Aku berlutut di atas tubuh mungilnya dalam kegelapan. Lehernya yang ramping terlihat seperti ranting putih kering di antara jari-jariku. Nafas lemah yang berhembus menghangatkan lenganku dari udara lembab yang menggigit kulit. Dadanya naik turun dalam irama yang stabil, menghirup aroma lapuk dari dinding yang bocor.
10 menit? 5? Mungkin semua yang kubutuhkan malah hanya 10 detik. Hanya 10 detik untuk menghentikan nafas yang sudah berhembus selama 5 tahun.
Gemuruh langit seperti menghardikku. Cahaya kilat menyilaukan ruangan dalam sekejap, seperti ingin menangkap basah diriku. Tapi, tanganku masih terulur, tidak bergeming. Kalau langit benar-benar mengambil foto diriku sekarang sebagai bukti untuk mengadiliku, aku ingin meminta foto itu. Aku ingin tahu, seperti apa ekspresi yang tergambar di wajahku saat ini.
“Kak… Raka?”
Mata mungilnya membuka perlahan, berkedip lemah seperti seekor hewan kecil yang baru keluar dari rahim induknya.
Tanganku terulur menjauh dari lehernya, meraih helai-helai pakaian yang menumpuk di atas kursi di atas kepalanya.
“Ya? Kau mendengar guntur?” aku menarik tubuhku ke sisinya, dan menyusun potongan-potongan pakaian itu menutupi tubuhnya seperti puzzle, “Hujannya deras. Pakai ini supaya tidak kedinginan.”
“U-um…” tangan kecilnya menyusup keluar dari puzzle kain yang kususun dan menangkap lenganku. Baru setelah tubuhnya mengunci lenganku, kelopak matanya kembali menutup, dan helaan nafas hening kembali mengalir teratur dari dadanya.
Aku membaringkan tubuhku di sisinya. Melabuhkan lenganku yang bebas di atas tumpukan kain yang menutupi gadis kecil di hadapanku. Jari-jariku bergerak menepuk-nepuk tubuh itu kembali ke peristirahatannya.
Suara rintik hujan semakin keras membisingkan telinga, menenggelamkan melodi lirih yang ku senandungkan untuk menemani Emilia di alam mimpi. Tapi suara detak jantungku masih dapat ku dengar dengan jelas. Menghentak kesunyian dalam irama yang tak berubah.
“Tidur, matahariku tidur… Hari telah usai, tapi besok kau kan kembali… Tidur, matahariku tidur… Hari telah usai, tapi malam tak boleh tinggal tetap…”
..._____𝓶𝓸𝓷𝓸𝓹𝓸𝓵𝔂_____...
Mungkin naluriah atau sudah terbiasa, kakiku otomatis menyesuaikan panjang langkahnya mengimbangi Emilia yang berjalan di sisiku. Rok hitam selututnya mendayu mengikuti angin yang bertiup. Jari-jari kecilnya memeluk jemariku erat. Bahkan setelah kita mencapai pintu kelasnya, jari-jari itu belum melepaskanku.
“Oh, Mil!”
Sangat mudah untuk menemukan pemilik suara itu, gadis yang selalu berada di antara kerumunan terbesar. Anak-anak mengikutinya seperti semut yang mencari gula. Mungkin karena suara lembutnya. Mungkin karena senyumnya.
Seperti biasa, baru setelah gadis itu mengulurkan tangannya, Emilia melepaskan jemariku dan melangkah pelan menghampiri gadis itu, Mirika. Mirika langsung mengangkat Emilia ke dalam pelukannya, seolah itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Tapi, dia memang seperti itu.
Saat itu juga, dia yang terlebih dulu mengulurkan tangannya. Mungkin daya tariknya bukan pada sesuatu yang bisa dinikmati oleh mata, tapi kebaikan yang memancar dari hatinya. Mungkin.
“Apa Emilia memberitahumu?”
“Tentang apa?”
Apakah tentang kelulusan? Apakah sudah waktunya? Aku membiarkan benakku menghitung jejak waktu.
“Ah, itu…” telapak tangannya terlihat seperti awan yang berlabuh di atas punggung Emilia dengan seragam biru langitnya, “hari sabtu ada piknik kelas. Registrasinya sampai hari senin yang akan datang.”
“Begitu, berapa biaya registrasinya?”
Tentu saja. Tidak ada hal yang tidak membutuhkan uang.
Aku menangkap lengan kecil Emilia mengeratkan pelukannya di leher Mirika dengan mataku. Dia sepertinya sengaja tidak memberitahuku. Entah itu adalah hal yang baik atau buruk, tapi gadis kecil itu memiliki pemahaman seperti layaknya seorang dewasa.
