NovelToon NovelToon

Cinta Kania

Part 1

Rintik air hujan perlahan turun membasahi bumi. Dari balik jendela bus, Kania, gadis cantik yang terlihat sederhana, tampak terpaku memandangi titik air hujan yang jatuh membasahi jendela. Sejenak, hatinya merasa tenang saat melihat rinai air hujan yang membentuk bola-bola kristal saat jatuh di atas kaca jendela yang membuatnya menyunggingkan sebuah senyuman yang terukir di wajah cantiknya. Senyum yang terukir karena ingatan akan masa lalu kembali bermain dalam ingatannya.

Di depan sebuah mall ternama di kota itu, bus yang ditumpanginya berhenti. Kania dan beberapa orang terlihat berdiri dan mulai menuruni tangga bus dengan hati-hati. Sambil menutupi kepalanya dengan tasnya, Kania berlari memasuki halaman mall dan berjalan perlahan saat memasuki koridor. Gadis itu kemudian menaiki tangga menuju salah satu toko kosmetik yang cukup besar.

Jalan itu sudah biasa dilaluinya sejak 6 bulan terakhir. Tepatnya, sejak dia berkerja di toko kosmetik itu.

"Kamu terlambat lagi?" Seorang wanita muda berjalan mendekatinya dan menyodorkan kotak tisu padanya.

"Aku minta maaf."

Kalimat yang sudah sering dia ucapkan, namun wanita itu hanya tersenyum dan menepuk pundaknya pelan. "Selama kamu tidak ketahuan, kamu akan aman." Kania tersenyum pada wanita itu sambil menyeka bajunya yang tampak basah dengan tisu pemberiannya.

"Sebaiknya kamu istirahat, biar aku saja yang membawa pesanan Bu Nova." Wanita yang tengah hamil muda itu menenteng sebuah tas yang berisikan kosmetik yang dipesan seorang pelanggan tetap.

"Tidak usah, Kak. Biar aku saja yang membawanya. Kak Eva di toko saja, kasihan bayinya kalau Kak Eva sampai lelah." Kania mengambil tas di tangan wanita yang bernama Eva itu dan bergegas menuruni anak tangga.

Karena buru-buru, Kania tidak sempat untuk mengambil payung yang ada di dalam toko. "Untung saja kantor Bu Nova tidak jauh dari sini," batinnya sambil memperhatikan langit yang masih mendung dengan air hujan yang enggan untuk berhenti.

Karena hujan belum juga reda, Kania akhirnya memutuskan untuk menerobos jalanan dan menuju kantor Bu Nova yang hanya berada satu blok dari mall hingga dia sampai di depan kantor itu.

Kania berjalan menuju seorang pegawai Bu Nova yang sudah menunggunya di depan pintu. "Kania, apa kamu datang ke sini tidak pakai payung?" Seorang pria muda berjalan mendekatinya dan memandanginya heran.

"Iya, Bas. Aku buru-buru hingga lupa membawa payung." Senyum gadis itu terlihat hingga membuat pemuda itu menggelengkan kepalanya.

"Kania, Kania, kamu itu tidak pernah berubah. Kamu lupa atau sengaja mau main hujan, hah? Atau jangan-jangan kamu merindukan dia, iya?"

"Bicara apa kamu, Bas. Dari pada layani ocehanmu itu, mending aku balik." Kania menyerahkan tas yang sedari tadi ditentengnya pada pemuda itu. Wajahnya tiba-tiba berubah cemberut.

"Jelek tahu kalau wajahmu cemberut seperti itu. Tunggu sebentar, aku ambilkan payung untukmu." Pemuda itu kemudian masuk ke dalam kantor dan tak lama kemudian dia sudah kembali dengan membawa payung di tangannya. "Nih, pakai payungnya dan jangan cemberut terus nanti pelangganmu bisa kabur."

Sontak, Kania menyunggingkan senyum padanya. "Sudah puas? Sekali lagi kamu ungkit tentang dia, aku akan merengek di sini biar kamu malu sekalian, mau?"

"Tidak mau, sana balik. Jangan lupa, jam makan siang nanti aku jemput."

"Iya, iya. Aku pergi dulu." Kania melambaikan tangan pada pemuda itu dan melangkah pergi meninggalkannya. Pemuda itu terlihat masih berdiri dan kembali masuk ke dalam kantor saat Kania sudah tidak lagi tampak di depannya.

Kania berjalan dengan santai seakan ingin menikmati guyuran air hujan yang terdengar di atas payung yang kini dipakainya. Sayup-sayup suara hujan terdengar bagai alunan melodi yang indah di telinganya. Tiap langkah kakinya terlihat bersemangat sambil bermain genangan air hujan seakan itu adalah hal yang menyenangkan baginya. Hingga tiba-tiba, sebuah mobil sedan berwarna hitam yang terlihat mewah melintas di sampingnya dan mencipratkan air genangan hingga membasahi bajunya. Antara marah dan kesal, Kania hanya bisa memandangi mobil itu yang terus melaju tanpa peduli padanya yang kini telah basah.

Kania terus berjalan dan memasuki koridor mall. Payung yang sudah ditutup kemudian ditentengnya sambil berjalan menaiki anak tangga. Tiba-tiba, mata Kania tertuju pada seorang anak perempuan yang tengah menangis dan duduk di anak tangga. Gadis kecil yang berusia tiga tahunan itu menangis sesenggukan sambil sesekali menghapus air matanya.

"Kamu kenapa, Dek?" Kania mendekati gadis kecil itu dan duduk di sebelahnya. Gadis kecil itu menoleh dan memandangi Kania yang kini membelai lembut kepalanya.

"Kamu terpisah dari orang tuamu?" Gadis kecil itu mengangguk dan mendekatkan dirinya pada Kania.

Melihat gadis kecil itu yang ketakutan membuat Kania segera memeluknya. Gadis kecil itu tidak menolak, bahkan dia memeluk Kania dengan eratnya. Kania tersenyum dan mengelus lembut punggung gadis kecil itu dan menggendongnya. "Jangan takut, Kakak akan membawamu kembali pada orang tuamu. Jangan menangis lagi, ya." Kania menghapus air mata gadis kecil itu dan mengecup pipinya. Gadis kecil itu mengangguk dan melingkarkan kedua tangannya di leher Kania dan memeluknya erat.

