“Saya mau kau menugaskan tim yang paling handal untuk menjaga anak saya!” Seorang pria gemuk berbicara penuh emosi.
“Pak Enishi tenang saja, kami pasti akan melakukan yang terbaik untuk menjaga anak anda.” Pria setengah botak berbadan kekar yang duduk di sudut sofa menjawab dengan tenang.
“Saya sangat yakin ada orang yang berniat jahat kepada Lin!” Enishi dengan setelan jas yang tampak seperti kesusahan menutupi perutnya yang buncit masih tetap gusar. Temannya yang berkepala setengah botak mengambil telepon selular dari saku jas.
“Suruh Agent Ef masuk!” Pria botak melemparkan senyum –Kau seperti bocah saja- kepada teman buncitnya, kemudian menyalakan televisi yang ada di ruangan.
“*Sebuah video beredar luas di jagad sosial media baru-baru ini dan menjadi perbincangan hangat di semua kalangan. Video yang berasal dari situs terlarang ‘Hell Game’ menampilkan seorang pria kaukasoid sedang meregang nyawa setelah ditikam oleh pria Asia. Adegan pembunuhan sadis dan keji itu adalah pertarungan dua tim terakhir untuk meraih kemenangan di ‘Hell Game’. Seperti yang beredar luas di masyarakat, ‘Hell Game’ marak menjadi perbincangan tahun ini karena menyajikan tontonan pertarungan sadis antar anggota. Pihak interpol bekerja sama dengan semua kepolisian di beberapa negara, terus melakukan upaya pelacakan lokasi dan juga untuk mengungkap siapa pemilik dan penanggung jawab dari situs hell game. Untuk informasi terbaru, be*rikut adalah wawancara reporter kami kepada pihak interpol.”
“Hell Game menjadi perbincangan dimana-mana saat ini. Apakah Pak Enishi juga mengikuti perkembangan situs ini?” Pria botak mencoba memulai obrolan. Tapi dia tidak mendapatkan jawabat, pria buncit begitu fokus menatap televisi.
“Lihat itu, interpol sudah merilis nama-nama korban!” Pria buncit menunjuk-nunjuk layar televisi dengan telunjuknya yang besar. Memaksa pria botak untuk ikut fokus kepada berita yang sedang tayang. Saat televisi merilis satu per satu nama peserta Hell Game. “Hei Jhon, kau lihat, mereka semua adalah orang-orang terkenal di seluruh dunia. Hell game menculik mereka!” Enishi makin histeris.
“Biarkan interpol bekerja, kami juga sedang melakukan investigasi untuk masalah ini. Sekarang kita fokus kepada pengawalan anakmu.” Sesaat kemudian terdengan ketukan pintu.
“Masuk!” Perintah Jhon.
Seorang pria muda, dengan setelan jas hitam memasuki ruangan berukuran lima kali lima milik pimpinan organsasi. Penampilannya cukup impresif. Dengan tinggi lebih dari 170 cm, tubuh tegap dengan tonjolan otot yang tak mampu disembunyikan oleh setelan yang dipakainya. Tubuh sempurna itu juga ditunjang dengan wajah yang enak dipandang. Alis tebal melintang di atas mata yang tajam. Hidung mancung terlihat pongah. Sementara bibir tipisnya terkatup rapat. Dia tidak langsung duduk tetapi berdiri dengan sikap sempurna di ujung sofa.
“Enishi, Ini Agent Ef. Dia yang saya tunjuk untuk menjadi pengawal Lin.”
Enishi berbalik dan menatap pria yang sedang berdiri di belakangnya.
“Hanya satu orang? Apakah dia benar-benar mampu?” tanya Enishi kepada Jhon.
“Agen Ef sudah menjalani puluhan misi berbahaya hingga saat ini, dan dia juga pemilik nilai nyaris sempurna di sini.”
