oleh salah satu di antara mereka.

Atau mungkin mereka bergabung sama yang lainnya ya di aula? Naayla bertanya dalam hati.

Fyi, sekilas tentang Kamila Estherlita.

Dia adalah seorang model. Rambutnya keriting menggantung. Bahkan Naayla sangat ingin memiliki rambut sepertinya. Yang namanya model pasti lah dia cantik, dia juga tinggi, jika dibanding Naayla jelas Naayla kalah. Naayla hanya mampu menyamai pundak Kamila saat mereka berdiri bersebelahan. Naayla dan Kamila, keduanya termasuk siswi yang banyak diidolakan oleh para penghuni laki-laki di sekolah ini, tapi menurut Naayla, hal itu tidak cukup masuk akal untuk membuat Kamila membencinya. Soal akademis, Kamila dan Naayla juga sama-sama berprestasi, hanya saja Kamila lebih gemar ikut lomba mata pelajaran dibandingkan dirinya yang kurang percaya dengan kemampuannya sendiri.

Naayla masih menyusuri setiap sudut sekolah. Dia mempercepat langkahnya dan bahkan nyaris berlari. Suara sepatu vantovelnya yang berbenturan dengan keramik memecah keheningan di lorong yang sepi.

Saat di depan perpustakaan, Naayla mendengar seperti ada langkah kaki orang lain mengikutinya. Kontan, bulu kuduknya berdiri.

Eh, mana ada setan di siang bolong begini sich? Pikir Naayla seraya mengelus-elus tengkuknya.

Naayla mempercepat langkahnya, tapi orang yang di belakang ikut mempercepat langkahnya pula hingga suara hentakan sepatu mereka terdengar bersahut-sahutan. Naayla ketakutan.

Ya Tuhan ada siapa di belakangku? Tanya Naayla dalam hati.

Naayla masih mempercepat jejaknya. Beberapa detik kemudian Naayla merasakan sesuatu menyentuh tangan kanannya. Naayla yakin ini pasti tangan orang misterius yang sedari tadi membuntutinya. Jantung Naayla berdegup kencang, keringat dingin mengucur dengan mulus di sekujur tubuhnya apalagi saat orang itu menarik paksa Naayla masuk ke dalam ruang UKS yang gelap dan kosong tak berpenghuni.

Naayla memejamkan mata karena ketakutan yang teramat.

Oh Ya Allah lindungilah aku! Naayla berdoa di dalam batin.

Orang itu menyenderkan tubuh Naayla ke tembok. Ia bisa merasakan hangat napas seseorang yang ada di hadapannya secara langsung. Dia menghimpit tubuh Naayla. Naayla memberanikan diri membuka mata. Dan betapa kagetnya saat dia melihat seorang lelaki berseragam SMA sedang berdiri di depannya tanpa jarak sedikit pun. Iya, ini menempel namanya. Tubuh Naayla dan lelaki itu menempel.

"Ka~Ka~Kak .... Kak Zidan." Naayla menyebut nama lelaki itu dengan terbata-bata.

Lelaki itu menyunggingkan senyumnya. Naayla menangkap ada niat jahat dalam otaknya saat ini.

"Tolong minggir, Kak!" pinta Naayla dengan derai air mata yang tidak bisa lagi dia bendung.

Naayla berusaha mendorong tubuh Zidan sekuat tenaga tapi Zidan lebih kuat darinya.

"Tenanglah, Naay! Aku cuma pingin sama-sama kamu aja. Mumpung di sini sepi," katanya pelan.

"Aku mohon lepaskan aku!" Naayla meminta belas kasihan dari Zidan.

Tangisan Naayla semakin menjadi-jadi. Naayla benar-benar ketakutan. Tapi Zidan tidak mempedulikan air mata Naayla, dia justru semakin mendekatkan wajahnya.

Zidan, lelaki yang tergila-gila pada Naayla, anak pemilik yayasan yang selalu mengejar-ngejar cinta Naayla.

Zidan semakin kurang ajar, dia hendak mendaratkan sebuah ciuman di bibir Naayla yang dihiasi oleh lipsglosh berwarna pink itu.

"Jangan lakuin ini, Kak! Aku mohon! Pergilah atau aku teriak!" Naayla meminta dan menyelipkan ancaman di akhir kalimatnya.

"Teriak aja! Nggak akan ada yang dengar," tantang Zidan.

Dia terus mencoba melakukan hal menjijikan itu. Naayla terus meronta, menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri agar Zidan kesulitan menyentuh bibirnya.

Ya Allah, siapa aja tolonglah aku!

Dan ternyata Tuhan masih berbaik hati. Rasa lega langsung hinggap memenuhi ruang hati Naayla yang merasa lemah dan tidak kuasa melakukan perlawanan apa pun lagi.

Seseorang datang dan menarik tubuh Zidan dari arah belakang.

"Brengsek!" maki cowok gagah itu.

Tanpa lama-lama dia meninju pipi Zidan hingga Zidan ambruk tertelungkup. Naayla pun lolos dari cengkraman cowok kurang ajar itu. Ini kesempatan Naayla untuk mencari saklar lampu agar dia bisa dengan jelas melihat wajah orang baik hati yang menyelamatkan harga dirinya.

Lampu pun segera menyala saat Naayla mendapatkan tombol saklarnya.

"Ya Allah, Kak Revan," seru Naayla.

Naayla terperangah. Naayla menutup mulutnya yang menganga menggunakan kedua tangan menyaksikan Zidan dihabisi oleh Revan.

Revan meninju pipi Zidan hingga memar-memar. Naayla juga melihat darah keluar dari sudut bibir lelaki itu. Tapi ini tidak akan baik jika terus dibiarkan. Dia langsung berinisiatif untuk menarik tubuh Revan dan mencoba menghentikannya.

"Kak Revan, aku mohon udah cukup!" teriak Naayla agar Revan mau berhenti.

"Biar aku habisi cowok kurang ajar ini, Naay," sahut Revan yang emosinya masih meledak-ledak.

Revan benar-benar brutal hingga Zidan tidak bisa membalasnya meski hanya satu pukulan saja.

Dengan sisa-sisa tenaga, Naayla menarik tubuh Revan. Hingga akhirnya Zidan pun terlepas dari tangan Revan. Tapi dia masih belum bisa banyak bergerak. Zidan terjatuh meringkuk.

"Aku mohon hentikan!" Naayla mengatupkan kedua tangan dan menatap Revan dengan tetesan air mata yang sedari tadi tidak berhenti mengalir.

Revan mengatur napasnya yang tersengal. Dia terlihat masih emosi. Revan mengepalkan tangannya dan hendak meninju Zidan lagi. Dengan sigap Naayla menghadangnya. Naayla berdiri di depan Zidan yang terkapar dan merentangkan kedua tangannya untuk melindungi tubuh Zidan yang sudah tidak berdaya.

"Aku mohon hentikan!" pinta Naayla sekali lagi dengan terisak-isak.

Mau tidak mau Revan mengurungkan niatnya atau kalau tidak giliran Naayla yang akan kena bogem mentahnya.

Revan menatap mata Naayla dengan tajam. Tubuhnya kini sudah penuh dengan keringat. Bajunya berantakan. Begitu pun juga Zidan. Dia berusaha bangkit dan sekarang berdiri di belakang Naayla sambil mengelap sudut bibirnya yang berdarah.

