"Ibu, Ayah, aku ingin ikut kalian. Kenapa kalian tega meninggalkanku." Tangis pilu gadis kecil berusia sepuluh tahun itu, menyisakan sesak di dada bagi siapa pun yang melihatnya.
Anastasya meraung dan sesekali menggaruk kedua gundukan tanah merah bernisankan nama kedua orang tuanya.
"Kenapa ibu dan ayah tega meninggalkanku. Apa aku nakal, dan tidak penurut hingga ayah dan ibu memilih pergi tak membawaku."
Gadis itu kini menatap kearah Ayu, bibinya.
"Bibi, ayo katakan pada Ibu jika aku akan berubah menjadi anak yang baik." rengek Anastasya menarik ujung lengan pakaian Ayu cukup keras. Tetapi sang bibi hanya diam, dengan menahan tangis.
Gadis itu pun kini berpindah pada sang paman.
"Ayo paman, katakan pada Ayah jika aku akan berubah menjadi anak yang penurut. Ayo katakan paman." Setengah berteriak, Anastasya nyaris frustrasi dan menjambak surainya sebab sang paman pun tak menjawab ucapnya barang sekata pun. Semua pelayat hanya diam. Yang ada hanyalah isak tangis beserta rintik hujan yang mengiring pemakaman kedua orang tua Anastasya.
"Kenapa paman dan bibi hanya diam? Kenapa kalian tidak bisa membujuk ayah dan ibuku untuk bangun lagi?" Anastasya kembali meraung, dia memukul dada sang paman dan menangis di sana. Hati pria itu pun serasa hancur.
Sebenarnya Anastasya sudah cukup tau dengan apa yang sudah terjadi. Hanya saja, fikirnya seolah menolak dan enggan menerima kematian kedua orang tuanya.
Ali mendekap tubuh sang keponakan erat. Membiarkan gadis kecil itu menumpahkan rasa sesak. Satu persatu pelayat memilih undur diri. Hingga menyisakan mereka bertiga yang masih bergelung akan rasa duka.
Ali sendiri tak menyangka jika angkot yang membawa kedua kakaknya itu harus mengalami kecelakaan yang memakan korban jiwa. Dan parahnya, kedua kakaknya turut menjadi korban dalam kejadiaan naas tersebut.
Semua tak mampu dicegah. Sama halnya dengan takdir yang tak mampu diubah. Semua sudah atas izin sang maha kuasa. Tanpa mampu ditolak.
Ali mengendurkan dekapan. Ia menarik lembut tubuh Anastasya, guna menjangkau wajah sembabnya.
"Ana, ayo kita pulang," ajak sang paman. "Kau terlihat sangat lelah," sambungnya pria lagi.
Ayu pun mendekat kearah suami dan keponakannya. Mereka masih pasangan pengantin baru yang baru saja menikah beberapa bulan lalu.
"Ayo ana. Kita pulang yuk. Lihat, pakaianmu basah. Kau bisa sakit nanti," bujuk Ayu.
Masih terisak, Anastasya menatap dirinya sendiri. Gamis berwarna putih dengan jilbab warna senada itu terlihat kotor dipenuhi tanah merah yang bercampur dengan air hujan. Tubuhnya pun terasa dingin dan mulai menggigil. Akan tetapi ia menatap kembali kearah makam kedua orang tuanya. Rasanya begitu berat untuk pergi.
"Bibi akan mengantarmu jika besok kau ingin datang kemari." Seolah tau apa yang ada dibenak sang keponakan, lagi-lagi Ayu harus pintar mengolah kata, dan berusaha agar tak menyakiti hati gadis kecil itu.
Ucapan sang bibi, layaknya obat penenang. Anastasya pun mengangguk, kemudian menggandeng tangan sepasang suami istri itu untuk beranjak pergi.
*****
Menatap seluruh ruangan rumah, Anastasya kecil kembali meraung seakan kehilangan akal. Semua sudut rumah seperti mengingatkannya pada kedua orang tua yang sudah tiada.