“Baiklah, saya percaya kepadamu, Jhon. Saya yakin kau tidak akan mempertaruhkan reputasi CIA di tangan anak ini jika dia tidak mumpuni.” Enishi menerima rekomendasi rekannya.
“Sekarang kita bahas tugasmu, anak muda!”
***
Ef duduk di balkon apartemennya sembari membaca berkas yang berisi segala informasi tentang anaknya Enishi. Dia bernama Erlin Hanako, 27 tahun, berat badan 48 kilogram, 157 cm, memiliki penyakit mata miopi, minus dua dan masih lajang. Ia berprofesi sebagai penulis, dan saat ini sedang berada dipuncak karir. Tertulis di kertas yang berada di tangan Ef, berbagai penghargaan yang pernah Lin capai. Ia baru saja dinobatkan sebagai novelis muda paling berbakat oleh majalah Zone dan memiliki karya sekuel berpredikat international best seller. Lin adalah anak tunggal dari Enishi Hanako dan Mutia Aulia. Lin berkewarganegaraan Amerika Serikat, berbeda dengan orang tuanya yang masih tetap berkewarganegaraan sesuai asal mereka, Enishi dari Jepang dan ibu Mutia Aulia berkewarganegaraan Indonesia.
Lembar demi lembar telah Ef baca dengan seksama. Kemudian dia beralih kembali ke halaman pertama. Di sudut kanan atas, tersemat foto diri gadis itu. Wajahnya oval dengan kulit kuning khas Asia. Rambutnya pirang keemasan, jelas itu adalah pirang buatan. Karena orang Asia jarang yang memiliki rambut pirang sejak lahir. Ef tampak fokus mengamati foto di tangannya.
“Keras kepala, moody, introvert. Sepertinya ini akan menjadi misi yang sulit.” Pria itu menggumamkan analisanya terhadap calon majikannya sebentar lagi. Tepatnya dua jam lagi dia akan memulai misi yang baru. Menjadi pengawal Erlin Hanako.
Setelah menghabiskan segelas kopi dan tiga potong sandwich salmon, Ef berlalu masuk dan mempersiapakan diri. Pukul delapan pagi ini dia harus sudah tiba di kediaman Enishi dan akan di perkenalkan langsung kepada Lin. Ef harus berangkat lebih pagi agar tidak telat, karena jalanan kota Manhattan di musim semi seperti ini akan sangat ramai.
Di pertemuan pertama ini Ef mengenakan setelan resmi, setelan jas hitam menutupi kemeja abu-abu tua. Sebuah pistol lengkap dengan holder ikut bersembunyi di balik jasnya.
Pria dua puluh sembilan tahun itu berjalan santai menuruni anak tangga menuju halaman parkir. Hari masih pukul tujuh pagi, dia bisa mengendarai fordnya dengan santai sambil menikmati aroma khas musim semi.
Tidak terlalu sulit untuk mencari kediaman Enishi Hanako. Pengusaha asal jepang itu membangun istana megah di sisi sungai Hudson. Istananya yang tampak mencolok dengan kubah putih meniru gaya asitektur white house, berbeda sekali dari rumah penduduk lain yang hanya berbentuk kotak seperti tahu.
Ef baru bisa masuk ke dalam setelah dia memperkenalkan diri dan harus meninggalkan senjatanya di pos keamanan depan. Pintu utama rumah itu terbuka lebar. Saat hendak melangkah masuk, Ef mendengar pertengkaran kecil dari dalam.
“Aku tidak mau di kawal, aku bukan anak kecil lagi, Daddy!”
“Ini semua demi keselamatanmu, dia bertugas menjagamu dengan nyawanya!”
“Aku tidak suka! Kenapa Daddy tidak bertanya terlebih dahulu kepadaku?”
“Untuk kali ini tidak ada bantahan, kamu harus nurut. Atau semua fasilitasmu akan dicabut dan kamu harus pulang ke rumah ini. Tidak boleh tinggal di apartemenmu lagi!”