"Kenapa kamu lindungi dia, Naay?" tanya Revan dengan bentakan yang terdengar menakutkan di telinga Naayla.

Revan menunjukkan jari telunjuknya ke arah Zidan dengan tatapan elangnya yang tajam.

Naayla menggelengkan kepala.

"Aku nggak lindungi dia, Kak! Aku cuma _"

"Cuma apa Naay? Jawab! Kenapa kamu belain dia?" Revan memotong perkataan Naayla yang belum selesai. Sumpah demi apa pun ini pertama kalinya Revan membentak Naayla dengan sangat kasar.

"Aku cuma nggak mau Kakak kena masalah," jawab Naayla ketakutan. Naayla bahkan tidak berani menatap mata Revan.

"Kayaknya aku yang salah paham," seru Revan sambil mengusap keringat yang mengucur di keningnya.

"Maksud kakak apa?" Naayla mendongakkan wajahnya yang tertunduk.

"Iya aku salah paham. Sepemikiranku, aku lihat cowok kurang ajar ini berusaha lecehin kamu, tapi ternyata kamu dan dia memang sama-sama mau kan, Naay? Iya kan?"

Mata Naayla terbelalak mendengar kata-kata Revan. Dia menggelengkan kepala berusaha menolak tuduhan Revan yang menyakitkan. Dia tidak menyangka bahwa pikiran Revan bisa se-negatif ini tentangnya. Naayla seperti tidak mengenal laki-laki ini lagi. Naayla pikir Revan satu-satunya orang yang akan membelanya di saat dia salah sekali pun.

"Kakak salah paham. Tolong dengerin aku dulu! Ini nggak seperti yang Kakak pikirin."

Naayla mencoba memegang tangan Revan tapi Revan menepisnya.

"Kak Zidan, coba tolong jelasin sama Kak Revan yang sebenarnya! Aku mohon!"

Zidan menyunggingkan senyumnya.

"Apalagi yang perlu dijelasin, Naay? Revan udah pintar untuk nilai yang sebenarnya kok, mungkin dia iri pingin kamu cium juga," sahut Zidan dengan santai dan tanpa beban. Sepertinya pukulan Revan tidak membuatnya menjadi tumbang, dia masih bisa setenang itu, entah dari mana dia mendapatkan kekuatan setelah tadi ambruk tanpa tenaga.

Revan melirik ke arah Zidan seperti hendak menerkam laki-laki itu lagi.

Naayla marah. Jelas dia kecewa. Zidan menfitnahnya dengan tuduhan yang menjijikkan.

"Omong kosong apa ini, Kak? Cepat tarik omonganmu tadi! Kamu yang maksa mau cium aku. Aku nggak mungkin lakuin hal seburuk itu. Ayo jelasin sama Kak Revan!" Naayla meneriaki Zidan dengan histeris. Dia memukuli dada Zidan berkali-kali. Tapi Zidan tidak bergeming.

Revan menatap Naayla dengan penuh kekecewaan.

"Kamu keterlaluan, Naay," maki Revan.

"Aku mohon percaya sama aku, Kak!" Naayla memegang tangan Revan tapi Revan menepisnya lagi dan melenggang pergi meninggalkan Naayla.

"Kamu benar-benar jahat, Kak. Apa salahku sama kamu?" Naayla.

"Salahmu karena kamu nggak pernah nanggapi perasaan aku, Naay. Aku sayang sama kamu."

"Sudah berkali-kali aku bilang aku nggak mau dan nggak ingin pacaran dulu. Nyesel aku udah nyegah Kak Revan, seharusnya aku biarin kamu mati dihajar sama dia."

Zidan menarik tangan Naayla saat gadis itu hendak pergi meninggalkannya, "Apa pentingnya Revan buat kamu? Dia terlalu membatasi setiap lelaki yang mencoba mendekatimu termasuk aku. Dia itu orang lain, tapi bertingkah seperti dia itu kekasihmu."

"Dia kakakku. Kedua orang tuaku memasrahkan keselamatanku sama dia. Dia hanya ingin menjagaku dari laki-laki mesum sepertimu."

"Ingat aku baik-baik, Naay! Aku nggak akan nyerah sampai aku dapetin kamu."

"Terserah."

Naayla menarik tangannya dengan paksa kemudian berlalu pergi meninggalkan Zidan.

PoV Naayla*

Aku menangis sendirian di dalam kelas. Perasaanku benar-benar campur aduk. Marah, sedih, takut dan kecewa semua membaur menjadi satu. Kenapa aku tidak bisa sehari saja hidup tenang di sekolah ini? Kalau bukan Kak Kamila gantian Kak Zidan yang menggangguku. Tapi ini sangat parah dan lebih sakit dari luka yang kemarin. Kak Revan menuduhku yang tidak-tidak. Kak Zidan membuatku seperti cewek nakal di depan Kak Revan. Aku tahu dia menyukaiku sejak pertama kali aku masuk ke sekolah ini tapi dia tahu aku tidak mau punya pacar. Aku tidak menyangka dia akan tega melakukan hal sebejat ini sama aku. Seandainya kak Revan tidak datang tepat waktu entah apa jadinya aku sekarang? Dan bukannya aku tidak tahu terima kasih, aku cuma tidak ingin Kak Revan terkena masalah.

"Naay, apa kamu di sini?" Suara seseorang membuyarkan lamunanku.

Itu suara Rena.

"Hei, Sahabatku Sayang," sapanya sumringah saat berada di ambang pintu lalu kemudian berjalan menghampiriku.

Aku mengusap air mataku sesegera mungkin.

"Kamu nangis? Apa Kamila gangguin kamu lagi?" tanya Rena serius. Dia berdiri di sebelahku sekarang.

Aku memeluk pinggang Rena kemudian menangis lagi.

Rena mengusap-usap kepalaku.

"Hei ceritain sama aku! Apa yang terjadi?" Rena mengkhawatirkan keadaanku.

Aku masih belum bisa bercerita banyak. Aku masih ingin menangis saja sampai aku lega. Lalu Rena memintaku untuk minum air mineral yang tadi dibawanya agar aku sedikit tenang. Aku menurut dan kuhabiskan separuh botol air itu dengan sangat cepat.

"Sudah lebih tenangkan? Sekarang cerita! Siapa yang bikin kamu nangis kayak gini?"

Setelah Rena duduk di kursi yang ada di sebelahku, dengan masih terisak aku menceritakan semua yang terjadi mulai dari awal hingga akhir.

Rena menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ya Allah, jijik banget. Kak Zidan benar-benar udah dibuat gila sampai dia nekad ngelakuin apa pun untuk dapatin kamu," komentar Rena setelah aku menyelesaikan ceritaku.

"Percaya sama aku, Ren! Aku korban di sini. Mana mungkin aku ngelakuin hal segila itu?"

"Iya-iya aku percaya. Kamu kan cewek abnormal jadi mana mungkin kamu mau diajak ciuman sama cowok."

Aku mengerutkan keningku mendengar statement Rena yang selalu diselipi dengan ledekan.

"Maksudmu apa bilang aku abnormal? Aku masih lurus, Ren. Aku masih suka cowok. Gila lu ya!" aku memaki Rena dengan kesal. Dia memang susah sekali diajak ngomong serius.