Ali dan Ayu kembali dibuat kelabakan. Dalam hati kedua insan itu pun ingin jua ikut menjerit. Bukan hanya Anastasya yang kehilangan sosok orang tua, tetapi mereka pun juga kehilangan sosok Kakak sebagai satu-satunya sanak saudara.
Ayu kembali merengkuh tubuh kurus Anastasya dalam pelukan. Membiarkan sang keponakan menangis sepuasnya tanpa berniat mencegah. Ayu tahu benar seperti apa rasanya kehilangan. Terlebih diusia Anastasya yang sangat muda dan masih membutuhkan kasih sayang orang tuanya.
Selepas lelah menangis, rupanya gadis kecil itu terlelap dalam pelukan sang bibi. Ali pun membopong tubuh kurus Anastasya dan memindahkannya keranjang dengan hati-hati.
Dari ambang pintu Ali dan Ayu menatap Anastasya yang terlelap dengan perasaan campur aduk. Kedua orang tua Anastasya sudah tiada, dan artinya merekalah yang akan menggantikan seluruh peran juga tanggung jawab.
Ali menarik lembut tangan sang istri untuk sama-sama duduk di kursi ruang tamu. Keduanya tampak menghela nafas dalam.
"Dek, kau tau jika Kakakku sudah meninggal, dan Anastasya sudah kehilangan kedua orang tuanya."
Ayu pun mengangguk, mendengar ucapan sang suami.
"Apa kau akan menolak jika menganggap dan membesarkan Anastasya seperti anak kandungku sendiri." Ali menatap lekat kearah wajah teduh sang istri. Ia sejujurnya takut, jika wanita itu menolak keinginannya.
Setelah terdiam sesaat, Ayu pun tersenyum tipis lantas mengangguk.
"Aku tidak menolak, mas. Lagi pula, kita adalah keluarga satu-satunya yang Ana miliki."
Ali tersenyum haru, ia menatap kearah gadis yang baru beberapa bulan ini ia nikahi. Bukan hanya wajahnya yang cantik, tetapi juga hatinya.
"Apa kamu benar-benar tak menolak dek, dan akan menganggap Ana seperti anak kita?" tanya Ali meyakinkan.
Ayu pun mengangguk tanpa ragu.
"Iya, benar." Tiba-tiba, Ayu menyentuh perut ratanya. "Dan supaya Ana, bisa menjadi Kakak anak kita nanti," sambung Ayu diselingi senyum tipis.
Ali yang mendengar jawaban sang istri dan juga gerakan tangannya mengusap perut, tak elak membuat hatinya bertanya-tanya.
"Dek, apa maksudmu?"
Ayu tersenyum lebar, hingga menampakkan jajar gigi putih rapinya.
"Aku hamil mas," jawab Ayu dengan wajah berbinar.
Ali terkesiap, hingga beberapa saat senyum haru pun terulas di bibirnya.
"Apa benar itu dek?" Ali menggengam tangan sang istri erat, begitu pun pandangan keduanya yang terkunci.
Lagi, Ayu mengangguk tanpa ragu.
"Iya mas, dan sekarang usianya masih empat minggu."
Mendengar ucapan sang istri, Ali pun mendekap tubuh Ayu tanpa mengucap sepatah kata. Meski dirundung duka, ternyata tuhan juga memberinya kebahagiaan.
Cukup lama sepasang suami istri itu saling mendekap, meluapkan rasa bahagia. Hingga Ali mengingat satu hal, yang membuatnya mengurai dekapan. Wajah pria itu berubah murah, seolah ada fikiran yang mengganjal.
"Mas, ada apa?"
Ali menghela nafas dalam, namun tak merubah raut wajahnya yang masih terlihat muram.
"Dek, selama ini kita masih tinggal mengontrak. Dan Ana masih memiliki rumah ini dari peninggalan kedua orang tuanya. Lalu seperti apa kehidupan kita kedepannya, dek. Apa Ana mau untuk tinggal bersama kita di kontrakan?" Ali nampak ragu.
Begitu pun dengan Ayu, gadis itu menggeleng samar. Tak tahu jalan keluarnya.
