Bianca hanya mampu menatap nanar ujung gaun pengantin berwarna putih gading yang dikenakannya. Hari ini, ia secara resmi menyandang status sebagai Nyonya Drax. Sekaligus menjadi hari dimana kebahagiaan serta kebebasannya direnggut oleh pria keji yang saat ini telah menjadi suaminya—Alan Drax. Alih-alih menggelar pesta yang meriah dan dipenuhi dengan canda-tawa, pernikahan mereka jauh dari kata layak. Selain pendeta, Alan hanya mengajak seorang pria yang selama ini menjadi tangan kanannya.
Kembali, Bianca meremas dengan kuat gaun berwarna putih gading tersebut. Sudah sedari tadi air matanya mendesak untuk keluar. Namun Bianca berusaha untuk tetap kuat. Ia hanya tak ingin terlihat lemah didepan pria brengsek itu. Supaya Alan tak meremehkan dirinya.
Karena terlalu larut dalam pikirannya, Bianca bahkan tak sadar jika Alan telah memasuki kamar dan melangkah untuk menghampirinya.
“Menangis, huh?” Alan berbisik pelan seraya mencondongkan wajahnya mendekati wajah Bianca. Membuat gadis itu terlonjak kaget seraya berniat untuk pergi. Namun Bianca baru tersadar jika posisinya yang saat ini sedang duduk di tepi kasur berukuran besar milik Alan membuatnya tak bisa bergerak bebas. Ditambah dengan gaun yang masih membungkus tubuhnya. Sial!
“Bukan urusanmu!” Bianca berucap dengan nada tak bersahabat. Dengan cepat, Bianca segera berdiri ketika melihat Alan tengah sibuk melepaskan jas yang dikenakannya. Setelah menggenggam dan menarik keatas kedua sisi gaunnya, Bianca melangkah sepelan mungkin. Dengan harapan Alan tak menyadarinya.
Jujur saja, sebagai seorang gadis normal, dimatanya, Alan Drax terlihat begitu tampan. Tubuh tegap dan atletisnya dibalut dengan setelan jas berwarna biru tua serta kemeja putih tulang. Sangat pas dengan iris hitam legam miliknya.
“Mau ke mana kau?” langkah Bianca sontak terhenti ketika ia mendengar ucapan bernada dingin pria itu. Dengan gerakan pelan, Bianca segera memutar tubuhnya lalu menatap Alan. Dan benar saja, iris hitam pria itu menatapnya tajam.
“Ke kamarku.” Bianca menjawab dengan nada santai. Walau tak dipungkiri, ada rasa takut di dalam dirinya ketika menatap wajah pria itu. Sekalipun Alan menatapnya tajam, namun raut wajah pria itu terkesan datar. Bahkan jika boleh ia bilang, Alan tak pernah menunjukkan ekspresi apapun. Hal yang juga membuat Bianca berpikir jika pria itu bukanlah manusia ketika mereka pertama kali bertemu.
“Bukankah kau sudah berada di dalamnya?” Tanya Alan seraya mengangkat sebelah alisnya.
“Jangan bodoh! Kau pikir aku mau tidur seranjang denganmu?” Sudut bibir Alan tertarik ke atas ketika mendengar ucapan bernada protes Bianca. Ia bahkan terkekeh geli.
Dengan langkah pelan, Alan segera menghampiri Bianca yang berdiri tak jauh dari pintu kamarnya. Sebelah tangannya terangkat ke atas untuk memegang kedua pipi gadis itu.
“Dengarkan aku baik-baik, Bianca Rosaline.” Alan berbisik pelan di depan wajah Bianca. Dan Bianca bisa merasakan dengan sangat jelas sapuan lembut napas Alan.
“Aku—Alan Drax, sudah membelimu dengan harga yang cukup mahal. Jadi, aku punya hak penuh atas dirimu. Dan juga, aku bebas melakukan apapun.” Seusai berucap, Alan mendaratkan satu kecupan kecil pada sudut bibir gadis itu. Yang dibalas Bianca dengan umpatan kekesalan.
“Kau gila?!” pekik Bianca tak terima. Kini matanya berbalik menatap tajam pada Alan.
“Sayangnya tidak.” Balas Alan santai. Kini, ia tengah sibuk membuka kemeja putih yang sedari tadi membungkus tubuhnya. Lalu melemparkannya ke sembarang arah.
