NovelToon NovelToon

OH MY BOSS

CEO GANTENG

Serena Ayu Kinanti, gadis itu biasa dipanggil Nena, wanita bermata bulat dengan dagu lancip dan pipi yang sedikit cabi, hidungnya sendiri tidak semancung orang Barat tapi dengan hidung mungil itu Serena cukup menjadi pusat perhatian dan sasaran pertanyaan, ’operasi plastik dimana?’

Meskipun dengan penampilan seadanya, Nena yang usianya sudah 26 thn, tetap saja terlihat menawan, bahkan mungkin orang tidak ada yang menyangka bahwa gadis itu berada di tingkatan ekonomi kelas bawah.

Bekerja di perusahaan bonafide sama sekali tidak membuatnya merasa bangga. Setiap hari dirinya selalu disibukan dengan pekerjaan yang menggunung.

Mungkin jika bukan karena hutang-hutangnya yang juga menggunung pada perusahaan yang hampir tiga tahun lebih memenuhi kebutuhan hidupnya, gadis itu lebih memilih mengetikkan kata r**esign disetiap laporannya.

"Lo udah nggak jadi sekretaris dadakannya Pak Handoyo?" tanya Siska.

Siska. Seorang gadis cantik satu tahun lebih tua dari Nena, teman kerja sekaligus sahabat Serena. Seperti biasa. Penampilannya selalu girly  dipadu padankan dengan aksesoris bermerk, bajunya juga selalu sexi, khas perempuan centil. Gadis itu baik menurut Nena dan sedikit gila.

"Bu Mira sudah mulai kerja," jawab Nena dengan pandangan yang masih fokus pada layar komputernya, tiga hari merangkap menjadi sekretaris dadakan atasannya, membuat pekerjaan utama gadis itu menjadi tak terkendali.

Menurut sebagian teman kantornya Nena itu memang cukup bisa diandalkan. Seorang yang sangat rajin, dan gila kerja, tidak banyak yang tahu sebenarnya gadis itu sangat ingin menjerit dan mungkin sampai membelah meja kerjanya menjadi dua bagian. Berkas berkas yang menumpuk di hadapannya benar benar membuatnya nyaris gila.

"Hay! para pejuang ekonomi, pagi-pagi udah sibuk aja, ngopi dulu lah kita!" seru Doni yang baru saja datang, disusul dengan Agus yang lebih memilih langsung menghampiri mejanya tanpa menghiraukan kicauan rekan kerjanya itu.

"Heh, Don! lo tuh jangan ngopi melulu, sekali-kali minum vodka biar ngerti kalo hidup itu nggak cuma pahit, tapi puyeng juga!" sahut Bimo, pemuda itu memang yang sering menanggapai celetukan tak berfaedah yang sering dilontarkan Doni.

"Puyeng? Muka lo tuh bikin puyeng!" sengit Doni.

"Ngapa lo puyeng sama muka gue? ngerasa kalah ganteng!" Tantang Bimo.

"Kalian bisa nggak sih sepagi ini nggak usah bikin ribut," protes Mona yang barusaja menempelkan bokongnya pada kursi kesayangannya, namanya Ramona, janda beranak dua yang cukup pedas dalam meramu kata-kata. Doni model cowok yang lihat bening dikit nengok, selalu jadi sasaran kepedasan mulut seniornya itu. Mona memang cukup senior dengan hampir sepuluh tahun mengabdi di perusahaan ini, begitu juga dengan Agus yang sudah ber-anak-istri. Beda dengan Bimo dan Doni, selain mereka masih baru, muda dan tentunya mahluk jomblo yang sudah pasti kurang belaian.

Siska lah yang paling bersuka hati jika kedua rekan kerjanya itu sudah didamprat oleh Bunda Mona, begitu mereka menjuluki seniornya. Gadis itu menjulurkan lidahnya kearah kedua pemuda yang tak hentinya bersungut sebal entah pada yang mana.

Nena tidak pernah menanggapi hal seperti itu, baginya jari-jarinya tidak menjadi keriting karena kegiatannya menekan-nekan tombol alfabet di hadapannya, dia sudah cukup bersyukur. Dan merekapun kembali bekerja dengan damai.

"SEMUANYA!!" kedamaian yang belum berlangsung lama itu diluluh lantahkan oleh suara Bu Mira, siapa lagi jika bukan ibu sekretaris Pak Handoyo yang gila jabatan. Sifatnya yang selalu memerintah membuat hampir semua rekannya tidak suka, terlebih Siska yang terkadang secara terang terangan menampakkan ketidak sukaannya.

"Keluar dari kubikel kalian, buat barisan memanjang dan JANGAN menghalangi jalan, karena CEO baru kita akan datang. TUNDUKAN KEPALA KALIAN DENGAN HORMAT!" titah Bu Mira yang terdengar menyebalkan di setiap penekanan kalimatnya.

"Perlu disawer kembang nggak, Bu. Gelar karpet merah juga sekalian!" celetuk Doni yang langsung mendapat pelototan tidak suka Bu Mira.

Doni langsung kicep, dan mengambil barisan di sebelah Nena dengan tidak lupa tersenyum berusaha manis, yang lagi-lagi mendapatkan penolakan tak kasat mata dari Nena.

