Deviazta namanya, perempuan ini terlahir sebagai anak semata wayang dari seorang ayah yang bernama Juwanda dan ibu bernama Emilia. Devi hanya tinggal bersama dengan seorang ayah tanpa kasih sayang dari seorang ibu. Sedangkan kabar dari ayahnya, ibunya telah lama meninggal dunia sejak dirinya sekitaran berumur 2 tahun. Hidup Devia tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang sempurna, hidupnya hanya bergantung pada ibu tirinya yang sedikitpun tidak ada kasih sayang untuknya.
Ketika usianya beranjak belasan tahun, hari hari Devia hanya disibukkan dengan belajar dan belajar sampai menjelang kelulusan abu abu.
Karena diawali dari sebuah persahabatan, Devia diperkenalkan dengan putra dari keluarga Miko Herlambang. Dengan alasan, agar hubungan persahabatannya semakin dekat. Tentunya, akan ada sebuah perjodohan untuk Devia dengan putra pemilik perusahaan serta hotel yang cukup naik daun.
"Devia ..." suara yang begitu nyaring tengah membuyarkan lamunannya. Devia segera menoleh ke sumber suara, dilihatnya sosok laki laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.
"Kak Alex, benarkah?" ucapnya lirih disertai senyum manis pada Devia yang memiliki tanda lesung pipit pada kedua pipinya.
"Hem, tentu saja aku Alex. Kamu pikir aku ini siapa? mantan kamu?"
"Mantan? jangan dulu deh, kak. Aku tidak siap untuk menjadi mantan kakak, yang ada aku bisa gila." Ujar Devia sambil berjalan, Alex pun langsung menggandeng calon istrinya.
"Apakah nanti malam kamu ada acara?" tanyanya dengan posisi tangannya yang masih menggandeng calon istrinya.
"Tidak ada, adanya besok siang. Apakah kak Alex mau menemaniku? aku sendirian." Jawab Devia penuh harap.
"Tentu saja, aku akan selalu ada waktu untuk kamu. Karena kamu adalah bidadariku, tidak ada seorang pun yang boleh menyentuhmu." Ucap Alex sambil berjalan.
"Devia, cie ... yang sudah mendapatkan kelulusan. Sebentar lagi menikah muda, dan bakal kuliah di Universitas yang ternama nih." Ledek salah satu temannya yang ikut berkerumunan.
"Apa apaan sih kalian ini, bikin aku malu aja." Jawab Devia yang masih dirangkul oleh calon suaminya.
"Devia, jangan sampai lupa kalau besok berangkat di acara pernikahan Yuna. Jangan lupa juga calon suami kamu diajak, agar semua jomblowan pada gigit jari melihatmu yang sebentar lagi menyusul Yuna." Ledek salah satu sahabatnya.
"Jangan gila kamu, Ren. Sudah ah, aku mau pulang duluan. Aku mau merayakan kelulusanku, bye ..." jawab Devia sambil melambaikan tangannya tanda berpisahan.
"Devia pasti sangat bahagia, sudah calon suaminya tampan, kaya raya lagi." Ucap Rena sahabat Devia sambil melihat kemesraan sahabatnya.
"Tidak cuman kaya raya, Sultan! gaes ..." sahut temannya.
"Kapan ya, kita bisa senasib baik seperti Yuna dan Devia. Mereka berdua sangat beruntung meski menikah muda. Namun, keduanya dijamin hidup bahagia." Ujar Reni penuh harap akan bernasib baik seperti kedua sahabatnya.
"Iya ya, kita mesti harus bersabar deh." Jawabnya, kemudian keduanya bergegas untuk segera pulang.
Kini, akhirnya Devia telah merasa lega. Ketika dirinya tidak lagi berada di gedung sekolahan, semua beban dan penat yang bersemayam di kepalanya pun tidak lagi ia rasakan.
Usai memakan waktu yang cukup lama dalam perjalanan, Devia dan calon suami telah berada dibibir pantai sambil menyaksikan ombak yang menghantam bebatuan hingga pecah.
"Aku bebaaaaaaaaaas!!!!" teriak Devia dengan plong. Calon suaminya segera mendekatinya, kemudian memeluknya dari belakang.