“Err… 350 ribu per orang,” Mirika tersenyum canggung, “tapi, aku bisa—”
“Baiklah, aku akan mengusahakannya.”
Aku menarik sudut bibirku membentuk senyum yang membatasi jarak antara aku dan gadis muda itu.
Senyum canggungnya digantikan oleh senyum simpul yang berteteskan perasaan bersalah atau mungkin rasa khawatir, “baiklah kalau begitu.”
Entahlah. Aku tidak begitu memahami cara membaca pikiran seseorang. Yang aku tahu, cahaya mata Mirika jauh lebih baik daripada anak-anak di belakangnya yang seperti menungguku mengembalikan guru favorit mereka. Mungkin, bukan Emilia yang dewsa terlalu cepat.
Aku meninggalkan tempat itu dengan kemelut memenuhi pikiranku.
Tiga ratus lima puluh ribu perorang. Sepertinya, itu maksudnya, aku juga dapat mengikuti kegiatan itu dengan membayar biaya tersebut. Jika demikian, artinya tujuh ratus ribu untuk dua orang. Darimana aku akan mendapatkan uang itu dalam enam hari?
Jariku membuka dan menutup, menghitung kemungkinan pundi-pundi uangku. Aku mungkin bisa mendapatkannya jika aku menyimpan semua upah harianku minggu ini. Atau aku cukup membayar untuk Emilia saja?
Aku kembali teringat perkataan Mirika yang kupotong tadi. Berkat dia, Emilia tidak perlu membayar administrasi bahkan biaya bulanan untuk bersekolah di TK itu. Aku tidak tahu bagaimana dia melakukannya, tapi bagaimanapun aku berterimakasih untuk itu.
Karena itu aku menghentikannya. Aku tahu, kebaikan Mirika mungkin bukan sesuatu yang palsu. Tapi cahaya yang terlalu menyilaukan, bisa membakar rayap sepertiku.
..._____𝓶𝓸𝓷𝓸𝓹𝓸𝓵𝔂_____...
Kaos oblong dan celana pendek lusuh yang sebelumnya tersembunyi, sekarang terpampang di tubuhku seperti seragam orang-orangan sawah. Aku melipat dengan berhati-hati kemeja dan celana kain yang kukenakan sebelumnya dan menyimpannya dalam tas selempangku sambil berjalan menuju ke pasar. Namun, perhatianku teralihkan oleh sekumpulan orang di penghujung gang yang aku lewati yang tertangkap oleh sudut mataku.
Kakiku terhenti dalam posisi yang janggal. Kaki kiriku tertahan dengan pasti enggan untuk bergerak, sementara kaki kananku sudah siap untuk melangkah di depannya. Benakku berbantahan dengan dirinya sendiri. Pasar yang sudah ramai hanya tinggal beberapa langkah lagi. Aku tidak ingin mencari masalah dengan terlibat dalam sesuatu yang bukan urusanku. Aku tidak boleh kehilangan sepeserpun dari pendapatanku hari ini dengan terlambat menampakkan diri.
Tapi, kalau masalah ini kubiarkan dan akhirnya menjadi besar dan memakan korban - yang aku yakin pasti terjadi-, bisa-bisa tempat ini menarik perhatian yang tidak mengenakkan. Dan mungkin saja pasar jadi terganggu operasinya.
Ah, sial. Sial. Kenapa mencari masalah dekat sini sih?
Aku menundukkan tubuhku di sisi bangunan di tepi gang. Dengan sebisa mungkin tidak menarik perhatian aku mengintip kumpulan orang itu. Seperti yang kuduga, mereka anak-anak bawahan si Pardu.
Lima orang pemuda dengan pakaian warna-warni berkumpul mengerumuni seorang lelaki tegap yang berpakaian rapi. Dia dengan santai mengepulkan asap dari lintingan tebal berkulit cokelat. Rambut hitam abu-abunya tersisir rapi ke belakang kepalanya. Jas hitamnya tetap licin tanpa kerutan, meskipun preman-preman itu terus menarik-narik jasnya. Jelas penampilannya sangat kontras dengan preman-preman kelas teri itu. Bahkan dasi coklatnya yang berkilau saja sepertinya jauh lebih mahal dibanding pakaian kumpulan preman itu jika digabungkan.
Apa yang dilakukan orang seperti itu di tempat ini?