Hampir semua rekan kantornya, sudah tahu bahwa Doni selalu saja berusaha mencuri hati Nena. Namun gadis itu tidak pernah menganggap Doni itu sebagai seorang "pria" dalam arti pujaannya, tidak muluk-muluk Nena mencari seseorang yang masuk kategori "pria" hanya ingin yang baik, penyayang, penyabar, royal, sukur-sukur ganteng dan kaya, paket komplit yang sayangnya tidak pernah ada. Dan maaf sepertinya itu sangat muluk.

Drap-drap-drap

CEO baru yang ditunggu tunggu sudah datang, bahkan derap sepatunya pun sudah sampai di setiap penjuru ruangan. Atmosfer ruangan kantor ini mendadak panas, semua tampak tegang bahkan untuk menghembuskan napaspun mereka tampak takut-takut.

"Namanya Justin Achazia Adley, CEO muda pemilik Achazia Corp, rajanya perusahaan," bisik Siska pada Nena, yang entah darimana gadis itu tahu, mungkin sejak tadi Siska sudah meng-googling nama itu entahlah Nena tidak begitu paham.

"Siapanya Justin Bieber?" tanya Nena polos, yang tentu saja mendapatkan aksi memutar bolamata jengah dari Siska.

"Dia itu anaknya Mr Juan Adley, direktur utama perusahaan ini, lo kudet banget deh!" tuturnya dengan bersungut sebal, Nena hanya menanggapi dengan oh tanpa suara.

Langkah Justin semakin mendekat, ruangan kebesarannya itu berada di sudut sana yang memastikan mereka akan melihat CEO itu setiap hari jika beruntung.

Justin memang terlihat begitu berwibawa, tentu saja dengan bodyguard berbadan besar mirip Aderai di belakangnya itu. Perawakan Justin sendiri tidak terlalu besar, tubuhnya tinggi dengan wajah yang pastinya tampan dan sorot mata setajam elang dengan alis yang tebal, hidungnya bangir dengan rahang yang tegas dan bibir yang luarbiasa seksi. Setelan jas mahalnya yang dipadu padankan dengan sepatu dan aksesoris seperti jam tangan yang sudah pasti mahal juga, tampak begitu pas di badan. Dan Siska yakin di balik kemeja krem nya itu terbentuk kotak kotak tahu di bagian perut, benar benar hot. Pikir Siska, dan tentunya dengan mulut yang sedikit menganga.

"Muka lo nggak ke kontrol, Sis," bisik Nena mengingatkan. Siska tampak acuh.

"Hebat banget pokoknya, di usia yang baru 26 tahun tapi bisa sebegini suksesnya." Siska kembali mengeluh-eluhkan Ceo muda yang hampir mendekat, Nena segera menyikut lengan siska yang sedari tadi mulutnya tidak dikondisikan dengan baik.

"Tentu saja dia bisa se sukses itu, dengan ayahnya yang juga pemilik perusahaan ini, perusahaan terbesar di Indonesia," celoteh Bu Mira, tentu saja dibuat sepelan mungkin, Siska menoleh tidak suka, dan entah sejak kapan dirinya tidak sadar bahwa nenek sihir yang satu ini sedari tadi berada di sebelahnya.

DRAP!!

Justin menghentikan langkahnya, sorot mata tajamnya terarah pada Bu Mira dan Siska, bak elang yang sudah menemukan sasaran terkamnya. Dan selain mempunyai sorot mata yang tajam, seorang Justin juga dianugrahi pendengaran yang tajam juga.

"Bisa kalian ulangi, apa yang kalian bicarakan!" pinta Justin dengan tenang namun tampak mengintimidasi.

Bu Mira tampak menunduk, Siska dengan susah payah menelan ludahnya. "Maaf, Pak," Sesal Bu Mira.

"Anda pikir dengan nama belakang Ayah saya, saya bisa sampai di titik ini?"

"Ma, maaf Pak." Bu Mira semakin menunduk dalam, suaranya mulai bergetar.

"Siapa, Anda?" tanya Justin tenang. Namun Bu Mira masih diam ketakutan.

"JAWAB!!" bentaknya lantang, tidak peduli bahkan mungkin Bu Mira ini seumuran dengan Ibunya. Atau mungkin dia tidak punya seorang ibu. Pikir Nena. Satu-satunya orang yang tidak bisa benci pada beliau. Bagi Nena Bu Mira cukup baik, dia banyak mengajari cara menjadi sekretaris.

"Nama saya Amira, su, sudah lima belas tahun—"

"Anda saya pecat!" kalimat itu benar-benar membuat penghuni ruangan itu merasa sangat terkejut, tidak menyangka dengan sebegitu mudahnya atasan barunya memecat seorang karyawan yang sudah limabelas tahun ini mengabdikan hidupnya di perusahaan Beliau. Ralat, perusahaan Ayahnya.

"Saya lihat anda sudah cukup lama bekerja di sini, dan mungkin sudah bosan!"

"Tidak, Pak—" Justin kembali memotong ucapan Bu Mira, kali ini dengan mengangkat telapak tangannya.

"Berikan dia pesangon yang pantas," titah Justin pada yang bersangkutan. Sorot matanya bertemu mata Siska yang ketakutan, dan beralih pada sorot mata Nena yang teduh, entah mengapa nyalang pada kedua bolamata Justin sedikit meredup meski tidak lama sorot mata itu kembali mengarah pada Siska yang sudah menunduk.