Bianca hanya bisa berdiri mematung. Sekuat apapun ia berusaha untuk tetap kuat, cairan bening tersebut terus mendesak untuk dikeluarkan. Ia tahu jika Alan tak sepenuhnya salah. Semuanya bermula ketika kedua orangtuanya, dengan tega menawarkan dirinya pada Alan agar pria itu mau membelinya. Dan benar saja, tanpa ragu, Alan menawarkan sejumlah uang dengan syarat, setelah pria itu membelinya, mereka harus pergi jauh dan memutuskan semua hubungan dengan Bianca. Awalnya, Bianca menolak dengan keras. Tapi karena mendapatkan uang sebanyak tujuh ratus juta sebagai gantinya, kedua orangtuanya tanpa pikir panjang menyetujui setiap ucapan dan permintaan Alan. Dan semuanya dilakukan hanya untuk memenuhi hasrat berjudi mereka.
“Bianca.” Bianca segera mendongak dan mencari asal suara. Tak jauh darinya, ia menemukan Alan yang tengah duduk di dekat jendela seraya menuangkan wine ke dalam sebuah gelas bening. Dan Bianca baru sadar jika kamar Alan yang tiga kali lebih luas dari kamarnya diisi oleh perabotan super mahal. Buktinya? Sikap arogan pria itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi bukti.
“Apa?” Tanya Bianca seraya menatap Alan yang tengah sibuk menghirup aroma wine dari dalam gelas yang saat ini dipegangnya.
“Tunggu apa lagi, cepat buka bajumu.” Bianca hanya bisa menatap Alan dengan mata membulat tak percaya. Apa katanya? Buka baju? Bianca sadar jika saat ini indra pendengarannya masih berfungsi dengan sangat baik. Dan Alan pun juga jauh dari kata mabuk untuk meracau tak jelas.
“Kau pikir aku bodoh?!” Ucap Bianca tak terima. Kali ini, pandangan mereka berdua beradu. Namun, iris hitam pria itu sudah lebih dulu memenjara Bianca. Membuatnya sulit untuk berucap apalagi bergerak.
Dengan gerakan pelan, Alan segera meneguk habis wine miliknya. Lalu berjalan menghampiri Bianca. Sebelah tangannya terangkat untuk memeluk posesif pinggul gadis itu. Tak peduli sekalipun jika Bianca tengah memberontak.
“Diam dan terima saja.” Alan berbisik pelan lalu mulai menenggelamkan wajahnya dalam ceruk leher Bianca. Dengan gerakan anggun menghirup aroma buah yang menguar dari tubuh gadis itu. Manis.
“Hentikan! Kau pikir apa yang kau—” Bianca tak kuasa lagi melanjutkan ucapannya ketika ia merasakan gigitan kecil pada lehernya. Lalu berubah menjadi kecupan bertubi.
Bianca kembali memberontak seraya mencoba untuk lepas dari kungkungan pria itu. Tapi sayang, Alan sudah terlebih dulu memeluknya erat dan tak memberikan sedikitpun celah baginya untuk meloloskan diri.
“Bianca ….” Alan berucap lirih disela-sela aktifitasnya mengekspos leher jenjang gadis itu. Sembari meninggalkan beberapa bekas kepemilikan disana.
“Alan, hentikan!” kali ini, Alan segera membungkan bibir Bianca. Memenjaranya dengan penuh hasrat. Seolah tak ingin melepaskannya barang sebentar. Dan Alan sadar jika ia tak akan pernah merasa bosan.
Bianca segera memukul punggung Alan dengan sisa-sisa tenaganya ketika merasakan pasokan oksigen di sekitarnya berkurang. Ciuman Alan terlalu kuat dan mendominasi. Pria itu terlampau ahli bermain-main dengan bibirnya dan Bianca sadar jika sampai kapanpun, ia tak akan bisa menolaknya.
“Bagaimana?” Alan segera bertanya ketika ia baru saja melepaskan tautan bibir mereka. Kini matanya beralih untuk menatap bibir Bianca yang memerah dan juga basah akibat dari ulahnya.
“Kau ingin membunuhku?” Bianca berucap dengan nada ketus seraya menyeka bibirnya. Napasnya masih tersengal. Sementara Alan terlihat baik-baik saja. Bianca yakin, jika bagi pria itu, apa yang mereka lakukan bukan lagi hal yang baru. Brengsek!
Dengan gerakan cepat, Alan segera menarik tangan Bianca—lebih tepatnya menyeret—menuju tempat tidur berukuran besar miliknya. Dengan satu kali gerakan, Alan sukses mendorong tubuh Bianca hingga jatuh dengan posisi terlentang di atas tempat tidur.
Cantik dan seksi.
