“Pagi yang cerah, namun tidak secerah kehidupanku,” gumamku sambil bangun dari tempat tidur lalu menghampiri cermin yang menggantung di dinding.
“Haaa … seperti biasanya, hari ini kau juga terlihat suram,” ucapku pada diriku di cermin. Aku menatap pantulan diriku dengan waktu yang cukup lama. Aku kemudian memainkan mimik wajahku, sampai akhirnya mimik wajah yang kutunjukkan berbeda dengan apa yang ada di pantulan cermin.
“Hihihi … kau bersenang-senang?” tanya bayanganku di cermin itu.
Mendengar hal itu, sontak membuatku terkejut dan menjauh. Tak lama setelahnya, perlahan keluar tangan berkuku panjang dari cermin lalu merayap pada tubuhku hingga akhirnya berhenti di leherku dan mencekikku dengan kuat.
“Kemarilah, Gadis Manis,” ucapnya sambil menarikku dengan tangannya. Jarinya dengan pelan menggaruk-garuk lalu menusuk leherku, membuat baju tidurku mulai berlumuran darah.
Aku kesakitan dan meronta-ronta, tetapi kekuatannya jauh lebih besar daripada kekuatanku. Kini, aku tepat berada di depan cermin itu, makin dekat dan sangat dekat! Rasanya mengerikan melihat pantulan wajahmu sendiri yang seakan-akan ingin melahapmu.
Dia kini menjulurkan lidah dan menjilati darah yang bercucuran di tubuhku. Sakit, sangat sakit. Namun, apa daya, aku hanya bisa pasrah dan berharap dia tidak memakanku.
Aneh sekali jika aku memakan diriku sendiri, pikirku sembari menggelengkan kepala, berharap ini hanya mimpi semata.
Namun, dia membuka mulutnya hingga seukuran cermin dan mendekatkanku ke mulutnya.
“Tidak! Jangan makan aku!” teriakku sambil berusaha meloloskan diri.
Perlahan, aku makin didorong oleh tangan berkuku tajamnya untuk masuk ke dalam cermin yang anehnya mulai berbau busuk. Tubuhku perlahan masuk, mulai dari kepala hingga kaki, sampai akhirnya tubuhku sepenuhnya berada di dalam cermin. Gelap, sangat gelap. Aku tidak bisa melihat apa pun.
Aku berjalan sesuai naluriku. Setiap melangkahkan kaki, rasanya aku seperti akan jatuh ke dalam jurang. Namun, tetap dalam keadaan berdiri, aku melanjutkan langkahku, meskipun terjatuh berkali-kali. Sampai akhirnya, terlihat setitik cahaya tepat berada di depanku.
Aku berlari sekuat tenaga. Namun, rasanya aku seperti tidak menjauh sesenti pun dari tempatku. Cahaya itu malah terasa menjauh dariku. Perlahan kurasakan tangan yang kasar meraba-raba tubuhku.
“Lucu sekali kau berlari di tempat seperti ini,” bisiknya di telingaku, membuat bulu kudukku berdiri.
“Siapa kau?!” teriakku.
Loh? Suaraku kok hilang? tanyaku dalam hati.
Aku berteriak sekeras mungkin, tetapi tidak ada suara yang terdengar keluar dari mulutku.
“Hihihi … hihihi … hihihi ….” Dia tertawa di sekitar telingaku.
Aku tidak melihatnya, tetapi aku merasa dia tepat berada di dekatku.
“Kau bisa ke titik terang itu, asal pinjamkan aku jantungmu,” bisiknya lagi ke telingaku.
Aku menghiraukan dan hendak melanjutkan perjalananku, tetapi apa ini? Tubuhku tidak bisa bergerak.
“Apa-apaan ini!” ucapku walau suaraku tetap tidak keluar dan hanya terlihat bak orang komat-kamit
“Kenapa, Gadis Manis? Kau kehilangan suaramu?” tanyanya masih sambil berbisik. “Hihihi … tentu saja! Karena pita suaramu sudah kutelan.” Tawanya seakan-akan membuat telingaku pecah.
Aku memeriksa keadaan leherku dan sialnya terasa ada yang bolong di leherku. Aku pun mulai merasa lemas dan terduduk.
“Benar, kan, Gadis Manis? Pita suaramu hilang, jadi … biarkan aku mengambil jantungmu juga,” bisiknya lagi.
Perlahan tangan-tangan kasar itu kembali menggerayangiku. Kuku jarinya begitu tajam. Saat disentuhnya, seakan-akan tubuhku telah disayat oleh pisau.
Aku menangis dan memberontak sekuat tenaga, berpikir kenapa hidupku malang sekali. Andai aku tidak becermin pagi itu, andai aku langsung mandi dan pergi ke sekolah, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Aku menangis hingga tubuhku terasa lemas tak berdaya.