"Untuk kalian, berhenti membicarakan hal-hal yang tidak penting, dan kembali bekerja!" semua tampak diam tidak ada yang berani bergerak. Justin menghembuskan napasnya kasar, merasa frustrasi karena titahnya tidak juga dilaksanakan.

"CEPAT KEMBALI BEKERJA!" bentaknya kemudian, dan berhasil membuat barisan yang serapi paskibra itu kocar kacir kembali ke kubikel masing-masing. Justin memejamkan matanya, mencoba meredakan emosinya yang sudah naik ke kepala. Langkahnya kembali berderap menuju ruangan barunya itu.

Setelah Justin benar-benar menghilang di balik ruangannya, Nena menghampiri Bu Mira menanyakan keadaannya, dan hanya dibalas dengan anggukan dan kalimat ’tidak apa-apa’ dari mulut bergetar Beliau. Nena tahu, tidak apa-apanya seorang perempuan memiliki arti yang sebaliknya, dan hal itu ternyata bukan hanya berlaku pada kalangan anak muda.

Nena kembali menghampiri meja kerjanya, menenggelamkan wajahnya di balik lengan mungilnya yang terlipat di atas meja, Bu Mira yang dipecat kenapa jadi dirinya yang setres, tentusaja dia sesetres itu memikirkan harus kembali merangkap menjadi sekretaris dadakannya Pak Handoyo, atasannya yang botak dan genitnya naudzubilah.

Bapak tua itu selalu saja menawarkan tumpangan pulang pada Nena yang membuatnya sangat risih, dan entah bagaimanapun cara Nena menolak, bapak tua dengan kepala botak di bagian depan itu selalu berhasil mengantar Nena pulang.

Kalau saja Nena itu seorang tokoh utama dalam novel-novel yang sering Siska baca, mungkin Nena akan mendamprat CEO baru yang arogan itu, dan Beliau akan terpesona dengan sok heroik yang dirinya tampakkan. Dan kisah mereka akan indah pada endingnya.

Tapi Nena masih cukup waras untuk tidak melakukan hal sebodoh itu, setidaknya hutang piutangnya pada perusahaan ini bisa menjadi rem yang cukup pakem agar dirinya tidak melakukan hal gila yang terbersit di otaknya.

Berbeda dengan Siska yang tampak riang gembira, tentu sajah. Bu Amira itu kan musuh bebuyutannya, ya, Siska memang sejahat itu pada orang yang tidak dia sukai.

"Kenapa lo, Na? nggak seneng musuh bebuyutan kita dipecat?"

"Kita? lo aja kali gue nggak!"

"Penghianat lo ah!" sungut Siska, Nena mendengus.

"Sumpah yah, Na. Itu manusia apa malaikat sih, gantengnya paripurna banget!"

Nena hanya berdecak menanggapi celotehan gilanya Siska."Bukan manusia bukan malaikat, iblis kayaknya!"

"Hus! Lo mau dipecat juga?"

"Asal hutang gue dilunasin nggak masalah," jawab Nena enteng. Siska hanya berdecak sebal, menanggapi sahabatnya yang berhianat itu.

***

Justin mulai mempelajari berkas-berkas perusahaan ayahnya yang bertumpuk di hadapannya. Matanya tampak nyalang meneliti, napasnya mulai memburu, emosinya kian memuncak dengan laporan keuangan yang tampak kacau balau menurut perhitungannya. Dengan emosi yang sudah sangat maksimal Justin melempar berkas itu pada asistennya.

"SIAPKAN RAPAT 10 MENIT LAGI, KUMPULKAN ORANG-ORANG YANG BERSANGKUTAN!" titahnya tanpa mau dibantah, asistennya hanya mampu mengangguk dengan patuh.

Di tepat lain, Nena masih setia dengan komputer di hadapannya, sebentar lagi makan siang dan perutnya sudah sangat lapar.

"Serena kamu ikut rapat, mendampingi Pak Handoyo, menggantikan Ibu Mira,"

Ucap salah satu rekan kerjanya, Nena butuh waktu sedikit agak lama untuk mencerna kalimat yang dilontarkan rekannya itu.

Belum lagi gadis itu melayangkan kepenolakannya, dia sadar ternyata si pemilik suara tidak tampak lagi batang hidungnya. Hal ini sudah pasti Ceo baru itu yang menerbitkan perintah rapat dadakan ini.

"Yang bener saja, ini kan udah mau masuk jam makan siang, sumpah gue udah laper banget, mana bisa gue konsentrasi ikut rapat dadakan, gue ngerasa kaya anak sekolah yang di kasih ulangan mendadak tau nggak!" crocos Nena berkeluh kesah pada sahabatnya.

"Sabar Na, Allah itu nggak bakalan ngasih cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Haha!" Siska terkekeh, puas sudah menggoda sahabatnya itu.

"Iya sih itu gue setuju, tapi kenapa sih bos itu selalu ngasih kerjaan melebihi kemampuan gaji karyawannya. Apalagi gaji gue emang dipotong 40 persen buat bayar utang. Nyari duit gini amat sih ya Allah, Baim lelah!" keluh Nena sebelum akhirnya gadis itu beranjak dari zona nyamannya.