Hanya dua kata tersebut yang mengisi pikiran Alan saat ini. Sekalipun tubuh Bianca masih tertutupi oleh gaun, tapi Alan yakin, jika apa yang berada di dalamnya jauh lebih indah. Dan ia sudah tak sabar untuk melihatnya.
“Alan, tidak!” Bianca segera berteriak ketika pria itu dengan lihainya menurunkan resleting gaun yang dikenakannya. Melepasnya dengan tak sabaran lalu membiarkan jatuh begitu saja di atas lantai.
Dengan gerakan refleks, Bianca segera menutupi dua bagian penting tubuhnya menggunakan tangan. Sekalipun masih memakai dalaman, tapi ini kali pertama seorang pria melihat tubuhnya yang setengah telanjang. Bianca akui, ia memang beberapa kali berpacaran. Namun, hanya sebatas ciuman, tidak lebih.
Dalam temaramnya cahaya lampu kamar, Bianca bisa merasakan dengan jelas napas memburu pria itu. Serta tatapan Alan yang dipenuhi oleh hasrat. Dan semuanya semakin bertambah jelas ketika tangan Alan sudah mulai berani menyusuri satu per satu anggota tubuhnya.
“Alan!” Bianca memekik kaget ketika Alan mengecup dan menyesap kuat pahanya. Dengan sengaja meninggalkan jejak kemerahan disana.
Bianca tahu jika ia tak boleh membiarkan Alan berbuat terlalu jauh. Tapi hati dan pikirannya meneriakkan hal yang berbeda. Insting wanitanya memberontak dan meminta agar pria itu memberinya lebih. Sekalipun hatinya berteriak tak terima.
“Oh, Bianca.” Alan berucap dengan suara serak. Dirinya telah terlanjur dikuasai oleh hasrat yang tak tertahankan. Salah satu bagian penting dari tubuhnya sudah sedari tadi meminta untuk segera dipertemukan dengan pusaran kenikmatan tersebut.
Alan mendesah dan kembali memenjara bibir Bianca yang sedikit membengkak. Mendominasinya tanpa henti, seakan tak pernah merasa puas.
“Alan.” Bianca hanya bisa memanggil lirih nama Alan ketika pria itu mendesak untuk menyatukan tubuh mereka berdua. Seraya menutup mata, Bianca melingkarkan kedua lengannya pada punggung tegap pria itu. Sembari menancapkan kuku-kukunya sehingga meninggalkan bekas. Sementara Alan tengah sibuk pada penyatuan tubuh mereka.
Malam ini, Bianca tak bisa meloloskan diri dari pria itu. Semua yang ada pada diri Alan memenjaranya tanpa memberikan jalan keluar. Membelainya lembut penuh kenikmatan. Sehingga memberikan candu yang tak bisa Bianca tolak. Bahkan terus ia dambakan.
Alan Drax, kembali mendapatkan pusaran kenikmatan tersebut. Bahkan lebih dari yang selama ini dirasakannya. Bersama Bianca, ia disuguhkan kenikmatan tak berujung. Layaknya candu yang mengambil alih akal sehatnya. Yang membuatnya tak pernah merasa puas dan selalu menginginkan lebih.
Desahan tertahan, peluh serta erangan kenikmatan lolos dari bibir mereka masing-masing. Dan Alan sadar jika dia, mungkin tak akan pernah bisa berhenti untuk menginginkan Bianca. Gadis bermata cokelat tersebut sudah terlanjur memikatnya dengan kuat.
Pagi ini, ketika baru saja membuka mata, hal pertama yang didapatkan Bianca adalah rasa sakit pada sekujur tubuhnya. Terutama pada bagian sensitifnya. Dengan gerakan pelan, ia berbalik ke kiri dan langsung disuguhkan oleh wajah terlelap Alan. Sekarang Bianca ingat akan kejadian semalam. Apalagi ketika Alan tak menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Bianca tak tahu bagaimana bisa ia tertidur dengan lelap, yang ia ingat hanyalah ketika dirinya terus memohon pada Alan agar pria itu mau melepaskannya karena tubuhnya tak lagi mampu untuk mengikuti permainan pria itu. Tapi Alan tak peduli, pria itu tanpa belas kasih terus memenjara tubuhnya. Seolah tak ingin melepaskan kenikmatan yang dirasakannya.
“Ugh!” Satu desahan kesakitan lolos dari bibir Bianca. Awalnya, ia berniat untuk bangkit dari atas tempat tidur lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Namun, bergerak sedikit saja tubuhnya sudah diliputi oleh rasa sakit yang luar biasa.