"Sekarang coba dipikir baik-baik! Cowok sekelas kak Zidan yang ganteng, baik dan kaya kamu enggak mau. Bukannya itu termasuk gejala abnormal?"

"Bukan aku yang abnormal tapi Zidanlah yang abnormal, di sini kan banyak cewek cantik selain aku, bisa aja kan dia gantian ngejar-ngejar Kak Kamila, dari pada itu cewek uring-uringan terus sama aku.,"

"Tapi sepertinya Kak Zidan nggak tertarik sama cewek garang kayak Kamila, dia suka yang kalem-kalem blo*n kayak kamu, Naay. Hahaha." Rena terkekeh.

Tanpa lama-lama aku menimpuk kepala Rena dengan botol kosong, "Enak aja ngatain aku bl*on."

Rena mengelus-elus kepalanya, "Sakit ini coey," keluhnya.

"Bukan hal ini yang mau aku bahas sama kamu ya. Aku mikirin Kak Revan. Bagaimana caranya biar dia mau ngerti dan percaya sama aku?"

"Tenang-tenang! Nanti aku bantuin kamu buat ngomong sama dia. Don't worry!" Rena berusaha melegakan hatiku.

"Gimana aku nggak khawatir? Ini masalah harga diriku sebagai cewek. Pacaran aja aku nggak mau apalagi ngelakuin hal mesum kayak gitu?"

"Iya-iya aku ngerti kok. Aku pasti bantuin kamu baikkan lagi sama Revan. Tenanglah! Selama ada aku semua aman."

Sok banget Si Rena. Bukannya kalau ada dia urusan akan semakin kacau? Tapi biarlah, aku mau lihat seberapa bisa dia mengatasi masalahku ini.

PoV Naayla Off*

**

Rena mengetuk kamar kakaknya.

"Van, kamu di dalam kan?" tanya Rena sedikit berteriak.

"Masuk!" perintah Revan.

Saat Rena membuka pintu, dia melihat Revan sedang berbaring di atas tempat tidur sambil memijit keningnya dengan satu tangan. Rena tidak pernah melihat kakaknya seperti ini sebelumnya.

Dia pasti sedang memikirkan sesuatu. Pikir Rena.

"Kamu kenapa?" tanya Rena penasaran.

Revan beranjak dan duduk di sebelah adiknya.

"Aku nggak kenapa-kenapa," jawabnya dengan nada tidak bersemangat.

Revan bohong. Aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu. Pikir Rena lagi.

Rena mengamati wajah kakaknya, tidak ada luka. Wajah tampan kakaknya masih mulus tanpa lecet seditkit pun.

"Kenapa lihatin aku?" tanya Revan tidak nyaman. Dia memalingkan wajahnya.

"Sungguh hebat kakakku ini! Kenapa kamu nggak ikut kejuaraan MMA aja?"

Revan mengerutkan kening mendengar pertanyaan adiknya. Dia menyipitkan mata dan mulai balik bertanya.

"Maksudnya apa? Pasti Naayla yang cerita. Mereka pacaran di lingkungan sekolah. Malu-maluin," gerutu Revan. Amarahnya masih belum padam.

"Pacar? Siapa yang pacaran sama Zidan? Kamu salah sangka, Van. Naayla cuma takut kamu kena masalah. Terus kalau Zidan mati gimana sama nasib kamu? Mau membusuk di penjara?"

"Bodo!"

"Terus kalau dia luka parah dan orang tuanya enggak terima, kamu bisa kena masalah juga kan? Apalagi dia anak pemilik yayasan, bisa jadi kamu dikeluarin dari sekolah!"

"Terus maksudnya kamu mau belain Naayla?"

"Karena memang dia enggak salah. Dia itu tadi mau nyari novelnya yang hilang. Katanya dia udah chat kamu tapi enggak kamu baca."

Revan langsung berdiri dan mengambil tas sekolahnya. Dia aduk-aduk isinya.

"Nyari apaan sich?" tanya Rena.

Beberapa detik kemudian Revan menemukan barang yang dia cari yaitu ponselnya.

Matanya fokus pada layar ponsel dan tangannya terus menari di atas touchscreen bak mencari suatu informasi yang penting.

"Iya, Naayla ngirim sepuluh chat ke aku tadi pagi," kata Revan sambil berjalan perlahan dan duduk di samping adiknya.

"Nah kan benar. Berarti sekarang kamu percaya kan kalau dia nggak salah?"

Revan terdiam kemudian meletakkan ponselnya.

"Nggak. Perasaanku bilang kalau ada hubungan di antara mereka," sahut Revan memecah kebisuannya.

Rena melihat raut wajah kakaknya berubah menjadi sedih.

"Kalau pun benar mereka pacaran, lalu apa masalahnya?" tanya Rena dengan santai sambil merebahkan tubuhnya di kasur empuk yang dia duduki saat ini.

"Naayla itu masih kekanak-kanakan. Dia masih belum pantas pacaran," Revan menjawab pertanyaan Rena dengan nada yang meninggi dan terkesan ada amarah di dalamnya.

"Kenapa memangnya? Kamu juga sering bilang aku kekanak-kanakan tapi kamu enggak pernah sedikit pun melarangku untuk punya pacar," bantah Rena.

"Karena kamu beda sama dia. Dia belum bisa jaga diri."

"Tapi kamu juga enggak bisa larang dong, Van. Itu kan hak Naayla. Kalau memang benar Naayla sama Kak Zidan pacaran, ya udah kamu nggak perlu marah juga kali." Rena masih membantah. Dia merasa Revan terlalu mengada-ada.

Revan memilih untuk kembali diam. Pandangan matanya menerawang ke sembarang arah. Melamun. Terjebak dengan pikiran dan perasaannya sendiri.

Rena menyadari ada yang berbeda dengan kakaknya. Dia menangkap sebuah rasa yang hadir dalam diri Revan. Iya, Rasa cemburu! Rena yakin benar, kakaknya ini sedang jatuh cinta dan itu pada Naayla.

Rena memandangi wajah Revan yang memang terkesan tanpa ekspresi, tapi buatnya bukan hal sulit untuk mengartikan setiap pikiran kakaknya.

"Kenapa?" tanya Revan dengan dingin sambil mengalihkan wajahnya dari tatapan Rena.

"Kamu cemburu kan?" Rena balik bertanya.

Revan tidak langsung menjawab pertanyaan Rena. Selang beberapa detik dia baru menjawab.

"Konyol! Aku cuma khawatir. Dia udah kayak adikku sendiri," ujar Revan.

Rena terdiam menatap kakaknya yang berlalu pergi menjauhinya. Lelaki itu mengambil jaket yang tergantung di hanger dan memakainya. Revan pergi tanpa sepatah kata pun. Tapi Rena membiarkannya, dia tidak mau banyak bertanya lagi. Mungkin Revan sedang butuh sendiri untuk berpikir.

Kemudian ponsel Rena berdering.

"Naayla," Rena membaca nama penelpon yang tertera di layar ponselnya.

"Hallo, Naay!" sapa Rena mengawali pembicaraan.

"Gimana? Apa Kak Revan udah maafin aku?" tanya Naayla dari ujung telepon.

Udah kuduga dia pasti mau nanyain tentang hal ini. Batin Rena.