Nena memasuki ruang meeting, wajah-wajah di ruangan itu tampak tegang dan tidak santai tentunya. Tapi Nena berusaha biasa saja, meskipun dirinya sekuat tenaga menahan rasa lapar yang bergejolak dalam perutnya.

Ceo baru itu memasuki ruangan dengan wajah yang lebih tidak santai duakalilipat. Pandangannya bertemu mata teduh Nena yang kala itu secara tidak sadar tengah mengusap-usap perutnya, seolah menyerukan kata sabar pada penghuni di dalam sana.

Nena menyudahi aksi konyolnya itu setelah menyadari Ceo baru itu menatap dirinya dengan kening sedikit berkerut, entah apa yang dia pikirkan.

"Mati gue."

PELAKOR

"Gila! bener-bener gila itu Ceo baru!" Nena masih saja bersungut-sungut mengumpati kegilaan bos barunya, saat bergabung dengan ketiga rekannya, di kantin kantor selepas rapat dadakan itu.

"Sabar-sabar, nih makan dulu, gue udah pesenin." Siska menyodorkan sepiring menu makanan, yang langsung tidak disia-siakan oleh Nena, setelah mengucapkan terimakasih tangannya langsung cekatan menyendokan makanan kedalam mulutnya sampai penuh. Entah efek kesal atau memang gadis itu tengah kelaparan.

Siska hanya bergeleng kepala menyaksikan tingkah sahabatnya yang tidak ada anggun-anggunnya. Sedangkan Doni terus saja tersenyum tidak jelas dengan kedua telapang tangan menopang kedua pipinya dengan siku bertumpu di atas meja.

"Kenapa sih lo? senyum-senyum bikin suasana hati gue tambah mendung aja!" omel Nena pada pemuda yang sejak awal bertemu dulu sudah terendus ketidakwarasannya. Doni.

"Gue lagi nonton orang cantik marah-marah!" mendengar itu Nena langsung melempar satu sedotan di hadapannya. Sedangkan Siska langsung berpura-pura muntah. Nena sudah biasa mendengar kalimat seperti itu dari Doni, tapi untuk sekarang ini dirinya sedang tidak ingin meladeni pemuda itu.

"Itu Ceo baru, bener-bener pasang mode on senggol bacok tahu nggak, ada masalah dikit orang main dipecat aja!" adu Nena pada ketiga rekannya.

"Minum dulu Na." Bimo menyodorkan segelas es teh manis di hadapan Nena, gadis itu melirik sebentar kearah pemuda yang tersenyum padanya.

Nena bukan tidak tahu dengan perasaan Bimo, sama seperti Doni, anak itu juga menaruh harapan besar pada Nena sebagai kandidat seseorang yang akan dikenalkan pada kedua orangtuanya, hanya saja Bimo sedikit main cantik, tidak seperti Doni yang terang-terangan.

Bimo memang tampan, lebih tampan dari Doni meskipun kulitnya tidak seputih Doni. Tapi entah mengapa Nena tidak bisa merasakan jantungnya Berdebar-debar saat berhadapan dengannya. Dan sejauh ini memang belum ada yang mampu membuat jantung Nena berdegup lebih kencang dari biasanya, selain anjing gila tetangganya tentunya.

"Sumpah, pasti cool banget ya Na? ya ampuun coba tadi gue ikut meeting ya," tebak Siska.

"Dasar lo penghianat!" semprot Nena.

"Selain Bu Amira ada lagi yang dipecat?" tanya Bimo antusias, Nena mengangguk mengiyakan.

"Banyak!" seru Nena masih merasa takjub dengan kelakuan atasan barunya itu.

"Mereka diem aja dipecat secara sepihak gitu?" tanya Siska. Nena menghentikan acara makannya kemudian berpikir.

"Awalnya mereka protes, terus Ceo baru itu ngasih penawaran, mereka memilih dipecat secara terhormat dan dapat pesangon, atau dia bakalan ngerahin orang kepercayaan dia buat nyari bukti ketidak beresan kinerja mereka, dan kalau sampe terbukti mereka salah, mereka akan dipecat secara tidak hormat dan nggak dapet pesangon sepeserpun," tutur Nena panjang lebar, seingat dia seperti itu kira-kira yang terjadi diruang meeting tadi.

"Terus jawaban mereka?"

"Mereka sih diem aja, dan Ceo itu mengambil keputusan bahwa diam nya mereka itu, merupakan tanda setuju dengan kesepakatan pertama."

"Ya berarti mereka yang nggak beres dong, buktinya mereka takut." Doni memberi komentar.

"Hebat banget berarti tu Ceo ya, bisa mencium bau-bau persekongkolan terselubung!"

"Apa sih Sis, nggak jelas bahasa lo!" sungut Nena, Siska hanya berdecak kesal.

"Eh tapi cepet banget ya rapatnya."

"Dia tahulah, Sis. Ini udah masuk jam makan siang."

"Orang kaya gitu mana bisa mikir kesitu, atau dia iba kali ngeliat muka lo yang kelaperan," celoteh Siska.

Nena tampak mengingat kejadian di ruang rapat tadi, saat mereka beradu pandang kala Nena sedang lapar-laparnya. Tapi Nena langsung menepis bayangan itu.

"Ah, sama kaya apa yang lo bilang, Orang kaya gitu mana bisa mikir kesitu."