Sambil menggendongnya, Kania berjalan menuju ke ruang informasi. "Kania, anak siapa itu?" Seorang lelaki paruh baya memandanginya yang kini tengah menggendong gadis kecil.

"Kasihan Pak, dia terpisah dari orang tuanya. Aku menemukannya menangis di anak tangga. Aku minta tolong buat informasikan pada pengunjung, jika mereka kehilangan anak perempuan bisa datang mengambilnya di toko tempat aku kerja. Untuk sementara, aku akan membawanya ke sana."

"Ya sudah, nanti Bapak informasikan. Sebaiknya, tidurkan dia dulu, kasihan dia sepertinya lelah."

"Iya, Pak. Aku balik dulu ke toko, kalau orang tuanya datang, antarkan mereka ke toko ya, Pak?"

Lelaki itu tersenyum dan mengangguk. "Iya, nanti Bapak akan antarkan mereka ke sana."

Kania kemudian pergi ke toko dan mendapati Eva yang menunggunya dengan harap-harap cemas. "Kamu kenapa lama? Lalu, anak itu siapa?"

"Maaf, Kak. Aku lama karena harus ke ruang informasi dulu karena melaporkan anak yang hilang. Kasihan Kak, dia terpisah dari orang tuanya dan menangis di anak tangga, makanya aku membawanya." Kania menjelaskan sambil membelai lembut punggung gadis kecil itu yang masih memeluknya.

"Ya sudah, sini aku akan menjaganya dan kamu segera temui Pak Reno, dia sudah menunggumu dari tadi." Eva meraih tubuh gadis kecil itu untuk digendongnya, tapi gadis kecil itu menolak dan tidak melepaskan pelukannya dari Kania.

"Dek, Adek sama kakak itu dulu, ya. Sebentar saja, Kakak harus menemui bos Kakak dulu. Setelah itu, Kakak akan menggendongmu lagi." Gadis kecil itu menggeleng dan kembali memeluknya.

"Ya sudah, Kakak tidak akan melepaskanmu." Kania kembali menggendongnya dan berjalan menuju salah satu ruangan di dalam toko itu.

Di depan pintu, Kania berhenti dan menarik napas panjang seakan bersiap dengan sesuatu hal yang buruk. Perlahan, Kania mengetuk pintu itu.

"Masuklah." Suara seorang lelaki terdengar dari balik pintu.

Kania lantas membuka pintu dan mendapati seorang lelaki yang terlihat masih muda berjalan ke arahnya.

"Kania, siapa anak itu?"

"Maaf, Pak. Dia anak yang aku temukan sedang menangis di anak tangga menuju toko, dan aku sedang menunggu orang tuanya untuk datang menjemputnya. Maaf, Pak, dia tidak mau turun dari gendonganku, makanya aku bawa dia ke sini." Kania menjelaskan sambil mengelus lembut punggung gadis kecil itu yang masih memeluknya.

Lelaki itu tampak tersenyum dan memandangi Kania dengan tatapan seperti biasanya, tatapan yang merayu hingga membuat Kania merasa sangat tidak nyaman.

"Kamu wanita hebat. Tak hanya cantik, kamu rupanya sangat disukai anak-anak. Kania, apa kamu mau menjadi istri keduaku?" Lelaki itu berjalan mendekati Kania dan bermaksud meraih tangannya, tapi Kania mundur ke belakang sambil memeluk gadis kecil itu dengan erat.

"Maaf, Pak. Jika tidak ada hal yang ingin dibicarakan lagi, maka aku akan pergi." Kania membalikkan tubuhnya dan hendak membuka pintu, namun lelaki itu segera menghentikannya dan berdiri di depannya.

"Sabar dulu, Kania. Baiklah, aku memanggilmu karena ada hal yang ingin aku sampaikan. Mulai besok, kamu tidak akan bekerja di sini lagi, tapi kamu akan aku pindahkan ke salah satu toko yang baru saja aku buka dan menjadi maneger di sana, tapi ... " Lelaki itu menghentikan kalimatnya dan memandangi Kania dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya.

"Aku akan menjamin hidupmu dan memberikan apapun yang kamu mau, asalkan kamu mau menjadi kekasih rahasiaku. Kamu mau, kan?" Lelaki itu memandangi Kania dengan tatapan penuh pengharapan, tapi Kania hanya tersenyum.

"Maaf, Pak Reno, aku tidak suka menjadi wanita simpanan. Kalau Bapak benar-benar menyukaiku, silakan ceraikan dulu istri Bapak, setelah itu aku akan bersedia menjadi istri Bapak." Kania kemudian membuka pintu dan berjalan keluar dari ruangan itu. Lelaki itu hanya bisa menatap kepergian Kania tanpa berkata apapun.

"Dasar laki-laki mata keranjang! Apa sih yang dia cari? Sudah punya istri yang cantik dan kaya raya, tapi masih saja suka menggoda wanita lain." Kania menggerutu dengan wajah yang terlihat kesal.

"Apa lagi yang dia janjikan ke kamu?" tanya Eva yang sudah paham jika melihat gadis itu keluar dari ruangan bos mereka dengan wajahnya yang kesal.

"Kali ini aku akan dijadikan maneger di toko barunya, asalkan aku menjadi kekasih rahasianya. Memang gila tuh orang." Kania duduk sambil memangku gadis kecil yang sedari tadi tidak ingin melepasnya.

"Lalu, kamu jawab apa?"

"Aku bilang akan menjadi istrinya jika dia berani menceraikan istrinya." Kania menjawab spontan.

"Gila kamu, ya. Kalau dia berani melakukannya, berarti kamu ... "

"Dia tidak akan berani melakukannya. Secara, semua kekayaan yang dia miliki adalah milik istrinya. Jika dia berani menceraikan istrinya berarti dia juga berani untuk kehilangan semua kekayaan ini dan apa Kakak pikir dia mau kehilangan kekayaannya hanya karena gadis miskin seperti aku?" Kania tersenyum kecut saat mengucapkan kalimat itu.

Ya, Kania hanya seorang gadis sederhana. Bisa dibilang kalau dia adalah gadis miskin yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga ibunya.

Di usianya yang sudah menginjak 25 tahun, Kania harus bekerja ekstra dan melupakan masa muda yang hilang begitu saja. Masa muda yang biasanya penuh tawa dan bahagia karena kehadiran seseorang yang spesial, tak mungkin lagi dirasakan olehnya. Semua masa muda itu harus diisinya dengan bekerja keras dan membanting tulang untuk kebutuhan keluarganya.