Dari atas ke bawah, sangat jelas keberadaan laki-laki itu tidak sesuai dengan tempat ini. Bukan hanya penampilannya yang kontras dengan preman-preman yang mengerubunginya seperti lalat di atas daging sapi terbaik, tapi aura yang dipancarkannya juga sangat tidak sepadan dengan situasinya sekarang.
Preman-preman itu benar-benar tidak tahu membaca situasi dan tempat. Jika aku berusaha menghentikan mereka, aku yang akan menjadi target selanjutnya. Dan bukan hanya hari ini. Aku juga bisa menarik perhatian Pardu, ketua gank preman yang mengatur pasar ini.
Seperti yang kuduga, mungkin aku memang tidak sebaiknya terlibat. Tapi lagi-lagi tingkah mereka menghentikanku. Siapa itu? Bedi? Dengan lagaknya yang ingin menunjukkan diri di depan teman ganknya, ia menarik lintingan cerutu dari bibir pria itu, dan memindahkannya ke mulutnya.
“Ck.”
Aku mengeluarkan sepasang sepatu yang tersembunyi di bagian bawah tas selempangku. Gerakan yang terburu membuat kemejaku terlempar ke tanah. Aku memasangkan sepatu itu ke telapak tanganku dan menepuk-nepukkannya ke dinding, sambil mengiringinya dengan hentakan kakiku.
“Pak! Pak Polisi! Disini Pak!”
Aku meninggikan suaraku berharap mereka tidak akan mengenaliku. Gerakan tangan dan kakiku menjadi semakin cepat mengepulkan debu ke udara di sekelilingku. Telinga kutajamkan untuk mendengar suara tapak kaki yang ramai menjauh. Aku mengintip ke balik dinding. Mereka benar-benar sudah pergi meninggalkan laki-laki itu yang memungut cerutu yang masih membara.
“Fiuh…”
Aku beruntung, -atau tidak beruntung-, itu hanyalah kelompok si Bedi. Mereka arogan dan sangat tidak pandai membaca situasi, tapi itulah sebabnya mereka mudah dibodohi dengan trik murahan.
“Ah, sial.”
Aku kembali berjongkok memungut kemejaku yang kini bertabur debu. Sial. Sial. Sial. Aku masih harus menjemput Emilia sebentar. Tanganku sibuk mengebas-ngebaskan debu dari kemeja hitam itu. Aku membeli warna hitam agar tidak mudah kotor, tapi debu malah sangat nampak di permukaannya.
“Ah, sial. Sial. Si-”
Tanganku terhenti, mataku melihat ke atas pada pria yang sudah berdiri di sampingku. Pupil matanya melebar menutupi warna cokelat yang berkilat dengan kegelapan. Cerutu yang membara nangkring di telinganya.
Apa yang dia inginkan dariku?
“Kau yang menolongku?”
“Ya…” kalau dilihat dari situasinya, mungkin orang akan menganggap begitu.
Tangannya merogoh ke balik jas hitamnya. Kakiku segera menegakkan posisinya secara naluriah, mengamankan ruang untuk berlari. Mungkin dia akan memberiku upah? Tapi instingku tetap meningkatkan kewaspadaannya secara otomatis.
Apa yang dikeluarkannya adalah sebuah ponsel dan amplop kecil yang berkilau seperti emas asli. Tangannya lalu terulur, menyodorkan kedua benda itu kepadaku.
“Hah?”
Tangannya berayun seperti memintaku mengambil kedua benda itu. Baru setelah benda itu berpindah ke tanganku, ia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya.
“Kalau kau tidak bergabung, kau bisa menjualnya. Itu…” dia menunjuk pada kedua benda itu dengan dagunya, “emas asli.”
Dia lalu langsung berlalu begitu saja tanpa menunggu aku mengatakan apapun.
“Ah.”
Dia berhenti lagi. Tubuhku masih mempertahankan mode siaga.
“Terimakasih.”
“Huh? Oh, tidak masalah.”
Kakiku berbalik melangkah jauh ke arah yang berlawanan darinya. Walaupun sebenarnya aku bukan berniat menolongnya sama sekali.
Jari-jariku menghitung lembaran uang berbagai warna itu entah sudah ke berapa kali. Antara lembaran dua ribu dan dua puluh ribu, seribu atau sepuluh ribu, rasanya sama saja. Yah, yang lebih tua mungkin terasa kusut dan lepek dibanding lembaran baru yang masih garing dan licin. Tapi, mereka semua kertas yang sama.