***

Nena dan ketiga rekannya kembali ke kantor untuk bekerja, mereka memilih kantin di lantai dasar karena menurut mereka makanan di sana enak-enak dan pastinya murah. Mereka berpapasan dengan Justin yang barusaja keluar dari lift, kembali, mata elang Justin bertemu sorot teduh kedua bolamata Nena, tidak lama karena kemudian gadis itu menunduk hormat disusul dengan ketiga rekannya. Namun seperti biasa, dengan angkuhnya seorang Justin terus melangkah sama sekali tidak menghiraukan karyawannya itu.

"Sombong banget si tuh manusia, nggak tahu apa kalau aset terbesar sebuah perusahaan itu terletak pada karyawannya!" oceh Doni kala Justin dan beberapa antek-antek berbadan besarnya menjauh.

"Itu namanya berwibawa, sumpah ganteng banget sih tu Ceo baru," Siska tak henti-henti menyerukan kekagumannya, matanya terus memandangi punggung Justin yang semakin menjauh.

"Berwibawa sih boleh, tapi nggak segitunya juga kali." Doni masih tidak terima.

"Sirik aja lo ah, orang ganteng mah dari belakang aja udah kelihatan aura kegantengannya, bener ya menurut novel yang pernah gue baca. Di balik orang ganteng itu kalo dibalik tetep aja masih ganteng juga," cerocos Siska yang tidak lagi dihiraukan oleh ketiga rekannya dengan pepatah tidak berfaedahnya itu.

"Kamu kenapa Na, pucet gitu?" tanya Bimo yang menyadari ketidak beresan pada gadis di sampingnya, saat mereka sudah masuk ke dalam lift.

"Lihat sorot mata tajamnya, jantung gue entah kenapa jadi deg-degan gini."

"Jatuh cinta kali lo, Na," cetus Siska yang ditanggapi decakan sinis oleh Nena.

"Masa jatuh cinta pucet gitu, itumah sawan kali lo lihat muka diktator nya tu Ceo," tukas Doni.

"Lo pikir Nena anak orok pake sawan segala, kalo mau sawan juga dari dulu ngeliat muka lo udah sawan!" sambar Siska.

"Iya maksudnya trauma, trauma," ralat Doni.

"Udahlah gue nggak apa-apa!" lerai Nena, kemudian mereka kembali melanjutkan langkahnya.

***

"Kamu tidak ingin menjelaskan pada Papa tentang keributan yang kamu buat di kantor?" tanya Mr Juan pada anaknya yang kala itu tengah menaiki anak tangga menuju kamar.

"Papa juga pasti sudah tahu," jawab Justin santai, kemudian melangkah menghampiri ayahnya yang kala itu tengah bersantai menikmati secangkir kopi.

"Karyawan Papa tidak ada yang beres!" Justin melemparkan jasnya ke sofa dan duduk berhadapan dengan sang ayah.

"Untuk itu Papa sejak lama menyuruhmu untuk mengurus perusahaan Papa, tapi kamu tidak pernah mau," ucap Mr Juan dengan pandangan masih fokus pada koran harian yang dia baca.

"Saya merekrut orang kepercayaan saya dari perusahaan lama untuk menangani perusahaan Papa yang cukup berantakan." Justin beranjak dari sofa, mengambil jasnya dan kembali melangkah ke kamar. Ternyata memang bukan pada orang lain saja seorang Justin bersikap dingin, bahkan pada ayahnya sekalipun dia bersikap seperti itu.

***

"Gila banyak Cogan bertebaran, sumpah mereka ganteng ganteng banget!" Pagi-pagi Siska sudah heboh sendiri menghampiri meja kerja Nena.

"Siapa? karyawan-karyawan baru?" tebak Nena, Siska langsung mengangguk semangat dengan wajah yang nggak banget.

"Mereka udah pada berumur kali, Sis. Udah kepala empat kali."

"Itu dia, justru perempuan jaman sekarang itu milihnya yang begitu itu, Laudya Cynthia Bella contohnya."

"Jadi lo sekarang berpindah haluan dari oppa-oppa Korea jadi bapak-bapak!"

"Ih, Nena. Lo lihat dulu deh mereka itu bukan tua, tapi mateng, ibarat mangga niyah, mateng nya pas, bukan karbitan apalagi disuntik pewarna, pokonya tipe ideal banget lah."

"Iya tapi pasti yang matengnya bukan karbitan itu udah ada yang punya, lo mau jadi pelakor?"

"Ya siapa tahu ada yang duda, Na. Punya anak perawan juga nggak masalah lah kaya Laudya Cynthia Bella," tutur siska dengan semangat yang mulai menyusut, pandangannya mengarah pada Nena yang tengah membereskan meja kerjanya, memasukkan barang-barangnya ke dalam kardus.

"Lo jadi pindah ruangan yah? ceritanya udah resmi nih jadi sekretarisnya Pak Handoyo?" tanya Siska dengan nada suara sendu.

"Gue pindah ruangan doang kali, bukan pindah kantor, jam makan siang juga masih bareng, kita masih bisa ketemu lah."

"Ya iya sih tapi—"

"Kenapa? Lo sirik pengen jadi sekretarisnya Pak Handoyo juga, dia kan mateng."

"Dih amit-amit!" semprot Siska, jarinya mengetuk-ngetuk meja gemas. "Diamah bukan mateng, udah bonyok, gue heran ya kenapa tuh orang nggak dipecat juga, padahalkan dari semua yang nggak bener dia yang paling nggak bener!"