"Paman, bibi, bagaimana kalau rumah ini dijual saja."
Suara yang timbul dari arah belakang, membuat pasangan itu terkesiap dan lekas berbalim badan.
Tubuh keduanya menegang saat nampak gadis kecil yang tengah berdiri di ambang pintu kamar dengan penampilan awut-awutan.
Ya tuhan, Ana. Apa sudah sejak lama dia berdiri di tempat itu dan mendengar pembicaraan kami?
Bersambung...
Hai.. Hai..
Ketemu lagi sama otor remahan renginang di sini😆😆😆
Jika ada yang minta buat banyakin partnya Anastasya, Nah disini Raisha bakalan nulis novel yang khusus memuat kehiduan Anastasya dari kecil dan insyaallah sampe jadi emak.
Ga bisa menjanjikan banyak hal. Dan mungkin di novel ini akan slow update, atau ga janjiin buat bisa up tiap hari.
Terimakasih😍😍
Semoga suka, dan jangan lupa tinggalin jejak dan dukungannya biar otor semangat update😘😘😘
Ali merutuki diri, bagaimana bisa ia berbicara tanpa lebih dulu memperhatikan situasi. Anastasya pasti sudah mendengar semua pembicaraanya dengan Ayu. Tetapi apa yang diucap dari bibir keponakannya itulah yang membuatnya terkesiap.
"Ana, kau sudah bangun?" Ayu lekas bangkit dari duduk, tergopoh mendekat kearah Anastasya kemudian mengusap puncak kepala gadis itu penuh sayang. "Kau pasti masih lelah, ayo bibi antar lagi kekamar." Lagi-lagi Ayu coba membujuk Anastasya yang masih tak bergeming di tempatnya. Sejujurnya Ayu takut, jika Anastasya benar-benar mendengar pembicaraanya dengan sang suami.
"Tidak," tolak Anastasya. "Aku ingin di sini saja bersama paman dan bibi."
Wajah Ali dan Ayu berubah pias. Terlebih, gadis kecil itu kini memilih untuk duduk bergabung bersama Ali.
"Ana," Ali kebingungan merangkai kata.
"Paman, seperti kataku tadi. Jual saja rumah ini."
Ali dan Ayu saling pandang. Bagaimana bisa anak sekecil Anastasya bisa berfikir hal demikian.
"Apa maksudmu Ana? Rumah ini milikmu, peninggalan kedua orang tuamu," ucap Ali dengan penuh penekanan. Mengingatkan kembali pada gadis itu agar tak sembarang berbicara.
Seketika Anastasya tertunduk, wajahnya kembali sendu dengan buliran bening yang menitik dari sudut netra.
"Jika Ana tetap tinggal di rumah ini, maka banyang-bayang Ayah dan Ibu akan selalu ada." Anastasya mulai terisak.
Ayu bergerak cepat membawa tubuh kecil Anastasya dalam pelukan. Memberi tatapan tajam kearah sang suami, agar tak lebih dulu membuka suara.
*******
Sempat ragu dan berperang dalam kebimbangan, Ali pun menyetujui permintaan Anastasya dengan menjual rumah milik almarhum sang kakak. Sejujurnya Ali merasa engan dan luar biasa malu, akan tetapi rengekan dari sang keponakanlah yang membuatnya tak berdaya dan akhirnya pasrah.
Rumah dan tanah peninggalan orang tua Anastasya terjual cukup mahal. Sesuai keinginan sang keponakan, Ali membeli sebuah rumah sederhana dan tanah yang terlalu luas di desa sebelah. Setidaknya, dengan berada cukup jauh dari rumahnya terdahulu, akan membuat Anastasya perlahan melupakan rasa sedih dan melanjutkan kembali hidup betsama paman dan juga bibinya.
Ayu kembali mengantar Anastasya kepemakaman. Beberapa jam sebelum mereka menuju desa sebelah untuk pindah.
"Ibu, ayah. Maaf, Ana sudah menjual rumah kita." lirih Ana dipusara kedua orang tuanya.