Ef tetap berdiri di depan pintu masuk bersama seorang petugas keamanan Enishi. Sepertinya petugas itu juga takut untuk masuk ketika boss besar dan nona muda sedang bertengkar.
“Apakah kita harus masuk saat ini? tampaknya Boss Besar sedang marah.” Petugas itu menoleh kepada Ef, seperti meminta masukan.
Ef hanya membalas dengan senyuman –itu kan bosmu, lapor sana!-
Petugas itu tampak melangkah maju dengan ragu-ragu. Beruntung para penghuni rumah tampak menyadari kedatangannya. Mereka menghentikan pertengkarannya sejenak. Tak lama kemudian petugas itu kembali dan mempersilahkan Ef masuk.
“Good luck, Dude!” Dia menepuk pundak Ef sekilas. Seolah agen ini akan menjalankan sebuah mission imposible, misi yang tidak mungkin berhasil.
“Langsung saja. Aku tidak suka dengan setelanmu. Gunakan baju santai saja. Aku tidak mau tampak dikawal oleh orang-orang kaku macam kalian!” Cercahan Lin langsung menyambut Ef, bahkan sebelum pria itu memperkenalkan diri. “Gunakan t-shirt dan jeans seperti orang-orang normal lain. Dan ingat, jarakmu tidak boleh lebih dekat dari satu meter dariku!”
Ef membalas ocehan lin dengan sikap tenang. Dia menoleh kepada sang boss besar, pria buncit itu menghela napasnya.
“Apakah ada hal lain yang perlu saya sesuaikan, Nona?”
“Dont call me like that, just call me, Lin!” hardik Lin emosi. “Aku tidak suka dengan aroma parfum yang menyengat!” Gadis itu mendekati Ef, mencoba menghidu aroma sang pengawal. “Tidak terlalu menyengat. Its, okay!”
Lin hendak melangkah keluar, kemudian berbalik ke arah Ef.
“Hari ini jadwalku menghadiri talk show pukul sembilan pagi. Aku tidak mau kau terlihat seperti pengawal!”
“Aku harus mengaku sebagai apa?”
Lin berfikir sejenak, dia tampak belum memikirkan sampai sejauh itu.
“Katakan saja kita sepupu!”
Di perjalanan mereka tidak berbicara sepatah katapun. Ef mengemudikan mobil dengan kecepatan normal. Tidak lambat dan tidak juga ngebut. Pria itu baru bersuara saat hendak mampir ke toko busana pria. Membeli pakaian yang sesuai dengan permintaan nona boss. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk Ef kembali lagi ke mobil dan melanjutkan perjalanan menuju studio tempat acara talk show berlangsung.
Setelah breafing dan membenarkan riasan wajah Lin, acara pun berlangsung. Gadis itu mengikuti sesi satu dengan sangat baik. Saat jeda iklan, Lin kembali ke dalam untuk membenahi make upnya. Ef baru saja hendak kembali masuk, saat listrik studio mendadak padam. Suasana menjadi gelap gulita. Suara-suara panik terdengar seperti dengungan lebah. Beberapa orang berteriak memanggil teknisi. Ef berusaha menyeruak masuk menuju kamar rias tempat Erlin berada.
Dalam tiga menit, listrik sudah kembali menyala.
Namun, Lin telah menghilang.
***
Halo teman-teman.
terima kasih telah sudi mampir ke sini. cerita Hell Game ikut lomba menulis Fiksi kategori pria.
jadi mohon bantuan teman-teman untuk Like, Favorit dan selalu meninggalkan komen di tiap chapter.
terima kasih
Semua orang yang berada di ruangan panik. Lin tidak mungkin bercanda dan bersembunyi dan akan muncul ketika show akan kembali di mulai. Ef harus berdesak-desakan dengan kerumunan kru acara untuk masuk ke dalam ruangan. Matanya menangkap sebuah benda yang tergeletak di lantai menjadi petunjuk kejelasan kondisi lin.