"Dek, siapa namamu?" tanya Kania saat gadis kecil itu terbangun di pangkuannya.

"Namaku, Tania." Gadis kecil itu terlihat tersenyum saat Kania memberikan susu kemasan padanya. "Terima kasih."

Kania dan Eva saling memandang saat gadis kecil itu mengucapkan terima kasih. Gadis kecil itu terlihat sangat menggemaskan hingga membuat Eva duduk di sampingnya dan memeluknya. "Tania, kamu sangat imut. Moga saja anakku nanti bisa cantik dan menggemaskan sama sepertimu." Eva memandanginya sambil mengusap perutnya dan berharap bayinya kelak akan tumbuh menjadi gadis cantik sama seperti Tania.

"Sudah mendekati jam makan siang, tapi orang tuanya belum juga datang menjemputnya. Bagaimana ini, Kak?"

"Kita tunggu sebentar lagi, mungkin saja mereka sedang menuju ke sini."

Dan benar saja, seorang lelaki muda tampak berjalan tergesa-gesa menuju ruang informasi. Setelah bertanya pada lelaki paruh baya perihal seorang gadis kecil yang hilang di mall itu, lelaki itu terlihat menunduk menahan tangis saat mendapat penjelasan kalau gadis kecil itu baik-baik saja dan berada dalam pengawasan seorang wanita yang tak sengaja menemukannya.

"Terima kasih, Pak. Terima kasih." Lelaki itu tak hentinya mengucapkan terima kasih dan meminta untuk diantarkan ke wanita yang sudah menemukan anaknya itu.

Di depan toko, mereka berhenti dan lelaki itu melihat seorang gadis kecil yang sedang bermain dengan seorang wanita. Lelaki itu tersenyum sambil menahan tangis saat melihat gadis kecil itu tertawa. "Tania."

"Papa." Gadis kecil itu berlari dan memeluk lelaki muda yang di panggilnya papa itu.

"Maafkan Papa, Nak." Lelaki itu memeluk anaknya hingga membuatnya menitikan air mata.

"Papa jangan menangis, Tania baik-baik saja, kok. Tania hari ini sangat gembira karena ditemani sama Kakak itu." Gadis kecil itu menunjuk pada Kania yang perlahan menghapus air matanya karena ikut sedih saat melihat ayah dan anak itu saling berpelukan.

"Tania sekarang sudah bisa pulang sama, Papa. Lain kali jangan sampai terlepas lagi ya dari tangan Papa." Kania membelai lembut kepala gadis kecil itu.

Tania yang berada dalam pelukan ayahnya, perlahan mengulurkan kedua tangannya seakan meminta digendong oleh Kania. Gadis itu tersenyum dan meraih tubuh gadis kecil itu dalam pelukannya. "Tania harus kembali sama Papa. Jangan membantah apa kata Papa dan jangan berjalan sendirian tanpa Papa, Tania mengerti, kan?" Gadis kecil itu mengangguk dan memeluk Kania dengan erat. Setelah puas memeluk, gadis kecil itu lantas mengecup kedua pipi Kania hingga membuat Kania membalas mengecup pipinya. "Tania pulang ya sama Papa." Kania lantas menyerahkan gadis kecil itu pada lelaki yang sedari tadi menatap tingkah mereka.

"Terima kasih, aku sangat berterima kasih."

Kania mengangguk dan tersenyum. "Lain kali, tolong diawasi ya Pak anaknya. Kasihan, tadi dia menangis sendirian. Kalau orang jahat yang menemukannya, aku tidak yakin Bapak bisa mendapatkan anak Bapak lagi."

Lelaki itu mengangguk. "Terima kasih sekali lagi. Aku tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apa, tapi aku sungguh-sungguh berterima kasih."

Lelaki itu kemudian pamit undur diri dan meninggalkan tempat itu. Tania memandangi Kania dengan wajah yang terlihat sedih dan Kania hanya bisa melambaikan tangan untuk gadis kecil itu sambil tersenyum, hingga tiba-tiba dia dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita yang mendekatinya dan seketika menampar wajahnya.

Part 2

Mobil sedan berwarna hitam melaju di jalanan yang basah karena diguyur air hujan. Mobil yang dikendarai seorang wanita itu melaju cukup cepat hingga mobil itu berhenti di depan sebuah gedung tinggi. Gedung itu adalah sebuah perusahaan yang cukup punya nama. Perusahaan yang bergelut dalam dunia otomotif.

Sambil setengah berlari, wanita yang terlihat cantik dan seksi itu kemudian masuk ke dalam lift. Wajahnya tampak panik yang menandakan kalau wanita itu sedang mengkhawatirkan sesuatu. Tak lama, pintu lift terbuka. Wanita itu lalu keluar dan menuju ke salah satu ruangan.

"Maaf, Bu. Saat ini, Pak Arya tidak bisa diganggu karena sedang meeting." Seorang wanita cantik berdiri menghalanginya.

"Aku harus bertemu dengan Mas Arya karena ada sesuatu hal penting yang ingin aku katakan padanya." Wanita itu mencoba untuk membujuk, namun tetap saja ditolak.

Wanita itu tampak kecewa dan berjalan mondar-mandir di depan pintu ruangan itu. Setelah menunggu beberapa lama, pintu ruangan itu terbuka.

Melihat seorang lelaki keluar dari balik pintu membuat wanita itu segera mendekatinya. "Mas Arya, ada sesuatu yang harus aku katakan."

Lelaki itu menatapnya heran. "Rina? Kenapa kamu ada di sini? Mana Tania?"

Wanita itu tampak pucat hingga membuatnya gemetar. "Aku minta maaf, Mas. Aku kehilangan Tania saat di mall. Aku sudah mencoba hubungi ponsel Mas, tapi tidak aktif. Aku sudah berusaha mencarinya, tapi tidak ketemu. Aku minta maaf, Mas."

Seketika wajah lelaki itu memerah. Tanpa peduli apapun, lelaki itu kemudian berlari menuju lift dan meninggalkan wanita itu yang kemudian mengikutinya.