“Ya Tuhan.” Sekali lagi Bianca berusaha untuk bangkit seraya memegang pada dinding. Dengan harapan usahanya membuahkan hasil. Tapi, baru saja ia berjalan beberapa langkah, Bianca merasakan sesuatu yang basah pada pahanya.
“Brengsek!” Bianca mengumpat jengkel seraya mengeluarkan beberapa kata makian. Kali ini, ia hanya mampu menatap cairan putih pada tangannya dengan pandangan takut. Dan baru menyadari jika Alan tak memakai pengaman sama sekali.
“Sengaja ingin menggodaku?” Bianca segera berbalik dan mendapati Alan tengah menatapnya dengan posisi miring seraya menggunakan sebelah tangannya sebagai tumpuan.
“Pria gila!” Bianca dengan cepat berlari menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar Alan. Tak peduli sekalipun jika tubuhnya tak terbungkus sehelai kain. Lagipula, semalam Alan sudah meilhat semuanya. Jadi untuk apalagi.
Di dalam kamar mandi, Bianca tak henti-hentinya mengeluarkan sumpah serapah yang ditujukan untuk Alan. Sekaligus merutuki perbuatan pria itu padanya. Apalagi ketika membayangkan sudah berapa banyak cairan Alan yang keluar di dalam tubuhnya.
***
Alan yang tengah sibuk menikmati sepiring roti isi daging miliknya bersama segelas espresso hangat segera melirik sekilas pada Bianca yang melangkah menuruni tangga. Bianca mengenakan baju kaos lengan panjang berwarna putih dengan motif garis hitam. Lengkap dengan celana jeans ketat selutut.
“Alan.” Bianca segera menghampiri Alan yang tengah santai menikmati sarapannya sembari sesekali menatap layar ponselnya.
“Kau lapar?” Tanya Alan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
“Aku–aku ingin kita bicara.” Kali ini ucapan Bianca sukses mengalihkan perhatian Alan dan membuat pria itu menatapnya lekat. Lengkap dengan wajah datarnya.
“Apa? Perihal semalam?” Ucap Alan seraya menyeringai kecil. Sengaja ingin menggoda Bianca.
“Aku tak ingin hamil.” Bianca tak mengacuhkan ucapan Alan dan dengan segera mengutarakan hal yang sedari tadi menjadi ketakutannya.
“Kenapa? Bukankah itu hal yang bagus jika kau mengandung anakku?” Tanya Alan santai. Seolah tak ingin ambil pusing.
“Jangan bodoh! Aku ini masih berstatus sebagai pelajar.”
“Lalu?”
“Alan!” Teriak Bianca jengkel. Apalagi ketika melihat sikap pria itu yang tak peduli sama sekali.
Setelah menandaskan tegukan terakhir espresso miliknya, Alan segera menghampiri Bianca. Berdiri tepat di hadapannya dengan hanya menyisakan jarak sejengkal.
“Lalu kau ingin apa, hm? Mengulang kejadian semalam?” Bianca segera menepis secara kasar tangan Alan yang tengah membelai surai hitam panjang bergelombangnya. Dan beralih menatapnya tajam.
“Seharusnya kau sudah tahu jika aku ini masih butuh untuk bersekolah. Dan kau pikir jika aku hamil, aku masih bisa melakukannya?”
“Kau bisa mengikuti home schooling.”
“Kurasa kau benar-benar sudah gila! Aku membutuhkan sekolahku. Teman-temanku. Dan kau ingin menghancurkan semuanya?” Bianca tak mampu lagi menahan amarahnya. Apalagi ketika tahu jika Alan tak peduli akan apa yang dirasakannya.
“Kupikir kau tak lupa jika aku ini sudah membelimu.” Bianca merasakan hatinya berdenyut sakit ketika mendengar perkataan Alan barusan. Pria itu memang benar. Alan sudah membelinya. Dan menjadi pemilik sah akan dirinya. Tapi bukan berarti ia tak punya hak atas dirinya sendiri. Dan Bianca merasa ia punya hak untuk bersenang-senang.
“Sampai kapanpun, aku tak akan pernah lupa jika kau memang telah membeliku. Dan aku merasa sedikit bersyukur karena kau sudah mengeluarkanku dari kehidupan pecandu judi tersebut.”
“Lalu apa masalahnya?”
“Alan, aku ingin bersenang-senang. Menikmati waktuku bersama teman-temanku. Aku juga ingin bebas.”