"Aku sudah tidak sabar untuk menanti hari bahagia kita, persiapkan waktumu untukku seorang." Bisik Alex dari belakang, tanpa disadari jika keduanya tengah diperhatikan banyak orang.
Tidak jauh dari pandangan Alex dan Devia, ada seseorang yang tengah melihatnya walaupun hanya sekilas.
"Cih! masih ada aja yang berani bermesraan dimuka umum, memalukan. Dasar bocah masih bau kencur mudah di kibulin sama lelaki buaya."
"Memalukan, kata Tuan? apanya yang memalukan, Tuan?"
"Cih! apa kedua mata kamu itu rabun, hah! sampai sampai kamu tidak bisa melihatnya dengan jernih."
Sepasang matanya akhirnya menyelidik disekitarnya. Dan benar saja, kedua matanya melihat jelas pemandangan yang sangat menggodanya.
"Nih! dibersihin dulu air ences kamu, lihat orang ciuman aja sudah basah begini. Makanya, buruan nikah." Ucapnya dan pergi begitu saja.
"Tuan! tunggu, Tuan." Dengan langkahnya
sedikit berlari mengejar majikannya, segera ia mensejajarkan dengan langkah kakinya.
"Ada apa? hem!"
"Bukankah tadi tuan Alex?"
"Bukan urusanku! aku tidak mempunyai banyak waktu untuk menangkap bayangan seseorang, itu tugas kamu." Jawabnya dan langsung pergi begitu saja.
"Tuan! tunggu, Tuan."
"Ada apa? hem!"
"Mobil kita ada disana, Tuan. Anda salah mobil, maaf." Sedikit gemetar saat menatap kudua mata Tuannya dengan sorot matanya yang mendadak setajam mata elang.
"Dasar bo*doh! jadi sekretaris saja tidak berguna." Ucapnya dengan kekesalannya.
'Kalaupun aku bo*doh, lebih bo*dohnya lagi Tuan sendiri. Kenapa juga mempertahankan diriku ini untuk dijadikan sekretarisnya. Memilih sekretaris aja tidak becus, apa tidak bo*doh itu namanya.' Batin sekretaris Vega yang semakin pusing memikirkan Tuannya sendiri.
"Besok kita ada acara apa lagi di kota ini?"
"Kita akan ada pertemuan dengan perusahan cabang baru milik Herlambang, Tuan. Tempatnya di hotel ternama, yakni milik keluarga tuan Alex Herlambang."
"Hotel ternama kata kamu, Veg!" Menyorotkan matanya dengan tajam.
"Maksud saya hotel ternama setelah milik tuan Jerry Canderkey, Tuan." Jawabnya setengah menunduk.
'Puas! puas! puas! amit amit jabang kakek nenekmu, punya Bos kadang butuh sanjungan yang kelewat kebangetan, cih. Umur udah tuwir juga, haduh! tobat, Bos .. tobat. Mending juga buat cari calon istri, ketimbang suka cari sensasi.' Batinnya berdecak kesal.
"Awas! kalau sampai kamu masih menyanjung keluarga Herlambang! aku tidak segan segan mengirimkan kamu ke benua Antartika." Ancam Jerry sambil berjalan dengan langkah kakinya yang lebar.
'Sensitif amat sih Bos, satu misi yang sama dengan tuan Alex. Satu Duda, satu perjaka. Itupun masih terbalik, dunia mereka sama.' Batinnya dengan penuh keheranan.
Setelah berada didalam mobil, Vega terus melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Tuan, kita mau kemana lagi?" tanya Vega sambil fokus dengan setir mobilnya dan fokus dengan pandangannya lurus kedepan.
"Ke Hotel." Jawabnya singkat, padat, dan sangat jelas.
"Apakah tuan membutuhkan teman?" tanyanya alih alih menggoda tuannya.
"Boleh, yang masih bening." Jawabnya asal sambil menatap lurus kedepan dengan kedua tangannya menyilang didada bidangnya.
'Yang benar saja, Tuan Jerry memesan yang masih bening. Maksudnya apa coba? apakah yang dimaksudkannya itu yang masih pera*wan? atau .. yang mulus kulitnya? bahe*nol? yang menggoda? aah! sialan. Jika aku tanya lagi, pasti gajiku dipotong 45%. sial! sial! aku harus memikirkannya sendiri, Bos macam apa dia ini.' Batinnya seakan memakan senjatanya sendiri.