"Ana tau, Ayah dan ibu pasti kecewa. Tapi Ayah dan ibu jangan khawatir, Ana akan selalu datang kemari untuk mendoakan ibu dan ayah tanpa henti." Senyum di bibir mungilnya terpatri, meski hati teriris perih. Tak ingin berlarut dalam sedih, Ana beranjak bangkit dan menarik sang bibi untuk meninggalkan area pemakaman.
****
Tahun demi tahun berlalu. Anastasya yang masih duduk dibangku sekolah dasar saat ditinggal kedua orang tuanya, kini sudah beranjak dewasa dan hampir menamatkan pendidikannya di sebuah sekolah menengah di kampungnya.
Ali yang memiliki tanggung jawab pada Anastasya, rupanya sengaja menyimpan sebagian besar uang hasil penjualan tanah dan rumah peninggalan kedua orang tua Anastasya untuk biaya pendidikan keponakannya itu sampai sekolah menengah atas.
Meski Ali sendiri hanya seorang petani yang tak memiliki gaji, tetapi dengan segala kerja kerasnya mampu menghidupi Anastasya, Ayu, dan juga keempat buah hatinya yang masih kecil. Si sulung masih berusia tujuh tahun, sementara ketiga putra putri Ali lainnya hanya memiliki jarak usia satu atau dua tahun saja.
Jauh dari kata berkecukupan, Kehidupan Ali beserta keluarga terbilang hanya pas-pasan untuk makan. Selain menanam padi, Ali juga memanfaatkan kebun di samping rumah untuk ditanami palawija dan juga sayur mayur.
Anastasya sendiri tak hanya berpangku tangan melihat sang paman yang banting tulang untuk mencari nafkah. Dengan segala kemampuan yang ia miliki, gadis remaja yang terlihat sangat cantik itu mulai membantu sang paman sebisanya. Mulai dari menanam padi, memaneh, bahkan menjual hasil kebun kepasar.
Sempat beberapa kali Ali dibujuk oleh rekan atau pun tetangganya yang sukses saat memilih untuk merantau, dan mencari pekerjaan diluar selain bertani. Akan tetapi, dengan tegas Ali menolak. Selain tak berkeinginan, Ali merasa tak tega jika harus meninggalkan keluarganya cukup lama. Disamping itu, tentulah Ayu akan sangat kerepotan untuk mengurus keempat anaknya jika ia tinggal.
Akan tetapi, dibalik tak berkeinginannya Ali untuk merantau, tetapi fikiran tersebut justru kini singgah di benak Anastasya.
Bagaimana jika aku pergi merantau? Tetapi apakah paman dan bibi akan mengizinkan?
Anastasya mengayuh sepedanya menyusuri jalanan setapak. Sepulang dari pasar setelah menjual sayur mayur hasil panen di kebun samping rumah, gadis itu terus berfikir akan keinginan yang sudah pasti ditolak mentah-mentah oleh sang paman.
Anastasya menghela nafas dalam. Ia sudah sampai di depan rumah. Kedua keponakan yang sudah cukup besar berlari kearahnya.
"Kak Ana. Apa yang kakak bawa?" tanya putra sulung sang paman dengan netra berbinar. Terlebih bocah itu melihat jika Anastasya menenteng beberapa kantong plastik di tangannya.
Anastasya tersenyum manis. Digiringnya kedua bocah itu untuk masuk kerumah mengikutinya.
"Kak Ana bawa makanan untuk kalian," jawab Anastasya getir, namun berusaha menutupinya.
"Asikk," sorak kedua bocah itu bersamaan.
Anastasya menahan sekuat tenaga bulir bening yang terbendung di sudut netra. Hanya dengan menyebut nama makanan, sudah seperti mendapatkan sebongkah berlian hingga membuat kedua bocah itu senang tak terkira.
"Sekarang duduklah."
Kedua bocah itu pun menurut dan duduk berdampingan dikursi rotan usang.
"Pintar," puji Anastasya.
Dengan tangan gemetar Anastasya membuka kantong plastik berwarna hitam tersebut dan membuka isinya.