"Belum," jawab Rena singkat dan tidak bersemangat.

"Belum? Ya Allah. Aku udah tahu, nyerahin masalah ini sama kamu nggak akan bisa memperbaiki keadaan," omel Naayla.

"Revan cemburu kalau kamu dekat-dekat sama Kak Zidan." Rena mengutarakan hasil penyelidikannya.

"Aku sama sekali nggak dekat sama Kak Zidan. Ada-ada aja kamu ini."

"Tapi Revan berpikir kayak gitu. Udahlah ngaku aja kalau memang kalian pacaran!"

"Ya Allah, apa kakak beradik ini udah kehilangan akal sehatnya? Oke, biar aku ke rumahmu sekarang, aku mau ketemu kak Revan."

"Revan nggak ada di rumah."

"Yang benar kamu?"

"Ngapain aku bohong sich? Ngeselin banget ini orang." Rena meneriaki Naaayla sekencang-kencangnya.

"Hei, jangan teriak kayak gitu ya! Kamu pikir aku nenek-nenek tuli apa? Oke, aku mau nyusul kak Revan sekarang!"

"Memang kamu tahu dia dimana?"

"Kalau aku nggak tahu gimana aku bisa nyusul? Ya jelas aku tahu lah."

"Ya udah cepat pergilah! Good luck."

"Tut ... tut ... tut .... "

Telepon pun terputus.

**

PoV Naayla*

Setelah menelpon Rena, aku bergegas menuju ke tempat yang aku maksud. Aku yakin kak Revan pasti ada di sana. Aku harus menemuinya karena aku tidak akan bisa tidur dengan nyenyak sebelum bicara dengannya. Setelah kejadian, itu kami memang belum sempat bertemu lagi. Sempat terpikir untuk menjelaskannya lewat chat tapi aku rasa cara ini kurang sopan.

"Naay, kamu beneran mau nyusul Revan?" Rena bertanya saat ia melihatku keluar dari rumah. Iya, posisi rumah kami memang berhadap-hadapan.

"Iya bener," jawabku singkat sambil membuka pagar rumah kemudian menutupnya lagi.

"Mau aku temani?" tanya Rena menawarkan.

"Nggak usah. Biar kami bicara berdua," jawabku.

"Hmm.. Oke. Hati-hati ya!"

Aku melangkahkan kakiku dengan speed yang lumayan cepat. Aku nggak mau berlama-lama. Aku ingin segera bertemu dengan kak Revan. Tapi, angin di malam ini sangat kencang hingga membuat sekujur tubuhku merinding dibuatnya. Aku mendekap tubuhku dengan kedua tangan. Saking terburu-burunya aku sampai lupa mengenakan jaket.

Benarkan dia di sana. Di sebuah taman kecil yang tak jauh dari rumah kami. Dia sedang duduk diam sambil memandang ke atas langit. Dia sama sepertiku, aku juga selalu kemari saat aku sedih. Saat malam hari keadaan di sini memang sangat sepi. Akan terasa nyaman merenungkan segalanya di tempat ini.

Perlahan aku mendekati Kak Revan. Nampaknya dia belum menyadari kedatanganku. Dia masih sibuk dengan lamunannya. Aku meletakkan tanganku di pundaknya. Aku pikir dia akan kaget dan terperanjat tapi ternyata dia masih tetap dengan gayanya yang cool.

Aku mendudukkan pantatku di sebelah kak Revan. Dia mulai menatapku.

"Ngapain ke sini?" tanya Kak Revan. Dari suaranya aku menilai dia masih marah sekali denganku.

"Nyariin kakak. Kata Rena kakak lagi keluar."

"Tapi aku nggak bilang mau pergi kemana, kenapa kamu bisa tahu?" tanyanya heran.

"Aku tahu semua tentangmu, Kak," jawabku so sweet sekali.

"Terus mau ngapain nyariin kakak?"

"Mau ngomongin soal yang tadi siang. A _"

"Udahlah! Enggak perlu dibahas lagi!" potong Kak Revan dengan cepat.

"Gimana bisa kita enggak perlu bahas ini? Kakak aja masih marah. Ayolah, aku nggak suka kakak kayak gini sama aku."

"Aku nggak marah. Siapa bilang aku marah? Apa hakku marah? Kamu bebas pacaran sama siapa pun."

Aku geleng-geleng kepala.

"Siapa yang pacaran? Ya ampun, kalau aku mau pacaran mungkin udah dari dulu. Aku cantik, banyak yang mau sama aku."

"O ... gitu? Ngerasa cantik terus mau diobral? Selamat dech udah jadian sama Zidan."

"Astagfirullah. Bukan gitu maksud aku, Kak. Aduh ... aku nggak pacaran sama Zidan juga. Gimana jelasinnya sich?"

"Nggak perlu dijelasin!" sentak Kak Revan.

"Kakak, jangan kayak gitu dong! Aku beneran nggak ada apa-apa sama Zidan. Aku cuma khawatir kamu kena masalah udah itu doang."

"Terus?"

"Kak."

"Hmm .... "

Kak Revan memalingkan wajahnya tidak mau menatapku sedikit pun.

Aku terus membujuknya tidak peduli dengan sikap acuhnya itu. Aku melingkarkan tanganku di lengan Kak Revan dengan kepala yang aku sandarkan di bahunya. Dia melirikku. Aku tersenyum.

Sampai akhirnya aku merasa hidungku kegelian, seperti ada yang menggelitik di dalamnya.

"Hatchiiing ... haatchiing." Aku bersin beberapa kali.

Dingin sekali memang. Aku mendekap tubuhku dengan kedua tangan. Lama-lama mungkin aku bisa kena hipotermia.

Aku melihat kak Revan melepaskan jaket hitam yang dia kenakan. Mau apa dia? Aku saja kedinginan kenapa dia malah melepas jaketnya?

"Pakailah! Kamu bisa sakit," katanya kemudian meletakkan jaketnya membalut tubuhku. Aku terpaku menatap Kak Revan. Ini seperti kisah romantis yang sering aku baca di novel-novel koleksiku. Tapi romantis apanya? Aku dan cowok di hadapanku saat ini hanya berteman saja. Kasih sayang yang tumbuh di antara kami tidak lebih dari sekedar kakak ke adiknya.

"Terima kasih. Tapi kakak udah nggak salah paham lagi sama aku kan?" tanyaku sambil merapatkan jaket Kak Revan ke tubuhku.

"Nggak perlu dibahas lagi! Sekarang pulang sana! Di sini dingin banget."

"Aku nggak mau pulang kalau kakak belum maafin aku."

"Astagfirullah. Keras kepala banget. Sana pulang!"

"Pokoknya nggak mau ya nggak mau." Aku masih tetap pada pendirianku.

Kak Revan menarik napas dalam-dalam.

"Kakak mohon pergilah dari sini!" perintahnya.

Aku menggelengkan kepalaku dengan tegas.

"PERGILAH, NAAYLA! BIARIN AKU DI SINI SENDIRI!" Kak Revan meneriakiku. Betapa kagetnya aku. Mataku mulai berkaca-kaca. Kenapa sekarang dia hobi sekali membentakku? Dan dia pasti paham kalau sikapnya ini telah menyakitiku.

"Maafin kakak! Tapi tolong pergilah!" Kak Revan menurunkan nada suaranya.