"Kamu kenapa, Veg? sakit?" tanya Jerry penuh keheranan saat melihat sekretarisnya mendadak aneh.
"Tidak ada apa apa kok, Tuan. Saya hanya tidak enak badan, itu saja." Jawabnya beralasan.
'Semoga saja, aku bisa lari dari kenyataan." Batinnya terus berharap.
"Oo! maksud kamu, kamu sakit? ya sudah kamu ikut tinggal di hotel saja."
"Tidak perlu, Tuan. Saya bisa pulang sendiri, serius."
"Terserah kamu saja, yang terpenting jangan paksakan diri kamu untuk bekerja jika kamu sedang sakit."
"Baik Tuan, saya mengerti." Jawabnya merasa lega.
"Tapi, Tuan ... bagaimana dengan pesanan Tuan yang bening bening itu?" tanya Vega sedikit takut.
"Tidak jadi, bukannya kamu sedang sakit?" balik bertanya.
"Memangnya yang bening bening itu apaan sih, Tuan?" tanya Vega memberanikan diri.
"Hem! tidak penting, sudah cepetan ditambah kecepatannya. Aku sudah capek, aku ingin istirahat." Jawabnya dengan malas.
Setelah memakan waktu yang tidak lama, kini Jerry telah sampai di Hotel yang sudah terkenal akan fasilitas dan kenyamannya, yaitu hotel Canderkey. Hotel yang dibangun susah payah dengan jerih payahnya selama ia menggantikan posisi ayahnya.
Setelah berada didalam kamar miliknya, Jerry langsung menjatuhkan tubuhnya diatas tempat tidur.
BRUGGG!!
Jerry langsung berbaring terlentang diatas ranjang dan menatap langit langit kamarnya dengan sejuta lamunanannya.
"Akhirnya! aku bisa merebahkan badanku, sungguh! pekerjaan yang sangat menguras pikiranku." Ucapnya, kemudian membuang nafasnya dengan kasar.
Sedangkan sekretaris Vega memilih untuk menikmati istirahatnya di lain kamar hotel, tepatnya tidak dalam satu ruangan dengan majikannya.
"Akhirnya! aku bisa bernafas lega, huh! untung saja, aku tidak mendapatkan tugas tambahan.
BRAK!!!
Tuan Jerry membuka pintunya kasar. "Astaga!! Tuan!" Vega langsung bangkit dari posisinya.
'Baru aja ngulur napas, ini udah seperti ditarik ulur lagi. Benar benar Bos gila, datang aja udah kek jelangking aja. Datang tidak dijemput, pulangnya pun sendirian. Itupun kalau ingatannya lagi normal. Kalau oleng... aja! dah kek bayi kawak. Hem! sepertinya Tuan Jerry butuh kencan privat.' Batin sekretaris Vega penuh kata kata.
"Temani aku makan malam, cepetan! Veg, ayo keluar." Perintahnya tanpa basa basi.
"I -- iii --- iya! Tuan." Jawabnya dengan reflek.
'Udah kek jin iprit aja ini orang, baru aja mau mimpi indah, gagal lagi gagal lagi. Bos aneh! entahlah.' Batin sekretaris Vega berdecak kesal.
"Jalannya di percepat, Veg! aku tidak menyukai sesuatu yang lambat, ngerti! kamu." Bentak dari majikannya, sekretaris Vega hanya mengusap dadanya dengan pelan.
"Bos ini semakin aneh, kerjaannya marah marah terus. Sudah seperti anak muda aja yang lama tidak berkencan.' Gerutu sekretaris Vega sambil mengikuti langkah kaki Tuannya, tanpa disadari jika Tuannya sudah menatapnya dengan tajam. Seketika, sekretaris Vega nyalinya langsung menciut dihadapan Tuannya.
"Kau bilang apa tadi? ayo! bilang." Bentak Jerry pada sekretarisnya.
Meringis lebar, seperti itulah kebiasaan sekretaris Vega jika didapati tengah menggerutu soal majikannya.