Dengan mengendarai mobilnya, lelaki yang bernama Arya itu kemudian menuju ke mall yang dimaksud oleh Rina. Awalnya, mereka berjanji untuk bertemu dan makan siang di salah satu resto di mall itu, tapi nyatanya Rina yang membawa Tania terlalu awal dan malah kehilangan gadis kecil itu di sana.

Sesampainya di mall, Arya langsung menuju ke ruang informasi. Dengan napasnya yang turun naik, lelaki itu kemudian bertanya pada seorang petugas di ruangan itu. "Maaf, Pak. Apa ada laporan anak yang hilang? Gadis kecil yang berumur sekitar tiga tahunan." Lelaki itu terlihat panik hingga membuatnya hampir menangis.

"Oh, gadis kecil yang cantik itu? Yang rambutnya dikuncir?" Lelaki itu mengangguk sambil memperlihatkan foto putrinya itu dari ponselnya.

"Bapak jangan khawatir, untung saja Kania yang menemukan anak Bapak. Kania sudah datang melapor ke saya perihal anak Bapak itu, dan sekarang anak Bapak ada bersamanya. Ayo, biar saya antar ke toko tempat dia bekerja."

Mendengar penjelasan lelaki paruh baya itu membuat Arya merasa lega. Rasanya, tubuhnya bagaikan disiram air es hingga membuatnya segar kembali. Walau cuaca saat ini hujan, tapi lelaki itu merasakan tubuhnya panas karena mendengar berita hilangnya putri semata wayangnya itu.

Arya kemudian berjalan mengikuti lelaki itu dan berhenti di depan sebuah toko kosmetik. Sesaat, pandangannya tertuju pada gadis kecil yang kini sedang bermain dan tertawa riang bersama seorang gadis muda. Tak hanya itu, putrinya yang selama ini tertutup dan pendiam di depan orang lain ternyata dengan mudahnya tertawa di depan gadis itu dan sesekali memeluknya bahkan mengecup pipinya.

Tanpa terasa, Arya menitikan air mata dan berjalan perlahan mendekati mereka. "Tania."

Gadis kecil itu menoleh dan berlari ke arahnya. "Papa."

Arya memeluk putrinya itu hingga membuatnya menangis. Entah apa jadinya jika sampai dia benar-benar kehilangan putrinya itu. Entah apa yang akan dia katakan pada istrinya nanti jika dia tidak mampu menjaga buah hati mereka.

Kania berdiri di depan mereka dan tanpa sadar dia ikut menitikan air mata saat melihat ayah dan anak itu saling berpelukan.

Arya kemudian memandangi gadis muda itu dan berterima kasih padanya. Gadis itupun tersenyum sambil menerima uluran tangan putrinya yang kembali meminta digendong oleh gadis muda itu.

Arya menatap gadis muda itu yang tampak akrab dengan putrinya. Bahkan, tanpa ragu putrinya itu memeluk dan mengecup pipi gadis itu. Sesaat, dia takjub dengan gadis itu yang dengan mudahnya membuat putrinya luluh.

Gadis itu kemudian menyerahkan putrinya kembali kepadanya. Tak lupa, Arya kembali mengucapkan terima kasih. Entah sudah keberapa kalinya dia katakan itu, tapi baginya itu tidaklah cukup karena keselamatan putrinya tidak sebanding dengan hanya mengucapkan terima kasih.

Arya kemudian pergi dan putrinya masih memandangi ke arah Kania. Tiba-tiba, putrinya menangis dan memintanya untuk kembali pada gadis itu, tapi Arya berusaha untuk tidak menuruti kemauan putrinya itu.

"Tania, dengar Papa, Nak. Kakak itu harus bekerja dan kamu tidak boleh mengganggunya. Nanti, kapan-kapan, Papa akan mengajakmu menemuinya lagi, ya?"

Setibanya di dekat mobilnya, Rina yang sedari tadi menunggunya kemudian berjalan mendekatinya dan berusaha meraih Tania, namun Arya menolak. "Aku sungguh kecewa sama kamu. Aku tidak menyangka kamu bisa meninggalkan keponakanmu sendiri seperti itu. Kalau tidak ada gadis itu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Tania dan jika itu sampai terjadi, sampai kapanpun aku tidak akan pernah memaafkanmu." Arya membuka pintu mobilnya dan mendudukan Tania di kursi depan.

"Mas Arya, aku mohon maafkan aku, Mas." Rina masih memohon untuk dimaafkan, tapi Arya sudah terlanjur kecewa padanya.

"Mulai saat ini, aku tidak akan mengizinkanmu untuk menemui Tania lagi." Arya membuka pintu mobilnya dan mulai melajukan mobilnya meninggalkan Rina yang berdiri terpaku menahan tangis.

"Papa, aku ingin kakak. Kakak pasti sedang sedih." Tania tiba-tiba menangis sedih sambil memandangi ayahnya.

"Tania, kamu sayang sama Papa, kan?" Gadis kecil itu mengangguk.

"Kalau begitu, Tania bisa kan turuti ucapan Papa?"

"Tapi, Pa, kakak pasti sedang sedih karena tadi Tania melihat ada orang yang memukul kakak." Tania kembali menangis seakan dia begitu mengkhawatirkan gadis yang belum lama dikenalnya itu.

Arya terkejut saat mendengar ucapan putrinya itu. Melihat Tania terus menangis, akhirnya membuatnya berbalik arah dan kembali ke mall.

Sementara di mall, Kania ditampar oleh seorang wanita yang tiba-tiba datang menghampirinya. Sontak, Kania terkejut saat melihat wanita itu.

"Dasar perempuan gatal! Apa tidak ada laki-laki lain yang bisa kamu rayu selain suamiku? Apa kebaikan suamiku ingin kamu manfaatkan hingga kamu tega merayunya?" Kania kembali ditampar, bahkan rambutnya dijambak dengan kasar.

"Bu Riska, apa maksudnya? Aku tidak pernah merayu Pak Reno. Bu Riska, Ibu pasti salah paham." Kania mencoba membela diri, namun wanita itu tidak menggubris hingga membuatnya kembali melayangkan tamparan di wajah Kania hingga membuat sudut bibirnya berdarah.

"Bu Riska, Ibu pasti salah paham. Kania tidak pernah merayu Pak Reno, malah Pak Reno yang terus merayu Kania." Eva yang tidak terima sahabatnya itu diperlakukan tidak adil berusaha untuk membela, tapi wanita itu tidak peduli bahkan mendorong tubuh Eva hingga tubuhnya terpental ke belakang.