“Bebas? Sejak kau menyandang status sebagai Nyonya Drax, maka sejak itu pula hidupmu berada di dalam kendaliku.” Alan berucap dengan nada dingin. Mata hitamnya menatap Bianca tajam. Dan Bianca sadar jika ia telah membuat pria itu marah.
Bianca tahu jika Alan adalah tipe lelaki yang tak pernah bisa dibantah. Setiap kata atau kalimat yang terlontar dari bibir pria itu merupakan titah yang tak menerima kata penolakan. Tapi Bianca tak ingin menyerah, ia tetap ingin memperjuangkan apa yang menjadi miliknya. Sekalipun harus menerima perlakuan tak menyenangkan dari pria itu.
“Tap—” Alan dengan cepat membungkam bibir Bianca sebelum gadis itu sempat menyelesaikan ucapannya. Menyesapnya kuat sebelum melepaskannya.
“Ingat ini baik-baik, aku akan tetap mengizinkanmu sampai kau lulus. Satu tahun bukan waktu yang lama untukku. Dan setelahnya, kau hanya perlu tinggal di rumah untuk melayaniku.”
“APA?!” Bianca tak mampu menahan teriakannya ketika mendengar ucapan Alan. Pria itu menginzinkannya menyelesaikan pendidikan dibangku sekolah menengah atas dan tak memperbolehkannya untuk melanjutkan kuliah. Padahal impian terbesar Bianca adalah memasuki jurusan desaigner. Itupun kalau bisa.
“Jimmy!” Alan segera berteriak memanggil nama salah satu pegawai sekaligus yang menjadi tangan kanannya selama lima tahun terakhir.
“Ya Tuan.” Seorang pria yang tingginya hampir menyamai tinggi alan mendadak muncul dari arah luar. Kulit putih pucatnya berpadu dengan bola matanya yang berwarna biru laut. Lengkap dengan setelah jas berwarna hitam. Layaknya seorang bodyguard.
“Mulai hari ini, awasi setiap pergerakan istriku. Kau yang bertugas untuk mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Pastikan dia pulang tepat waktu di rumah. Terlambat satu detik, segera kabari aku. Atau kau yang akan menerima akibatnya.”
“Baik Tuan.” Jimmy mengangguk mengerti lalu beralih menatap Bianca yang hanya mampu berdiri dalam diam dengan mata membulat tak percaya. Setelah menunduk sekilas sebagai sebuah salam hormat pada Bianca, Jimmy segera melangkah keluar setelah mendapatkan isyarat dari Alan.
“Kau dengar itu? Aku sudah memenuhi permintaanmu.” Ucap Alan seraya menatap Bianca. Yang sayangnya dibalas wanita itu dengan wajah memerah menahan marah.
“Kau gila! Benar-benar gila!” Bianca kembali berteriak tak terima seraya menatap tajam Alan. Yang sialnya justru tak menimbulkan efek apapun pada pria itu.
“Jika tak ada lagi, aku pergi dulu.” Sebelum melangkah pergi meninggalkan Bianca, Alan segera memberikan kecupan singkat pada leher wanitanya. Dengan sengaja meninggalkan jejak basah disana.
“Brengsek!” Teriak Bianca yang sayangnya hanya dibalas lambaian tangan oleh Alan.
***
Malam semakin larut dan Alan masih sibuk berkutat dengan setumpuk berkas di hadapannya. Ditemani dengan Jimmy yang sedari tadi dengan setia berada di sisinya.
“Jimmy, kau bisa pulang jika kau mau.”
“Tidak, Tuan. Biarkan saya menemani Anda.” Alan hanya bisa mendesah kasar setelah mendengarkan ucapan Jimmy. Sejak awal, pria itu memang terkesan kaku. Bahkan setelah lima tahun bekerja dengannya, Jimmy tak menunjukkan tanda-tanda perubahan.
“Aku bisa menyelesaikannya sendiri. Besok, pagi-pagi sekali, kau harus mengantar Bianca ke sekolah. Dan aku tak ingin terjadi apa-apa di jalan hanya karena kau kurang tidur.” Dengan enggan, Jimmy mengangguk mengerti lalu melangkah pergi meninggalkan Alan seorang diri. Sejujurnya, Alan merasa senang ketika Jimmy mau menemaninya. Tapi, ia juga tak bisa bergerak dengan bebas ketika pria itu terus mengawasinya. Dalam urusan pekerjaan, Jimmy terbilang sangat totalitas dan juga tegas. Dan tak jarang, Alan dibuat tak berkutik karenanya.