Ef memegang sepatu high heel merah bagian kanan. Sepatu yang tadi Lin kenakan. Pasangan sepatu itu tidak ada, berarti pemiliknya terlalu terburu-buru pergi tanpa sadar ketinggalan sebelah sepatu, atau sang pemilik dipaksa harus meninggalkan lokasi meskipun belum mengenakan sepatu secara lengkap. Atau bisa saja pemilik sengaja melepaskan sebelah sepatunya sebagai cara dia meminta pertolongan.
“Siapa penanggung jawab acara ini?” tanya Ef kepada kerumunan. “Erlin diculik!”
Seketika ruangan dipenuhi suara bisikan seperti dengung lebah.
“Aku!” seorang pria berkaca mata menyeruak masuk. “Anda siapa?”
“Aku Ef, pengawal Lin. Di mana ruang CCTV?”
“Di atas”
Ef dan Pria berkacamata bergegas menuju ruang CCTV, dan memutar rekaman video hingga 10 menit kebelakang. Dari tujuh kamera pemantau, enam menampilkan layar gelap, hanya satu yang masih menangkap gambar, yaitu CCTV yang terpasang di area parkir. Tampak di monitor dua orang pria mendorong troli sampah dan memasukkannya kantung besar ke dalam mobil SUV hitam. Mereka tampak tergesa-gesa.
“Hubungi 911, minta bantuan untuk pengejaran dan Jangan sampai masalah ini diketahui media!” perintah Ef kepada pria berkacamata sambil berlari menuju parkiran. Pria itu mengambil telepon selular dari dalam saku celana dan membuat panggilan.
“Erlin Hanako diculik, pelaku dua orang pria dan mengendarai SUV hitam. Lacak semua kendaraan sejenis yang keluar dari Victora 7th street dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku akan melakukan pengejaran!”
Ef masuk ke dalam mobilnya dan menunggu dengan gusar. Bagaimana tidak, di awal tugas dia sudah kecolongan. Reputasi diri dan organiasai menjadi taruhan jika dia tidak mampu menyelamatkan sang novelis. Dan lebih memalukan lagi, penculikan itu terjadi di bawah batang hidungnya. Ef berkali-kali memukul kemudi dengan kekesalan yang memuncak dan baru berhenti saat telepon selularnya berdering.
“Target terlihat di avenyl Street, menuju Keasby” jelas pemilik suara di ujung telepon. “Hati-hati, Dude! Siapapun pengemudi mobil itu, dia seperti Michael Schumacher”
“Aku pergi, Anne. Beritahu Jhon masalah ini. Minta petugas NYPD untuk menghalangi target!”
Ef menutup komunikasi dan langsung menginjak pedal gas. Dari Victoria Street ke Avenyl Street memakan waktu sepuluh menit di kondisi jalan sepi. Jika bisa berada di sana saat musim semi dalam waktu yang sama, pengemudi SUV itu mungkin gurunya Schumacher.
Klakson panjang berkali-kali harus di tekan untuk mengusir para pengemudi lelet di depan. Lampu lalu lintas yang masih menyala merah terpaksa diabaikan. Suara decitan ban juga selalu terdengar keras saat Ef memaksa mobilnya untuk berbelok tajam masuk ke jalan tikus demi menghindari kemacetan.
Setelah berjibaku melintasi keramaian jalan raya, Ef melihat sebuah SUV hitam terparkir di depan sebuah Flat. Pemukiman di tepi sungai memang biasa menjadi markas penjahat seperti film-film hollywood. Tapi kali ini nyata, ada nyawa seorang gadis yang dipertaruhkan. Ef tidak bisa bertindak gegabah.
Dia memarkirkan mobil persis di sebelah SUV hitam itu, dan langsung menyergap. Mobil itu kosong. Ef mengelilingi mobil dan mengintip ke dalam untuk memastikan bahwa dia tidak salah mengejar. Tampak tumpukan kertas berserakan di kursi belakang, di atas dasboard ada botol minum anak-anak.