Setelah puas memastikan kumpulan uang berjumlah lima puluh ribu itu masih tetap lima puluh ribu, mataku melirik ke kanan dan kiri seperti elang. Aku bisa melihat orang ramai berlalu-lalang di penghujung gang yang satu, dan kendaraan keluar-masuk di penghujung lainnya. Tapi, tidak seorangpun yang memberi perhatian ke celah sempit yang tercipta dari jarak kecil antara lapak di penghujung terdalam pasar dan dinding beton megah yang mengelilingi pusat perbelanjaan mewah di hadapanku. Gang ini bisa dibilang seperti jurang pemisah antara surga dan neraka, dan selama ini menjadi tempat ganti pribadiku.
Aku memasukkan kumpulan uang yang terlipat itu ke dalam saku celana pendekku, yang kini sudah kembali tersembunyi di balik celana jeans biru muda. Aku mungkin harus mengambil lebih dari satu atau dua hari kerjaan malam di proyek konstruksi jika aku ingin memiliki jumlah cukup tujuh ratus lima puluh ribu pada hari senin. Itupun, jika aku sama sekali tidak memakai upah hari ini sampai senin nanti.
Kakiku melangkah keluar ke penghujung gang yang dilewati pejalan kaki. Bahkan meski matahari sudah memudar di langit, aktivitas pasar belum mereda.
Benakku tidak berhenti berputar dan menghitung kemungkinan lain yang harus kupersiapkan untuk mengikuti acara itu. Aku belum pernah melakukannya, jadi aku tidak tahu apa saja yang harus kubawa, atau bahkan apa yang sebenarnya dilakukan dalam acara itu? Aku seharusnya menanyakannya pada Mirika dan bukan sok keren dengan memotong perkataannya. Tapi, itu akan membuatku terlihat bodoh di hadapannya.
Mataku spontan melirik sosok jangkung familiar yang sedang menghamburkan uangnya di lapak pedagang siomay. Aku terlambat menghindari matanya yang cepat menangkap sosokku yang berusaha mempercepat langkahku.
“Yo, bro.”
Kakinya yang lebih panjang sangat cepat mengejarku. Ia menggantungkan tangan kurusnya di bahuku seolah itu adalah hal yang wajar. Aku menyuarakan kekecewaan pada diri sendiri dalam hati karena gagal menghindari bocah bernafas kacang ini.
“Apa itu piknik?”
“Hah?”
Aku tidak perlu melirik untuk menebak ekspresi bodoh yang tercetak di wajah Eman yang menyesuaikan langkahnya mengikutiku. Belum sepuluh menit berlalu, dan bocah ini sudah membuatku melakukan dua hal yang kusesali.
“Piknik itu pesta di padang rumput.”
Kepalaku spontan menoleh ke bocah kurus menjulang yang sedang memamerkan barisan giginya yang tidak beraturan. Singlet putih tergantung di tubuh perseginya yang seperti papan cucian. Aku buru-buru mengejar penjelasan, yang dilayaninya dengan ikhlas. Terlalu ikhlas.
“Aku tidak tahu kalau kau pernah piknik,” aku memotong penjelasannya yang semakin jauh dan jauh tanpa ujung. Dari penjelasannya, aku sudah mengambil kesimpulan beberapa hal penting yang mungkin harus kusiapkan. Sepertinya aku benar-benar harus mencari pekerjaan sampingan untuk seminggu ini.
“Oh, aku tidak pernah pergi piknik. Kenapa? Apa kau akan mengajakku?”
“Hah?! Jadi semua itu?”
“TV bro. TV.”
Tepukan telapak tangan yang seperti tulang berbalut kain tipis itu cukup terasa di punggungku. Dia terlihat sangat bangga karena bisa memberiku informasi yang dia ketahui dari TV milik tetangganya. Yah, setidaknya dia bisa menikmati kotak bergambar itu, sementara aku nyaris kesulitan untuk menikmati cahaya lampu di malam hari.
“Oh, tunggu sebentar.”
Kepala si jangkung itu menoleh ke cabang gang di sebelah kanan kami, pada seorang wanita renta berpakaian lusuh yang duduk di atas tanah dengan kaleng di hadapannya. Tangan keriputnya menadah udara di hadapannya, kepada orang-orang yang bahkan tidak berniat untuk meliriknya.
Eman melepaskan tangannya dari pundakku dan melangkah santai ke gang itu, berusaha untuk bersikap biasa saja. Aku bisa saja meninggalkannya, namun tubuhku memilih untuk mematung seperti anak ayam yang kehilangan induknya, sampai sambaran bahu dari orang-orang yang lewat menyadarkanku.