Aku pun memejamkan mata sembari terus menangis sampai akhirnya terasa seseorang menepuk-nepuk pipiku sambil berkata, “Bangunlah!”
Aku membuka mataku secara perlahan dan terlihat ruangan yang sangat kukenali. Aku kemudian bangun dan melihat sekelilingku.
“Ah, jadi tadi cuma mimpi,” ucapku sambil tertawa karena gembira hal itu ternyata tidak nyata.
“Apanya yang cuma mimpi? Hal itu akan terjadi sebentar lagi,” bisik seseorang ke telingaku.
Mendengar hal itu, sontak membuatku terkejut dan menjauh turun dari ranjang.
“Kenapa kau turun? Kini kau tepat berada di depan cermin,” bisiknya lagi.
Sialnya, benar saja, aku tepat berada di depan cermin itu!
Ah, mimik wajah itu lagi. Perlahan tangan berkuku tajam keluar dan menghampiri tubuhku, seperti kejadian di dalam mimpiku.
“Tolong aku!” pintaku.
“Boleh saja, asal kau harus jadi temanku,” bisiknya.
“Iya! Iya! Aku akan jadi temanmu.” Tanpa berpikir panjang, aku segera menyetujui. Bodoh amat apa yang akan terjadi selanjutnya, yang penting sekarang aku selamat.
Setelah menyetujuinya, perlahan tangan yang keluar dari cermin itu memutar, seakan-akan ada yang memerasnya kemudian meledak bak petasan, membuat kamarku berceceran darah.
“Bukalah lemari pakaianmu, aku ada di sana,” bisiknya.
.
.
.
.
.
.
Bersambung
Aku menurut dan membuka lemariku. Terlihat sesosok anak kecil yang menyerupaiku. Dia berjalan ke luar dari lemari lalu menghampiriku.
“Hai, Lia!” sapanya kepadaku.
“Oh, hai,” balasku.
Apa dia hantu? Tapi kenapa rupanya seperti manusia, ya … walau sedikit pucat, batinku.
“Jadi, apakah kau mau jadi temanku?” tanyanya sambil naik ke atas ranjangku.
“Eh, yah!” jawabku spontan. “T-tapi aku harus membersihkan semua darah ini.
Aku lantas mengambil lap dan membasahinya dengan air lalu membersihkan semua darah yang berceceran di dalam kamar kosku.
“Apa kau akan berangkat sekolah?” tanyanya.
“Tentu saja! Aku harus menyelesaikan sekolahku,” jawabku sambil menyimpan lap dan bergegas mandi lalu berangkat sekolah.
***
Di perjalanan menuju sekolah, sesekali aku berpikir, kenapa orang-orang selalu menabrak bahuku? Apakah mereka membenciku, sama seperti Sena?
“Hei, kenapa kau pergi terburu-buru meninggalkanku di kosanmu yang bau itu?” ucap gadis kecil yang tidak lain adalah hantu yang kutemui di lemari pagi tadi.
“Bisakah kau turun dari pundakku? Rasanya berat sekali. Dan juga, kenapa kau bisa naik ke sana?” Aku menghentikan langkah.
“Kau lupa? Aku, kan, hantu,” celetuknya seraya turun dari bahuku.
“Ah, aku lupa. Ngomong-ngomong, siapa namamu?” tanyaku.
“Aku? Sama sepertimu,” jawabnya.
“Lia? Ini sebuah kebetulan atau kau yang mengarang?” Aku mengejeknya karena kupikir dia hanya hantu kecil yang membutuhkan teman untuk berbicara.
“Namaku beneran Lia, kok,” jawabnya dengan cemberut dan berlari mendahuluiku.
Aku tidak berniat untuk menyusulnya karena sudah kelelahan membersihkan darah tadi pagi. Aku melanjutkan perjalananku sambil kembali berpikir, Kenapa orang-orang tidak merasa heran atau aneh kalau aku tadi bicara sendiri?
Apa mereka juga bisa melihat hantu? Ah, sudahlah, pikirku.
Tidak terasa, aku sudah sampai di sekolah. Suasana kelas seperti biasanya. Aku duduk paling belakang bukan karena keinginanku, melainkan karena perbuatan Sena yang selalu memindahkan kursiku ke belakang.
“Siapa anak itu?” bisik hantu kecil itu.
Mendengar bisikan itu secara tiba-tiba, sontak saja membuatku terkejut.
“Ah! Bisakah kau tidak muncul secara diam-diam? Membuatku kaget saja!” gerutuku memarahinya.
“Hahaha, kau lucu sekali,” ejeknya.
Kelas dimulai seperti biasanya. Namun, aku merasa sangat aneh. Kenapa Sena tidak mem-bully-ku hari ini? Apa dia sudah tobat? Dari awal masuk hingga menjelang pulang, tak ada satu pun gangguan dari Sena dan temannya. Hal ini tentu saja membuatku merasa senang sekaligus heran.