Setelah berada ditempat yang dituju, Jerry menatap gedung gedung yang tidak kalahnya menjulang tinggi nan megah dengan hotel miliknya.
Hembusan angin malam, mengingatkan sesuatu pada kenangan silamnya. Iya! kenangan hari bahagianya yang mendadak menjadi sebuah kabar duka untuknya.
Sekretaris Vega yang sudah bertahun tahun berada disamping Tuannya, rasa sedih pun ikut dirasakannya.
"Tuan, alangkah baiknya jika Tuan duduk bersantai sambil menikmati secangkir kopi panas disertai angin sepoi sepoi." Ujar sekretaris Vega membuyarkan lamunan Tuannya.
"Sok tahu, kamu. Bawa kemari kopi panasnya, aku tidak menyukai yang berbau santai. Bisa hilang seleraku, ngerti."
"Ba -- ba --baik, Tuan."
'Ngapain Bos, mikirin perempuan yang jelas jelas sudah jadi penghianat. Segitu cintanya kah, sampai sampai tidak bisa melupakannya.' Batin sekretaris Vega sambil mengambil secangkir kopi panas diatas meja.
"Ini Bos, kopi panasnya."
Glek!
Seketika, secangkir kopi panas telah tandas tanpa sisa. Sekretaris Vega hanya menelan ludahnya kasar, bahkan ia kembali melihat Tuannya tanpa peduli panas ataupun dingin.
'Segitukah menyimpan rasa kekecewaan? hingga pada akhirnya harus menyiksa diri sendiri.' Batinnya penuh rasa kasihan.
"Besok,"
"Iya Tuan, besok kenapa, Tuan?" tanyanya penasaran.
"Carikan istri untukku!"
"Serius, Tuan?" tanyanya seperti mimpi.
"Kamu pikir, aku ini pembohong? hah!"
Sekretaris Vega hanya garuk garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Didalam pikirnya seperti mimpi yang tiba tiba dipaksa bangun.
"Memangnya tipenya seperti apa, Tuan? yang janda, atau yang ..." kalimatnya pun diakhiri dengan senyum yang lebar, alias meringis yang berlebihan.
"Yang mudah aku bohongi!"
"What!!" yang benar saja, Tuan."
"Makanya! buruan menikah, agar kamu tahu ra..." tiba tiba terhenti begitu saja.
"Tidak usah kamu cari istri untukku, tadi aku hanya bercanda. Kalau kamu mau makan, pesan aja. Aku mau tidur, secangkir kopi sudah cukup untukku." Ucapnya, kemudian segera kembali ke kamarnya sendiri.
"Huh! aku kira, tuan Jerry benar benar mau menikah. Ternyata, dia hanya bercanda katanya. Cih! padahal, terlihat jelas jika tuan Jerry ingin segera menikah." Ucapnya lirih, kemudian sekretaris Vega segera menutup kembali pintu kamarnya.
"Antarkan aku pulang sekarang juga!"
"Apa!!" teriaknya dengan reflek.
"Tidak ada yang lucu! ayo, pulang." Perintah Jerry yang tiba tiba balik badan dan masuk ke kamar milik sekretaris Vega.
"I --- iiya! Tuan, bukankah kita akan menginap di Hotel?"
"Tuan Canderkey! sekarang sudah kembali."
"Bab -- baik! Tuan, mari."
'Hem, Tuan Besar sudah kembali rupanya. Pertunjukkan seru nih, antara anak kecebong dan bapak kecebong.' Batin sekretaris Vega dengan girang.
Dalam perjalanan pulang, sekretaris Vega melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Ia memilih untuk tetap bersikap santai dan tenang, meski detak jantung Tuan nya semakin bergemuruh.
'Lihat lah, lihat! Tuanku sudah menyiapkan sejuta ekpresi ketidak nyamanannya didalam mobilnya sendiri. Bahkan, mobil mewahnya kini sudah terasa didalam open, wajah sangar seketika menjadi muka datar yang sulit untuk di Artikan.' Batin sekretaris Vega semakin puas melihat ekspresi Tuannya.
Tidak lama kemudian, mobil mewah yang dinaiki oleh Jerry kini telah tiba berada di halaman rumah besar milik Tuan Canderkey.