Telepon selular Ef kembali berdering.
“Kau salah, target sekarang masuk ke area dermaga!”
“Kenapa tidak bilang dari tadi!” gerutu Ef sambil kembali masuk kedalam mobilnya dan tancap gas menuju dermaga.
Di pagi hari seperti ini, dermaga sudah bisa di pastikan ramai. Banyak orang dengan berbagai kepentingan memenuhi semua area. Ef memelankan laju mobil saat masuk area parkir sambil mengamati mobil yang ada satu persatu. Sebuah SUV hitam tampat terparkir asal-asalan di bagian ujung.
Kali ini dia tidak salah, pasangan sepatu merah itu sekarang berada ada di bagian tengah mobil. Sekali lagi Ef menghungi Anne yang siaga di ruang pantau kantor.
“Aku telah menemukan mobil target. Kondisinya kosong. Kirimkan bantuan secepatnya, aku akan mencari ke dalam!”
Mencari tiga orang di area dermaga yang begitu ramai bagai mencari jarum di tumpukan jerami. Ia juga harus hati-hati karena bisa saja di antara sekian banyak orang ini ada komplotan penculik yang sudah menunggunya. Ef memasang earphone dan kembali menghubungi Anne.
“Minta syahbandar untuk mengumpulkan semua pekerja, aku kesulitan mencari jika kondisi begitu ramai” Pinta pria itu sambil terus mengamati sekita “dan jangan tutup telepon ini”
“Baiklah, aku akan menghubungi Syahbandar. Bantuan akan tiba dalam lima belas menit”
Tidak berapa lama berselang, dari pengeras suara menara, terdengar pemberitahuan agar semua orang berkumpul di halaman kantor syahbandar. Dengan begini pencarian akan lebih mudah, siapa saja orang yang bergerak berlawan arah dari pekerja pelabuhan, dia bisa di curigai sebagai penculik.
Ef terus bergerak dari blok satu ke blok yang lain. Di ujung sana, di area peti kemas berwarna biru, tampak dua orang pria bergerak berlawanan arah dan satu orang memanggul kantong hitam besar.
Itu dia!
Ef tidak bisa mengeluarkan senjatanya dan menembak di jarak yang begitu jauh seperti saat ini. Dan kedua penculik itu berjarak tiga blok dari posisi Ef. Berarti dia harus membidik dengan pistol untuk jarak seratus lima puluh meter. Mustahil bisa menembak tepat dengan senjata pendek untuk jarak segitu jauh. Tidak ada pilihan lain. Dia harus mendekat. Dan tetap harus hati-hati.
Sambil berlari dia terus mengawasi kedua pria yang terus bergerak menjauh. Beberapa kali dia mencoba membidik sasaran setiap ada kesempatan. Tapi sebelum picu ditarik, selalu saja ada hambatan.
Kedua pria itu berbelok di ujung blok ketiga. Ef ikut berbelok di pangkal blok kedua. Namun saat Ef sudah berada di celah susunan peti kemas, kedua pria tadi tidak lagi tampak. Ef memacu kakinya untuk berlari mendekat secepat mungkin.
Ef tiba saat Kedua pria itu tampak baru saja menutup pintu peti kemas yang berada di belakangnya.
“Angkat tangan!”
Kedua pria tampak begitu tampak begitu terkejut ada orang asing yang tiba-tiba menodongkan senjata ke arah mereka.
“Angkat tanganmu, atau kutembak!” Tampaknya kedua pria itu tahu kalau orang yang menodongkan senjata di hadapan mereka tidak sedang bercanda. Mereka mengangkat kedua tangannya.
“Kau tiarap!” Perintah Ef kepada Pria berbadan gempal dengan baju hijau. “Dan kau buka peti kemasnya!” perintah kali ini tertuju kepada pria berbaju hitam. “Cepat!”