Waktu pulang pun tiba, aku dan Sena kebagian waktu piket yang sama. Kami berdua piket di kelas dengan suasana yang damai.
Ini benar-benar aneh, pikirku. Kini, aku duduk di tepi jendela sambil memperhatikan Sena yang sedang membawa ember berisi air bekas pel.
Dia perlahan berjalan ke araku dan tanpa diduga, air bekas pel itu disiramkannya ke wajahku.
“Aaa … bau sekali!” teriakku.
Sena hanya menatap tajam dan tidak berkata apa pun. Dia langsung melempar ember ke sudut ruangan lalu pergi begitu saja.
Ternyata kelakuan Sena masih seperti biasanya. Dia tidak berubah.
Mungkin, hari ini dia hanya sedikit bad mood, jadi tidak banyak mengerjaiku, pikirku.
Aku pun bergegas pulang.
***
Sesampainya di rumah, aku kembali mengobrol bersama hantu kecil itu.
“Hei, kalau nama kita sama, itu akan sedikit susah kalau aku mau memanggilmu,” ucapku sambil menatap ke arah hantu itu.
“Susah? Kau tinggal panggil saja aku Lia,” celetuknya.
“Yah, maksudnya kalau sama-sama Lia itu rasanya gimana gitu …. Atau kubuatkan nama panggilan untukmu bagaimana?”
“Boleh.”
“Kalau namamu Lia dan kau masih kecil, berarti Lia dua, tapi rasanya kepanjangan. Hm … bagaimana kalau Delia? Ya, Delia! Itu cocok untukmu!” Aku merasa bangga karena memberikan nama panggilan yang bagus untuknya.
“Boleh, cukup bagus. Kalau begitu, aku pergi jalan-jalan dulu.” Dia lalu menghilang begitu saja.
Aku berbaring telentang di atas ranjangku sambil berpikir, Kenapa aku bisa mempunyai seorang teman? Ya … walaupun dia adalah hantu. Memikirkannya saja membuatku ingin tertawa.
Rasa kantuk kini menyerangku. Aku perlahan menutup mataku. Tak lama setelah menutup mata, aku merasa hawa di kamarku seketika berubah menjadi dingin dan membuat bulu kudukku berdiri. Karena merasa ada yang tidak beres, aku kembali membuka mataku.
Benar saja, terdapat makhluk mengerikan di atas tubuhku. Jaraknya sangat dekat sekali sehingga aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Matanya merah padam, wajahnya juga rusak sekali, seakan-akan terlindas oleh sesuatu juga berlumuran darah, dan tentu saja darahnya itu menetes tepat ke wajahku, ditambah oleh rambut acak-acakannya yang tergerai jatuh menyatu dengan rambutku.
Aku sangat takut sekarang hingga aku ingin menutup mataku. Namun, makhluk itu menahan mataku agar terbuka dengan jari berkuku panjang dan kotornya itu. Aku ingin berteriak, tetapi dia membungkam mulutku dengan tangan yang satunya lagi. Aku ingin bangun dan pergi, tetapi tubuhku tidak bisa bergerak bak orang ketindihan.
Cukup lama aku menyaksikan wajah mengerikan itu. Terkadang dia memainkan kukunya hingga membuat dahiku tergores dan berdarah. Aku hanya menangis karena tidak bisa melawan. Kenapa kejadian seperti ini terjadi lagi kepadaku?
“Lepaskan! Dia setan burik!” tegas Delia yang tiba-tiba datang entah dari mana.
“Kkkrrrkkk geeekkk,” ucap hantu itu dan tentu saja aku tidak mengerti.
Hantu itu turun dari tubuhku. Tubuhnya mengeluarkan suara seperti tulang yang patah di setiap gerakannya.
“Pergi! Ini wilayahku!” bentak Delia.
“D-Delia, j-jangan melawannya! K-kau masih kecil,” ucapku terbata-bata sambil berusaha bangun dari ranjangku.
Hantu itu terus berjalan mendekati Delia.
“Berani sekali kau mendekat!” ucap Delia lagi. “Akan kuhancurkan kau!”
Tanpa sentuhan secuil pun, hantu itu langsung meledak bak petasan, sama seperti tangan yang muncul dari dalam cermin pagi tadi.
Kini, ruanganku berbau benda terbakar. Hantu itu meledak, tetapi anehnya tidak mengeluarkan darah. Ya, baguslah, aku tidak perlu bersusah payah membersihkan sisa-sisanya.
Aku menghampiri Delia dan bertanya, “Apa itu tadi? Kau hebat sekali!”
“Hah! Aku bisa meledakkan hantu tanpa menyentuhnya,” ucapnya dengan memasang wajah sombong.