Dengan langkah kakinya yang lebar, Jerry berjalan tegak penuh wibawa. Semua yang menyambut kedatangannya menunduk hormat padanya, bahkan tidak ada satupun yang lalai sedikitpun untuk memberi hormat pada Tuannya.
"Kamu, kembali ke asalmu. Jang lupa, besok jemput aku. Karena besok kita akan ada pertemuan dengan pihak Herlambang." Perintah Jerry pada sekretaris Vega. Ia tidak ingin sekretarisnya mengetahui pemilik rumah akan memberi banyak catatan untuk sang pewaris Canderkey.
"Iya Tuan." Jawabnya singkat dan membalikkan badannya, lalu pergi meninggalkan Tuannya.
"Bagus! bagus, sekali. Dari mana saja kamu, bahkan ibumu selalu mengadu jika kamu tidak pernah pulang."
"Lalu, untuk apa aku pulang. Papa aja tidak pernah pulang, 'kan? licik sekali cara Papa mementingkan kekayaan. Mau sampai kapan Papa akan terus terusan seperti ini, mau mengoleksi banyak perempuan?"
PLAK!!!!
Sebuah tamparan keras tengah melayang dipipi milik Jerry, seketika tatapan matanya berubah menjadi bengis.
"Oooh! ini hasilnya dari Luar Negri? hasil dari bule bule jadian? sangat menjijikan." Ucap Jerry dengan tatapan sengitnya.
"Jaga bicara kamu, Jerry!"
"Terus! untuk apa harus menjaga ucapanku."
"Baik! baik, jika kamu menginginkan Papa untuk selalu tinggal di rumah ini. Dalam waktu dekat ini, kamu harus segera menikah. Kalau kamu tidak juga menikah, Papa akan kembali ke Luar Negri." Ancam dari seorang ayah pada putranya, seketika itu juga Jerry tercengang mendengarnya.
Pernyataan yang tidak pernah ia duga, kini ia mendengarkannya langsung.
"Bagaimana? kamu siap menerima tantangan dari Papa? atau ... kamu akan aku jodohkan kembali dengan anak teman Papa, bagaimana?"
"Papa ... jangan paksa putramu untuk menikah, biarkan Jerry memilihnya sendiri." Sahut sang istri yang tiba tiba datang menghampirinya.
Tanpa berucap sepatah katapun, Jerry memilih menghindar dari kedua orang tuanya. Kemudian, ia langsung menapaki anak tangga dan masuk ke kamarnya.
BRAK!!! suara pintu tengah mengagetkan kedua orang tuanya yang masih pada posisi semula.
"Lihat lah! Jerry tidak pernah berubah sikapnya, benar benar anak tidak tahu diri." Ucap seorang ayah yang terus menggerutu.
Di kediaman rumah orang tua Devia, kini gadis remaja itu tengah sibuk mempersiapkan diri untuk menghadiri ke acara pesta pernikahan sahabatnya.
Sambil berdiri dan bercermin, Devia tengah dihanyutkan dengan lamunannya akan tentang pernikahannya yang tinggal menghitung beberapa hari lagi. Bahkan tidak ada satu bulan lagi, pernikahan Alex Herlambang dan Deviazta akan disakralkan dalam waktu dekat ini.
"Kira kira apa ya komentar netizen nanti, jika aku menikah dengan lelaki yang usianya begitu jauh jarak diantara kami. Aku yang berusia 18 tahun, sedangkan kak Alex sendiri sudah berusia 30 tahun. Benar benar sangat jauh jarak usia diantara kami berdua. Mau bagaimana lagi, kita berdua sama menyukainya. Entahlah, kak Alex begitu nyaman untukku." Ucap Via sambil menatap bayangannya pada cermin dan tersenyum lebar.
"Via, ayo kita sarapan. Ngapain kamu senyum senyum begitu, apakah kamu tengah mendapatkan kejutan?" tanya sang ayah yang tiba tiba sudah berada didekat putrinya.
"Palingan juga sedang melamunkan kak Alex, Pa." Sahut sang kakak tirinya yang kebetulan lewat didepan kamar Devia.