Aku memutuskan untuk singgah dan menunggunya di lapak seberang jalan. Untuk apa aku menunggunya? Aku pun tidak mengerti. Mungkin karena sudah menjadi kebiasaan selama ini bagi aku dan dia untuk pulang bersama. Arah pulang kami tidak berpisah arah sampai cukup jauh dari pasar. Keluarganya tinggal di kompleks rumah susun sederhana tidak jauh dari jalan besar, sementara aku menyewa kos-kosan tua yang tersembunyi jauh dari pusat kota.
Mungkin itu salah satu alasan kami sering terlihat bersama. Aku tak yakin sejak kapan. Tapi, yang jelas aku bukan yang pertama mendekatinya.
Tanpa pikir panjang, aku segera melemparkan pantatku ke bangku panjang yang terparkir di depan lapak penjual pakaian. Aku menyisihkan tas selempangku di ruang bangku yang kosong. Tanganku lalu bergerak otomatis menjamah kemeja biru tua yang terpasang di boneka putih di sebelahku. Bahkan boneka tak hidup ini berpakaian lebih baik dariku.
“Cari apa kak?”
Seorang gadis muda menghampiriku membuatku spontan menarik tanganku dari boneka itu.
“Oh- itu- ini berapa?”
Mata gadis itu bergerak naik turun, tidak berusaha menyembunyikan niatnya untuk menghakimi penampilanku sama sekali.
“25 ribu kak.”
Mulutnya melengkung membentuk senyuman, tapi matanya kaku seperti balok es. Dia tidak menunggu waktu lama untuk pergi melayani calon pembeli sebenarnya dan meninggalkanku setelah aku menyampaikan terimakasihku atas informasi yang dia berikan.
Bahkan di kelompok bawah pun, orang-orang masih terbagi lagi dalam kelompok yang berbeda. Gadis itu, Eman, aku dan wanita renta itu. Mereka yang masih bisa membuat pilihan, dan orang-orang sepertiku yang tidak mempunyai pilihan sama sekali.
Aku memiliki uang yang cukup, tapi aku tidak memiliki pilihan untuk menggunakan uang itu pada kemeja ini. Aku memiliki uang, tapi aku tidak memiliki pilihan untuk membantu wanita renta tadi. Sama seperti wanita renta itu yang tidak punya pilihan selain meninggalkan martabatnya demi menadahkan tangannya pada belas kasihan orang lain.
Sebenarnya, orang-orang sepertiku pun masih memiliki pilihan. Tapi, pilihan itu terbatas pada dua jawaban, diri sendiri atau pilihan lainnya, apapun itu. Orang sepertiku tidak mempunyai hal yang bisa disisihkan untuk menutupi pilihan lain tanpa mengorbankan diri sendiri. Apa yang kami miliki adalah semua yang kami miliki. Tentu saja, dalam situasi seperti itu, aku akan terus memilih diriku sendiri untuk bertahan hidup.
Karena itu, ketika aku melihat dari jauh, di antara orang-orang yang berlalu lalang, Eman sekarang diapit oleh beberapa orang preman pasar, apa yang aku lakukan selanjutnya sangat jelas.
Kabur.
Kakiku tidak menunggu lama untuk menarik tubuhku menjauh dari tempat itu. Menyelinap di antara kerumunan orang agar tidak menangkap perhatian mereka sama sekali. Aku tidak ingin terlibat masalah. Aku sama sekali tidak bisa terlibat masalah. Mataku melirik liar berusaha untuk mendeteksi pergerakan dan sosok lain yang harus diwaspadai di sekitarku. Kakiku berusaha mempercepat jalanku tanpa berlari, karena itu justru akan menarik perhatian. Langkahku baru melambat setelah aku memastikan aku sudah berada cukup jauh dari pasar.
Tanganku segera meraba celanaku, memastikan gepok uang yang kudapatkan sebagai upah kerja hari ini masih berada di tempatnya. Nafas lega yang mengalir keluar dari mulutku tertarik kembali saat aku menyadari, aku tidak kehilangan uangku tapi aku kehilangan yang lainnya.
“Argh.”
Kemejaku.
Mataku kembali bergerak liar mempelajari sekitarku.
..._____𝓶𝓸𝓷𝓸𝓹𝓸𝓵𝔂_____...
Aku tidak punya pilihan lain selain berlari kembali ke tempat yang kutinggalkan. Dalam tas itu juga ada barang-barang yang mungkin bernilai lebih dari lima puluh ribu yang kuperoleh hari ini. Ponsel yang kuperoleh dari laki-laki itu - jika ponsel itu benar dan masih berfungsi; amplop aneh itu, jika kata-kata laki-laki itu bisa dipercaya, aku mungkin bisa mendapatkan lebih banyak uang dengan menjualnya; tapi, yang paling membuatku khawatir adalah kemejaku. Satu-satunya kemeja yang aku miliki.