"Ini, makanlah. Dan ingat, bagi juga dengan adik-adik."
"Hore." Lagi-lagi sorak kegembiraan dari kedua bocah itu, membuat hati Anastasya teriris perih. Bukan sesuatu mahal atau pun nikmat yang Anastasya bawa. Hanya beberapa jajan sederhana berbahan utama singkong yang dibentuk berbagai rupa. Tak ada taburan keju, atau pun lelehan coklat. Singkong tersebut hanya memiliki rasa asin, dan juga hanya bercampur kelapa parut.
Anastasya memalingkan wajah, dan menggigit bibir kelu. Andai ia bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan sendiri, tentu hidup sang paman akan lebih baik dari pada ini. Dan keponakannya, tidak akan kekurangan makanan dan juga memiliki pakaian yang layak.
"Enak sekali kak," ucap salah satu keponakan.
Enak?
Anastasya hanya mengangguk sebagai jawaban.
Ya tuhan.
*****
Beberapa hari ini wajah Ali tampak muram. Ia menuju tempat penyimpanan padi. Wajahnya tertunduk lesu mendapati padi yang tersisa hanya sedikit. Sedangkan tahun ini padinya terancam gagal panen.
Ya tuhan, apa yang harus hamba lakukan.
Dengan langkah gontai ia mencari keberadaan sang istri di dapur. Pandangannya kini tertuju pada Ayu yang tengah menanak nasi dengan mencampurkan beberapa ubi di atas nasi tersebut.
Lidahnya terasa kaku, tak mampu berucap.
Ayu berbalik badan. Ia pun terkesiap begitu mendapati Ali yang sudah berdiri di belakangnya.
"Mas, kamu kenapa?"
Ali diam, dia hanya menggeleng.
"Katakan. Tidak mungkin tidak apa-apa kalau mas sampai menemuiku."
Ali menghela nafas dalam. Ia bingung merangkai kata.
"Dek, apa persedian beras kita masih banyak?" tanya Ali lirih.
Ayu pun bergerak membuka tong wadah beras. Dan isinya kosong.
"Ini beras terakhir mas, yang aku masak. Agar cukup, aku sengaja memasukan beberapa ubi sebagai campuran."
Ali cukup tau dengan strategi sang istri untuk tetap membuat perut sekeluarga kenyang. Anak-anak dan Anastasya akan memakan nasi. Sementara ia dan sang istri cukup memakan ubi atau pun singkong sebagai pengganjal perut. Dan itu sudah berjalan bertahun-tahun lamanya.
Ali menarik lembut tangan sang istri dan membawanya dalam pelukan. Pria tangguh itu kini terisak. Tak mampu menahan tangis. Bertahun-tahun hidup bersama, ia merasa gagal sebagai seorang suami sebab tak sekali pun ia membahagiakan sang istri. Ia hanya bisa memberikan duka dan juga rasa lapar.
Anastasya tertegun. Ia mundur beberapa langkah dari pintu dapur, dan memilih bersandar pada dinding. Lagi-lagi ia disuguhi pemandangan pilu yang kian menguatkan tekadnya untuk hidup merantau dan mencari pundi-pundi rupiah dari hasil keringatnya.
Bersambung...
Kejadian tempo hari sungguh membuat fikiran Anastasya tak tenang. Keluarganya terancam hidup kelaparan, lalu apakah ia akan memilih diam saja? Entahlah.
Di sekolah pun Anastasya lebih banyak diam, dan menjauh dari teman-temannya. Hanya tinggal menunggu beberapa hari lagi, saat kelulusan diumumkan. Dan itu justru membuat Anastasya diliputi kegalauan.
Anastasya kini memilih duduk di area taman sekolah seorang diri. Entah apa yang sedang gadis itu fikirkan, hingga hal tersebut tak luput dari pandangan kedua gadis yang berada tak jauh darinya.
Rini dan Nina. Kedua gafis yang merupakan sahabat dari Anastasya itu berjalan mendekat. Menghampiri, kemudian duduk diantara gadis tersebut.