“Aku butuh hiburan.” Dengan segera, Alan menyambar kunci mobilnya yang tergeletak secara sembarangan di atas meja. Dengan santai, ia melangkah meninggalkan pekerjaannya yang masih menumpuk. Malam ini, ia ingin bersenang-senang.
***
Dentuman musik yang memekakkan telinga. Lampu warna-warni yang memenuhi ruangan gelap tersebut adalah hal yang pertama kali menyambut Alan. Bahkan, ketika ia baru saja melangkah masuk, seorang wanita berpakaian mini sudah menyambutnya dengan ekspresi menggoda.
Alan menggeleng sebagai tanda penolakan. Ia memang tak bisa menutupi naluri lelakinya dan kenyataan jika ia telah meniduri banyak wanita. Tapi, ia juga punya prinsip untuk tak akan meniduri orang yang sama. Selama ini, Alan selalu memastikan jika wanita-wanita yang ditidurinya adalah wanita yang berkelas. Punya jabatan serta kedudukan yang tak memalukan. Bukan karena Alan membutuhkannya, tapi karena statusnya sebagai pengusaha dan pewaris satu-satunya yang membuatnya tak boleh bertindak gegabah. Untuk itu jugalah ia merahasiakan pernikahannya dengan Bianca.
Namun, karena telah memiliki istri. Maka untuk kali ini, Alan mencoba untuk setia. Setidaknya pada satu orang yang sama.
“Kau datang?” Seorang wanita berparas oriental menyambut kedatangan Alan seraya bergelayut manja pada lengan pria itu.
“Seperti biasa.” Setelah mengucapkan pesanannya pada pelayan yang datang menghampiri, Alan segera beralih menatap sang wanita—Kim. Jika saja ia belum memiliki istri, Alan tanpa ragu akan menyeret Kim untuk naik ke atas ranjang dan meniduri wanita itu sampai puas. Apalagi status Kim sebagai seorang model terkenal membuatnya tak perlu berpikir panjang.
“Mau kutemani?” Kim dengan sengaja berucap dengan nada mendesah. Berniat untuk menggoda Alan. Namun sayang, pria itu tak menunjukkan reaksi apapun.
“Aku sedang lelah.” Alan berucap tanpa minat seraya menyesap vodka miliknya penuh kenikmatan. Setidaknya, rasa lelahnya sedikit berkurang.
“Kau yakin?” Kali ini, Kim dengan sengaja duduk di atas pangkuan Alan. Kedua lengannya bergelayut pada leher pria itu. Bahkan dengan sengaja menempelkan kedua dadanya pada tubuh Alan.
“Aku pergi dulu.” Setelah menandaskan segelas vodka miliknya, Alan segera berjalan pergi meninggalkan Kim seraya meletakkan enam lembar pecahan uang sepuluh dolar di atas meja. Saat ini, yang Alan butuhkan hanyalah istrinya—Bianca. Bahkan hanya dengan memikirkan wanita itu saja, salah satu tubuhnya sudah menunjukkan rekasi yang luar biasa. Malam ini, ia ingin kembali memiliki wanita itu.
Setelah memarkirkan mobilnya pada garasi, Alan dengan cepat melangkah memasuki kediaman miliknya. Rumah yang didominasi oleh warna hitam, putih serta abu-abu terang tersebut berdiri kokok di daerah elit pada pusat kota. Dengan tak sabaran, Alan berlari kecil menaiki tangga lalu menuju kamarnya. Ditengah cahaya lampu tidur, Alan bisa melihat dengan jelas tubuh Bianca yang tertutupi oleh baju tidur terusan berwarna pastel. Dan dia, sudah tak mampu lagi untuk menahan hasratnya.
“Bianca.” Dalam tidurnya, samar-samar, Bianca merasakan seseorang memanggil namanya. Dan ketika ia mencoba untuk membuka mata, wajah Alan yang nyaris tanpa cacat telah lebih dulu menyambutnya. Membuatnya dengan sigap segera bangun dan bersandar pada kepala tempat tidur.
“Mau apa kau?” Bianca berucap dengan nada takut. Apalagi ketika melihat bibir pria itu yang menyeringai aneh.
“Aku merindukanmu,” ucap Alan dan dengan segera memeluk tubuh Bianca seraya memberikan kecupan ringan pada pucuk kepala istrinya.
Bianca tertegun. Merasa aneh ketika mendapat perlakuan semanis ini dari Alan. Padahal pria itu tak mencintainya sama sekali. Pun dengan dirinya. Keadaan yang memaksa mereka untuk menikah. Dan Bianca juga yakin, jika Alan punya alasan tersendiri ketika setuju untuk membeli dirinya.