Pria berbaju hitam tampak ragu hendak membuka pintu peti kemas. Berkali-kali dia menoleh ke arah Ef dan rekannya.
“Aku bisa membukanya sendiri setelah kulubangi kepalamu!” Tampaknya ancaman ini berhasil, pria baju hitam membuka pintu peti kemas kemudian bergeser agar Ef bisa melihat ke dalam.
Di dalam peti kemas tampak penuh dengan kardus yang tersusun rapi. Tampaknya tidak ada celah untuk memasukkan oang ke dalammnya.
“Di mana wanita yang kalian culik?”
“Culik? Sepertinya anda salah orang. Kami berdua sejak pagi sudah berada di dermaga ini.” Wajah pria berbaju hitam memucat, tubuhnya juga tampak gemetar. Tidak mungkin jika seorang yang mampu menculik di keramaian bermental seciut ini.
“Kau mencari kami?”
Ada suara dari belakang Ef. Saat ia menoleh, sebuah stun gun langsung di tempelkan ke lehernya.
Ef, ambruk tak sadarkan diri.
***
Halo teman-teman.
terima kasih telah sudi mampir ke sini. cerita Hell Game ikut lomba menulis Fiksi kategori pria.
jadi mohon bantuan teman-teman untuk Like, Favorit dan selalu meninggalkan komen di tiap chapter.
mari berteman di sosial media.
fb. Densa
Ig. @densa015
terima kasih
Musim semi biasanya menjadi saat yang di tunggu-tunggu banyak orang. Setelah empat bulan berdiam di rumah selama musim dingin, tentu ada berbagai rencana tersusun di kepala banyak orang. Berjalan bebas tanpa mantel tebal, menyantap kuliner khas musim semi atau sekedar menonton film box office terbaru bersama pujaan hati. Rasa riang dan gembira selalu menjadi ciri khas saat musim semi tiba.
Sepertinya menikmati indahnya musim semi juga menjadi salah satu impian orang-orang yang saat ini sedang meringkuk tanpa tahu nasib apa yang sedang menimpa mereka. Nasib burukkah? Atau nasib baik yang sedang dikemas menjadi nasib buruk? Atau nasib buruk yang akan berujung menjadi nasib baik? Sayangnya, untuk saat ini tidak ada satu orangpun yang tahu.
Entah sudah berapa lama mereka di sekap di dalam ruangan yang suka berayun-ayun itu. Dinding ruangan terbuat dari logam ringan. Tanpa bantuan cahaya sedikitpun membuat mereka sangat kesulitan untuk mengetahui lokasi pasti. Apalagi dengan kondisi tangan dan kaki terikat rantai besi yang kuat, pergerakan makin terasa sulit. Cahaya baru akan masuk setiap sebuah lubang kecil di langit-langit terbuka sebentar untuk melemparkan roti serta air mineral botolan. Satu hal yang bisa di pastikan dari kondisi ini, siapapun yang menyekap mereka, tidak ingin orang-orang malang ini mati kelaparan.
Di antara orang-orang yang di sekap itu adalah Ef, seorang pemuda yang tadinya adalah agen tangguh yang dimiliki CIA. Namun ketangguhan itu tampaknya sudah tidak berguna saat ini, setangguh apapun manusia, mereka akan tetap membutuhkan cahaya untuk bertahan. Saat ini ef hanya bisa menunggu cahaya itu tiba.
Dalam gelap dia masih mencoba meraba rantai yang membelenggu tangan dan kakinya. Mencari celah untuk bisa melepaskan. Tapi, tampaknya melepaskan tangan dari borgol rantai itu mustahil tanpa kunci atau dia harus rela memotong pergelangan tangan agar bisa lolos. Kedua pilihan yang mustahil itu membuat Ef hanya bisa duduk bersandar dengan tenang. Setidaknya mereka masih di beri makan dan minum. Walau ruangan ini dipenuhi oleh aroma pesing dan aroma kotoran yang menyengat hidung. Dalam kondisi lapar, mulut harus tetap mampu mengunyah dan menelan makanan demi bertahan hidup.