"Hus, entar ada orangnya loh." Nena mengingatkan, dan Siska langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan. Takut kalau beneran ada bapak genit yang kepalanya botak itu, bukan hanya pada Nena, pada Siska pun nyatanya orang genit kaya diamah tetep aja genit. Pikir Siska.

"Na, lo dicariin Pak Handoyo, suruh ikut meeting, cepetan katanya!" Kata salah satu teman kerja Nena, gadis itu langsung bergegas merapikan yang diperlukan dan segera beranjak setelah berpamitan dengan sahabatnya.

"Lindungi aku Ya Allah." Doa Nena dalam hati.

***

Siang ini seperti biasa, Nena dan ketiga rekannya menikmati makan siang di kantin kantor, tapi hari ini Nena membawa Nasi dari rumah, untuk menghemat, maklum tanggal tua.

"Tadi bahas apa Na, Ceo ganteng nggak bikin ulah lagi kan?" tanya Siska.

"Nggak sih, cuma bahas kerjaan dan visi misi kedepan, terus ngenalin karyawan baru buat gantiin yang dipecatin kemaren. Katanya sih orang kepercayaan dia dari perusahaannya yang udah maju," jawab Nena. Siska nampak mengangguk-angguk.

"Gimana, Na. Tawaran gue kemaren?" Doni mengajukan pertanyaan pada Nena, setelah sedari tadi membalas chat grup di whatsaap nya.

"Tawaran apaan si?" malah Siska yang penasaran, Nena tampak mengingat-ingat tawaran yang dimaksud Doni.

"Pura-pura jadi cewek lo buat reuni SMA lo nanti malem?" tanya Nena memastikan.

"Iya, mau yah." Doni menangkupkan kedua telapak tangannya memohon.

"Nggak! lo cari cewek lain aja, entar gue digrepe ***** lagih."

"Astagfirulloh, Na. Gue nggak se brengsek itu kali!"

"Gue aja Don, gue mau, pasti banyak cowok ganteng kan di sana, gue cantik juga kok gak kalah sama Nena," tawar Siska.

"Nggak ah, entar lo genit lagi sama temen-temen gue, malu lah gue," tolak Doni, Siska memajukan bibirnya dua centi.

"Cuma pura-pura doang Na, lo mau minta apa sebagai imbalan, gue kasih, soalnya gue bilang bakal bawa pacar nanti malem."

Nena mulai berpikir, menimbang-nimbang imbalan apa yang ingin dia pinta.

"Kalo duit gimana? dompet gue penghuninya tinggal Sultan Mahmud Baddarudin sama adek-adeknya doang." Nena memberi penawaran.

" Ok, lo maunya berapa?"

"Lo sanggupnya berapa?"

"Dua lembar potret Soekarno-Hatta."

"Murahnya harga diri gue Don." Nena menggelengkan kepala.

"Ck, jadi cewek gue nggak sehina yang lo bayangin kali Na." Doni pura pura tersinggung.

"Ha..ha.. Yaudah 10 lembar."

"Buseet, lo meres gue? Pura-pura doang loh ini, kalo dipake beneran sih nggak apa-apa!"

Plaakkk

"Aww sakit tahu, yaudah lima, gimana?"

"Ok, tapi dengan banyak syarat."

"Apaan?"

"Jangan peluk-peluk gue, apalagi cium-cium, pokoknya kita jangan kaya orang pacaran beneran."

"Pegangan tangan boleh kali, gue itu bilangnya bawa pacar, bukan bawa emak gue."

"Hehe, ok lah pegangan tangan doang, itu juga kalo ada mereka kalo nggak ada jangan sentuh gue."

"Iya bawel, untung cantik lo!"

"Gue ikut!" Bimo angkat suara, setelah sedari tadi hanya diam mendengar tawar menawar kedua temannya itu, seperti menawar sebuah barang. Dan Doni langsung menolak mentah-mentah.

***

"SAYA MAU KETEMU DENGAN SELINGKUHAN SUAMI SAYA, DI MANA ORANGNYA?!" pagi-pagi suasana kantor sudah dibuat ribut oleh seorang ibu-ibu yang entah datang dari arah mana, tiba-tiba sudah berada di lantai atas tempat Siska dan rekan-rekannya bekerja.

"Tunjukin sama saya di mana orangnya!!" teriakan lantang ibu-ibu berbadan tambun dengan dandanan bak ibu sosialita itu mengundang semua penghuni gedung untuk berkerumun.

"Ada apaan si?" Nena yang baru saja datang, ikut bergabung membelah keramaian, dan saat kedua bolamata garang si ibu yang dihiasi dengan bulumata antibadai, menangkap sosok Nena yang kebingungan, ibu itu langsung kalap melepaskan sepatu wedges nya.

BUGGG!!!

Entah bagaimana ceritanya, sepatu yang berat dan tebal itu menghantam pelipis Nena. Kejadiannya begitu cepat sampai security pun tidak sempat mencegah tindakan sang ibu yang nampak kesetanan.

Nena merasakan kepalanya serasa mau pecah, untungnya seseorang dengan sigap menangkap tubuhnya, setidaknya gadis itu cukup beruntung karena kepalanya tidak mendarat di lantai, melainkan di pangkuan seseorang yang kini menatapnya panik, setelah itu pandangannya berubah gelap. Pingsan.