Ah, sial. Semoga tidak ada yang mengambil tasku, terutama kemejaku.
Hanya itu yang kumiliki untuk mengantar dan menjemput Emilia ke sekolahnya. Tentu saja, mengenakan pakaian yang sama setiap hari juga terlihat memalukan, tapi itu lebih baik dari kaos usang yang berhias lubang di sana-sini. Kakiku sekarang tidak lagi hanya berjalan cepat, namun sudah berlari sambil hatiku terus meneriakkan permohonan yang sama, agar aku dapat menemukan tasku dan agar aku tidak berpas-pasan dengan para preman itu.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk permohonan keduaku dijawab dengan gambar X besar dari tinta merah menyala.
Aku berpas-pasan dengan para preman yang baru saja kuharapkan untuk tidak berpas-pasan.
Mereka berusaha menyembunyikan niat mereka dengan membawa Eman dalam rangkulan mereka bertiga yang santai dan penuh tawa. Namun, laki-laki jangkung yang mereka rangkul itu sangat jelas sekali tidak santai, atau pun tertawa. Sisi baiknya mereka sedang tidak melihatku, saat aku berancang-ancang untuk berputar meninggalkan tempat itu-
“Raka… Kau tidak meninggalkanku?”
Suara haru bocah kacang itu membuat semua preman itu sekarang melihatku dengan mata mereka yang liar seperti hewan karnivora yang sedang melihat mangsanya. Sudut bibir mereka terangkat naik seperti bilah besi terasah yang siap menyembelih ternaknya.
Dasar kumis Kuda.
Aku berhasil menyelesaikan permasalahan sebagai pemenang.
Tentu saja, mereka menangkapku dan membawaku bersama Eman ke tempat yang mereka katakan, kuil. Pada dasarnya itu adalah lapak tak berpenghuni dimana mereka biasa membawa orang-orang seperti aku dan Eman untuk memberi ‘sesajen’ kepada para dewa. Yaitu mereka. Ya, mereka adalah dewa dan manusia biasa seperti kami yang masih ingin hidup harus memberikan semua yang kami miliki sebagai ‘sesajen’.
Sayangnya, aku tidak memiliki apapun yang bisa kuberikan kepada mereka. Aku belum sempat menemukan tasku ketika berhadapan dengan mereka, dan uang jerih payahku? Aku meninggalkannya di tempat tersembunyi, bersama dengan celana jeansku. Bahkan jika mereka menelanjangiku, mereka tidak akan mendapatkan sesuatu yang berharga. Kalau mereka masih ingin mengambil celana pendek lusuh dan kaos usang seribu jendela ini, aku tidak akan punya banyak komplain.
Dan setelah mereka mengetahui sendiri hal tersebut, mereka tidak bisa melakukan apa-apa selain melepaskanku bebas. Mereka hanya keroco-keroco yang akan mendapat masalah jika mereka mengacau di luar perintah ketuanya. Tentu saja, nasib buruk untuk Eman, mereka mengambil semua uangnya yang tersisa hari itu.
Tapi, apa yang bisa kulakukan? Itu adalah ketidak-beruntungannya.
“Aarghh…” Eman menggaruk-garuk kepalanya, “kalau saja mereka bukan bertiga, aku pasti sudah ugh! Dan ugh!” ujarnya memperagakan berbagai macam gerakan yang mungkin ditirunya dari acara TV tetangga.
Aku membiarkannya berimajinasi tanpa komentar. Lagipula, dia tidak memintaku untuk membayar imajinasinya atau sebagainya. Walaupun aku tahu, itu semua hanya sekedar imajinas. Bahkan walaupun preman itu hanya sendiri, itu tetap akan tetap hanya sebatas imajinasinya.
“Tapi, aku tidak menyangka kau mencariku…”
Pundakku berayun menepis pelukannya.
“Kupikir kau sudah kabur…”
Yah, dia memang benar. Kakiku terus berjalan menelusuri rute yang kulalui sebelumnya, menengok ke kiri dan ke kanan mencari lapak yang kusinggahi tadi. Eman yang entah mengapa akhirnya mengekoriku, terus berceloteh dan berceloteh dan berceloteh. Entah apa saja yang sudah keluar dari bibirnya yang berkalang liur.
Ah, itu dia.