Akhirnya aku menurut dari pada aku harus mendengarnya membentakku lagi. Sepanjang perjalanan aku menangis sambil mendekap tubuhku dengan jaket kak Revan yang masih terbalut rapi. Aku sangat kecewa tidak bisa menyelesaikan masalah Ini malam ini juga. Ini pertama kalinya kami bertengkar sepanjang sejarah persahabatan kami.

Silahkan tinggalkan jejak ya readers kesayangan! Jangan lupa like, vote dan love ya! Terimakasih sudah membaca.. 🙏

.

.

.

.

*Love Behind Secrets Jilid 1*

*Tiy Wijaya*

chapter 3 : Dipermalukan. (LBS Jilid 1)

Nah kalau ini bayangan author mengenai sosok Zidan Narendra. Maaf kalau tidak sesuai ekspektasi masing-masing.. 🙏🙏(Gambar search from google)

**

Kejadian pelecehan yang hampir menimpa Naayla di ruang UKS tak khayal menyisakan trauma yang membekas di hati Naayla. Rasanya dia ingin berkeluh kesah dengan kedua orang tuanya, tapi dia tidak berani karena takut semakin memperpanjang masalah. Mana ada orang tua yang terima jika anak gadisnya diperlakukan seperti itu. Dan yang membuat mental Naayla semakin anjlok adalah karena Revan yang hingga saat ini masih salah paham dengannya. Tak khayal pikiran Naayla terkuras cukup banyak karena masalah ini.

Seharusnya hari ini Naayla berniat untuk bolos sekolah, tapi kehadiran Rena membuat rencananya menjadi gagal total. Tidak biasanya Rena mengajaknya berangkat bersama, karena dia selalu diantar jemput oleh Dido. Namun kali ini Dido ijin sekolah dan membuat Rena harus mencari teman untuk berangkat bersama.

Di ruang makan.

Naayla duduk di sebelah Papanya. Dan Rena duduk di hadapan Naayla. Papa dan Rena nampak bersemangat menikmati sarapan mereka tapi tidak untuk Naayla, dia hanya mengulak-alik nasi yang ada di piringnya. Pikirannya benar-benar kalut hari ini.

"Lhoh katanya mau bolos, Naay?" tanya Mama sambil menjatuhkan dirinya di kursi sebelah Rena.

"Tuuch!" Naayla menjawab pertanyaan Mama singkat sambil menunjuk ke arah Rena.

Mama pun menengok ke arah Rena.

"Rena, sejak kapan kamu ada di sini? Mama nggak fokus jadi nggak sadar kalau ada kamu," kata Mama.

Rena memamerkan cengiran khasnya kemudian menjawab pertanyaan Mama.

"Rena mau ngajak Naayla berangkat bareng, Ma. Dia senang banget tau aku temani ke sekolah."

Mendengar jawaban Rena, Naayla menjadi bertambah kesal.

"Senang apanya? Kamu itu ngeselin," umpat Naayla.

"Memang biasanya kamu berangkat sama siapa, Ren?" tanya Papa Wijaya.

"Sama pacarnya, Pa," jawab Naayla mewakili Rena.

Rena membelalakkan matanya. Dia tidak terima dengan jawaban dari Naayla. Hanya Mama Sintia yang tahu kalau Rena sudah memiliki pacar, sedang Papa Wijaya dan ke dua orang tua kandungnya di Australia sama sekali tidak tahu menahu tentang ini.

"Rena sudah punya pacar?" Papa mengkonfirmasi jawaban yang beliau dengar.

"Udah. Namanya Dido. Dia teman sekelas Kak Revan," jawab Naayla untuk ke dua kalinya.

Rena mencebikkan bibirnya karena kesal. Bisa-bisanya Naayla menelanjanginya di depan Papa. Sejujurnya dia takut kalau Papa sampai marah dan mengadukan hal ini pada ke dua orang tuanya.

"Kenapa nggak sekalian aja kamu bilang ke Papa dimana rumah Dido, apa hobinya, berapa nomor sepatunya! Tadi kan Papa tanya sama aku, kenapa kamu yang jawab terus?" Rena protes dengan semangat sampai-sampai ada nasi yang terpental keluar dari mulutnya.

"Mau aku yang jawab atau kamu kan sama aja," pungkas Naayla.

"Jelas beda, apanya yang sama?"

"Memangnya kamu mau jawab apa? Aku tahu kamu pasti mau bohong sama Papa kan biar nggak ketahuan kalau kamu punya pacar? Pa, laporin aja tuch si Rena sama Om dan Tante Jhon. Bilang anaknya males belajar, suka pacaran, nilanya jelek _ "

"NAAAYLAAA! Diiammm kamu ya!" teriak Rena sambil melempar Naayla dengan serbet makan yang ada di dekatnya.

"Hei sudah-sudah! Kalian ini kayak anjing sama kucing." Mama melerai perdebatan antar ke dua anak gadisnya tersebut.

Dan Papa hanya tertawa melihat Rena da Naayla yang memang hobi berselisih paham dan tidak pernah akur. Buat Papa ini seperti hiburan tersendiri untuk beliau.

"Tidak apa-apa punya pacar kalian kan sudah remaja. Asal tidak kebablasan dan tidak mengganggu sekolah kalian," kata Papa setelah tawanya.

"Uhuk ... uhuk ... uhuk ... " Rena tersedak makanannya.

Mama dengan cepat menuangkan air putih ke gelas dan memberikannya pada Rena.

"Ati-ati dong, Sayang!" pinta Mama sambil menepuk-nepuk punggung Rena.

"Nah kan berarti udah kebablasan itu. Ketahuan ya kamu. Hahahaha," goda Naayla kemudian tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah Rena yang sudah memerah macam udang rebus.

"Enggak kok, Pa. Jangan dengerin omongan Naayla ya! Aku nggak kayak gitu kok. Papa percaya kan sama aku?" Rena ketakutan kalau Papa mengganggap omongan Naayla adalah hal yang serius.

"Iya Papa percaya tapi Papa akan tetap melaporkan hal ini pada orang tuamu Rena," kata papa menakut-nakuti Rena.

"Jangan-jangan! Jangan bilang Mama Papa ya, Pa! Rena mohon!" Rena memelas.

"Hahahaha. Syukurin. Laporin aja, Pa! Biar tahu rasa." Naayla mengompor-ngompori Papa.

"Jangan, Pa! Rena mohon!" Rena meminta belas kasih Papa. Wajahnya memucat, gadis itu benar-benar ketakutan.

"Hahahaha, Papa cuma bercanda Rena," sahut Papa dan membuat hati Rena seketika menjadi lega.

"Asyik. Papa yang terbaik," kata Rena kegirangan.

"Yach ... Papa enggak asyik," keluh Naayla kecewa.

"Selama kamu tidak kebablasan dan sekolahmu lancar Papa nggak masalah. Kamu sudah remaja, wajar seusiamu sudah penasaran dengan lawan jenis," terang Papa dengan gamblang. Dan Naayla hanya mengangguk-anggukan kepalanya.

Setidaknya mereka tahu kalau Papa bukan orang tua yang kolot. Beliau terbuka dan mau memberi anaknya kesempatan selama itu semua masih dalam batas kewajaran dan tidak mengganggu tanggung jawab mereka sebagai pelajar.