SECURITY!!!!

SEPULUH JUTA

Nena yang pingsan dengan pelipis berdarah, langsung dibawa keruang kesehatan.

"Heeyy!! Mau dibawa kemana itu si Marni, dia sudah menggoda suami saya," teriakan lantang si ibu berhasil membuat suasana kantor yang semula riuh mendadak hening.

Krik-krik

"Ma, Marni?" Tanya Siska dengan ekspresi yang sulit dijabarkan.

"Iya. Si Marni itu selingkuh dengan suami saya Mba, dia chat sayang-sayangan dengan suami saya." Curhatan si ibu sama sekali tidak membuat Siska iba, gadis itu menggeleng tidak percaya.

"Dia itu Serena bukan Marni!!" Teriak Siska sewot.

"Loh, kok namanya ganti?"

"IBU SALAH ORANG!!" Bentak Siska marah, tidak terima sahabatnya itu jadi sasaran cemburu buta si ibu.

"Tapi saya lihat kok, cewek itu pernah satu mobil dengan suami saya." Si ibu masih tidak mau kalah, kepalang malu, masa iya salah orang juga. Begitu pikirnya.

"Aduh mama ini bikin malu saja, Serena itu sekretaris baru Papa, Ma!" Seorang bapak paruh baya dengan kepala botak di bagian depan yang baru saja datang, langsung memarahi istrinya. Siapa lagi jika bukan Pak Handoyo. Beliau langsung menyeret istrinya keluar.

"Heh sinting, gue bakal laporin lo ke polisi, dasar lo nggak waras! Lepasin gue Don, biar gue jambak tu jambul katulistiwa si ibu sinting. " Siska yang masih tidak terima hendak berlari menerjang si ibu yang ternyata istrinya Pak Handoyo. Namun Doni dan rekannya yang lain langsung memegangi gadis itu.

"Sabar Sis Sabar!"

"Gila itu ibu-ibu **** banget, nggak lakinya nggak bininya sama-sama nggak waras!" Cerocos Siska masih tidak terima.

***

Keesokan harinya, Siska mendapati Nena baru saja datang untuk bekerja. "Na, kok Lo udah masuk aja, emang udah nggak apa-apa?" Tanyanya sembari mensejajari langkah Nena.

"Masih pusing sih, tapi nggak masalah kok, " jawab Nena meyakinkan sahabatnya. "Eh, lo tahu nggak siapa si ibu yang kemaren nyerang gue? Harusnya divisum nih jidat gue, gue laporin polisi tuh ibu-ibu barbar." Nena ingat kejadian kemarin yang masih menyisakan luka dan denyutan nyeri di pelipisnya.

"Dia istrinya Pak Handoyo."

"Hah?" Nena menghentikan langkahnya menatap sahabatnya penuh tanda tanya.

Siska hanya mengangguk.

"Ngapain bininya Pak Handoyo nimpuk jidat gue pake bakiak dia, gue salah apaan coba?"

"Wedges Na."

"Apalah, itu." Nena melanjutkan langkahnya. Lalu Siska dengan sabar menceritakan kejadian kemarin.

"Ooh jadi dia ngira gue itu selingkuhan lakinya? Dih napsu juga enggak gue sama tuh aki-aki. " Nena tidak habis pikir.

"Iya, lo si. Gue pengen cerita dari semalem eh Hp lo nggak aktif."

"Tas gue ketinggalan di klinik kantor, siapa sih yang kemaren nganterin gue pulang? Kok tas gue nggak dibawa?"

"Si Bimo," jawab Siska, Nena hanya menanggapi dengan oh tanpa suara. "Eh, gimana Na rasanya digendong sama Ceo ganteng?"

"Hah? ma, maksud lo?"

"Ih kemaren kan lo digendong sama Ceo ganteng, pas lo pingsan itu, ya ampun Na, gue juga rela ditimpuk pake sepatu kalo hadiahnya digendong sama Ceo ganteng," Siska menghentak-hentakan kakinya dengan bergelayut manja di lengan Nena yang tampak masih bingung, terkadang tingkah Siska ini tidak sebanding dengan usianya.

"Jadi yang waktu gue jatoh itu—"

"Iya, lo jatoh ke pangkuan dia."

"Masa sih?" Nena merasa tidak yakin dengan cerita Siska, meskipun sama sekali tidak ada gurat kebohongan dari kata-katanya itu. Jangan-jangan ni anak ngadalin gue lagi. Begitu pikir Nena.

***

"Permisi." Nena mengetuk pintu besar di hadapanya.

"Masuk!" Jawab seseorang di dalam sana.

"Bapak manggil saya?" Tanya Nena memastikan, pria tampan yang sejak empat hari yang lalu resmi menjadi atasannya itu hanya mengangguk dengan pandangan masih fokus pada benda persegi di hadapannya.

Nena memasuki ruangan itu lebih dalam. Belum sempat Nena menempelkan bokongnya di kursi, atau memang atasan barunya itu sengaja tidak mempersilahkan gadis itu duduk, sebuah amplop yang entah mengapa Nena yakin sekali itu berisi uang dilemparkannya ke atas meja. Nena mengerutkan dahi, menebak-nebak.