Lapak pakaian itu akhirnya memasuki pandanganku. Kemeja biru itu masih bertengger pada boneka tak berwajah itu dan gadis itu, yah masih disitu.
Tas selempang hitam yang mulai berbulu masih duduk tenang di atas bangku itu, tanpa memperdulikan orang-orang di sekitarnya. Kakiku nyaris berlari menuju ke bangku yang kududuki sebelumnya.
“Hey, kau kemana?”
Aku mengacuhkannya. Gerakanku cepat menyambar tas kesepian itu dan segera membuka resletingnya untuk memastikan isinya. Kemeja. Cek. Ponsel. Cek. Amplop. Cek. Itu saja? Itu saja.
Memangnya apa lagi yang dimiliki buruh miskin sepertiku?
Ketika aku mengangkat wajahku, pandanganku bertemu dengan gadis penjaga toko yang tadi. Keningnya berkerut, entah hal buruk apa yang dia pikirkan tentangku? Aku menundukkan kepalaku dengan senyum sopan, tapi gadis itu membuang wajahnya dan meninggalkanku yang termangu.
Aku menghembuskan nafasku.
Setidaknya dia tidak melaporkanku atau sejenisnya. Kalau mereka menangkap dan menggeledah isi tasku, siapa yang tahu apa yang akan dituduhkan padaku jika mereka menemukan selembar emas (?) dan sebuah ponsel yang masih mulus dan tampak baru? Aku hanya mengambil apa yang menjadi milikku. Bahkan jika itu benar, tidak akan ada yang mempercayai bocah miskin berpakaian compang-camping sepertiku.
“Hey,” Eman kembali menangkapku, kali ini dengan nafas yang tersengal. Sepertinya tekanan mental yang dihadapinya karena preman-preman tersebut cukup membuatnya lelah, “aku baru sadar…”
Ia kembali mengikutiku tanpa bahkan bertanya apapun.
“Kemana celanamu?”
Oh, sekarang dia baru bertanya, “ini celanaku,” tanganku menepuk celana pendek usang yang berwarna debu.
“Bukan… bukan…” dia melambai-lambaikan tangannya di udara, “kau tadi pake celana jeans bukan sih?”
“Hm?” aku mengangkat bahuku dengan santai, “kenapa aku pakai celana jeans untuk mengangkat barang?”
Eman berhenti sebentar. Sepertinya otaknya memerlukan waktu untuk memproses apapun yang diterimanya. Yah, semua orang seperti itu. Harusnya.
“Kau benar,” ia kembali mengikutiku setelah otaknya memutuskan untuk menerima apa yang kuberikan. Namun, ia masih belum berdamai sepenuhnya dengan hal tersebut, “apa aku salah ingat?”
Setidaknya, itu memberiku waktu terhindar dari ocehannya yang tak berujung sampai akhirnya kita tiba di persimpangan jalan yang memisahkan tujuanku dengannya. Dengan lambaian tangan yang berlebihan, dia meninggalkanku.
Aku menunggu sampai sosoknya yang berlari-lari kecil berbelok dan menghilang di sebuah kompleks perumahan yang menjulang di balik pagar besi. Lalu, kakiku berbalik dan melangkah kembali ke pasar. Aku tidak bisa membiarkannya mengikutiku setelah aku berada disana dan tidak bisa melakukan apa-apa saat preman-preman itu mengikutiku.
Mataku melirik ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada seorangpun yang mengikutiku. Bahkan setelah aku yakin tidak ada yang mengikuti dan bahkan memperhatikanku, aku tetap mengendap-ngendap memasuki gang tempat kelompok Pardu dan laki-laki itu hampir terlibat perkelahian.
Aku berlutut di sebelah tong-tong sampah yang berjejer. Tanganku membongkar tumpukan kardus-kardus bekas yang bersusun, dan mengambil celana jeans yang terlipat rapi di baliknya. Lalu berpindah ke sisi lain tong sampah, dan mengambil lipatan uang yang tersimpan di balik bungkus biskuit bekas. Mataku kembali melirik liar ke kanan dan kekiri sebelum memasukkan amplop itu ke dalam tasku.
Preman-preman itu mungkin memenangkan pertarungan. Tapi, aku memenangkan peperangan.
Atau setidaknya, begitu yang kupikirkan.
Aku langsung bergegas menjemput Emilia setelah kembali mengganti pakaianku. Seperti biasa, dia adalah anak terakhir yang masih berada di sekolah. Aku tidak memiliki jam, tapi melihat warna langit yang dipenuhi tinta oranye, sepertinya aku benar-benar terlambat kali ini.