"Ana, kau sedang apa? Kenapa akhir-akhir ini kau terkesan menjauhi kami?" Rini mengusah bahu Anastasya lembut. Serta menatap sahabatnya itu lekat.
"Iya, Ana. Ada apa? Ceritakan pada kami." Nina menambahkan.
Anastasya berfikir sejenak sebelum berucap. Ini masalah fatal dalam keluarganya. Di mana menyangkut harga diri sang paman sebagai kepala keluarga, jika diceritakan.
"Em, tidak. Aku hanya sedang memikirkan tentang pekerjaan yang pas setelah kita lulus nanti. Apakah berjualan di pasar, atau buruh penanam padi seperti bibi."
Mendengar jawaban Anaatasya kedua gadis itu pun terdiam. Akan tetapi, beberapa detik kemudian Rini justru terbahak.
"Ya tuhan Ana, yang benar saja kau ingin menjadi buruh penanam padi seperti bibimu. Kau ini masih muda, cantik pula. Apa kau yakin untuk bermain lumpur setiap hari. Kalau aku sih jijik." Rini tampak bergidik ngeri hanya dengan membayangkannya saja. Maklumlah, diantara ketiganya, Rinilah yang paling berada. Ayahnya menjabat sebagai kepala desa, sedangkan ibunya hanya menjadi ibu rumah tangga biasa yang tak harus banting tulang seperti ibu-ibu lain di desanya.
Berbeda dari Rini, Nina justru memberikan pandangan yang berbeda.
"Rini, apa maksudmu. Kita memang hidup di kampung dan sudah terbiasa dengan lumpur. Jadi, bukankan tidak ada yang salah dari semua ucapan Ana. Toh kelak kita pun akan menjadi petani sama seperti orang tua kita. Kalau kamu jijik sih wajar, orang tuamu kan Kaya, dan pasti masa depanmu akan lebih baik dari kami."
Rini hanya bisa tersenyum kecut. Ia tak bisa membalas ucapan sahabanyatnya. Lagi pula, memang begitulah adanya.
"Sudahlah, tidak perlu berdebat, lagi pula itu hanya rancangan masa depanku saja. Ingat, masih rancangan," ucap Anastasya penuh penekanan.
"Apa kalian tak punya keinginan untuk bekerja di kota?" Rini melempar tanya kearah dua sahabatnya.
Anastasya dan Nina hanya saling melempar pandang, namun tak menjawab.
"Pamanku bekerja di kota, seminggu sekali ia pasti pulang kekampung. Dia sering sekali membawa orang-orang kampung untuk dipekerjakan di kota. Nah, andaikan ada lowongan pekerjaan bagus dengan gaji lumayan besar, apa kalian berminat?" tawar Rini pada kedua sahabatnya.
Terdengar jika Nina menghela nafas dalam.
"Jika kami berminat pun, tidak mungkin orang tua kami akan memberi izin."
Nina memang tak seberuntung Rini. Hidupnya juga memprihatikan seperti Anastasya.
"Ah, itu si terserah kalian. Aku hanya menawarkan saja. Lagi pula tidak ada salahnya kan jika bekerja di kota. Ya, hitung-hitung cuci mata, plus dapat duit." Rini bahkan tergelak selepas berucap.
Sementara itu, Anastasya dan Nina hanya terdiam tak memberi respon. Akan tetapi, dilubuk hati terdalam mereka rupanya menginginkan hal serupa. Bekerja dikota, menghasilkan pundi-pundi rupiah demi merubah hidup keluarga menjadi lebih baik.
*****
Rupanya apa yang difikirkan Ali terbukti kebenarannya. Seluruh padinya gagal panen terserang hama. Benar-benar tak ada yang tersisa hingga membuat pria itu nyaris putus asa.
Anastasya berlari memasuki rumah dengan senyum terpancar di wajah cantiknya. Ia tampak menggengam lembaran kertas di tangan yang terbungkus oleh map.
"Paman, Bibi, adik-adik," panggil Anastasya setengah berteriak.