"Saya dipecat?" Tanya Nena santai, baginya pemecatan itu bukan suatu hal yang buruk. Mengingat hutang nya pada perusahaan itu akan membuatnya bertahan bertahun-tahun lebih lama.

"Mungkin jika Anda tidak punya sangkutan pada perusahaan saya, hal itu pasti sudah saya lakukan."

Nena berusaha mencerna kalimat-kalimat baku yang dilontarkan bosnya itu. "Jika memang saya harus dipecat, dengan alasan apa?" Tanyanya berani, Ceo di hadapannya itu seketika menoleh. Mungkin tidak menyangka dengan kalimat yang dilontarkan gadis itu. Sudut bibir sexi nya sedikit terangkat, tersenyum remeh.

"Terkadang seseorang harus menerima, bahwa orang seperti saya, tidak butuh alasan untuk hal semacam itu."

"Dih songong banget dah ni Ceo baru,"  batin Nena. Dia tidak berniat menjawab, baginya percuma berdebat dengan orang yang sudah diberi label menang dalam setiap kalimatnya.

"Ini uang damai dari seseorang yang sudah melukai kepala Anda, nilainya kurang lebih sepuluh juta, " tutur si bos dengan menatap wajah Nena, seolah ingin tahu, bagaimana reaksi dari gadis di hadapannya.

Dan ekspresi wajah Nena sendiri, jangan ditanya, tentu saja gadis itu terkejut bukan main.

"Sepuluh juta? Gila, ditabok sekali lagi juga mau gue kalo bayarannya sepuluh juta mah," pikirnya.

"Bisa saja Anda menuntut wanita itu dan memasukannya kedalam penjara. Tapi hal itu tidak akan berdampak baik pada perusahaan saya."

"Saya mengerti," jawab Nena, tidak ingin berbasa-basi, lututnya sudah mulai terasa pegal.

"Yakin ni orang nggak bakalan nyuruh gue duduk?" Nena merasa kakinya mulai kesemutan.

"Jadi? Anda terima uang ini dan menandatangani perjanjian damai, atau biarkan saja uang ini berada di tangan saya, hitung-hitung sebagai cicilan sangkutan Anda pada perusahaan saya," tuturnya panjang lebar tentu saja dengan mimik muka meremehkan yang teramat menjengkelkan di mata Nena.

Tanpa pikir panjang dan bertele-tele, Nena melangkahkan kakinya dan menandatangani surat perjanjian itu, kemudian meraih amplop berisi uang yang katanya senilai sepuluh juta. Mimik meremehkan Ceo itu berganti dengan seringaian, tampak duakali lipat merendahkan perempuan di hadapannya.

Nena tahu, detik dimana dirinya mengambil keputusan itu, maka detik itu juga harga dirinya raib tak bersisa di hadapan atasan barunya. Dan gadis itu tidak peduli.

"Saya ambil uang ini, dan tolong biarkan saya mengabdikan hidup saya pada perusahaan ini, sampai sangkutan yang bapak maksud itu bisa saya selesaikan. Dan setelahnya saya akan mengundurkan diri dari sini, agar bapak tidak perlu repot- repot mencari alasan untuk hal semacam itu." Nena menarik napas, tenggorokannya mulai kering. Dan sebelum dirinya naik pitam segera gadis itu mengajukan permohonan undur diri. Yang diangguki tanpa ekspresi oleh atasan barunya itu. Nena pun melangkahkan kakinya keluar.

CKLEK

Suara pintu tertutup, dan Justin masih tidak habis pikir dengan gadis yang barusaja berdiri di hadapannya. Pemuda itu mengusap wajahnya gusar, entah apa yang terjadi pada dirinya, hingga dia bisa merasa bahwa sebagian dari dirinya seperti tertarik dan sangat penasaran pada gadis itu. Namun Justin langsung menepis hal-hal yang menurutnya tidak penting.

***

Nena kembali ke ruang kerjanya. Sepasang tangan mungilnya dilipatkan ke atas meja, dan gadis itu mulai membenamkan wajahnya.

"Rontok sudah harga diri gue, tapi mau gimana lagi, gue lebih butuh uang ini buat berobat Ayah. Persetan dengan harga diri. Toh sekuat apapun gue menjunjung tinggi harga pada diri gue ini, tetep aja pasti nggak ada harganya tuh di depan Ceo Sableng. Gue bener-bener sama sekali nggak dikasih duduk, parah. Boro-boro ditawarin minum kali." Nena terus saja ngedumel dalam hati.

Tuk-tuk-tuk

Seseorang mengetuk meja tempat Nena menenggelamkan wajahnya di atas kedua lengannya, gadis itu terlonjak, Pak Handoyo? Tebaknya dalam hati, tapi tidak mungkin, beliau kan sudah dipecat.

Nena mengangkat kepalanya, Sorot mata teduhnya beradu pandang dengan sepasang bolamata hazel milik seseorang yang...

"Serena?" Seorang pemuda yang usianya tidak terpaut jauh dengan Nena menyapa lebih dulu. Senyum dari bibir tipisnya merekah, raut wajahnya menunjukan ketidak percayaan.

Nena kenal sekali dengan pemilik mata hazel itu, pria yang perawakannya mirip sekali dengan Daniel redcliffe pemeran herry poter yang tentu saja tanpa brewok di rahang tegasnya. Pemuda itu muncul lagi setelah bertahun-tahun menghilang.

"William?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!