Melihat Eva yang terdorong ke belakang dan terhempas di dinding membuat Kania menjadi geram. Kania yang sedari tadi tidak melawan, perlahan melepaskan tangan wanita itu dari rambutnya dan berlari ke arah Eva yang meringis kesakitan. "Kakak tidak apa-apa, kan?" Kania meraih tangan Eva dan menuntunnya untuk duduk.

"Aku tidak apa-apa, tapi kamu kini dalam masalah."

"Itu tidak masalah buatku, tapi aku tidak akan terima jika Kakak diperlakukan seperti ini."

"Kenapa? Apa kalian bersekongkol untuk merayu suamiku?" Wanita itu berdiri di depan mereka dan menatap mereka dengan rasa benci.

"Jika kamu tidak mau mengakuinya, saat ini juga kalian berdua aku berhentikan." Kania terkejut dan menatap wanita itu.

"Bu Riska, bagaimana aku bisa mengakuinya padahal aku sama sekali tidak pernah melakukannya." Kania masih teguh dengan pendiriannya karena dia merasa tidak bersalah.

"Baiklah, kalau begitu, saat ini juga kalian berdua aku pecat!!"

Mendengar dirinya dipecat, Eva menitikkan air mata. Saat ini, dia sangat butuh pekerjaan untuk menambah biaya untuk persalinannya nanti dan Kania menyadari itu.

Orang-orang terlihat berkumpul di depan toko dan melihat pertengkaran mereka. Kania bisa melihat wajah-wajah kesal yang melihat ke arahnya. Wajah-wajah yang terlihat muak karena melihat seorang gadis yang menjadi penghancur rumah tangga orang, walau sebenarnya dia tidak pernah melakukan perbuatan keji itu.

"Aku akan mengakuinya, asalkan Bu Riska tidak memecat Kak Eva." Mendengar ucapan Kania membuat wanita itu tersenyum puas.

"Baiklah, tapi kamu harus berlutut di depanku dan meminta maaf."

"Kania, jangan lakukan itu. Aku tidak masalah jika dipecat, tapi aku mohon jangan berlutut di depannya." Eva mencoba untuk melarangnya, tapi Kania hanya tersenyum dengan bulir air mata yang perlahan jatuh.

"Kakak harus tetap kerja, aku baik-baik saja." Kania lantas duduk bersimpuh di depan wanita itu, seketika Eva memalingkan wajahnya sambil menahan tangis.

"Bu Riska, aku mengakuinya dan aku minta maaf." Kania kemudian bersujud di depan wanita itu. Arya yang sedari tadi melihat pertengkaran itu ingin mendekati Kania, namun langkahnya terhenti saat melihat seorang pria mendekati Kania dan meraih tangannya.

"Ayo, berdiri. Kamu tidak pantas berlutut di depan mereka."

Kania mengangkat wajahnya dan mendapati seorang pemuda yang kini berdiri di sampingnya. "Bastian?"

"Kenapa kamu tidak bilang padanya kalau suaminya itu punya selingkuhan? Kenapa kamu diam saja saat wanita itu menuduhmu tanpa bukti?" Pemuda itu terlihat marah, tapi Kania hanya diam dan menundukan wajahnya.

"Bu Riska, aku tahu siapa Pak Reno. Kania bukan sekali dirayu olehnya, tapi berkali-kali dan berkali-kali pula Kania menolaknya. Apa Bu Riska tidak tahu kelakuan suami Ibu sendiri? Apa perlu aku menunjukan bukti tentang perselingkuhan suami Ibu?" Bastian kemudian memperlihatkan sebuah video di ponselnya yang memperlihatkan seorang lelaki yang sedang makan bersama dengan seorang wanita cantik. Bukan hanya itu, tapi lelaki itu bahkan mencium dan memeluk wanita itu dengan mesra.

Sontak, wajah wanita itu merah padam. Dia seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Bubar kalian, bubar!" Wanita itu tampak marah dan mengusir orang-orang yang berdiri di depan tokonya itu. Karena tidak terima, orang-orang itu kemudian bubar sambil menyorakinya.

"Ayo, kita pergi dari sini." Bastian lantas meraih tangan Kania dan meninggalkan tempat itu.

"Papa, kakak mau kemana?"

"Untuk saat ini, kita biarkan kakak pergi dulu. Nanti besok, Papa akan mengantarmu menemui kakak itu lagi." Tania mengangguk dan kembali memeluk ayahnya.

Arya kemudian pergi dan menyisakan rasa sedih di hatinya saat melihat gadis itu diperlakukan dengan tidak adil. Walau baru pertama kali mereka bertemu, tapi lelaki itu begitu yakin kalau Kania adalah gadis yang baik.

Sementara Kania, sedang duduk menangis di sebuah taman yang terletak tidak jauh dari mall itu. Bastian yang tidak tega padanya, segera membawanya ke tempat itu dengan sepeda motornya.

"Kania, kenapa kamu hanya diam saja saat wanita itu menuduhmu merayu suaminya? Kenapa kamu tidak tunjukan chat yang selama ini suaminya kirim ke kamu?" Lelaki itu terlihat kesal dan marah.

Melihat Kania yang hanya menangis sambil menundukan wajahnya membuat Bastian tidak tega. Lelaki itu kemudian duduk di sampingnya. Ingin rasanya dia memeluk gadis itu, tapi dia kembali mengurungkan niatnya itu.

"Kania, kamu baik-baik saja, kan?" Bastian menatap gadis itu yang perlahan mengangkat wajahnya.

"Aku malu, Bas. Di depan semua orang, aku dituduh sebagai perempuan penggoda suami orang. Aku sangat malu, Bas." Kania kembali menundukan wajahnya dan menangis hingga membuat lelaki itu tidak tahan.

"Aku mohon jangan menangis lagi. Kamu tidak perlu malu karena semua tuduhan itu tidak benar. Yang seharusnya malu itu mereka, bukan kamu." Bastian mengelus lembut punggung gadis itu dan menyandarkan lengannya untuk gadis itu bersandar.

"Menangislah, Kania. Aku tidak akan melarangmu menangis lagi kalau menangis bisa membuat hatimu lega," batin Bastian yang perlahan merangkul Kania dengan tangan kanannya.