"Dengerin tuch, Naay!" sahut Rena sesaat setelah Papa selesai berbicara.

"Memangnya kamu belum punya pacar, Naay?" tanya Papa sambil mengunyah makanannya.

Naayla membelalakkan mata mendengar pertanyaan yang tidak dia sangka-sangka akan keluar dari mulut Papa. Naayla sama sekali tidak pernah berpikir akan membicarakan hal pribadi dengan beliau dalam waktu dekat ini.

Dengan cepat Naayla menggelengkan kepala.

"Seumur-umur Papa hanya melihatmu bersama Revan saja. Apa kamu berencana akan menghabiskan waktumu seumur hidup sama dia? Menjadi istrinya begitu?"

Ya Ampun, Pa. Aku mohon jangan bahas Kak Revan dulu untuk saat ini! Apalagi membahas hubunganku sama dia. Pikir Naayla. Naayla menjadi sedih dan mood-nya semakin anjlok saat ingat dengan Revan.

"Jangan tanya kayak gitu dong, Pa! Seolah-olah nggak ada yang mau jadi suamiku aja," protes Naayla.

"Sebenarnya ada cowok yang suka sama Naayla. Namanya Kak Zidan, Pa," terang Rena.

Eh, apa perlunya dia cerita soal Kak Zidan sama Papa sich? Gerutu Naayla seraya mengernyitkan keningnya.

"Diam, Ren!" sentak Naayla.

"Zidan? Apa dia yang mengantarmu pulang saat hujan turun waktu itu, Sayang?" Setelah sekian lama diam dan hanya menyimak, akhirnya Mama tergelitik juga untuk menyelidiki masalah pribadi anak gadisnya.

"Mengantar Naayla pulang? Yang benar, Ma? Kenapa Naayla nggak cerita?" tanya Rena dengan penasaran yang mencapai level akut.

Naayla memang tidak pernah cerita dengan siapa pun tentang hal ini. Bahkan jika saat itu Mama tidak melihat, Naayla pun juga tidak akan bercerita pada beliau kalau dia diantar pulang oleh Zidan. Tapi, saat itu Mama sedang menunggunya di teras rumah dengan khawatir karena hujan yang sangat deras. Dan mau tidak mau Naayla harus memperkenalkan Zidan dengan Mama. Naayla hanya bilang kalau Zidan kakak kelasnya tapi tidak menyebut siapa namanya.

Biasanya Naayla pulang sendiri naik angkot. Kalau Revan sedang tidak ada ekskul atau keperluan mendesak, Naayla terkadang juga pulang bersamanya, tapi saat itu Revan sedang ada keperluan. Naayla diminta untuk ikut tapi Naayla menolak karena ingin segera pulang. Jadilah ia menunggu angkot sendirian di halte. Tidak tahu kenapa sepi sekali suasana waktu itu, bahkan Naayla sudah menunggu hampir satu jam tapi angkot tidak datang juga. Lalu Zidan lewat dengan mobilnya dan menawari Naayla tumpangan. Naayla sudah menolaknya berkali-kali tapi dia memaksa. Terlebih saat itu mendung sangat gelap. Dan benar aja, setelah Naayla masuk ke dalam mobil hujan pun turun dengan sangat deras.

Sebelum mengantarkan Naayla pulang, Zidan mengajak gadis itu untuk makan siang di sebuah restoran. Lagi-lagi Naayla pun menolaknya dengan alasan bahwa Mama sudah menunggunya di rumah, tapi tetap saja cowok nan tampan dan kaya raya ini memaksakan kehendaknya. Dia memperlakukan Naayla dengan baik bahkan sangat baik, dia membukakan pintu dan memayungi Naayla saat gadis itu hendak turun ataupun naik ke mobilnya. Dia pun tahu semua yang Naayla suka. Naayla tidak menyangka kalau Zidan sampai sedetail ini mencari tahu tentang dirinya. Bahkan Zidan pun bisa sampai ke rumah Naayla tanpa bertanya dulu dimana alamatnya, padahal itu pertama kalinya dia mengantarkan Naayla pulang.

Tapi kejadian di UKS kemarin membuat rasa simpati Naayla terhadap Zidan menjadi hilang, lenyap, tak bersisa. Sekarang Naayla hanya menganggap Zidan sebagai cowok mesum dan kurang ajar. Kalau Zidan tidak berbuat hal nekad, mungkin lambat laun Naayla bisa membuka hatinya untuk Zidan.

Rena memperhatikan Naayla dengan tatapan menyelidiki, "Atau jangan-jangan benar kata Revan kalau kamu dan Kak Zidan udah pacaran?" tanya Rena.

"Jangan menyebar fitnah ya, Ren! Aku sama Kak Zidan nggak ada hubungan apa-apa," jawab Naayla dengan nada yang meninggi.

"Ah yang benar?" tanya Rena tidak percaya.

"Kamu ini berisik! Banyak omong!" maki Naayla.

Dengan cepat Naayla mendekati Rena dan langsung menarik tangan sahabatnya itu agar ikut dengannya.

"Naay, mau kemana? Aku kan belum selesai makan," protes Rena.

"Itu karena kamu terlalu banyak omong. Ayo kita berangkat sekarang!" Kata Naayla sambil terus menarik tangan Rena.

"Ma, Pa, kami berangkat dulu y," pamit Naayla.

"Rena berangkat ya, Ma, Pa," pamit Rena dengan terpaksa karena Naayla yang terus menariknya.

**

Angkot berwarna kuning berhenti di depan gerbang sekolah. Naayla turun duluan kemudian disusul oleh Rena yang mengekor di belakangnya.

"Terima kasih ya, Pak!" Kata Naayla sambil menyodorkan uang 10.000 kepada bapak sopir langganannya.

"Sama-sama Mbak Naay yang cantik," sahut Pak sopir yang sudah tua itu dengan ramah.

Naayla berdiri menatap ke dalam area sekolah. Mendadak kakinya kaku untuk berjalan. Seolah-olah ada yang bergelantungan di bawah sana hingga Naayla sulit untuk menggerakkannya.

"Kenapa bengong? Ayo masuk!" ajak Rena kemudian memegang tangan sahabatnya itu dan menggandengnya.

"Aku takut, Ren!" keluh Naayla lalu mencengkeram erat tangan Rena.

Gambaran kejadian kemarin masih terngiang-ngiang di pikirannya. Ketakutan itu menyergap. Perasaannya mengatakan ada sesuatu hal yang buruk yang akan terjadi hari ini. Entah itu benar atau hanya sekedar efek dari rasa trauma tapi rasanya Naayla ingin sekali lari dari tempat yang menurutnya menakutkan ini.

"Tenanglah! Ada aku di sini." Rena paham betul apa yang Naayla rasakan. Dia menenangkan Naayla tapi Naayla masih diam terpaku dan tidak bergerak.

"Naay, kita mau masuk ke sekolah bukan ke kandang harimau."

"Tapi di sekolah kita banyak sekali harimau jadi-jadian yang mengganggu aku."

"Jangan khawatir! Aku yang akan lindungi kamu. Ayolah! Jangan penakut jadi orang!"

Rena menarik paksa tangan Naayla dengan kuat hingga mau tidak mau Naayla pun berjalan beriringan dengannya. Langkah kaki Naayla seolah lemas dan tak bertenaga.