Sunyi, tak ada jawaban.
Gadis itu pun menyibak pandang, dan mencari kesegala penjuru ruangan, akan tetapi tak ada siapa pun yang terlihat. Anastasya kini melangkah kearah dapur, dan lamat-lamat ia mendengar suara dan juga tangisan. Ia pun lebih mendekan guna memastikan.
"Ibu, kami lapar."
"Sabar nak, tunggu sebentar ya."
Suara itulah yang ditangkap oleh Anastasya. Dan tak berselang lama terdengar tangis bocah yang kian menambah perih batinnya.
Mereka pastilah keempat anak sang paman yang merengek meminta makan. Map yang berisikan lembaran ijaza yang ia gengam pun terjatuh kelantai.
Ya tuhan, tidak mungkin selamanya aku hanya diam.
******
Anastasya mengayuh sepedanya menuju rumah Rini. Sejujurnya ia ragu, namun ucapan Rini tempo hari cukup membuatnya tergiur. Terlebih Ali pun masih belum mengetahui tentang keinginannya tersebut.
Suasana rumah paling mewah di kampungnya itu cukup ramai. Rupanya beberapa keluarga Rini tampak tengah berkumpul. Rini yang menyadari kehadiran sang sahabat pun menyambut dan mempersilahkannya untuk duduk di teras rumah, berpisah dengan keluarga Rini lainnya.
"Ana, tumben sekali kau datang. Apa ada sesuatu yang kau butuhkan?"
Anastasya mengangguk samar.
"I-itu, tawaranmu yang tempo hari apakah masih berlaku?"
Rini mengernyitkan dahi, dia nampak bingung.
"Tawaran? Tawaran yang mana ya?"
Anastasya menghela nafas dalam. Rupanya Rini sudah lupa.
"Itu, pekerjaan di kota," jawab Anastasya ragu-ragu.
Rini tampak tersenyum tipis.
"O, itu. Apa kau berminat? Kebetulan paman baru saja kembali dari kota, dan dia bilang sedang mencari beberapa orang untuk dipekerjakan disebuah pusat perbelanjaan sebagai cleaning service. Apa kau berminat?"
Tanpa berfikir lama, Anastasya pun meng-iyakan. Rini bergegas memanggil sang paman, dan terciptalah obrolan panjang lebar Antara Anastasya dan pria paruh baya itu.
******
Langkah Anastasya cukup berat saat menjejaki halaman rumah. Ada sejejak keraguan di sana. Pembicaraan panjang lebar dengan paman Rini, sudah menemui kesepakatan. Di mana Ia sudah bersedia untuk bekerja di kota sebagai tenaga pembersih dengan gaji yang cukup besar. Akan tetapi, bagaimana dengan sang paman. Apakah pria itu akan mebgizinkan atau menolaknya mentah-mentah.
"Ana, kau dari mana saja, nak," tanya Ali yang rupanya tengah duduk di kursi ruang tamu.
Gadis itu terkesiap. Tak menyangka jika sang paman berada tak jauh darinya.
"Em, Ana baru saja mengunjungi Rini di rumahnya paman." Berkata jujur, saat tak lagi ada alasan untuk berbohong.
Terlihat jika Ali mengerutkan dahinya dengan pandangan menelisik kearah sang keponakan.
"Tidak biasanya kau berkunjung kerumah teman kayamu itu, Ana. Apa jangan-jangan, ada hal penting yang kau sembunyikan dari paman?"
Anastasya hanya menelan salivanya berat. Tak mengira jika pamannya akan curiga secepat ini. Ia memang sangat jarang untuk menemui Rini di rumahnya, selain enggan Anastasya juga cukup sadar akan siapa dirinya.
Gadis itu pun tertunduk dan mulai meremas kedua tangan yang saling bertautan.
"Paman, aku ingin bekerja di kota. Apakah paman mengijinkan?" Masih tertunduk, gadis itu bahkan tak berani hanya untuk sekedar mengangkat kepala.
"Ana, apa maksudmu?"