“Oh, kakakmu sudah datang.”
Pintu gedung sudah tertutup, dan dia satu-satunya yang tersisa menemani Emilia yang duduk di ayunan.
“Terimakasih sudah menjaga Emilia.”
Aku membungkukkan tubuhku ke arahnya dengan penuh ketulusan. Tubuhku cepat melonjak ketika jarinya menyentuh pundakku, mungkin berusaha untuk mencegahku membungkuk. Gerakan spontanku sepertinya membuat Mirika juga tersentak.
“Ah…” Ia menarik tangannya dengan wajah bersedih.
Yang membuatku tahu, kalau aku sudah melakukan kesalahan besar, “Ma-maaf ini… Debu dan keringat dan kotor… ya ini kotor… bajuku… bajuku masih kotor…” sekarang aku yang bertingkah seperti Eman yang mengayun-ngayunkan tangan di udara dengan panik sambil mengeluarkan celoteh tak jelas seperti burung kenari. Setidaknya, celoteh burung bisa terdengar merdu.
“Pffft…”
Dia… tertawa…
“Ah, maaf, maaf…” ia menyibak rambut hitamnya yang sekarang terurai ke balik telinganya. Mengungkap tahi lalat kecil di sisi dahinya, “aku tidak bermaksud menertawakanmu.
Aku tidak masalah bahkan jika dia tertawa karena mengejekku. Tentu saja, aku tidak bisa membiarkan isi pikiranku ini keluar dari mulutku. Atau dunia akan berakhir untukku.
“Kupikir kau tidak nyaman denganku.”
“Ma-mana mungkin,” mataku berkeliaran menghindari wajahnya, “kau sudah membantu Mil dan sebagainya, mana mungkin-”
...Clasp-...
“Syukurlah,” hangat kulitnya menyesap ke telapak tanganku yang ditangkapnya, “syukurlah,” dan senyumnya menangkap pikiranku.
“Y-ya hahahaha,” aku tidak tahu mana yang lebih buruk, gagap kataku atau tawa canggungku. Aku ingin mengubur diriku di suatu tempat sekarang juga.
“Kalau begitu, sampai bertemu sabtu depan?”
“Sa-sabtu depan?”
“Piknik,” rambutnya mengayun mengikuti gerak kepala yang dimiringkannya, “kalian ikut kan?”
“Ah,” aku menggaruk kepalaku, aku hampir melupakan hal itu, “tentu saja.”
“Oke~” Mirika meninggalkan kami dengan lambaian tangannya.
Tentu saja. Kataku. Tentu saja. Padahal aku bahkan belum yakin jika aku bisa mengumpulkan cukup untuk Emilia seorang.
Seperti belum cukup apa yang kupikirkan, hidup mengirimkanku hal lainnya. Sesosok wanita paruh baya yang sangat familiar menyambut aku dan Emilia di depan pintu kamar kos kami.
“Raka, akhirnya kau pulang juga,” wanita tambun itu membuka kipasnya dan langsung mengayun-ngayunkan kipas merah tersebut mendinginkan wajahnya, meskipun angin malam sudah mulai berhembus, “dan Emilia.”
Emilia langsung menyembunyikan dirinya di belakangku.
“Selamat sore bu,” aku menundukkan kepalaku.
“Kamu emang belum punya HP sampai sekarang ya?” kipas merahnya berayun cepat mengibas rambut hitamnya yang keriting, “masa saya harus datang-datang kesini terus?”
“Ah, iya bu. Maaf.”
“Ya sudah,” dia menepuk kipasnya menutup di telapak tangannya yang lain, “jadi, kapan kamu mau bayar uang kosmu yang bulan ini?”
“Apa bisa sedikit terlambat bu?”
“Kamu emang sudah terlambat,” kipasnya diayun-ayunkan ke arahku dan Emilia di udara, “yasudah, sabtu ini saya tunggu. Setor langsung ke rumah saya ya? Kamu tahu kan?”
“Baik bu,” bahkan meskipun itu adalah permintaan yang hampir mustahil, tapi aku tidak punya pilihan selain menundukkan kepalaku dengan rasa terimakasih. Mereka hanya meminta haknya, sementara akulah yang salah karena aku yang tidak bisa memenuhi kewajibanku. Aku tidak bisa mengangkat kepalaku sampai ibu kos benar-benar pergi.
Aku sudah terlalu angkuh.
Memang, preman-preman itu memenangkan pertarungan, aku memenangkan peperangan, tapi hidup yang selalu tertawa pada akhirnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!