"Apa apaain sih Papa! ngagetin Via aja deh, Via tidak hanya mendapatkan kejutan saja. Tetapi Via telah mendapatkan kebahagiaan." Jawab Via dan tersenyum pada sang ayah.
"Dan buat kak Nia, semoga segera menyusul." Ucap Devia pada kakaknya, Nia pun tidak menghiraukannya dan segera pergi dari ambang pintu.
"Ya sudah, ayo kita sarapan pagi. Bukankah hari ini kamu ada acara pesta pernikahan sahabatmu si Yuna?"
"Iya Pa, kebetulan juga kak Alex mau menemani Via. Jadi Via tidak sendirian seperti patung hidup, Pa." Jawab Devia dan tersenyum.
"Kamu sangat beruntung mendapatkan Alex, meski usianya terpaut jauh denganmu. Tapi Alex adalah sosok laki laki yang bertanggung jawab, semoga perjodohan dari Papa dan tuan Herlambang membuahkan hasil kebahagiaan untuk kalian berdua." Ucap sang ayah penuh harap.
"Iya Pa, semoga kak Alex benar benar tulus mencintai Via." Jawab Via yang juga penuh harap.
Karena tidak ingin membuang buang waktunya, Via bersama sang ayah segera keluar dari kamar dan menuju meja makan.
Sampainya di ruang makan, Via mulai mengambil sarapan paginya dan menikmatinya bersama keluarganya.
Usai sarapan pagi, tiba tiba wajah Via terlihat murung dan tidak bersemangat. Pikirannya kembali tidak lagi tenang, seakan akan hidupnya terasa tercekik dan sulit untuk bernapas.
"Via, kamu kenapa?" tanya sang ayah penasaran ketika melihat ekspresi putrinya tidak seperti sebelum sarapan pagi.
Via hanya menggelengkan kepalanya, badannya terasa ngilu dan juga terasa pening dibagian kepalanya.
"Via, ayo katakan saja pada Papa. Kamu kenapa, Vi?" desak sang ayah dengan perasaan khawatir.
"Via kangen Mama, Pa. Sebentar lagi Via menikah, tapi ..." jawabnya mendadak terhenti.
"Via, bukankah masih ada Papa dan Mama Melly yang bisa menemanimu di hari pernikahan kamu?"
"Tidak tahu kenapa, Via sangat merindukan Mama. Walaupun Via hanya membayangkan kehadiran Mama, tapi rasa itu belum membuat Via merasa Puas."
"Via sayang, kehidupan kita berbeda dengan Mama kamu. Kita hanya bisa mengirim doa untuk Mama, kamu jangan pernah menyerah. Masa depan kamu masih panjang, kamu masih ada Papa, Mama Melly, dan juga Kak Niara." Ucap sang ayah untuk menenangkan putrinya.
"Iya Pa, kalau begitu Devia mau bersiap siap dulu. Takut jika kak Alex sudah datang, Via tidak ingin membuat kak Alex menunggu lama." Jawabnya, kemudian ia segera kembali ke kamarnya.
Sedangkan di kediaman keluarga Canderkey tengah menikmati sarapan paginya. Hening! tentu saja hening, satupun tidak ada yang berani berucap sepatah katapun. Semua fokus dengan porsinya masing masing, begitu juga dengan Jerry yang sedikitpun tidak bersuara sampai sarapan paginya selesai.
"Jerry."
"Hem."
"Jerry!!
"Hem!
BRAK!!!
Seketika sang ayah menggebrak sebuah meja dengan tenaganya yang cukup kuat, kemudian bangkit dari posisi duduknya.
Jerry mendadak kaget dan menatap sang ayah yang tengah menyorotkan matanya dengan tajam padanya, justru Jerry hanya tersenyum menyeringai pada ayahnya sendiri.
"Keterlaluan kamu, Jerry! mau sampai kapan sikap angkuhmu itu terus bersemayam di otakmu." Bentak sang ayah yang sudah mulai geram, bahkan rahangnya pun ikut mengeras.
"Sikap angkuh! Papa bilang, tanya sendiri saja pada diri Papa itu. Dimana letak sikap angkuh Jerry itu, Pa. Jerry berangkat, hari ini Jerry ada pertemuan dengan tuan Herlambang di Hotelnya." Jawab Jerry berdengus kesal dan tanpa permisi Jerry slonong begitu saja didepan ayahnya.