"Lihatlah! Nggak ada apa-apa di sini," kata Rena menenangkan Naayla lagi.

Naayla berdoa dalam hati semoga hari ini dia bisa hidup tenang tanpa gangguan. Dan semoga Tuhan mau menjauhkannya dari makhkuk yang bernama Zidan dan juga Kamila.

Kini mereka sampai di depan kelas Kamila. Mau tidak mau mereka memang harus melewati kelas Kamila untuk sampai ke kelas mereka, karena memang tidak ada akses lainnya. Dan benar kan? Rena dan Naayla melihat harimau betina itu bersama antek-anteknya tersenyum saat mereka datang.

"Deg." jantung Naayla berdesir. Apalagi yang mau mereka lakukan? Perasaannya menjadi semakin tidak enak saja.

"Hai, Nona Zidan Narendra," sapa Kamila dengan senyum sumingah. Dia dan kawan-kawannya menghadang jalan Naayla dan Rena.

Dan kerumunan orang langsung berdatangan. Mereka tahu bahwa akan selalu ada pertunjukan yang menarik bila ada Kamila dan Naayla dalam satu tempat.

"Nona Zidan siapa yang kamu maksud?" tanya Rena dengan galak. Naayla hanya diam dan terus mencengkeram lengan Rena dengan kuat.

"Tuch! " jawab Kamila singkat sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah Naayla

"Maksud kakak apa ya?" tanya Naayla tidak mengerti.

"Heh. Pura-pura polos. Pura-pura nggak mau didekati sama anak pemilik yayasan cuma karena takut dibilang cewek matre, tapi ternyata di belakang kita dia mau juga diajak berduaan," hardik Kamila.

"Be~berduaan? Siapa yang berduaan?" tanya Naayla lagi.

Jangan-jangan Kak Kamila tau apa yang terjadi kemarin. Pikir Naayla.

Suasana pun menjadi riuh.

"Selamat ya karena kamu sudah jadian sama Zidan. Aku turut senang kok," kata Kamila. Senyum penuh ledekan tersungging jelas di bibir gadis itu.

Dia mengulurkan tangannya hendak menjabat tangan Naayla untuk memberikan selamat tapi Naayla menolaknya.

"Maaf tapi aku nggak punya hubungan apa-apa sama Kak Zidan, kami cuma teman aja." Naayla mencoba meluruskan.

"Oya? Nggak pacaran tapi berduaan? Cewek macam apa kamu ini?" Kamila masih menyerang Naayla. Ucapannya semakin mengada-ngada dan tidak terkontrol lagi.

Dan sekarang suasana menjadi semakin riuh. Murid-murid mulai dari kelas X hingga XII berbaur menjadi satu dan mengomentari Naayla berdasarkan yang mereka dengar. Mereka dengan mudahnya terprovokasi oleh ocehan Kamila. Naayla sangat malu. Ada rasa lelah juga kenapa Kamila tidak mau berhenti juga membuat keonaran dengannya.

"Berduaan, berduaan. Maksud Kakak apa sich berulang-ulang ngomongin hal yang sama?" Meski sudah ketakutan parah tapi Naayla masih berusaha untuk melawan.

"Shelin, mana fotonya? Kasihin ke aku! Biar semua penduduk sekolah tahu siapa dia," pinta Kamila. Dia mengarahkan telapak tanganya pada Shelin yang berdiri di belakangnya.

Shelin memberikan sebuah foto yang berukuran sebesar kertas folio ke tangan Kamila. Naayla dan Rena saling bertatap mata. Tidak khayal aura ketegangan juga mampir pada diri Rena yang biasanya selalu bisa santai dalam menanggapi Kamila.

"Teman-teman semua, coba lihat!" perintah Kamila seraya menunjukkan foto yang ada di tangannya ke hadapan semua orang, "Ini foto siapa dan mereka lagi ngapain?" tanya Kamila. Dia melirik Naayla dengan tajam.

Seluruh tubuh Naayla gemetaran, wajahnya pucat seolah tidak dialiri darah. Cairan bening sudah menggenang di pelupuk matanya.

Dari mana Kak Kamila punya foto itu? Ya Allah, aku rasanya pingin lari dari sini. Kak Revan, tolong aku! Aku benar-benar nggak lakuin itu, Kak. Keluh Naayla. Setiap ada masalah dia selalu teringat Revan, karena Revan lah yang selalu menjadi dewa penyelamatnya selama ini.

"Ya ampun. Pacaran di sekolah mentang-mentang cowoknya anak pemilik yayasan. Huh ...." kata seorang siswi berkomentar.

"Apa bagusnya si Naayla? Sampai Zidan tergila-gila sama dia," komentar lagi seseorang dengan pandangan yang sinis ke arah Naayla.

Dan semua orang bersahut-sahutan mengolok-olok Naayla. Mereka menghakimi Naayla habis-habisan. Beginilah budaya orang jaman sekarang yang selalu mengambil kesimpulan dari sebelah pihak dan dari apa yang mereka dengar.

Naayla selalu tidak berdaya dan tidak bisa melawan. Selalu menangis itu adalah andalannya, dan mungkin untuk itulah Tuhan menciptakan Rena, gadis pemberani yang selalu ada di samping Naayla dan siap membela Naayla.

"Kemariin fotonya!" Rena merebut foto itu dari tangan Kamila dan menyobeknya menjadi serpihan yang sangat kecil kemudian membuangnya ke wajah Kamila.

Kertas foto yang sudah tak berbentuk itu berhamburan ke lantai. Iya, seperti itu pula hati Naayla sekarang. Hancur dan tak berbentuk. Nama baiknya sudah tercoreng karena fitnahan ini.

"Mungkin Naayla cuma bisa diam saat kamu nyakitin dia tapi aku nggak. Akan kuhancurin kamu kayak aku hancurin foto ini." ancam Rena. Emosinya meledak.

Dia menjabak rambut keriting kamila dengan kedua tangannya sekaligus dan menariknya kuat-kuat. Kamila berteriak kesakitan. Dengan terus terisak Naayla mencoba menghentikan aksi brutal sahabatnya, begitu pun juga teman-teman Kamila yang juga membantu untuk melepaskan Kamila dari cengkraman Rena.

"Aku mohon hentikan! Jangan kayak gini Rena! Aku mohon!" kata Naayla sambil menarik-narik tangan Rena, "Udah, Ren! Nanti dilihat guru yang lewat kita bisa kena masalah," lanjut Naayla.

"Sekali lagi aku lihat kalian berulah, aku bisa lakuin yang lebih parah dari ini," ancam Rena sambil mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Kamila.

Kamila pun diam sambil merapikan rambut keritingnya yang sukses dibuat berantakan oleh ulah Naayla.

"Ramai sekali ada apa sich ini?" Suara seorang lelaki bertanya. Dia datang menembus kerumunan.

Ini dia si pembuat masalah. Zidan Narendra.

"Naayla, kamu kenapa nangis?" tanyanya. Dia berusaha menyentuh Naayla tapi Naayla langsung menghindar saat itu juga.

"Tolong jauhi aku sekarang juga!" pinta Naayla sambil mengatupkan kedua telapak tangannya, memohon.

"Tapi kenapa?" tanyanya lagi.