Mereka memang tidak bisa melihat, tapi indera lain masih berfungsi dengan sebaik-baiknya. Mulut dan telinga masih bisa di gunakan untuk berkomunikasi, itu adalah cara yang Ef gunakan untuk menemukan Erlin saat dia tersadar.
“Apakah kalian bisa mendengarku?” Itu kalimat pertama yang Ef ucapkan saat dia baru saja siuman dan mengetahui bahwa dia tidak di sekap sendiri. Beberapa orang menyahut dengan berdehem ringan, dan lebih banyak yang memilih untuk diam.
“Apakah disini ada yang bernama Erlin Hanako?” kali pertama Ef bertanya demikian belum mendapatkan jawaban. Asumsinya ada dua. Satu, Erlin belum sadar atau Erlin tidak disekap di ruangan yang sama. Tapi Ef benar-benar yakin dia dan Erlin berada di ruangan ini, karena waktu penangkapan yang hampir bersamaan.
Setiap jam Ef selalu bertanya Hal yang sama. Tapi tidak ada jawaban yang membuat hatinya lega. Pertanyaan keempat dia mengubah metode.
“Aku rasa semua yang berada diruangan ini sedang ketakutan dan tidak tahu akan bagaimana nasib kedepan. Tapi yakinlah bahwa selama kita semua yang ada di sini bisa bertahan hingga tahu lokasi berada. Pasti ada celah untuk menyelamatkan diri.” Ef terus berceloteh tanpa peduli apakah para penghuni ruangan itu mendengarkaan atau tidak.
“By The Way, namaku Efran Tamada. Aku ikut tersekap di sini karena mengejar temanku yang di culik. Dan ternyata saat ini aku juga ikut culik. Hahaha” sepertinya triknya kali ini berhasil memancing tawa dari penghuni lain.
“I’m Ngon Jiba. Aku dari Kongo!” sahut suara pemilik tawa tadi. Dia bisa berbahasa Inggris dengan aksen khas orang-orang Afrika.
“Kongo? Apakah kau di culik di Kongo atau saat berada di US, Dude!” Ef mencoba terus menjalin komunikasi dengan pria itu. Selain untuk menghilangkan kejenuhan, dia juga bisa mengumpulkan informasi.
“Aku di culik saat keluar mencari Bar di New York! Aku solo backpacker, By the way”
“Aku Hamish, Dari Turki” Suara berikutnya ikut menyahut.
“Apakah kau di culik di New York juga?” Ef berperan sebagai moderator dalam obrolan ini.
“Betul, aku di culik di tepi sungai Hudson. Saat hendak masuk ke yatch milik temanku.”
“Apakah bijak memperkenalkan diri dihadapan orang asing?” Kali ini ada suara perempuan yang menyahut.
“Kita semua disini asing, Nona. Bukankah lebih baik kondisi ini membuat kita menjadi saudara?” Aneh bagi Ef jika di kondisi seperti ini masih harus saling mencurigai. “Kaki dan tanganku di rantai, apakah kalian juga memiliki kondisi yang sama?” Mengalihkan pembicaraan adalah pilihan bijak agar suasana tidak menjadi kaku.
“Ya, rantai sialan ini begitu berat. Aku sudah merasakan kulitku lecet dan perih” nona itu kembali menyahut. “Aku Maya Aurella, dari New York. Maksudku aku tinggal di Manhattan, namun asalku dari Mexico.” Nona muda yang ‘asing’ ikut memperkenalkan diri.
“Apakah kalian tidak memiliki kalung?” Sebuah suara baru menyahut dari hadapan Ef.
“Ada benda metal yang melingkari leherku, tapi aku tidak suka untuk menyebutnya kalung.” Timpal Ef.