“Alan, lepaskan ak—” Bianca berjengit kaget ketika Alan mendaratkan gigitan kecil pada daun telinganya. Sebelum beralih untuk mengecup bibirnya. Alan yang awalnya hanya memberikan kecupan kecil, berubah menjadi ciuman penuh gairah. Tak jarang, sesekali desahan kecil lolos dari bibir Bianca yang masih dikuasai oleh Alan.
Alan mengerang tertahan. Dengan tak sabaran, ia membuka pakaian kantor yang masih dikenakannya. Membiarkannya tergeletak tak berdaya di lantai lalu beralih untuk melepaskan pakaian tidur yang dikenakan oleh Bianca. Dan Alan tak pernah bosan ketika melihat tubuh wanita itu. Sesering apapun.
“Alan.” Bianca kembali menggeleng sebagai sebuah penolakan. Namun sayang, Alan terlalu fokus mengamati setiap inci dari lekuk tubuhnya. Bianca pasrah, memberontak seperti apapun, ia tak akan bisa melawan pria itu. Tubuh berotot Alan bukan tandingannya.
“Bianca … Bianca.” Racau Alan tak jelas.
“Alan—Alan Drax.” Lirih Bianca.
Malam ini, suara desahan mereka berdua kembali memenuhi kamar tersebut. Sehingga membuat mereka semakin dikuasai oleh hasrat yang tak tertahankan.
***
Bianca mengangguk pelan pada Jimmy sebelum pria itu akhirnya melajukan mobil hitam yang dikemudikannya menjauh dari sekolahnya. Pagi ini, Bianca menghabiskan lima belas menit waktunya di dalam kamar mandi hanya untuk menutupi kiss mark pada lehernya. Ditambah dengan rasa lelah yang kembali menghampiri sekujur tubuhnya.
“Hah.” Bianca hanya bisa mendesah pelan. Sekaligus merutuki kebodohannya yang kembali terjerat akan bujuk rayu Alan.
“Bianca, hai.”
“Lily!” Bianca segera memeluk tubuh sahabatnya— Lily, ketika melihat gadis bertubuh pendek itu melambaikan tangan di depan wajahnya.
“Aku merindukanmu.” Ucap Lily seraya balas memeluk Bianca.
Selama satu minggu, Bianca memang tak masuk sekolah dan meminta izin dengan alasan ”urusan keluarga.” Tak sepenuhnya bohong memang. Karena, selama tiga hari tak masuk sekolah, Bianca dilarang keluar oleh kedua orang tuanya. Ditambah dengan rentenir yang mengincar mereka. Dan tambahannya, selama empat hari, Alan yang tak mengizinkannya untuk pergi. Dengan menjadikan pernikahan mereka sebagai alasannya.
“Apa kau baik-baik saja?” Lily bertanya dengan raut cemas. Apalagi ketika melihat wajah pucat Bianca. Seperti orang yang kurang tidur.
“Aku baik-baik saja. Ada berita apa selama aku tak masuk sekolah?” Bianca bertanya dengan nada antusias. Baginya, bergosip adalah salah satu hal yang tak boleh terlupakan ketika berada di sekolah.
“Banyak. Tapi yang lebih menggemparkan adalah ketika Rico yang terus menanyakan keberadaanmu. Dan selalu berkunjung ke kelas hanya untuk mencarimu.”
Rico adalah kapten tim basket saat ini. Semenjak duduk di kelas satu, pria itu memang sudah gencar mendekati dirinya. Namun Bianca tak pernah memberikan respon apapun. Selain karena masalah keluarganya yang menyita banyak pikiran. Ia juga sering mendengar gosip tak baik mengenai pria itu. Salah satunya adalah Rico yang mengencani para gadis hanya untuk bahan taruhan.
“Benarkah? Kukira dia sudah menyerah.” Ucap Bianca tanpa minat. Selama perjalanan menuju kelas, ia dan juga Lily bercerita tentang banyak hal. Kecuali perihal pernikahannya dengan Alan. Bianca yakin jika ia membocorkan hal tersebut, maka Alan tak akan segan-segan untuk membunuhnya. Dan Bianca tak ingin jika hal tersebut sampai terjadi.
***
“Bianca!” mendengar namanya dipanggil, Bianca segera mencari asal suara dan mendapati Rico tengah berlari menghampirinya. Padahal ia dan juga Lily sudah sangat lapar.