Anastasya coba menjelaskan semuanya pada Paman, meski takut-takut. Seluruhnya, mulai dari pertemuan dengan paman Rini hingga terbentuklah sebuah kesepakatan.
"Tidak Ana. Paman tidak akan mengizinkan," tegas Ali.
Gadis itu terdiam. Ia bisa menebak jika sang paman memang tak akan mengizinkan.
"Tapi paman, Ana mohon."
"Tidak Ana. Seperti janjiku yang akan terus menjagamu. Begitu pulalah dengan keinginanku untuk membuat kita tetap bersama. Kita memang hidup berkekurangan Ana, tetapi setidaknya dengan tetap berada di rumah ini, paman masih bisa untuk tetap menjaga dan melindungimu."
Ayu yang mendengar adanya perdebatan, tiba-tiba muncul dari arah dapur.
"Mas, Ana, ada apa ini?" Ayu menatap bingung kearah suami dan keponakannya.
Ali menghela nafas dalam.
"Ana meminta izin untuk bekerja di kota."
Ayu terkesiap, kini pandangannya tertuju pada Anastasya yang masih menunduk.
"Ana, benarkah itu?"
Gadis itu pun mengangguk.
"Benar Bibi."
Gurat kecemasan tergambar di wajah lelah Ayu. Seperti hal sang suami yang tak pernah mau hidup merantau, bisa dipastikan jika Ali pun tak akan mengizinkan kepergian keponakannya itu.
Ayu pun tak mampu berkata-kata.
"Kita akan tetap hidup bersama dikampung, walau sesulit apa pun keadaannya. Jadi lupakanlah keinginanmu untuk bisa bekerja di kota, Ana." Ali berucap penuh ketegasan, meski ia sendiri sadar akan keterbatasan yang tak mampu membahagiakan sang keponakan layaknya gadis seusianya.
Anastasya yang sudah terisak itu mendongak. Dan menubruk sang paman kemudian bersimpuh di kakinya.
"Paman, Ana mohon. Izinkanlah Ana untuk bekerja." Terisak pilu, Anastasya merengkuh kedua kaki sang paman erat. Berharap jika pria pengganti sang Ayah itu akan luluh.
Ayu dan Ali tersentak. Ini kali pertama Anastasya meminta selama bertahun-tahun hidup bersama. Gadis polos dan pendiam itu memang tak memiliki banyak keinginan. Hingga sepasang suami istri itu pun dilema dan dibuat tak berdaya.
Ali membawa tangannya untuk mengusap puncak kepala Anastasya dengan sayang. Melihat gadis yatim piatu itu menangis, sunghuh membuat hatinya teriris.
Kini pandangan Ali tertuju pada Ayu yang juga hanya diam. Ia pun tak mampu berkata, seolah lidahnya terasa kelu.
"Tolong izinkan Ana paman."
Ali tersentak. Ia mendorong tubuh sang keponakan lembut untuk menjangkau wajahnya. Terlihat jelas bulir bening yang sudah membasahi wajah ayu gadis tersebut, dan itu membuat Ali tak tega.
"Baiklah, Ana. Paman akan mengizinkan."
Ali mengusap sisa air kesedihan di pipi Anastasya. Tangis gadis itu mulai mereda, hanya menyisakan isak lirih yang nyaris tak tetdengar.
"Benarkah paman?"
Ali pun mengangguk.
"Tetapi, paman hanya meminta agar kau bisa menjaga dirimu sendiri, saat tak ada kami bersamamu."
Anastasya kembali terisak. Begitu pun dengan Ayu dan Ali.
"Kami memang sudah diamanat untuk menjagamu, tetapi kami pun tak mampu menahan disaat kau berusaha mencari kebahagiaanmu sendiri, Ana. Maaf jika selama ini paman dan bibi tak bisa menjaga dan menghidupimu dengan layak."
Anastasya kian terisak. Ia memeluk tubuh kurus Ali dengan deraian air mata. Ayu pun melakukan hal sama, Ia pun ikut berbaur dan menangis disana. Hingga tangis menangis itu pun tak lagi terhindar.
Bersambung..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!