"Ini semua karena ulah kamu, Kak! Kamu yang udah buat Naayla malu di depan orang banyak." Rena menyerang Zidan.

"Udahlah, Ren! Mending kita pergi aja dari sini!" ajak Naayla. Dia sudah tidak betah lama-lama di sini.

"Tunggu dulu, Naay! Aku mau kembaliin novelmu yang kemarin jatuh. Ini novel pemberian dari Zidan kan?" kata Shelin sambil memberikan buku novel Naayla yang bersampul pink tersebut. Novel yang menjadi pemicu accident di UKS sekolah terjadi. Dan benar pemikiran Naayla kalau memang Kamila dan antek-anteknya lah yang menyembunyikan bukunya itu.

"Terima kasih. Ayo, Ren!" Naayla bergegas pergi setelah mengambil novel itu dari tangan Shelin.

Zidan mengejar Naayla dan menarik tangan gadis itu hingga langkah Naayla terhenti. Naayla berbalik badan agar bisa melihat Zidan tapi dia justru menjadi salah fokus saat melihat Revan berdiri di antara kerumunan siswa lainnya dengan tatapan tajam ke arah Naayla.

Sejak kapan Kak Revan ada di sana? Tanya Naayla dalam hati.

Naayla merasakan dadanya semakin sesak. Ada sesuatu yang mengaduk-aduk perasaannya. Air mata yang tadi sudah surut kini deras kembali. Dia sedih mengingat hubungannya dengan lelaki itu saat ini sedang tidak baik. Padahal sejujurnya ingin sekali dia memeluk Revan dan berkeluh kesah pada lelaki itu.

"Naay, jangan benci aku seperti ini! Ayolah kita bicarain ini baik-baik!" Kata-kata Zidan membuat Naayla memalingkan pandangan matanya ke arah Zidan.

Sambil menghapus air matanya Naayla menjawab, "Biarin aku sendiri dulu! Aku mohon jangan ganggu aku!"

Tanpa ada satu orang pun yang tahu, hati Revan pun sebenarnya sakit melihat Naayla berdekatan dengan Zidan. Itulah alasan kemarahannya yang paling mendasar. Tapi Rena sudah curiga sejak awal kalau ada kecemburuan di hati Revan.

Revan berjalan membelah kerumunan, dia mendekati Naayla dan Zidan yang berdiri di tengah jalan.

"Bisa nggak kamu lepasin tangan kamu dari tangan Naayla?" tanya Revan yang sekarang sudah berdiri di antara ke duanya.

Iya, sedari tadi Zidan memang masih memegang tangan Naayla. Naayla menarik tangannya dengan segera dan menundukkan kepala karena takut dengan sorot mata Revan yang begitu menusuk.

"Kalian menghalangi jalanku. Bermesraan lah nanti di tempat yang sepi!" kata Revan dengan dingin. Dia masih tetap menatap ke arah Naayla sejenak.

Tak lama kemudian Revan berjalan di antara ke duanya hingga Naayla harus berjalan mundur dua langkah karena tubuh Revan yang mendesaknya untuk memberi jalan.

Kenapa ini rasanya sakit banget. Keluh Revan seraya menyeka lelehan air matanya agar tidak diketahui oleh siapa pun.

Naayla masih terus menangis. Masih ada Rena yang setia mendampinginya. Gadis itu mengelus-elus punggung Naaya dengan lembut.

"Sabar, Naay! Aku ikutan sedih tau," kata Rena.

"Aku mau pulang aja, Ren. Hari ini kan masih nggak ada pelajaran. Aku pingin di rumah aja," ucap Naayla. Dia merasa berada di zona yang tidak nyaman apalagi kawan-kawannya terus-terusan menyindirnya.

"Iya baiklah. Lagian banyak juga yang bolos hari ini. Tapi kamu pulang sama siapa?"

"Aku naik angkot aja, Ren. Ya udah aku pulang ya," pamit Naayla sambil mencangklongkan tas sekolahnya.

Naayla berjalan dengan langkah yang terburu-buru. Dia menundukkan kepala tidak berani menatap sekitarnya. Rasa malu masih bergelayut dan belum juga hilang. Di tengah jalan Naayla berpapasan dengan Rama. Lelaki itu terlihat hendak pulang karena sudah memakai jaket dan membawa serta tas sekolahnya.

"Cantik, kok masih sedih sich? Udah lah antebin aja apa kata Kamila. Anggap aja orang gila. Aku percaya kok kamu nggak kayak gitu," papar Rama.

Naayla tersenyum, "Makasih ya, Kak. Kakak masih mau percaya sama aku. Sumpah demi apa pun, aku dan Kak Zi__ "

"Nggak perlu dijelasin! Aku paham kok. Kamu bukan cewek gampangan kayak yang mereka bilang," potong Rama.

"Makasih ya, Kak. Aku mau permisi pulang dulu."

"Aku anterin sekalian aja. Di luar panas banget."

"Emang nggak ngerepotin Kak Rama?"

"Enggak. Lagian teman-teman banyak yang pada cabut pasti angkotnya ramai."

"Oh ... makasih ya, Kak."

Rama dan Naayla berjalan berdampingan menuju ke parkiran. Dan kecanggungan terjadi saat Naayla tanpa sengaja bertemu Revan di sana.

"Van, gue culik adik lu bentar ya." Rama meminta ijin.

Revan mendekati Naayla dan langsung menarik tangan gadis itu untuk menjauhi Rama.

"Nggak boleh!" kata Revan dengan dingin.

"Lah Si Naayla mau kenapa lu larang?" tanya Rama dengan nada tidak terima.

Revan menusuk Naayla dengan tatapan matanya yang bak pisau belati. Tanpa banyak berkata dia menarik Naayla dan menyembunyikan gadis itu di belakang tubuhnya.

"Naayla pulang sama aku," kata Revan dengan dingin.

"Posesif," maki Rama.

"Kakak, aku pulang sama Kak Rama aja," sela Naayla.

"Kenapa? Oke. Pergilah! Jangan harap bisa temui aku lagi," ancam Revan.

"Dih .... Maksa banget," gerutu Rama.

"I~iya, Baiklah. Aku pulang bareng Kakak. Kak Rama, maaf ya!"

"Nggak usah minta maaf!" Revan melarang dengan tegas.

"Kam*pret lu! Dasar manusia es balok!" hardik Rama. Dia benar-benar kesal karena lagi-lagi Revan menghalangi usahanya untuk mendekati Naayla.

Selama perjalanan pulang Revan dan Naayla sama-sama mengunci mulut mereka masing-masing. Ada rasa canggung satu sama lain dan ini kali pertama mereka bertengkar hebat seperti ini.

Malam harinya Zidan datang menemui Naayla. Dia sudah menolak untuk bertemu tapi Zidan memaksa. Zidan meminta maaf pada Naayla dan berjanji tidak akan mengulang kesalahannya lagi. Dan dia pun menjamin bahwa setelah ini tidak akan ada teman-teman sekolah yang berani mengolok-olok Naayla lagi. Zidan kembali mengungkapkan perasaannya. Bahwa Naayla beda dengan gadis-gadis lainnya. Dia sangat mencintai Naayla dan bersedia menunggu hingga Naayla mau membuka hati untuknya.

.

.

.

.

...*Love Behind Secrets Jilid 1*...

...*Tiy.Wijaya*...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!