Arya yang sementara mengendarai mobilnya, tidak sengaja melihat mereka duduk di taman. Kedekatan mereka cukup membuatnya menjadi penasaran. "Apa mungkin lelaki itu adalah kekasihnya?"

Arya terus melanjutkan perjalanan dan hanya melihat mereka dari balik kaca spion. Sejenak, dia melayangkan pandangannya pada Tania yang sudah tertidur di sampingnya. "Putriku, apakah kamu menyukainya? Apakah dia bisa membuatmu bahagia? Tidakkah kamu merindukan ibumu? Ah, Papa sangat merindukan ibumu hingga membuat Papa merasa putus asa. Papa ingin bertemu dengannya, tapi itu mustahil karena ibumu sudah meninggalkan kita." Arya menitikan air mata hingga membuatnya menepi mobilnya di sisi jalan.

Melihat Tania, Arya tersenyum dan mengelus lembut pipi anaknya itu. "Maafkan Papamu ini yang takut untuk jatuh cinta lagi. Papa tidak ingin egois dan melihatmu menangis jika wanita yang Papa pilih nantinya akan membuatmu terluka. Papa akan hidup hanya untukmu dan Papa akan rela jika selamanya Papa akan hidup sendiri tanpa seorang pendamping." Arya menitikan air mata sambil menyandarkan kepalanya di kursi kemudi.

"Istriku, bantu aku agar aku bisa membuat putri kita bahagia. Aku sangat merindukanmu hingga membuatku menjadi gila." Arya memejamkan matanya dan membayangkan senyuman istrinya. Senyuman yang telah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Part 3

Lima tahun yang lalu, Arya bertemu dengan Rani, gadis cantik yang sudah membuatnya jatuh cinta. Tak hanya cantik, Rani juga ternyata gadis yang baik hati dan ramah hingga membuat Arya melabuhkan cintanya untuk gadis itu. Selama setahun mereka menjalin kasih, akhirnya Arya melamarnya. Kehidupan rumah tangga mereka sangat harmonis dan mereka saling mencintai. Hingga takdir memisahkan mereka saat Rani melahirkan buah cinta mereka. Hanya berselang sehari pasca melahirkan, Rani meninggal dan itu membuat Arya sangat terpukul.

Arya kembali mengingat masa yang menyedihkan itu. Air matanya seakan enggan untuk berhenti mengalir saat dia teringat akan permintaan terakhir istrinya. Sambil menahan air mata, Rani menggenggam tangannya. "Suamiku, bahagiakanlah putri kita. Jika ada wanita yang menyayangi putri kita dengan tulus, maka terimalah dia dan lupakan aku. Aku akan ikhlas asalkan kalian bahagia."

Kata-kata Rani masih terngiang di telinganya hingga kini. Sudah tiga tahun dia memegang teguh ucapan istrinya itu hingga membuatnya begitu berhati-hati dalam memilih wanita.

Arya Wicaksana, bukanlah lelaki sembarangan. Dia adalah salah satu pengusaha muda yang cukup sukses dan banyak wanita yang berusaha untuk dekat dengannya, tapi dia selalu menjaga jarak dan bahkan tidak peduli dengan mereka. Wajahnya yang tampan dan dipadukan dengan tubuhnya yang atletis, cukup membuat orang-orang tidak menyangka kalau dirinya adalah seorang duda beranak satu.

Arya masih memejamkan matanya seraya bersandar di kursi kemudi. Ingatannya kembali terusik saat mengingat Tania yang tertawa manja pada wanita muda itu. Selama ini, Tania tidak mudah untuk bisa dekat dengan seseorang. Hanya dirinya yang bisa membuat putri kecilnya itu tertawa sambil memeluknya. Dan hanya pada dirinya saja, putri kecilnya itu biasa mengecup pipinya sambil tersenyum.

Dan kini, seorang wanita telah berhasil merebut hati putrinya itu. Seorang wanita yang namanya saja tidak diketahuinya.

Arya kembali melajukan mobilnya dan sesekali memandangi Tania yang masih tertidur dengan pulasnya. Di depan sebuah rumah bertingkat dua, mobil itu berhenti. Arya kemudian menggendong Tania dan membawanya ke dalam rumah, namun Rina sudah menunggunya di depan pintu. "Mas Arya, aku minta maaf, aku tidak sengaja hingga membuat Tania terpisah dariku." Wanita itu tampak memohon sambil mengikuti Arya dari belakang.

Rina, wanita cantik dan seksi. Dia adalah adik kembar dari Rani. Sejak dulu, wanita itu diam-diam menyukai Arya walau dia tahu Arya adalah kekasih kakaknya sendiri. Walaupun mereka kembar, tapi kepribadian mereka sangatlah jauh berbeda.

Rani, gadis cantik yang baik hati dan sopan, begitu jauh berbeda dengan Rina yang berani dan blak-blakan. Kedua gadis itu memiliki sifat yang berbeda dan Arya lebih memilih Rani yang baginya pantas untuk menjadi istrinya.

Sejak Rani meninggal, Rina mulai berusaha untuk mendekati Arya, tapi lelaki itu seakan tidak peduli dan hanya menganggapnya sebagai adik ipar dan tante bagi putrinya, tidak lebih. Walaupun begitu, Rina tidak menyerah begitu saja karena dia mempunyai senjata ampuh, yaitu wajah yang mirip dengan kakaknya dan itu bisa meluluhkan hati Arya.

"Pulanglah, Tania sudah tidur. Sebaiknya, kamu jangan dulu bertemu dengannya." Arya menutup pintu kamar setelah meletakkan Tania di tempat tidurnya.

"Mas, maafkan aku. Aku tidak akan pulang sebelum kamu memaafkanku." Wanita itu merengek manja dengan wajahnya yang terlihat sedih.

Melihat wajah wanita itu memohon di depannya, membuat Arya menjadi luluh. Wajah itu, wajah yang sama yang selalu merengek manja padanya di saat dulu. Wajah yang selalu membuat hatinya luluh saat melihat air mata di wajah itu. "Baiklah, aku memaafkanmu. Pulanglah, aku ingin istirahat." Arya kemudian berdiri meninggalkannya dan masuk ke dalam kamarnya.