“Aku juga!”
“Aku juga”
Beberapa suara baru mulai bermunculan. Tampak kalau ruangan bergoyang ini mulai terasa ramai. Orang-orang yang di paksa berkumpul ini berangsur-angsur lepas dari ketakutannya. Mereka saat ini seperti sedang menjalani malam kebersamaan pada acara pramuka saat sekolah menengah dulu.
“Siapa wanita yang kau cari tadi?” Pertanyaan beraksen unik ini pasti datang dari Ngon.
“Dia temanku”
“Bagaimana kalian bisa tertangkap?”
“Temanku sedang menjadi narasumber di sebuah acara talk show, dia di culik saat jeda iklan”
“Hebat sekali bisa menculik dalam keramaian, Aku juga di culik di parkiran yang ramai. Saat itu belum terlalu malam. Seharusnya ada beberapa orang yang melihat saat aku di bekap” Ngon mulai bercerita panjang tentang dirinya yang baru pertama kali menjejakkan diri di Amerika Serikat. Dia datang menjadi backpacker demi konten channel youtubenya. Dia juga mempromosikan channel miliknya, walau tahu tidak ada satupun teman barunya bisa menekan like atau subscribe saat ini. Dia juga dengan bangga mengatakan kalau telah memiliki lima juta followers.
“Aku juga youtubers, kontenku bermain game dan membongkar trik permainan” suara berikutnya yang berasal dari depan ngon. Aksen ini milik Hamish.
“Berapa followers-mu?”
“I’m Sorry, Ngon. Bukan untuk membandingkan. Followers-ku sudah hampir sepuluh juta orang.”
Mendengar obrolan antara Ngon dan Hamish membuat Ef mendapatkan sebuah petunjuk. Ngon dan hamish adalah orang terkenal jika memiliki channel dengan jutaan followers. Begitu juga dengan Erlin. Dia juga orang terkenal. Sepertinya dia harus memastikan dengan bertanya kepada yang lain.
“Nona Maya, Apakah kau juga youtubers?”
“Aku memiliki channel youtube juga, tapi tidak begitu ramai. Akun Sosial mediaku yang ramai. Aku seorang actrees”
“Wow! Aku baru ingat. Maya Aurella, kau adalah pemeran Elisha di film ‘Azab bagi readers pelit like’ kan?” suara Hamish terdengar antusias.
“Iya, kau menontonnya? Bagaimana aktingku? Bagus?”
“Ya kau sangat menjiwai, apalagi saat menjadi mayat, hahaha”
Hamis dan Maya melanjutkan obrolannya dan mulai asyik sendiri. Beberapa tawanan lain juga adalah orang-orang terkenal dengan banyak pengikut. Ada yang penyanyi, dancers, bahkan juga VJ seksi di aplikasi dating online. Dengan ini Ef bisa menyumpulkan jika semua yang di culik adalah orang terkenal, selain dirinya. Kesamaan ini membuat pikirannya mulai mengait-ngaitkan dengan sesuatu yang akan mengilangkan keakraban yang baru saja terbangun.
“Oh iya, sebenarnya di sebalahku ada seseorang, tapi sejak awal tidak pernah bersuara” Ujar Hamish. “Oh, maaf, apakah barusan aku menyentuh dadamu? Kau wanita?”
“Hmm...”
“Perkenalkan dirimu! Semua orang sudah berbicara selain kau!”
Seketika suasana menjadi hening, menunggu si wanita pendiam berbicara.
“Aku Erlin Hanako!”
***
Halo teman-teman.
terima kasih telah sudi mampir ke sini. cerita Hell Game ikut lomba menulis Fiksi kategori pria.
jadi mohon bantuan teman-teman untuk Like, Favorit dan selalu meninggalkan komen di tiap chapter.
mari berteman di sosial media.
fb. Densa
Ig. @densa015
terima kasih
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!