Dengan kuat, pria yang tidak lagi muda mengepalkan kedua tangannya. Tidak hanya itu, rahangnya seketika mengeras dan semua giginya menggeletuk saling bergesekan. Nafasnya pun berat, bahkan didalam dadanya terasa panas dan menyengat hingga menusuk sampai ke hulu hatinya.
"Andai saja, kamu bukan lah pewaris tunggal. Maka, aku sudah mengusirnya jauh dari keluarga Canderkey." Ucapnya berdengus kesal.
"Sudahlah, ada saatnya Jerry akan menyerah. Biarkan anak itu melanglang buana dengan sesuka hatinya, kalaupun sudah menyerah juga bakalan tertunduk patuh padamu." Sahut sang istri mencoba menenangkan suaminya.
"Aku ada urusan, Jika Jerry menanyakan tentangku, katakan saja aku sedang tidak ingin bertemu siapapun termasuk dirinya." Terangnya memberi pesan pada istrinya.
"Iya, kamu tenang saja." Jawabnya, kemudian keduanya kembali ke kamar dan melakukan aktivitasnya masing masing.
Didalam perjalanan menuju Hotel milik Herlambang, Jerry menyempatkan dirinya membuka ponselnya dan mengecek kiranya ada pesan penting yang masuk ke nomor ponselnya.
'Tumben tumbennya Tuan Jerry tidak bersuara, mungkinkah dia sudah dilahap oleh bapak kecebong?' batin sekretaris Vega sambil senyum senyum tidak jelas.
"Ngapain kamu Veg, senyum senyum seperti kurang kewarasan saja kamu."
"Itu, itu Tuan. Tadi disebrang jalan ada gadis cantik, sayangnya aku terlalu fokus menyetir." Jawabnya penuh beralasan.
"Hem! terserah kamu." Jawabnya datar, karena tidak ingin banyak berdialog dengan Tuannya. Sekretaris Vega memilih untuk menambah kecepatannya, agar segera sampai di tempat tujuannya yaitu Hotel milik keluarga Herlambang.
Sedangkan kondisi dalam Hotel milik Herlambang sangatlah ramai, dikarenakan diadakannya sebuah pesta pernikahan yang cukup mewah untuk kalangan orang berada.
Dilain sisi, Devia tengah sibuk dengan penampilannya. Berkali kali ia mencoba pakaian yang dibelikan calon suaminya satu persatu, namun ia merasa risih dengan penampilannya sendiri.
Karena tidak ada pilihan yang lain, Devia akhirnya memilih salah satu pakaian yang menurutnya tidak begitu mencolok. Usai sudah bersiap diri dan tidak ada yang kurang, Devia segera keluar dari kamarnya dengan membawa tas kecil dan cukup unik untuk usia Devia.
"Tara ... bagaimana dengan penampilanku." Ucap Devia sambil berputar dihadapan calon suaminya yang tengah duduk diruang tamu bersama sang ayah Devia.
Keduanya pun mendadak tercengang tidak percaya, ketika melihat penampilan Devia yang terlihat begitu sangat cantik dan anggun.
"Kok pada diam sih, bagaimana dengan penampilanku? jelek ya! baiklah, aku mau mengganti pakaianku." Ucap Devia dengan muka masamnya. Seketika, Alex meraih tangan milik Devia.
"Kamu tidak perlu merubah pakaianmu, kamu sangat cantik. Bahkan, aku terpesona dengan penampilanmu ini." Jawab Alex memujinya.
"Benarkah? awas ya! kalau sampai bohong." Ucapnya dibuat ketus.
"Yang dikatakan Alex itu, benar adanya. Kamu terlihat sangat cantik, bahkan sangat serasi dengan Alex." Sahut sang ayah ikut menimpali, Devia tersenyum mendengarnya.
"Kalau begitu, ayo kita berangkat. Nanti kita bisa terlambat loh, jugaan aku ada pertemuan di Hotel yang dimana sahabatmu tengah mengadakan pesta pernikahannya." Ajak Alex, kemudian segera berpamitan kepada orang tua Devia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!