"Aku akan membuatmu jatuh dalam pelukanku. Lihat saja, kamu akan mampu bertahan sampai kapan. Aku akan mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku sejak dulu karena aku sudah mengalah pada kakakku, tapi kali ini aku tidak akan mengalah begitu saja. Aku akan mendapatkan dirimu dan juga hartamu." Wanita itu kemudian pergi meninggalkan Arya yang tengah menahan hatinya yang begitu merindukan istrinya.

Di taman, Kania masih duduk di temani lelaki yang sudah menjadi sahabatnya sejak masa sekolah dulu. Bastian Wijaya, lelaki tampan yang masih betah hidup sendiri. Bukan karena dia tidak mampu untuk mendapatkan pasangan kekasih, tapi hidupnya cukuo sulit hingga membuatnya menahan diri untuk mempunyai kekasih. Bagaimana tidak, lelaki itu harus bekerja keras dan membanting tulang untuk menghidupi ibu dan tiga adik perempuannya. Ayahnya telah wafat dan itu berarti dialah yang harus mencari nafkah untuk keluarganya itu.

"Aku akan mengantarmu kembali ke toko, ayo, bangkitlah." Bastian mengulurkan tangannya, tapi Kania menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak ingin bekerja lagi di toko itu. Aku sudah dipecat dan aku akan berhenti."

Lelaki itu menatapnya. "Kania, aku tahu kamu marah, tapi ingat kamu butuh biaya banyak untuk pengobatan ibumu. Jika kamu berhenti bekerja, otomatis penghasilanmu juga akan berkurang. Kania, cari kerja itu sulit dan kamu hanya lulusan SMA dan itu tidak cukup untuk bisa membuatmu bekerja di sebuah perusahaan." Bastian kembali duduk dan terlihat kecewa.

"Aku tahu, makanya aku akan mencari kerja lagi. Tenang saja, aku yakin aku bisa mendapatkan pekerjaan baru." Kania tampak tersenyum di balik kesedihan yang masih terlihat di wajahnya.

"Sebaiknya kamu pergi, nanti kamu bisa dimarahi sama Bu Nova. Lagipula, jam makan siang sudah selesai dari tadi dan aku minta maaf, karena masalahku ini kamu belum sempat makan siang." Kania terlihat menyesal dan dia kembali menundukan wajahnya. Sekuat apapun dia menutupi kesedihannya itu, tapi Bastian paham kalau saat ini sahabatnya itu sedang bersedih.

"Ayo, aku belikan makanan." Bastian meraih tangannya dan mengajaknya ke satu kedai yang menjual roti bakar. Bastian memesan dua porsi dan membungkusnya. "Makanlah jika sudah sampai di rumah sakit." Satu bungkus diberikan pada Kania dan sebungkusnya dibawanya ke kantor. "Aku akan mencoba mencari lowongan kerja untukmu, jika dapat aku pasti menghubungimu. Pulanglah dan hati-hati di jalan, sebentar malam aku akan menghubungimu." Bastian kemudian pergi dengan motornya dan meninggalkan Kania yang memandangi kepergiannya dengan sebuah senyuman.

Kania memandangi bungkusan roti bakar di tangannya itu. Sejenak, dia tersenyum dan ingatannya tertuju ke sembilan tahun yang lalu, di saat dia bertemu dengan Bastian di sebuah SMA yang penuh dengan kenangan.

Bastian, pemuda sederhana yang selalu diremehkan karena kehidupan ekonominya yang pas-pasan. Setiap ke sekolah, dia selalu membawa bekal pemberian ibunya, yaitu nasi goreng dengan telur ceplok. Walau sering diganggu dan diejek, Bastian tidak peduli dan terlihat acuh. Hingga suatu hari, bekal yang dibawanya jatuh berhamburan di tanah karena seorang siswi baru yang berlari dan menabraknya hingga membuat perbekalan di tangannya jatuh berhamburan.

"Maaf, aku tidak sengaja." Gadis itu berhenti dan berdiri di depannya. Bastian terlihat marah dan ingin memarahinya, tapi hatinya luluh saat melihat gadis itu mengeluarkan bekal dari dalam tasnya dan memberikan bekal itu untuknya.

"Ambil bekalku ini untuk mengganti bekalmu yang jatuh. Aku minta maaf, tapi aku janji selama sebulan aku akan membawakanmu bekal." Gadis itu terlihat tulus dengan senyum yang terukir di sudut bibirnya.

"Tidak perlu, simpan saja bekalmu itu." Bastian menunduk dan mengambil tempat bekal dan menyimpannya di dalam tasnya. Pemuda itu kemudian pergi tanpa mengatakan apapun pada gadis itu.

"Tunggu!" Gadis itu mengejarnya dan berjalan di sampingnya.

"Maaf, namaku Kania, aku murid baru di sekolah ini. Aku harap kita bisa berteman." Kania tersenyum sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman, tapi pemuda itu malah mengacuhkannya. Kania tidak peduli, dia masih berjalan di samping pemuda itu hingga di dalam kelas, Bastian terkejut karena Kania ternyata sekelas dengannya.

Sejak saat itu, Kania berusaha dekat dengannya. Setiap hari, Kania membawa dua bekal ke sekolah. Satu untuk dirinya dan satunya lagi untuk Bastian, hingga membuat Bastian merasa tidak nyaman. "Kania, ini sudah sebulan sejak kamu memberikanku bekal makanan, mulai besok jangan kamu lakukan itu lagi."

"Iya, baiklah. Aku tidak akan membawakannya lagi." Kania tersenyum sambil meletakan bekal di meja Bastian. "Makanlah." Kania duduk di sampingnya dan menyantap bekal yang sudah disiapkan oleh ibunya.

Itu adalah saat-saat kebersamaannya dengan Bastian. Mereka sudah bersahabat sejak sembilan tahun yang lalu. Karena itu, Bastian sangat perhatian padanya. Perhatian yang kadang terlalu berlebihan hingga membuat lelaki yang ingin mendekati Kania menjadi salah paham dan mundur teratur karena mengira mereka adalah pasangan kekasih.

Kania tersenyum saat mengingat kisah persahabatan mereka. Walau ada saat di mana dia sangat menginginkan rasa persahabatan itu menjadi lebih. Terkadang, hatinya goyah karena perhatian lelaki itu, namun dia sadar kehidupannya sekarang sangatlah sulit dan dia tidak ingin membuat lelaki itu semakin sulit karena dirinya.