“Ada apa?” Bianca mencoba bertanya dengan sebaik mungkin. Sementara Lily yang berada di sebelahnya tengah berusaha menahan tawa. Tahu betul jika Bianca adalah tipe gadis yang tak bisa berpura-pura untuk bersikap manis.
“Apa kita bisa bertemu sepulang sekolah nanti?” Rico bertanya dengan raut wajah malu-malu.
“Tentu saja.” Jawab Bianca asal.
“Benarkah? Kalau begitu aku akan menunggumu.” Seusai berucap, Rico segera berlari pergi meninggalkan Bianca. Dilihat dari arah manapun, wajah pria itu memancarkan aura kebahagiaan.
“Kau yakin?” Lily segera bertanya pada Bianca yang dijawab sahabatnya itu dengan anggukan kepala.
“Hanya bertemu sebentar jadi tak—Oh, tidak!” Seakan baru tersadar akan keberadaan Jimmy, Bianca hanya bisa merutuki kebodohannya. Jika pria itu sampai melihatnya tengah bersama dengan Rico dan melaporkannya pada Alan, Bianca tak yakin akan jadi seperti apa nasibnya. Tapi sayang, bibir bodohnya ini sudah terlanjur mengiyakan ucapan Rico.
“Ada apa?” tanya Lily dengan kening berkerut. Merasa heran ketika melihat sikap Bianca yang tiba-tiba saja berubah aneh.
“Tak ada apa-apa. Ayo.” Bianca segera menarik tangan Lily agar bisa sampai dengan cepat di kantin. Sekalipun hatinya di dalam sana tengah menjerit takut.
***
Lima menit sebelum bel pulang berbunyi, Jimmy sudah setia menunggu di depan sekolah Bianca. Dan sama sekali tak memedulikan tatapan kagum yang dilayangkan oleh gadis-gadis dari dalam sekolah tersebut.
Jimmy yang baru saja berniat memanggil nama Bianca, tersentak kaget ketika melihat seorang pria yang mengenakan seragam yang sama dengan istri tuannya, secara tiba-tiba memegang tangan Bianca. Seperti memaksa wanita itu untuk mengikutinya.
“Rico, lepaskan aku.” Bianca berucap dengan nada memohon seraya mengamati sekitar. Takut-takut jika Jimmy melihatnya. Sebelumnya, ia sudah mengatakan pada Rico jika tak bisa menerima tawaran pria itu yang mengajaknya makan bersama. Namun, Rico terus memaksa.
“Bianca, please, hanya kali ini saja.” Seolah tak mengenal kata menyerah, Rico kembali memaksa Bianca. Bahkan tak memedulikan keadaaan sekitar mereka yang telah ramai.
“Rico, aku tetap tak bisa.”
“Hanya unt—Argh!” Rico mendadak memekik sakit ketika seseorang mencengkeram tangannya. Memutarnya kebelakang lalu melipatnya.
“Jimmy!” Bianca berjengit kaget ketika melihat pria itu. Bahkan seluruh mata juga menatap pria bermata biru laut itu.
Jimmy masih setia memegangi tangan Rico. Sekalipun pria itu memekik sakit karena ulahnya. Seakan baru tersadar jika Rico adalah seorang kapten tim basket. Bianca langsung menarik tangan Jimmy dan mengajak pria itu untuk segera pulang.
“Jimmy, lepaskan dia. Kita pulang sekarang, okay?” Bianca berucap dengan nada panik.
“Baik, Nona.” Bianca dengan cepat melangkah mengikuti Jimmy menuju mobil hitam Alan yang terparkir di depan sekolah. Ia juga tak lagi peduli ketika pria itu membukakan pintu untuknya. Yang Bianca inginkan saat ini hanyalah pulang ke rumah sembari memikirkan alasan apa yang harus ia berikan besok pada Lily. Ia bahkan harus berpura-pura tak menatap Lily yang sedari tadi memandangnya penuh tanya.
***
Bianca hanya mampu menahan napas ketika mobil yang ditumpanginya baru saja memasuki halaman rumah Alan dan Mercedes Benz-AMG GT-R berwarna selenite grey milik pria itu sudah terparkir dengan rapi.
“Jimmy, kau melaporkannya pada Alan?” Bianca segera bertanya dengan nada tak percaya. Apalagi ketika menatap Jimmy yang tak menunjukkan raut apapun.
“Sudah menjadi tugasku.” Jawab Jimmy tegas.
“Ya Tuhan….” Bianca hanya mampu mendesah kasar. Ia sudah pasrah akan nasibnya ditangan Alan setelah ia menginjakkan kaki ke dalam rumah tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!