“Tapi kenapa hantu tadi tidak menyemburkan darah?”
.
.
.
.
.
Bersambung
“Dia tidak menyemburkan darah karena tidak bersentuhan dengan makhluk apa pun,” jelas Delia seraya berjalan menuju ranjang.
“Bersentuhan?”
“Iya, kalau hantu yang kuledakkan bersentuhan dengan manusia, hewan, ataupun hantu yang lainnya, dia akan menyemburkan darah.”
“Kenapa bisa begitu? Tapi tadi dia membungkam mulutku.” Aku menghampiri dan duduk di sampingnya.
“Mana kutahu, kau tanya saja pada hantu tadi,” balasnya memasang wajah tidak peduli.
Aku sedikit kesal karena sikap Delia yang menyebalkan.
Kami terdiam beberapa menit dan rasa kantuk kini menyerangku lagi. Aku terlalu takut untuk memejamkan mataku, takut kejadian seperti itu menimpaku lagi. Dengan sekuat tenaga, kutahan rasa kantuk. Namun, apa daya, angin sepoi-sepoi yang masuk lewat jendela membuat kesadaranku hilang dan akhirnya aku pun tertidur.
...***...
Pagi hari pun tiba. Hari ini dan dua minggu ke depan adalah liburan semester. Hal yang sangat kunanti-nanti adalah kelulusanku yang tepat berada di depan mata.
Aku menghabiskan waktu liburan hanya berdiam diri di kamar kos dan sesekali keluar untuk berjalan-jalan.
“Badanku lengket sekali, mandi dululah, ya,” gumamku sambil mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.
Aku mandi dengan santai dan rasanya segar sekali. Aku pun mengambil sampo sekalian mencuci rambutku yang mulai lepek dan kusam. Kupejamkan mata karena takut sampo akan mengalir dan masuk ke dalam mataku hingga membuat mataku pedih.
Tiba-tiba … lampu kamar mandi mati.
Oh, tidak! Hawa itu lagi!
Hawa di sekitarku seketika menjadi dingin, sama seperti saat ada hantu di atas tubuhku kemarin. Aku mencoba untuk berpikir positif, siapa tahu kalau itu hanya angin yang menerpa tubuhku. Namun, aku tidak bisa berhenti membayangkan hal yang menakutkan.
Aku komat-kamit membaca ayat-ayat suci sebisaku dan membuka mataku secara perlahan. Untungnya tidak ada apa-apa di depanku. Aku menghela napas lega.
Jadi, hawa dingin apa ini? pikirku.
“Dasar angin suka nge-prank!” gerutuku.
Aku membalikkan badanku dengan maksud akan menyalakan keran, tetapi … tepat di hadapanku terdapat sesosok makhluk yang tembus dari dalam tembok, menatapku dengan wajah tersenyum yang sangat lebar, bahkan senyumannya hampir menyentuh telinganya. Matanya yang merah bercampur darah menatap tajam ke arahku. Dia menggertakkan giginya yang tajam bak gergaji, seakan-akan siap untuk mengoyak-ngoyak badanku.
Tidak! Tubuhku mematung lagi! Kenapa di saat seperti ini tubuhku sangat sulit untuk digerakkan? Aku ingin berlari, tetapi tubuhku benar-benar tidak bisa bergerak menjauh satu senti pun.
Makhluk itu mengeluarkan tangannya yang kurus. Terlihat tulang jari-jarinya yang bengkok dan berliku-liku itu akan menyentuhku. Tangannya bergerak menuju kepalaku dan dia memainkan rambutku seperti sedang mengeramasiku. Perlahan dia mengambil busa yang ada di rambutku dan mengusapkannya tepat ke kedua mataku.
Periiih! jeritku dalam hati. Aaa … aku sangat ingin membasuhnya.
“Kau menangis …,” ucap makhluk menyeramkan itu sambil tersenyum.
Dia lantas meniup kedua mataku. Bukannya membuat mataku membaik, tiupannya malah membuat mataku seperti terbakar!
Cukup lama aku merasakan hal ini, sampai akhirnya ada sepasang tangan yang menarik kepala makhluk itu dari balik tembok. Makhluk itu mengerang kesakitan dan seketika meledak.
Aku kini bisa bergerak kembali, tetapi siapa tadi? Apakah itu Delia?
“Delia? Apa itu kau?” teriakku sambil mendekatkan telinga ke tembok.
“Iya,” jawabnya, terdengar dari belakang tubuhku.
Aku berbalik dan benar saja, Delia berada di dalam kamar mandiku.
“D-Delia, b-bagaimana k-kau bisa masuk?” tanyaku terbata-bata
“Menembus tembok,” jawabnya. “Kau tidak usah malu. Lagian, tidak ada untungnya bagiku. Kau cepat selesaikan mandimu dan keluar, kita jalan-jalan.”
.
.
.
.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!