Beban hidupnya kini sangatlah berat. Walau begitu, dia berusaha menjalaninya dengan ikhlas. Di dalam ruangan salah satu rumah sakit, Kania duduk sambil menyantap roti bakar pemberian Bastian. Di dalam ruangan itu, terbaring seorang wanita paruh baya yang sedang tertidur. Kania berjalan mendekati tempat tidur dan duduk di depan wanita itu. Dengan lembutnya, Kania menggenggam tangan wanita itu. "Bu, maafkan Kania. Kania janji akan terus bekerja untuk mendapatkan uang. Kania akan membayar pengobatan Ibu agar Ibu bisa kembali berkumpul bersama Kania. Kania janji, Bu." Kania menghapus air matanya yang jatuh.

Sejak empat tahun yang lalu, Kania harus bekerja dan meninggalkan bangku kuliah. Semua itu karena perusahaan ayahnya tiba-tiba bangkrut. Ayahnya ditipu oleh sahabatnya sendiri hingga membuat seluruh hartanya habis untuk membayar hutang. Sejak saat itu, ayahnya mulai stres dan selalu pulang dalam keadaan mabuk. Ayahnya yang dulu selalu baik pada kelurga, berubah menjadi ayah yang selalu memukulnya dan juga ibunya.

Kehidupan mewah yang dulu mereka rasakan, akhirnya berubah menjadi kehidupan yang penuh derita. Dia harus memutuskan kuliah dan meninggalkan cintanya, karena harus bekerja membayar hutang judi ayahnya. Dan Bastian, orang yang selalu ada untuknya. Hanya Bastian yang selalu setia menemaninya.

Hingga suatu hari, Kania melihat ayahnya memukul ibunya saat dia baru saja pulang kerja. Orang-orang di tempat itu hanya melihat tanpa bisa melakukan apapun. Wajah ibunya berdarah karena dipukul ayahnya. Kania yang saat itu ingin membantu ibunya, juga mendapat pukulan dari ayahnya. Hingga kejadian itupun terjadi.

Ayahnya mengambil sebuah balok kayu dan ingin menghantamkannya ke kepala Kania saat dirinya mendorong ayahnya karena terus memukuli ibunya. Karena marah, ayahnya mengambil balok kayu yang tergeletak di sudut rumah dan tanpa ampun lelaki itu mengangkat balok itu tinggi-tinggi dan siap menghantamkannya pada Kania. Namun, balok kayu itu tiba-tiba jatuh dan ayahnya memegang perutnya yang tiba-tiba berdarah. Sontak, ayahnya ambruk dengan luka tusukan di perutnya.

Kania menatap ibunya yang memegang pisau di tangannya. Sambil menangis, Kania mendekati ibunya dan menghempaskan pisau dari tangan ibunya itu. Hanya air mata yang jatuh membasahi wajah ibunya. Wanita itu diam terpaku tanpa kata. Lelaki yang sangat dicintainya, kini mati di tangannya. Pandangan matanya kosong hingga membuat Kania memeluknya.

Mobil polisi kemudian datang dan membawa ibunya. Kania menangis saat melihat ibunya dibawa pergi. Dan jasad ayahnya dibawa ke rumah sakit untuk diotopsi. Kania menangis, meratapi nasib diri. Keluarganya yang dulu bahagia dan saling menyayangi, kini hancur dan saling membunuh.

Bastian yang datang terlambat karena baru pulang kuliah sangat terkejut dengan peristiwa yang menimpa sahabatnya itu. "Kania, bersabarlah." Bastian ikut menangis saat melihat sahabatnya itu menangis sesenggukan sambil memeluknya.

Hidupnya yang hancur berantakan, terpaksa membuatnya melepaskan cintanya. Janji setia yang sudah mereka ucapkan, menguap begitu saja tanpa penjelasan dari Kania dan membuat kekasihnya itu terluka. Dengan sengaja, Kania menggandeng seorang pria saat melihat kekasihnya itu, hingga membuat kekasihnya itu akhirnya memutuskan hubungan yang sudah terjalin hampir dua tahun.

Kania menangis saat kekasihnya itu mengucapkan kata putus. Tak hanya itu, lelaki yang selalu memberinya cinta dan perhatian, kini membencinya karena merasa dikhianati dan Kania hanya bisa menangis menyesali diri.

Kania menghapus air matanya saat mengingat sosok yang pernah mengisi hatinya itu. Sosok yang sukar untuk dia lupakan begitu saja. Walau sudah empat tahun berlalu, namun rasa itu masih tersimpan hingga kini. Cinta itu masih enggan untuk pergi.

"Kania, ada yang ingin aku bicarakan." Seorang dokter datang menghampirinya, seketika air mata yang menggantung segera dihapusnya.

"Ada apa, dok?"

"Ikut aku." Kania kemudian mengikuti dokter wanita yang sudah menangani ibunya selama ini. Di depan koridor, mereka duduk.

"Apa kamu baik-baik saja?" Dokter itu menatapnya seakan melihat tekanan hidup yang berat di tatapan mata gadis itu.

"Aku baik-baik saja. Memangnya ada apa, dok?"

Dokter itu mendekati Kania dan mengelus lembut punggungnya. "Aku tahu ini berat, tapi aku harus memberitahukan kondisi ibumu, karena hanya kamu satu-satunya keluarganya. Akhir-akhir ini, ibumu mengalami suatu gejala penyakit yang membuatnya tidak bisa bergerak dan hanya bisa terbaring. Ibumu sudah tidak lagi berontak seperti biasanya dan aku mulai curiga dan mulai melakukan pemeriksaan. Dengan bantuan salah satu temanku, kami akhirnya tahu kalau ibumu saat ini menderita Leukima stadium 3."

Kania terkejut hingga membuat wajahnya memucat. Cobaan hidup kembali menderanya. Air matanya seketika jatuh tanpa bisa dibendungnya. Rasa marah dan benci akan takdirnya seketika berkecamuk di dadanya. Namun, perlahan dia mengelus dadanya dan beristighfar. "Tuhan, jika ini takdir yang Engkau berikan padaku, aku akan menjalaninya. Jika akhir deritaku bisa membuatku bahagia, maka aku akan bersabar." Air matanya jatuh seiring doa yang perlahan dia panjatkan, semoga deritanya kelak akan berakhir bahagia.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!